PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN ; PARADIGMA BARU DUNIA PENDIDIKAN MENUJU KEHIDUPAN YANG HARMONIS DIMASA DEPAN

Oleh Yohanes Supriyadi

PENDAHULUAN
Dewasa ini, aksi kekerasan yang dilakukan manusia dihampir seantero dunia sangat jelas dilihat. Hal ini diyakini sebagai dampak dari perkembangan arus globalisasi dan modernisasi. Secara jelas dinyatakan oleh John Rawls, bahwa kondisi demikian dipengaruhi oleh fase-fase perkembangan masyarakat, yakni dari masyarakat peramu ke masyarakat petani, dari masyarakat petani ke masyarakat industri dan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi seperti keadaan sekarang ini. Dalam masyarakat informasi, teknologi informasi ( TI ) telah menjadi sumber inspirasi baru dalam pengembangan masyarakat. Nah, melalui berbagai jaringan komunikasi dan informasi inilah secara tidak langsung maupun langsung kepada anak-anak dan remaa telah dipertontonkan budaya kekerasan. Mulai dari barang-barang permainan mereka yang militeristik, pertunjukan aksi kekerasan lewat media massa khususnya lewat televisi dan film, koran, majalah hingga buku-buku yang berbau ”fornografi” dan fiksi-fiksi dengan tokoh-tokoh Sinchan, Superman, Power Rangger, dll. Dengan dipertontonkannya berbagai bentuk kekerasan itu dan tokoh-tokoh didalamnya, anak-anak dan remaja lalu berpendapat kalau orang sedang berkonflik dengan orang lain dan metode yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik adalah aksi kekerasan. Berkelahi dianggap sesuatu yang normal dan dapat dibenarkan. Seperti yang kita ketahui, anak-anak dan remaja adalah masa dimana dalam diri mereka sedang mencari ”identitas” baru. Oleh karenanya, ”ikut” dan ”terlibat” dalam berbagai hal yang baru menjadi ciri khas dunia mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jauh sebelumnya kekerasan telah dimulai. Berbagai jenis peperangan antara kebaikan dengan kejahatan telah berlangsung melalui periode pre modern, modern dan post modern saat ini. Pembunuhan paling primitif pun telah dilakukan sejak periode Nabi Adam hingga pembunuhan Nabi Isa pada periode kekaisaran Romawi. Hampir dua ratus tahun sejak abad ke-18, sejarah Kalimantan Barat juga telah diwarnai oleh aksi dan konflik rasial. Konflik rasial ini menjadi gejala yang selalu berulang dengan interval kurang lebih 25 tahun. Hampir tidak ada etnik yang hidup di Kalimantan Barat yang tidak terlibat konflik rasial itu, dari etnik Cina dengan Dayak ( 1770, 1824, 1965 dan 1967-1968 ), Melayu dengan Dayak ( 1680 = legenda Nek Bangka’, 1999, 2000, 2001), Dayak dengan Madura ( 1950, 1968, 1976, 1977, 1978, 1979, 1983, 1993, 1994, 1996/1997 ), Melayu, Bugis dan Arab dengan Madura ( 2000, 2001 ) dan Melayu + Dayak dengan Madura (1999 ). Walaupun belum secara lengkap sejumlah kronoligis diatas, sebenarnya masih terdapat sejumlah kerusuhan kecil-kecil lainnya antara Dayak dengan Melayu, khususnya sejak antar kelompok pemuda sejak tahun 1998.
Aksi-aksi kekerasan tersebut kemudian menjadi ”pembelajaran” bagi anak-anak dan remaja dalam hidupnya. Dengan kata lain, telah tertanam kuat didalam diri mereka bahwa masalah apapun yang dihadapi hanya dapat diselesaikan dengan jalan KEKERASAN. Bahwa kekerasan telah menjadi ”icon” dalam hidup sehari-hari, apapun bentuknya. Ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang pluralis di Kalimantan Barat sekarang ini, konflik kecilpun dapat menyebabkan aksi kekerasan, baik dilakukan individu maupun kelompok. Tidaklah heran bila, Kristianus Atok, menjelaskan bahwa Kalbar sekarang ini sedang berada dalam situasi perdamaian negative, artinya konflik kekerasan sewaktu-waktu dapat terjadi. Mungkin atas kesadaran inilah, Gubernur Kalbar, Haji Usman Djafar, mencanangkan Mottonya yang prestisius ” Harmonis Dalam Etnis”. Semua orang tentunya paham bahwa kekerasan apapun bentuknya haruslah dijauhi. Tantangan terberatnya adalah ”mampukah orang Kalbar menciptakan suasana Harmonis Dalam Etnis tanpa adanya upaya dasar untuk menghilangkan stigma kekerasan selama ini ? ”. Nah, dalam kerangka itulah, dipertengahan tahun 2003, YPPN, sebuah organisasi non pemerintah menginisiasi sebuah ”program” Pendidikan Anti Kekerasan. Gerakan ini dimulai dengan memfasilitasi anak-anak dan remaja disekolah-sekolah.


MENGENAL KEKERASAN
Kekerasan menurut Simon Fisher, adalah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, sosial atau lingkungan dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Saat ini, kekerasan dalam wacana sehari-hari hampir diidentikan dengan perkelahian atau bentrokan fisik. Secara gamblang, Simon Fisher mengyatakan bahwa kekerasan bukan hanya perkelahian atau bentrokan fisik, akan tetapi perkataan, tindakan, sikap manusia pun dapat dikategorikan sebagai aksi kekerasan. Contoh kecil dari pernyataan ini adalah sikap atau perkataan ; menghardik, mengancam, teror, atau memunculkan simbol-simbol tertentu pada saat tertentu. Di Kalbar, simbol-simbol itu misalnya menaikan bendera kuning ( bagi etnis Melayu Sambas, lihat Bambang HSP, 2003 ), bagi etnis Dayak, munculnya adat Mangkok Merah adalah simbol dari perlawanan berdarah ( lihat, F. Bahaudin Kay, 2005 ). Pada etnis Cina, perayaan Cap Go Meh dengan permainan Tatung adalah simbolisasi dari sebuah tradisi kekerasan.
Menurut Iqbal Djayadi, sosiolog UI, pengertian kekerasan secara umum merujuk kepada tindakan untuk mengurangi atau meniadakan eksistensi manusia lain. Menurutnya, ada dua jenis kekerasan, yaitu kekerasan yang kurang lebih dilakukan individual dan berorientasi sepenuhnya individual yang secara umum kekerasan jenis ini merujuk kepada tindakan kriminalitas. Tercakup kedalamnya adalah tindakan penganiayaan dan pembunuhan, baik yang dilakukan dalam konteks pengambilan harta maupun pengambilan nyawa orang lain. Dan kedua adalah kekerasan yang bersifat kolektif, baik pelaku maupun orientasi hasilnya adalah kelompok, bukan individual.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diterjemahkan sebagai tindakan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik . Mengacu pada tiga pemahaman di atas, kekerasan diterjemahkan sebagai upaya-upaya seseorang atau kelompok untuk meniadakan eksistensi atau dominasi/penguasaan orang atau kelompok lain terhadap keseluruhan hidupnya, yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki, moralitas dan norma hukum. Efek dari tindakan tersebut adalah seseorang atau anggota kelompok, yang di sebut terakhir kehilangan nyawa, hartanya atau kedua-duanya atau mengalami kerusakan secara fisik, baik raga (luka-luka) maupun harta bendanya.
Apa yang melatarbelakangi kekerasan itu ? beberapa ahli psikologi menyebutkan bahwa penyebab utama aksi kekerasan adalah terjadinya penyimpangan atas perilaku manusia Penyimpangan perilaku individu dapat saja berbeda dengan norma umumnya, misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresifitas yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak. Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika individu mempunyai perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga disebut perilaku antisosial, dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan coret-coretan di tempat umum, pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang melawan nilai, norma dan hukum ini dikenal sebagai suatu kejahatan. Dalam pemaparannya tentang perilaku manusia, Freud mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar, sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Freud memandang bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual yang mengarah kepada prinsip kesenangan yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas, sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral. Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan memainkan id-nya lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan super-egonya lebih dominan. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari dan pengalaman masa lalu manusia pada masa kanak-kanaknya.
Dalam kacamata spiritual, kejahatan merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan nafsu, motif dan alam bawah sadar yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Sedangkan dalam kacamata agama, kemenangan iblis atas manusia seringkali dijadikan simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan pada umat manusia. Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral sebagai simbol kebaikan yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia.
Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu: meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahsa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Ditinjau dari sudut pandang agama, sebenarnya telah melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham positivisme dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah kebenaran jika tanpa bukti empirik- telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan moral dan agama. Beberapa ahli telah menilai bahwa demoralisasi ini berhubungan dengan rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk serta benar dan salah dalam masyarakat maju, yang menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan. Syakrani menyebutkan pula bahwa ada hubungan erat antara kejahatan dengan kurangnya instruksi moral dan ethic dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya beragam kekerasan dan kejahatan.

URGENSI PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN DEWASA INI
Diatas telah dijelaskan bahwa selama hampir dua ratus tahun, provinsi Kalimantan Barat penuh diwarnai dengan aksi kekerasan rasial. Aksi-aksi kekerasan rasial ini terus diveriterakan oleh nenek moyang, para orang tua kepada anak-anaknya sehingga telah menjadi stigma yang sangat kuat dalam alam pikiran mereka. Dalam perkembangannya, ditengah-tengah arus globalisasi dan modernisasi sekarang ini, aksi-aksi kekerasan, baik yang dilakukuan individu ( kriminalitas ) maupun kelompok ( tawuran, perkelahian, amuk massa ) dengan mudah disaksikan oleh masyarakat lintas generasi pada berbagai media informasi dan komunikasi. Aksi-aksi tersebut kemudian mengembalikan stigma kekerasan rasial masa lalu sehingga menjadi pengalaman traumatis pada anak-anak dan remaja yang tampak pada indikator sebagai berikut; (1) Meningkatnya tindak kekerasam, seperti tawuran antar pelajar, (2) Meningkatnya penggunaan kata-kata tak santun dalam tutur bicara, (3) Meningkatnya pengaruh negative secara kelompok “ peer group “, (4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti merokok, dan narkoba, (5) Makin kaburnya acuan moralitas yang tergantikan oleh moralitas ‘gaul”, (6) Menurunnya etos kerja, seperti malas mengerjakan pr, tugas-tugas terstruktur, (7) Merosotnya sikap respek kepada orang tua dan yang lebih tua, (8) Meningkatnya sikap menghindar dari tanggung jawab, dan (9) Meningkatnya perilaku tak jujur seperti “nyontek” dan berbohong kepada orang tua.
Jika 9 indikator tersebut diatas tetap ada bahkan berkembang luas dalam system pembelajaran hidup yang diterima anak-anak dan remaja, maka akan muncul apa yang disebut sebagai generasi punah ( the lost generation ). Menurut Syakrani, generasi punah diatas, selain terkait masalah gizi yang buruk sejak usia anak-anak dibawah 5 tahun, juga karena pengurangan ( deficit ) karakter atau moralitas yang sakit terutama dikalangan anak-anak dan remaja. Studi-studi mutakhir tentang tumbuhkembang manusia menunjukan anak-anak sejak dini mengalami tidak sehata secara fisik, psikologis, emosional, social dan moral. Akibat penyakit ini, mereka akan renan terhadap penyakit fisik dan psikologis, tidak peka secara social-emosional, tidak amanah, memiliki kecendrungan kuat untuk menghindari tanggung jawab, memiliki control agresi dan komitmen moralitas yang lemah serta memiliki persepsi yang tak sehat tentang sosok Tuhan. Didorong oleh keprihatinan atas perkembangan yang ada, telah muncul teori baru dalam tumbuhkembang manusia. Syakrani, pendidik dari Banjarmasin mengemukakan bahwa kalau tidak ada intervensi terhadap mereka ( anak-anak dan remaja ), maka beberapa cirri tersebut diatas akan berlanjut sampai pada usia berikutnya. Artinya, anak-anak dan remaja yang sejak dini termasuk generasi punah berpeluang besar menjadi remaja, pemuda bahkan orang tua yang juga tidak sehat secara fisik, psikologis, emosional, social dan moral. Selanjutnya dari orang tua seperti ini akan lahir generasi punah berikutnya.
Atas dasar itu, pendidikan anti kekerasan menjadi sangat urgen untuk kondisi Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat saat ini. Namun demikian, konsep pendidikan ini haruslah dikontekstualisasikan kedalam cara pandang bahwa pertumbuhan fisik-intelektualitas anak merupakan bagian integral perkembangan social-emosional dan moralnya. Dengan kata lain, pendidikan model ini harus diformat dalam perspektif bahwa anak-anak dan remaja adalah makhluk yang utuh (whole child).

PENDEKATAN DAN METODOLOGI
Pendidikan Anti Kekerasan memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu (1) Integrasi Budaya, yakni mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok dari peserta didik untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. (2) Proses Konstruksi Pemikiran, yakni dengan membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin) (3) Pembebasan penyampaian, yakni menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik mereka yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. (4) Pemahaman, yaitu dengan mengidentifikasi karakteristik etnik asal peserta didik dan menentukan metode pengajaran mereka (5) Pelatihan terarah dengan melatih peserta didik untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh organiser dan peserta didik yang berbeda etnis dalam upaya menciptakan budaya akademik. Seperti kita ketahui, dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para organizer perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Dari pengalaman kami, setidaknya secara umum peserta didik memiliki empat ciri yaitu; (1). Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. (2). Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. (3). Mempunyai latar belakang yang berbeda. (4). Dan melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki peserta didik secara individu.
Dalam konsepsi pendidikan anti kekerasan, fokus pendidikan tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok etnik, agama dan kultural domain atau mainstream. Pendidikan anti kekerasan sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok yang ada dilingkungan mereka. Dalam konteks ini, organizer dapat melihat peserta didik secara lebih luas. Karena itu, maka seharusnya kurikulum pendidikan anti kekerasan dapat mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan anti kekerasan perlu memakai kombinasi model yang ada dan dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Pada prinsipnya, mengembangkan konsep pendidikan anti kekerasan dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok rasial mengandung tantangan yang tidak ringan. Dalam kondisi ini pendidikan anti kekerasan lebih diarahkan sebagai bagian advokasi untuk menciptakan masyarakat masa depan yang toleran dan bebas toleransi.
Sebagai suatu kesepakatan, Pendidikan anti kekerasan menjelaskan juga tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai dan kebajikan yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan. Anti kekerasan secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan yang menekankan pada mana benar dan salah secara absolut. Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi secara langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran.









KURIKULUM
Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Oleh sebab itu telah berkembang pandangan bahwa sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas, dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak, dan bebas. Dengan demikian tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu. Untuk memenuhi ketujuh prasyarat diatas, maka dalam implementasi kurikulum pendidikan anti kekerasan, dapat memuat memuat materi-materi pokok, yaitu :

1. Mengembangkan Cara Berpikir
Cara berpikir yang mudah membawa kepada konflik kekerasan adalah anak cenderung berpikir tentang satu hal pada satu saat. Anak cenderung egosentris melihat dunia dari sudut pandang dan kepentingannya. Mereka cenderung berpikir kaku dan dikotomis teman-musuh, baik-buruk. Dengan kata lain mereka berpikir hitam putih dan cenderung streoptif. Pikiran mereka terfokus pada segi konkret dan yang kelihatan mengenai situasi yang ada. Perlu juga dikataka cara berpikir semacam ini masih dimiliki sebagian besar orang dewasa. Cara berpikir itu harus dikembangkan menuju kearah cara berpikir lebih maju. Adapun cara berpikir yang lebih maju itu adalah sadar akan adanya banyak aspek dari suatu situasi. Mampu melihat adanya lebih dari sudut pandang , mampu berpikri abstrak dan mampu melihat hubungan sebab akibat berbagai kejadian.

2. Melatih Dialog
Adanya perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan merupakan suatu yang wajar. Anak harus disadarkan bahwa untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan harus dipilih dialog dan bukan dengan kekerasan. Mereka dilatih dialog, memberi dan menerima dimana banyak sudut pandang yang berbeda dikemukakan dan dihargai. Dengan cara ini mereka makin mengalami betapa baikya sumbangan yang berbeda-beda demi kebaikan hidup bersama. Pendidikan berdialog ini penting, mengingat anak-anak bersifat egosentris sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menghargai teman-teman lain dan berbuat untuk kebaikan teman. Mereka juga cenderung berpikir terbatas sehingga sulit mengerti sudut pandang orang lain. Mereka juga sulit menyadari bahwa tindakannya bisa merimajinasi tentang apa yang tidak dapat mereka lihat. Bila ada perselisihan atau pertengkaran diantara meeka, pendidik harus berkata bahwa idak boleh saling memukul tetapi perlu menggunakan kata-kata bila mereka sedang marah. Juga perlu dikatakan tentang perlunya bergiliran omong untuk memberi kesempatan bagi yang lain mengemukakan pikiran atau perasaan. Juga perlu time out ( berhenti sementara ) agar mereka dapa tenang atau sejuk hati dan punya waktu untuk berpikir ulang tentang apa yang sudah terjadi.

3. Membongkar Keyakinan Salah
Aksi kekerasan biasanya dipengaruhi keyakinan-keyakinan salah yang dipegang oleh kebanyakan orang. Keyakinan itu juga dapat dianut anak-anak. Misalnya yang kuatlah yang menang , jika anda kuat maka andalah yang benar. Keyakinan ini akan membuat orang berusaha untuk menjadi kuat dan punya kekuasaan. Kemudian aksi kekerasan, adu otot yang akan dipilih. Kedua, mata ganti mata, gigi ganti gigi oleh keyakinan ini, orang lalu cenderung mudah balas dendam. Right or wrong is my country. Keyakinan ini membuat orang cenderung membela negaranya dan biasanya denan tindak kekerasan sebagai tanda patriotisme tanpa berpikir kritis akan tindakan dan kebijakan politik yang diambil negara. Anak laki-laki memang anak laki-laki keyakinan ini membuat orang-orang laki-laki harus bersifat jantan dan jantan berarti berkelahi, berani pukul dan ringan tangan. Tujuan menghalalkan segala cara karena keyaninan ini dengan mudah orang akan memilih tindak kekerasan yang diyakininya sebagai cara efektif untuk mencapai tujuan. Kita harus berusaha untuk menyadarkan bahwa keyakinan-keyakinan itu adalah salah. Usaha-usaha ini penting berhubung keyakinan-keyakinan salah itu banyak dianut masyarakat yang mempunyai pengaruh besar pada diri anak-anak.

4. Menguatkan Harga Diri Anak
Harga diri merupakan salah satu syarat penting bagi keberhasilan di sekolah. Anak-anak yang amat cerdas namun harga dirinya rendah bisa mendapat hasil buruk disekolah. Sementara anak dengan kecerdasan rata-rata tetapi memiliki harga diri kuat biasanya berhasil. Anak dengan harga diri rendah cenderung mendapa sedikit kepuasan dari sekolah lalu dengan mudah kehilangan motivasi dan minat. Akibatnya prestasi belajarnya rendah dengan akibat harga diri yang semakin rendah. Selain itu anak denagn harga diri rendah biasanya terlalu agresif atau terlalu menrik diri dari hubungan antarpribadi. Untuk menutupi harga diri yang rendah anak cenderung berbuat kasar yang mengarah pada tindak kekerasan. Kalau kita berhubungan erat dengan orang lain, tidak boleh tidak kita mengungkapkan kepada orang lain itu harapan-harapan kita yang sering menjadi suatu kenyataan. Harapan positif misalnya kamu pasti akan berhasil akan membesarkan hati sang anak. Sedangkan negatifnya adalah ah…kamu, pasti tidak berhasil karena kamu tidak naik kelas akan mengecilkan hati sang anak. Umumnya harapan negatif mudah muncul dalam diri sang anak daripada harapan positif.

PENUTUP
Pendidikan anti kekerasan adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik kekerasan dalam proses kehidupan multietnik. Pendidikan anti kekerasan didasarkan pada gagasan untuk mengurangi skala konflik yang bernuansa rasial dan menciptakan suatu kehidupan yang harmonis dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan anti kekerasan seyogyanya dapat menjadi pendidikan alternative ditengah-tengah ”kegamangan” sistem pendidikan yang ada selama ini. Bahwa dengan pendidikan anti kekerasan akan terfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka. Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas kecendrungan konflik kekerasan rasial masa depan tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan kekerasan-kekerasan yang berimplikasi pada ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban.



BINUA YANG TERGERUS ZAMAN (4) Ketika Identitas Komunitas Adat Kalimantan Di Hancurkan

Oleh Yohanes Supriyadi

Sebelum mengenal lebih jauh tentang pemerintahan lokal yang bernama pemerintahan binua di Kalimantan Barat, mari kita lihat pola-pola penghancuran atas identitas asli komunias secara makro, maksudnya di Nusantara. Regerings Reglement atau peraturan pokok yang mengatur tentang pemerintahan di Hindia Belanda pada tahun 1854 adalah peraturan mengenai desa yang pertama kali dibuat . Dimuatnya pengaturan tentang desa ini didasari oleh kesadaran dari penguasa kolonial atas telah adanya satuan-satuan sosial asli pada masyarakat yang memiliki corak pemerintahannya sendiri jauh sebelum kedatangan orang-orang Belanda. Oleh karena itu hakekat pengaturan yang dimiliki itu bukanlah untuk membentuk satuan sosial dengan pemerintahan baru yang disebut Inlandssche Gemeente tetapi merupakan pengakuan tentang keberadaan satuan-satuan sosial tersebut.

Dalam pasal 71 Regerings Reglement selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam ordonansi yang khusus dibuat untuk mengatur desa yakni Inlandsche Gemeente Ordonantie ( IGO ). IGO berlaku hanya di pulau Jawa-Madura, kecuali diwilayah Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta serta tanah-tanah partikelir disebelah barat dan timur Cimanuk Jawa Barat. Sedangkan untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura dikeluarkan ordonansi yang lain yang disebut dengan Inlansche Gemeente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ). Berbeda dengan dengan IGO yang berlaku secara umum, maka IGOB hanya berlaku jika ada pernyataan pemberlakuannya oleh gubernur. Menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, pemerintah Hindi Belanda masih sempat membuat ordonansi desa yaitu desa ordonantie, namun ordonansi ini tidak sempat berlaku menyusul kekalahan Belanda melawan Jepang sehingga Belanda harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Selama kekuasaan Jepang, tidak banyak perubahan yang dilakukan berkenaan dengan peraturan mengenai desa kecuali mengenai pemilihan kepala desa. Kepala desa dibatasi masa jabatannya menjadi 4 tahun saja sesuai Osamu Seirei No 7 tahun 1944. Di Kalimantan Barat, pada masa ini istilah Singa ( Kepala Binua ) sempat diubah dengan nama SonCo .

Pada saat bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, perhatian terhadap desa telah pula masuk dalam pembahasan mengenai konstitusi negara pada rapat-rapat BPUPKI dan PPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 11 juli 1945, Muhamad Yamin adalah tokoh bangsa yang pertama kali menyinggung keberadaan lembaga yang bernama desa khususnya dipulau Jawa-Madura. Beliau mengutarakan pendapatnya mengenai susunan pemerintahan yang akan dibentuk. Menurutnya terdapat 3 lapisan yang merupakan susunan pemerintahan yaitu pemerintah bawahan yang berisikan badan-badan masyarakat seperti desa di Jawa-Madura, Nagari di Sumatera Barat, dan lain-lain. Lapisan selanjutnya adalah Pemerintah atasan atau pemerintah pusat yang ada diibukota negara dan yang diantara kedua pemerintahan itu adalah pemerintah tengahan yakni pemerintahan daerah .

Hal menarik juga diungkapkan oleh Supomo. Sebagai ketua panitia kecil perancang Undang-Undang Dasar, beliau dalam sidang panitia BPUPKI tanggal 11 juli 1945 menjelaskan bahwa “ hak-hak asal-usul dalam daerah-daera yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu adalah pertama daerah kerajaan baik diJawa maupun diluar jawa dan kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli seperti desa di Jawa, Nagari diSumatera Barat dan lain sebagainya. Karena itu daerah-daerah itu harus dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan aslinya “. Pendapat Supomo ini kemudian masuk dalam pasal 18 UUD 1945 butir II yaitu “ Dalam teritorial negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturede landschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabaun, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa “. Sampai 20 tahun setelah Indonesia merdeka, tidak penah ada lagi peraturan khusus yang mengatur tentang desa secara menyeluruh sehingga dengan demikian Inlandsche Gementee Ordonantie ( IGO ) tetap berlaku. Dalam kurun waktu tersebut, peraturan yang dibuat sifatnya parsial ( Myrna A Safitri, 2000 ).
Pada tahun 1965 barulah pemerintah Indonesia berhasil membuat undang-undang mengenai desa untuk menggantikan IGO dan peraturan-peraturan lainnya. Pada tanggal 1 September 1965 diundangkan UU No 19 tahun 1965 tentang Desapraja . UU Desapraja ini dibuat dengan semangat untuk menggantikan seluruh produk perundang-undangan kolonial dan menjalankan politik unifikasi hukum mengenai desa diseluruh wilayah Indonesia dengan melakukan rekayasa pembentukan, penggabungan dan pemecahan satuan-satuan sosial yang ada. Namun UU Desapraja dalam prakteknya tidak pernah berlaku karena pada tahun 1969 dikeluarkan lagi UU No 6 tahun 1969 yang menyatakan tidakberlakunya sejumlah UU dan Perpu termasuk UU Desapraja karena isinya dianggap bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945.

Masa Orde Baru terbilang sangat produktif menghasilkan peraturan pemerintah dan Undang-undang mengenai desa . Pada tanggal 1 desember 1979 dibuat UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sepanjang masa berlakunya UU ini berikut peraturan pelaksanaannya, telah sukses menjalankan misi penyeragaman desa diseluruh tanah air Indonesia. Desa dipilih oleh Pemerintah Otoriter Orde Baru selain karena politik unifikasi hukum juga karena kepentingan “ pembangunan ”. Dengan politik sentralisasi kekuasaannya, pemerintah Orde Baru berhasil melaksanakan pembangunan nasional dan mengharuskan pemerintah pusat untuk selalu mengucurkan dana kepada pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang banyak diantaranya telah dirancang oleh pemerintah pusat sendiri. Dalam prakteknya , teknik pengucuran dana kepada daerah ( dalam hal ini provinsi ) dilakukan berdasarkan jumlah desa yang ada. Karena terbatasnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah diawal orde baru mengenai jumlah desa yang ada diseluruh Indonesia, maka diharuskan kepada setiap gubernur untuk memberikan data yang lebih rinci tentang jumlah “ desa “ yang ada diwilayahnya.

Gubernurpun kemudian menginstruksikan kepada Bupati-Bupati DATI II untuk melakukan pendataan jumlah desa diwilayahnya masing-masing. Namun permintaan Gubernur itu ternyata tidak mudah dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten karena berbedanya atau bahkan ternyata tidak dikenalnya istilah desa didaerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura. Untuk mengatasi kebingungan para gubernur diluar Jawa-Madura itu, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran No Desa 5/29 tanggal 29 April 1969 yang isinya memberikan batasan tentang desa yang dimaksudkan yakni “ kesatuan masyarakat hukum baik genealogis maupun teritorial yang pemerintahannya berada langsung dibawah kecamatan “.

Namun surat edaran inipun justru semakin membingungkan pemerintah daerah ( Gubernur dan Bupati ) terutama dengan dicantumkannya batasan bahwa yang dimaksud desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang pemerintahannya langsung dibawah kecamatan. Kenyataan diluar pulau Jawa dan Madura adalah seringnya satuan-satuan sosial lokal itu lebih luas dari kecamatan bahkan kabupaten. Untuk menindaklanjuti surat edaran yang semakin membingungkan itu, tidak lama kemudian Menteri Dalam Negeri mengeluarkan lagi surat edaran No Pem 40/5/10 tanggal 5 september 1974 yang memerintahkan agar segera melakukan pendataan jumlah desa.

Didorong oleh keinginan untuk mendapatkan dana pembangunan dari pusat yang begitu besar itu yang walaupun semakin bingung, kenyataannya banyak gubernur diluar pulau Jawa dan Madura yang membuat penafsiran sendiri-sendiri mengenai desa yang dimaksudkan pemerintah pusat itu. Untuk mewujudkan “ambisinya “itu, Gubernur Kalimantan Barat, Kadarusno, memerintahkan para Bupati se-Kalimantan Barat untuk segera pula melakukan pendataan jumlah desa yang ada diwilayah kabupaten dengan mengeluarkan surat No DD Pem 539/B-2 tanggal 27 Desember 1974. Di Kabupaten Pontianak ( pada sekitar 20-an tahun kemudian melakukan pemekaran wilayah dengan dilahirkannya Kabupaten Landak ), Bupati kemudian melakukan pendataan desa. Hasil pendataan desa ini kemudian dikirimkan melalui surat kepada Gubernur Kalbar pada tanggal 21 Desember 1974 dengan No Pem 10838/B-1/1974 tentang pengumpulan data-data pemerintahan desa diwilayahnya. Saat menyampaikan daftar desa diwilayahnya maka yang dicantumkan Bupati kepada gubernur bukanlah jumlah satuan-satuan sosial lokal atau masyarakat hukum yang ada ( Binua ) tetapi satuan-satuan pemukiman ( kampung ) yang sebenarnya bisa saja merupakan bagian dari satu masyarakat hukum yang dikenal dengan nama Binua.

Dengan penafsiran bahwa desa diluar Pulau Jawa dan Madura adalah satuan-satuan pemukiman, maka dimulailah babak baru dalam pemerintahan desa secara nasional dan sekaligus ancaman pada integrasi satuan-satuan sosial yang ada disleuruh wilayah tanah air. Demikian pula dengan dianggapnya desa sama dengan satuan pemukiman maka mulailah pula rekayasa untuk lebih menonjolkan prinsip teritorial dalam ikatan satuan-satuan sosial ( Jatiman, 1995 ). Dari peristiwa-peristiwa diatas tidak dapat dipungkiri membawa kebijakan unifikasi hokum pemerintah pusat menjadi pengaruh yang sangat besar dalam perumusan konsep desa dengan melegitimasinya dalam UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. UU ini secara tegas menunjukan keberpihakkannya pada prinsip teritorial, demografis, adminsitrasi dan birokrasi.
Dengan lahirnya UU No 5 Tahun 1979 ini, hilang pula kedaulatan masyarakat adat dalam mengelola kehidupannya berdasarkan warisan leluhurnya diseluruh wilayah Kalimantan Barat. UU ini secara tegas mengobok-obok desa dan tidak memperhatikan legitimasi sejarah desa yang bersangkutan sehingga pemerintah dengan gampangnya melakukan tindakan-tindakan pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Hal ini merupakan konsekwensi dari dianggapnya penduduk desa sebagai kumpulan orang-orang semata. Pada UU ini misalnya menyebutkan bahwa desa dapat dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat ( 1 ) luas wilayah ( 2 ) jumlah penduduk ( 3 ) dan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dalam kasus ini misalnya muncul Permendagri No 4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Setidaknya ada 6 syarat pembentukan desa yang disebutkan dalam peraturan tersebut dan lima diantaranya berkenaan dengan syarat sosial budaya. Syarat fisik yang dimaksud adalah jumlah penduduk minimal 2500 jiwa atau 500 KK, luasnya harus terjangkau ( bagi aparat pemerintah ) untuk memberikan pelayanan dan pembinaan masyarakat, letaknya dapat diakses dengan mudah seperti tersedianya sarana perhubungan dan komunikasi, tersedia prasarana dan sarana perhubungan, sosial, produksi dan pemerintahan desa, tersedia tempat mata pencaharian sesuai dengan pola tata desa. Sedangkan syarat sosial budaya lebih banyak ditujukan pada adanya suasanan kerukunan antar umat beragama dan bermasyarakat. Dari syarat-syarat tersebut, bahkan syarat sosial budayapun sama sekali tidak dimasukan pertimbangan kondisi sejarah dari desa yang bersangkutan. Syarat sosial budaya kelihatannya dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya ekses dari kontak budaya yang sangat mungkin terjadi dengan rekayasa pembentukan, pemecahan dan penyatuan desa.

Kurang lebih 32 tahun pemerintah Orde Baru berjalan, ternyata rekayasa atas pemerintahan desa semakin lama semakin disadari oleh komunitas lokal diseluruh wilayah tanah air. Masyarakat lokal mulai mengorganisir dirinya untuk bebas dari penjajahan ditanah sendiri. Pengorganisasian masyarakat lokal ini dibarengi dengan pengorganisasian dkalangan elit intelektual dan puncaknya adalah dengan turunnya Soeharto dari singasana pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan mahasiswa dan rakyat. Pimpinan nasional beralih secara konstitusional kepada wakilnya, BJ Habibie. Seorang ahli pesawat terbang. Pemerintahan transisi ini kemudian sangat menyadari bahwa bilamana pola kekuasaan masih sentralistik, niscaya “ banyak “ daerah-daerah kaya akan mengkuti jalan merah “ Timor-Timur “, keluar dari Indonesia. Didorong oleh keinginan menjaga keutuhan Negara, pemerintahan BJ Habibie merumuskan ulang konsep pengaturan pemerintahan dengan asas desentralisasi dan lahirlah UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah memberikan harapan baru bagi kelangsungan hidup Negara-bangsa Indonesia. Pengaturan mengenai desa kemudian “ dilebur “ menjadi bagi dari pemerintah daerah, berbeda dengan UU No 5 tahun 1979 yang secara khusus mengatur pemerintah desa. Namun kritik atas pemberlakukan UU ini khususnya oleh masyarakat di Kabupaten Landak adalah bahwa Rakyat Desa masih saja kehilangan kedaulatannya. UU No 22 tahun 1999 secara jelas menjadikan kembali Kepala Desa sebagai lembaga penting dalam pemerintahan desa. Walaupun UU No 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan badan perwakilan desa, namun dalam pengaturan selanjutnya kepala desa lebih banyak mendapatkan wewenang. Sebagai gambaran, jika pemerintahan desa terdiri dari 2 kekuatan itu, maka idealnya ada pengaturan yang berimbang untuk kedua lembaga ini. Dalam kenyataannya, UU telah memberikan porsi pengaturan lebih banyak pada lembaga kepala desa. Dari 19 pasal mengenai desa, 10 diantaranya khusus berkenaan dengan kepala desa dan hanya 1 yang berkaitan khusus dengan badan perwakilan desa. Contoh lainnya adalah persyaratan untuk menjadi kepala desa menyiratkan berlakunya konsekwensi bahwa penduduk desa lebih dilihat sebagai penduduk dalam arti administratif sehingga dalam syarat untuk menjadi kepala desa adalah setiap orang yang terdaftar sebagai penduduk ( de jure ) sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut atau putra desa yang ada diluar desa yang tidak terkena syarat domisili minimal 2 tahun berturut-turut. Tetapi pengertian putra desa juga rancu karena disebutkan bahwa yang dimaksud dengan putra desa adalah selain mereka yang lahir didesa yang bersangkutan dari orang tua yang terdaftar sebagai penduduk desa juga mereka yang lahir diluar desa kemudian pernah menjadi penduduk desa sehingga betul-betul mengenal desa.

Kepala desa dipilih langsung oleh rakyat desa. Ini menunjukan bahwa mekanisme demokrasi telah diterapkan bahkan dalam bentuk demokrasi langsung bukan perwakilan. Namun, kepala desa yang sudah dipilih warganya dengan suara terbanyak diangkat oleh Bupati/walikota atas nama gubernur. Ini merupakan konsekwensi bahwa pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi pemerintahan nasional yang selalu tergantung pada pemerintah diatasnya sehingga kepala desa tidak mandiri . Karena diangkat oleh bupati atas nama gubernur, maka kepala desa juga dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkatnya itu. Disinilah letak hilangnya kedaulatan rakyat desa.
Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini, maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya ( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara.

Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya dikampung-kampung.

Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati ) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal tersebut. Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal.

Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri. Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali.



BINUA YANG TERGERUS ZAMAN ( 3 ) Visi Pemerintahan Binua

Oleh Yohanes Supriyadi

Adalah Simon Takdir , seorang antropolog yang pertama kali membuat definisi binua. Menurut Simon, dari latar belakang sejarah peradaban orang Dayak Salako ( Kanayatn, pen) yang hidupnya berkelompok-kelompok menyebar untuk mencari wilayah kelola, binua inilah yang diwariskan mereka kepada generasi berikutnya sehingga menjadi wilayah leluhur ( ancestral domain ) yang kepemilikannya secara kolektive. Pada suatu saat, masing-masing kelompok ini pecah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil yang kemudian menjadi kampung-kampung. Dalam perkembangannya, kampung-kampung ini berdasarkan kesamaan geografis-ekologis dan genealogis mengikat diri dalam satu organisasi yang disebut Binua.

Selanjutnya Kristianus Atok dkk , pernah meneliti keberadaan binua ini selama beberapa tahun. Menurutnya pembentukan suatu Binua diawali dengan pembukaan hutan oleh leluhur yaitu orang pertama beserta keluarganya yang membuka hutan untuk bercocok tanam yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal sementara ( Parokng). Mereka berhasil untuk hidup dengan aman dan sejahtera menggunakan lahan yang ada. Hal ini tidak terlepas dari luasnya tanah yang dikelola serta penduduk yang hanya sedikit. Informasi tentang bagaiman hidup keluarga ini kemudian menyebar keseluruh penjuru negeri, dan berbondong-bondonglah keluarga mereka yang sebelumnya hidup ditempat lain kepemukiman mereka. Dan pasti, bertambahlah penduduk diparokng ini. Lama-kelamaan, karena banyaknya anggota komunitas, parokng ini menjadi kampung-kampung. Agar keseimbangan terjaga, mereka mengatur tata hidupnya dengan aturan-aturan yang tumbuh bersama-sama dengan pengalaman hidup sampai kemudian menjadi hukum dan untuk mengawal hukum itu, mereka membentuk pemerintahan dengan segala kelengkapannya. Dalam Penelitiannya, Kristianus Atok kemudian berhasil mengidentifikasikan berbagai unsur sosial-budaya-politik yang tampak dari sistem pemerintahan binua pada zaman itu adalah (1) sumber penghidupan warga adalah tanah yang dimanfaatkan dengan sistem pertanian atau perkebunan ( 2 ) teknologi pertanian, perkebunan umumnya masih rendah. Kekuatan keluarga untuk berproduksi terbatas pada subsistence ( produksi untuk keperluan hidup keluarga sendiri, tidak untuk pasaran ) ( 3 ) tata hidup dan tata hubungan sosial didalam masyarakat berkembang untuk sosial subsistence ( keperluan sosial sendiri ) dengan menggunakan kekuatan pengalaman hidup sendiri. Perkembangan ini menciptakan adat yang didalam beberapa hal menguat menjadi hukum adat dan menjadi landasan pemerintahannya dengan segala perlengkapannya ( 4 ) karena isolasi fisik dan kultural yang dialami dalam waktu panjang, maka sistem sosial masyarakat lebih kuat bersifat kolektif daripada bersifat individualistik. Jadi, dengan demikian definisi binua adalah kumpulan orang-orang yang hidup tersebar dibeberapa pemukiman yang mengakui sejarah asal-usul, adat-istiadat dan hukum adat, pemimpin dan sistem pengelolaan sumber daya alam yang sama. Namun demikian, oleh masyarakat adat yang hadir dalam Lokakarya Masyarakat Adat Antar Daerah Aliran Sungai se-Kabupaten Landak pada tanggal 29-31 Juli 2004 , definisi ini ditambahkan bahwa sejumlah binua memiliki kesamaan yang secara umum bisa dibedakan dengan kumpulan binua-binua lainnya dengan menggunakan ciri-ciri sejarah asal-usul dan bahasa yang digunakan.

Menyadari bahwa UU No 5 tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa tidak lagi sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada pasal 18, yang menyatakan perlunya negara menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa, maka UU No 22 tahun 1999 memandang perlu untuk menegaskan bahwa pengaturan mengenai pemerintahan desa berlandaskan pada keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan masyarakat . Mengacu pada pasal 18 UUD 1945 itu, maka visi pengaturan desa dapat ditafsirkan muncul berkaitan dengan adanya pengakuan dari pendiri negara bahwa dalam kenyataannya, jauh sebelum negara ini terbentuk sudah ada komunitas-komunitas dengan sistem sosial yang asli. Komunitas-komunitas itu dapat disebut sebagai desa, nagari, binua, kampung, gampong dan sebagainya . Implikasi dari pengakuan itu adalah adanya penghormatan pada satuan-satuan sosial asli komunitas-komunitas yang beragam bentuknya. Penghormatan yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh pendiri negara tersebut ? dalam penjelasan Supomo pada rapat BPUPKI tanggal 11 juli 1945 terungkap bahwa penghormatan pada komunitas-komunitas asli tersebut diberikan pada keberadaan susunan aslinya serta perbaikan pada susunan asli tersebut . Implisit dari pernyataan tersebut adalah bahwa penghormatan bukan sekedar menjaga keaslian dari sistem sosial komunitas-komunitas tersebut tetapi juga membuat perubahan agar sistem yang asli tersebut menjadi lebih baik.

Baik tentunya adalah konsep nilai yang sangat subjektif sehingga membuka peluang untuk ditafsirkan beragam. Misi penyeragaman desa yang dibawa oleh UU No 5 tahun 1979 misalnya dari perspektif pemerintah bisa saja dianggap sebagai upaya perbaikan pada komunitas desa. Namun, bagi komunitas desa yang bersangkutan penyeragaman dengan segala implikasinya bisa jadi bukan perbaikan tetapi perusakan tatanan sosial yang sudah mereka kenal turun-temurun . Jika demikian halnya apakah kebaikan tidak layak lagi diperdebatkan karena sifatnya yang sangat subjektif itu ? menurut saya, justru keberadaan UU No 22 tahun 1999 yang merupakan salah satu wahana pengaturan pemerintahan daerah termasuk desa sebagai subsistemnya dan hubungan pemerintah dengan rakyat, membuka kesempatan bagi kita untuk merenungi kembali apa yang esensial dalam menafsirkan pengaturan perundang-undangan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan “ desa “ yang baik.

Disini kembali konsep “ baik ‘ menjadi krusial untuk dibahas. Kita harusnya menyadari bahwa meskipun konsep baik, dapat saja terperangkap pada kepentinga-kepentingan subjektif, dan tentunya patut disadari bahwa masih ada sisi-sisi universal yang dimunculkannya, yakni pemenuhan sesuatu yang menjadi hak asasi manusia. Dengan demikian, segala upaya perbaikan ditanggapi sebagai upaya pemenuhan hak asasi, bukan sekedar proyek untuk memenuhi obsesi dari pihak yang berkuasa. Pemenuhan hak asasi manusia adalah visi penting yang ingin dicapai dengan sistem pemerintahan binua sesuai UU No 22 tahun 1999 dalam wadah negara kesatuan republik indonesia. Visi inipula yang memberikan konteks penafsiran dari landasan pengaturan “ desa “ yang disebutkan dalam UU No 22 tahun 199 sebagai kenakeragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan. Atas dasar pemenuhan hak asai manusia itu, pada semiloka perencanaan strategis multipihak Kabupaten Landak yang diadakan tanggal 23-26 juni 2004 lalu, pengembalian sistem pemerintahan binua dimaksudkan untuk mencapai visi “ Terwujudnya kehidupan masyarakat Kabupaten Landak yang berdaulat, aman, adil, makmur dan demokratis “ Kedaulatan adalah kenyataan sekaligus peneguhan hak dari komunitas masyarakat adat dari zaman kezaman. Dengan jati diri yang kuat, memberikan legitimasi pada perkembangan sistem sosial yang beranekaragam, sehingga segala upaya penyeragaman adalah pelanggaran hak atas kedaulatan.

Aman adalah sesuatu yang dicita-citakan oleh umat manusia. Semua orang ingin hidup aman, damai dan bebas dari rasa takut. Aman dan damai dalam hidup berdampingan antar etnis, agama. Tidak ada konflik kekerasan antar etnik dan agama. Bebas dari rasa takut karena serangan perampok, pencurian dan perampasan. Dengan demikian juga aman untuk berusaha meningkatkan kesejahteraan hidup. Adil adalah sikap yang selalu dipertahankan. Menciptakan rasa adil dengan memperlakukan seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi. tidak ada tirani mayoritas atas minoritas. Semua itu tercermin dalam pandangan adil ka talino, yang artinya berlaku adil terhadap sesama manusia. Adat adalah alat perekat menciptakan keadilan. Dengan adat, keseimbangan hidup antara manusia dengan alam, antara manusia dengan pencipta dan antar sesama manusia . Makmur dalam arti kata terpenuhinya kebutuhan dasar sebagai manusia. Semua itu tercermin dengan kecukupan pangan, perumahan yang layak huni, kesehatan terjamin, usaha ekonomi maju sehingga pendapatan meningkat. Dan Demokratis terwujud dalam pola kepemimpinan yang bercorak egaliter. Semua orang mempunyai hak berpendapat dan berserikat. Dengan kondisi ini, diwajibkan bahwa pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dengan musyawarah. Salah satu wujud lain dari demokrasi binua adalah adanya lembaga perwakilan rakyat binua ( Bide Pamane Binua ) yang refresentatif dan berfungsi mengemban amanat rakyat binua untuk mengatur tertib kehidupannya.

Kedaulatan, aman, adil, makmur dan demokratis adalah hal-hal yang telah terengut selama pemberlakuan UU No 5 tahun 1979 . Karena itu diperlukan pemulihan hak pada kelima hal tersebut. Pemberdayaan adalah salah satu upaya untuk pemulihan hak sekaligus pengembangan kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi komunitas binua. Pemberdayaan yang diartikan sebagai proses pemulihan dan pengembangan hak tersebut dilakukan sendiri oleh komunitas binua. Pemberdayaan merupakan perubahan dalam kehidupan komunitas binua, hanya merekalah yang paling berkompeten mengetahui perubahan apa yang diperlukan dan menetapkan cara untuk perubahan itu. Namun kenyataan menunjukan bahwa perengutan hak asasi komunitas binua selama ini menyebabkan kapasitas untuk memberdayakan dirinya sendiri sedikit demi sedikit terkikis. Semua itu tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah orde baru dengan memaksakan penyeragaman desa diseluruh nusantara .



BINUA YANG TERGERUS ZAMAN ( 2 ) Sejarah Asal-usul Pemerintahan Binua

Oleh Yohanes Supriyadi

Tidak ada catatan tertulis mengenai sejak kapan pemerintahan binua ada. Namun untuk bahan rujukan, kisah terbentuknya pemerintahan binua dapat kita runut dari mitologi penciptaan hukum adat Dayak Kanayatn yang diceritakan tetua-tetua adat secara turun-temurun. Adalah Karohong dan Dayakng Dinar, sepasang suami istri dari kampung Pakana yang mula-mula menyusun hukum adat khususnya adat perkawinan. Susunan adat ini telah banyak yang menyetujuinya, tapi ada beberapa orang yang menentang. Rombongan penentang ini dipimpin oleh Sule Sampayangan Bakuning Bayar dengan seorang kawannya, Ure Nyabung Bakute Alo. Kedua orang ini sangat menetang susunan hukum adat. Karena tidak ada kata sepakat, terjadi pertempuran sengit antara Sule Sampayangan Bakuning Bayar dan Ure Nyabung Bakute Alo dengan Abang Karohong dan istrinya yang mengakibatkan sepasang suami istri ini tewas. Pertempuran terus berlanjut, pendukung susunan hukum adat selanjutnya dipimpin oleh Udana, seorang yang bergelar Singa. Oleh Singa Udana, kedua orang penentang ini tewas. Dengan kemenangan yang gemilang, Singa Udana telah dapat mempertahankan serta melanjutkan cita-cita berhukum adat, yang telah menertibkan hidup berkeluarga masyarakat.
Ramaga, anak tertua Singa Udana menggantikan bapaknya menjadi pemimpin rakyat. Oleh Ramaga, suatu hari diundang kekampungnya 2 orang Singa disepanjang daerah aliran sungai Karimawatn ( kini sungai mempawah ), yakni Singa Matas yang berkuasa atas tanah binua disebelah kanan mudik sungai karimawatn yang melingkungi daerah Pakana dan seluruh kampung-kampung dipesisir sebelah kanan sungai karimawatn. Matas tinggal dikampung Titi Antu,yangterletak dipinggir sungai mempawah yakni antara binua Ohak dengan Binua Samayak . Matas tinggal bersama istrinya yang bernama Dale Nibukng dengan anak-anaknya Icap, Rawa dan Raga. Kelak anak-anak Matas ini menjadi kepala binua/ Singa juga. Serta Taguh alias Usutn, seorang Singa yang berkuasa disebelah kiri mudik sungai karimawatn. Kedua orang ini sebenarnya adik-beradik. Hukum adat yang dipegang oleh kedua saudara ini menarik perhatian pemerintah Landscaap ( Kolonial Belanda ). Oleh pemerintah, seluruh Tuha Kampokng ( Kepala Kampung ) dan Singa diundang berkumpul dan merumuskan serta menuliskannya. Pertemuan itu diadakan dikampung Sunga’. Kemudian hari untuk mengenang pertemuan itu, nama kampung ini diubah menjadi Karangan .

Untuk melengkapi argumen diatas, mari kita lihat sejarah kerajaan Mempawah sekarang. Sebelum terkenalnya nama kerajaan Mempawah, telah ada jauh kebelakang berdiri sebuah perkampungan besar yang dihuni warga Dayak yang sangat populer dipimpin oleh seorang Panglima yang sangat sakti bernama Gumantar. Beliau bergelar Patih. Pusat perkampungan ( pemerintahan ) Gumantar berkedudukan di dekat pegunungan Sadaniang daerah Sangking sekarang. Perkampungan yang dipimpin oleh Gumantar sangat mewah, ramai dan terkenal hingga diseluruh penjuru negeri. Kemasyuran komunitas ini kemudian merangsang Patih Gajahmada dari Kerajaan Majapahit untuk berkunjung dalam rangka mempersatukan seluruh nusantara. Sebagai tanda persahabatan, Patih Gajahmada memberikan keris Susuhan kepada Gumantar. Keris ini hingga kini masih disimpan oleh rakyat di kampung Pakana . Untuk mengenang Patih Gajahmada, seluruh rakyat di wilayah Sadaniang hingga Pakana kemudian menganugerahi Gumantar dengan gelar Patih. Patih Gumantar mati dikayau oleh suku Biaju kira-kira tahun 1400 . Kira-kira tahun 1610, pemerintahan Patih Gumantar kemudian dilanjutkan oleh seseorang yang tidak mempunyai kaki dan tangan sejak lahir sehingga ia diberi nama Kudung . Karena kesaktiannya ia diangkat oleh rakyat menjadi pemimpin dan bergelar Panembahan Na’ Bapusat Nang Badarah Putih. Oleh Kudung, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Pakana. Beliau hidup aman dan sejahtera dengan istrinya yang bernama Putri Berkelim. Setelah Kudung wafat dan dimakamkan disebuah bukit , belakang kampung Pakana sekarang, Sengaok diangkat rakyat menjadi pemimpin selanjutnya. Sengaok kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Pakana ke kampung Singaok, hilir sungai karimawatn . Pemimpin ini suka sekali berpetualang, berlayar dari satu pulau kepulsu lainnya untuk menambah kesaktiannya. Ia juga gemar bermain perempuan. Suatu hari, di Kerajaan Batu Rizal Indragiri Pulau Sumatera ia mendapat seorang gadis cantik bernama Putri Cermin. Dan atas restu kedua orangtuanya gadis itu dipersuntingnya menjadi permaisuri. Namun setelah mendapat istri yang cantik sekalipun, Singaok tetap saja mencari gadis-gadis cantik untuk diperistrinya. Ketika berlayar kehulu sungai karimawatn, rombongan Singaok mendapati seorang perempuan yang dikiranya masih gadis sedang menjemur padi di halaman rumah panjang. Singaok amat tertarik dengan kecantikannya dan bermaksud untuk memperistrinya. Dicarilah akal dan suatu hari dengan rombongan yang cukup besar, perempuan itu diculik untuk dibawa keistana. Warga kampung, pada saat penculikan itu tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa karena takut. Beberapa warga berinisiatif untuk melapor kepada suaminya yang sedang bekerja diladang. Suami perempuan itu adalah Bangka’, seorang sakti yang sangat disegani oleh penduduk kampung Titi Antu dan sekitarnya. Mendengar istrinya diculik oleh raja, tentu saja Bangka’ marah luar biasa. Segera saja ia membunuhi rakyat kerajaan Singaok disepanjang aliran sungai serta memerintahkan setiap penduduk laki-laki untuk membunuhi rakyat dari Kerajaan Singaok dengan mengatasnamakan dirinya.

Pada perselisihan berdarah itu ratusan orang warga kerajaan Singaok terbunuh sia-sia, dan puncaknya adalah terusirnya raja Singaok hingga kemuara sungai karimawatn, pesisir pantai laut cina selatan. Akibatnya, kerajaan Singaok hampir saja hilang. Rakyatnya terpencar biar tanpa pemimpin. Rakyat darat kemudian berencana mengangkat Bangka’ untuk menjadi raja, namun Bangka’ menolak. Alasan satu-satunya alasan bagi Bangka’ adalah membalas sakit hatinya atas kesewenang-wenangan raja kepada rakyatnya sendiri. Karena kehilangan pemimpin yang sudah cukup lama, oleh permufakatan rakyat binua darat, diutus tiga orang Singa untuk menemui raja yang mengungsi dimuara sungai agar raja kembali memerintah. Namun tawaran itu dipenuhi raja dengan syarat yakni nyawa seluruh anggota kerajaan harus ditanggung oleh rakyat. Syarat itu dipenuhi utusan penduduk itu dan dikemudian hari mereka diangkat menjadi Timanggong , yang artinya menanggung jiwa raja. Dalam arti kamusnya, Timanggong adalah penanggung jawab .

Itulah sebabnya, hingga kini gelar bagi pemimpin rakyat dibinua bergelar timanggong. Dari cerita diatas, dapat diperhatikan bahwa paling tidak ada 3 gelar pemimpin rakyat yang terkenal masa lalu, yakni Singa, Patih dan Timanggong . Gelar pemimpin ini sangat dikenal oleh masyarakat yang hidup didaerah aliran sungai mempawah ( Karimawatn Sakayu’ ). Patut dicatat bahwa gelar ini pada setiap daerah aliran sungai sangat bervariasi namanya. Di daerah Menyuke misalnya pemimpin rakyat ini bergelar Ria . Penamaan ini terkait erat dengan cerita asal-muasal suku ini. Tahun 1370 , Tarik Masehi, dikampung Jarikng Kec. Menyuke sekarang, terkisahlah 2 orang pemimpin rakyat bernama Kaleder bersama istrinya yang bernama Anteber. Tujuh tahun menikah, mereka melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Ria Jambi. Setelah dewasa, Ria Jambi menikah dengan seorang perempuan muda dari gunung Bawang ( Kab. Bengkayang sekarang ) bernama Ngatapm Barangan . Mereka dikaruniai lima orang anak yang bernama Ria Kanu, Ria Tano, Ria Rinding, Ria Tanding dan Ria Jane. Suatu ketika Ngatapm Barangan pulang ke kampung halamannya dan menikah lagi dengan seorang pemuda sakti bernama Bujakng Nyangko dari bukit Samabue ( Kec. Menjalin sekarang ). Dari pernikahan Bujakng Nyangko dengan Ngatapm Barangan lahirlah seorang putra yang bernama Ria Sinir. Suatu ketika, oleh ibunya Ria Sinir disuruh mencari burung rangok ( enggang ) untuk dijadikan sebagai salah satu syarat untuk bersunat.

Dalam perjalannya Ria Sinir tersesat dihutan hingga masuk kesebuah perkampungan bernama Jarikng dan mendapati anak-anak seusianya sedang bermain gasing. Tanpa malu dan takut, Ria Sinir ikut serta bermain gasing. Ia berani memangka gasing yang sedang dimainkan anak-anak itu. Suatu ketika, gasing yang dipangka Ria Sinir terpelanting dan memecahkan tempayan milik Ria Jambi. Karena takut dimarahi, Ria Sinir menghilangkan diri. keesokan harinya ia datang lagi dan kembali bermain gasing. Tanpa diketahui Ria Sinir, rupanya Ria Jambi memperhatikan permainan itu dan meminta Ria Sinir untuk naik kerumahnya. “ darimana engkau datang ? tanya Ria Jambi. Anak itu menjawab “ saya datang dari gunung bawang. Ibuku bernama Ngatapm Barangan dan ayahku Bujakng Nyangko “. Kedua orang ini sangat dikenal oleh Ria Jambi dan segera memutuskan dalam hatinya bahwa anak ini ternyata anakku juga yang telah lama tidak dilihat lagi. Oleh Ria Jambi, Ria Sinir kemudian diangkat menjadi anaknya. Setelah dewasa, Ria Sinir menikah dengan seorang putri dari kampung Selimpat bernama Dara Itapm . Mereka dikaruniai anak kembar bernama Lutih dan Kari. Kedua anak inilah kelak menjadi pemimpin didua wilayah pemerintahan, pemerintahan darat atau hulu yang dipimpin oleh Lutih dan pemerintahan laut atau pesisir oleh Kari.

Berangkat dari cerita-cerita rakyat diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa ribuan tahun silam, telah ada pemerintahan binua. Jauh sebelum pemerintahan penjajah Belanda dan kerajaan-kerajaan melayu. Cerita penyusunan hukum adat dan adat –istiadat zaman Ne’ Matas dan Taguh Pak Usutn dan pemerintah landscaap ( Kolonial Belanda ) berhasil mengumpulkan tetua-tetua adat serta Singa-Singa Binua dan Timanggong Binua dikampung Sunga’ ( Karangan ) untuk menyusun hukum adat menjadi bukti bahwa pemerintah kolonial tidak mencampuri urusan pemerintahan lokal beserta hukum-hukumnya. Oleh karena itu, Timanggong/Singa/Patih atau nama lain sebagai pemimpin rakyat sangat dihormati oleh seluruh lapisan masyarakat maupun pemerintahan penjajah.

Timanggong memegang peranan yang sangat penting untuk mengurusi segala urusan yang berkenaan dengan rakyat baik urusan keatas maupun kebawah. Timanggong dipilih oleh rakyat dari beberapa kampung dalam lingkungan ketimanggongannya. Jika seorang tamu, baik tamu orang biasa ataupun tamu bertugas dalam pemerintahan dan tak melalui timanggong, kemungkinan besar tamu yang bersangkuta tak ada perhatian dari masyarakat. Dan apabila kita mendatangai satu daerah dan terus menghubungi timanggong, pasti segala urusan kita, apa saja urusan itu akan dilayani dengan sepuasnya.

Selain urusan keperluan kita beres, terjamin pula kebutuhan makanan, tempat nginap terlebih soal keamanan . Perlu diingat bahwa Timanggong mempunyai jabatan rangkap, sebagai kepala adat, kepala dari beberapa kepala kampung/Tuha Kampokng, kepala agama , kepala dukun, kepala hukum dan apa saja yang ada sangkut paut dengan rakyatnya. Timanggong menjadi penanggung jawab dalam segala urusan dalam seluruh kampung-kampung yang ada diwilayah ketimanggongannya.

Rakyat pada umumnya sangat patuh dan taat kepadanya dalam segala keputusannya . Semua Tuha Kampokng dalam wilayah ketimanggongnnya selalu meminta petunjuk dan cara apa saja dari timanggong. Timanggong adalah seorang cakap, gagah berani, snaggup menghadapi segala tantangan apa saja, disegani rakyatnya, rajin, berkelbihan harta benda dan benar-benar berwibawa. Kelayakan kepemimpinan yang demikian biasanaya diturunkan kepada anak cucunya yang kelak meneruskan jabatan dalam pemerintahan binua .

Ada pula dewan yang terdiri dari orang-orang tua kampung dan binua yang dianggap ahli dalam adat dan hukum. dibeberapa binua, dewan ini disebut Bide Binua. Bide merupakan penasehat yang mendampingi timanggong dalam soal-soal adat dan hukum. dalam menjalankan pemerintahannya, timanggong dibantu oleh Pangalangok Binua , yakni seorang pemberani dan sakti yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Pangalangok juga diserahi tugas untuk menjaga tempat-tempat pemujaan/ situs yang dipercaya sebagai tempat tinggal roh-roh nenek moyang . Ditempat ini masyarakat meminta bantuan keamanan bila dalam keadaan bahaya dengan perantara pangalangok binua, bide binua dan timanggong adalah pemimpin masyarakat dibeberapa kampung. Melalui ketiga lembaga inilah keamanan seluruh kampung, hak pengelolaan sumber daya hutan milik binua dijaga .

Ditingkat kampung, warga kampung mengangkat seorang Tuha Kampokng ( Kepala Kampung ) sebagai pemimpinnya. Tuha kampokng berkewajiban untuk bekerjasama yang harmonis dengan timanggong sebagai penanggung jawab seluruh kampung-kampung. Dalam menjalankan pemerintahannya, kepala kampung dibantu oleh beberapa orang ahli adat dan hukum, yakni Pasirah dan Pangaraga, yang bertugas melaksanakan dan mengayomi hukum, tuha tahutn yang bertugas melaksanakan adat-adat pertanian dan mengkoordinir kegiatan tuha-tuha aleatn ( ketua kelompok tani ) dalam pekerjaan tani .



BINUA YANG TERGERUS ZAMAN ( 1 )

Oleh Yohanes Supriyadi

Saya menganggap semangat perjuangan masyarakat adat saat ini ( untuk kembali ke sistem pemerintahan binua=asal-usul ) penting, karena sebagai generasi penerus bangsa ini, selayaknya kita tidak MELUPAKAN SEJARAH !!!, Bung Karno, pendiri Negara RI mengajarkan kepada kita semua untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah. Benarkah kita telah melupakan sejarah ? Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 2000, Landak telah menjadi Kabupaten otonom berdasarkan UU No 55 tahun 2000 yang diundangkan pada tanggal 4 Oktober 2000. Namun, diusianya yang kedelapan ini, kita masih saja bertanya-tanya, darimanakah istilah ini berasal ? Banyak versi darimana kata Landak ini berasal. menurut ahli antropoligis barat, yang telah berada ditengah-tengah pulau Borneo awal abad ke -19, istilah Landak berasal dari dua kata, Land dan Daya. Land artinya Tanah dan Daya artinya hulu. jadi, menurut mereka, Landak berarti tanah ( wilayah ) yang didiami orang-orang hulu ( baca;hulu sungai ). Versi lainnya Landak berasal dari nama binatang hutan, yang hidup dilobang-lobang tanah bernama Landak. Landak memiliki bulu yang tak lazim pada binatang lainnya, sangat tajam dan panjang-panjang. tidak heran, binatang ini ditakuti oleh binatang lainnya maupun pemburu. Banyaknya versi tentang darimana istilah landak berasal tentu saja mengkhawatirkan kita sebagai masyarakat adat yang hidup diwilayah Kabupaten Landak dewasa ini. Bukti diatas menyatakan kepada kita semua bahwa kita telah mulai kehilangan sejarah dan mungkin saja cerita diatas hanya segelintir dari bukti-bukti kita telah kehilangan sejarah. Kalau polisi menangkap calon tersangka/terdakwa berdasarkan bukti dan saksi, kalau Jaksa menuntut terdakwa/tersangka berdasarkan bukti dan saksi dan kalau Hakim menetapkan tersangkja/terdakwa berdasarkan bukti dan sakis. Terus, kalau pihak lain menetapkan kita sebagai masyarakat adat, apa bukti dan saksinya ?.salah satu bukti dan saksi bahwa kita masih bisa dikatakan sebagai masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun diwilayah itu adalah adanya tembawang/timawakng. Tembawang/Timawakng adalah bekas perkampungan zaman dulu. disitulah hidup nenek moyang kita, karenanya ia telah menjadi situs asli masyarakat adat. Tembawang bisa menceritakan kepada kita bahwa dulunya disitu ada kehidupan. Padahal, dari tembawang, kita dapat meneliti sejarah asal-usul keberadaan nenek moyang kita, untuk diceritakan kepada anak-cucu dikemudian hari Kini tembawang telah hancur dan nyaris hilang oleh tangan-tangan serakah. Yang menyedihkan adalah tangan-tangan serakah itu juga berasal dari anak-cucu dari pendiri, penjaga tembawang. Karena berbagai persoalan ( katanya ekonomi ), dimana-mana, kita tidak lagi menjumpai adanya tembawang yang masih asli dan utuh.

Bukti lain dari kita telah kehilangan sejarah adalah lenyapnya situs-situs keramat, misalnya Pantak, Padagi, Pantulak, dll. Hilangnya pantak, dll itu banyak sebab, ada yang dicuri untuk dijual kepada penampung benda-benda keramat/kuno, atau ada yang dibuang begitu saja karena telah memeluk agama “baru “ yang menasional dan menginternasional. kepercayaan asli dianggap telah kuno, kafir, penyembah berhala, dan banyal lagi tuduhan negatif lainnya. Padahal situs-situs keramat itu dapat saja menjadi bukti bahwa kita adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadat. Fakta bahwa keramat apapun bentuknya telah ada sejak ribuan tahun silam, dan telah dipraktekkan oleh beratus-ratus generasi masyarakat adat. kini., sulit sekali lagi dijumpai tempat keramat yang masih asli dan utuh diwilayah Kabupaten Landak. Kita telah pula kehilangan lembaga/pemerintahan asli, yang bernama BINUA. sebelum kemerdekaan RI, pemerintahan Binua telah ada dan hidup berdaulat. Disanalah dipelihara berbagai macam aturan hidup manusia, hutan, situs kepercayaan, dll. Pemerintahan Binua dijalankan oleh tetua-tetua kampung yang pandai, terampil, berwibawa dan sangat bertanggung jawab. Secara moral, mereka teruji, karena tidak ada praktek korupsi, tindak asusila serta diskriminasi atas golongan tertentu. Mereka sangat menghargai perbedaan ( Pluralisme masyarakat ) yang ada diwilayahnya serta peka atas kecendrungan konflik antar warga. walaupun hidup dibawah tekanan pemerintah kolonial dan feodal, mereka tetap eksis dan mampu menjaga sistem pemerintahannya. Karena itu, rakyat sangat suka dan segan dengan pemimpin-pemimpinya yang duduk dipemerintahan Binua. Kini, sejak diberlakukannya peraturan-peraturan negara ( katanya negara telah merdeka ), pemerintahan Binua berusaha ditenggelamkan. pejabat-pejabat pemerintahan Binua hanya diperbolehkan untuk memimpin upacara-upacara keagamaan asli serta penyelesaian konflik antar warga. Sungguhpun demikian, toh mereka juga selalu diintervensi dalam membuat keputusan dan kebijakannya agar terjaga “kesinambungan pembangunan nasional”. Kini, generasi masyarakat adat nyaris kehilangan sejarahnya lagi. mereka lebih kenal dengan pemerintahan Desa ketimbang pemerintahan Binua. dan akan mungkin sekali, pemerintahan binua dianggap hanya sebagai sejarah masa lalu yang tak perlu diingat dan dipelajari atau bahkan dipraktekkan lagi dimasa sekarang ini. Kita telah pula kehilangan sejarah kampung !!!. ratusan nama kampung di Kabupaten Landak telah diubah menjadi nama yang berbau nasional. selain perubahan nama kampung, nama desa bahkan kecamatan juga demikian. berikut ini beberapa contoh perubahan itu.
Nama Kampung Asli Perubahan Itu
Tahumatn Tahumban
Amawakng Ambawang
Jarikng Jering
Subangki Sebangki
Samih Sambih
Sake’ Seke’
perubahan nama ini disatu sisi memang mudah untuk semua orang Indonesia menyebut atau menghafalnya, namun disisi lain bagi generasi masyarakat dikampung yang bersangkutan telah kehilangan sejarah kampung. Tim PAKAT ketika berkunjung di kampung Sake’ Kecamatan Mempawah Hulu terkejut dengan pernyataan seorang anak SMU kelas 3. ketika ditanya darimana asal mula nama kampung dan sejarahnya, ia sama sekali tidak tahu. bahkan untuk bertanya saja, ia bingung kepada siapa. Padahal setiap kampung mempunyai sejarah. Dari sejarah kampunglah, kita akan mengetahui sejauhmana peran masyarakat zaman dahulu dalam membentuk dirinya hingga terlihat seperti sekarang ini. dari sejarah kampung pula, kita akan mengetahui bentuk-bentuk teknologi, pengetahuan, kearifan serta kapasitas lokal yang sesuai untuk masa kini. Dari ulasan diatas, maka yang dapat dilakukan agar sejarah harus berulang di Kabupaten Landak adalah dengan meninjau ulang kebijakan pemerintah daerah melalui pembuatan berbagai Peraturan Daerah ( PERDA ) yang partisipatif khususnya tentang perubahan nama DESA menjadi BINUA berikut mengembalikan nama-nama kampung keasalnya, Perda tentang Penetapan daerah-daerah keramat ( pantak, dll ) serta Tembawang sebagai Lahan Lindung. situs-situs in dapat saja menjadi daerah wisata yang akhirnya meningkatkan PAD, serta tentang pendokumentasian sejarah yang dapat dijadikan bahan pengajaran muatan lokal disekolah-sekolah. Dengan tiga buah PERDA ini, Pemerintah Kabupaten Landak akan menuai pujian generasi kedepan, karena berhasil menempatkan CIRI KHASnya dalam ranah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga !!! Pada keadaan saat ini cukup beralasan untuk mengatakan bahwa mereka yang menyebut dirinya Masyarakat adat khususnya Dayak Kanayatn sedang berada di persimpangan jalan. Mereka berada di satu titik dimana berbagai perasaan berkecamuk, mulai dari bertanya Siapa Aku (nama sukuku), sampai kepada aspek-aspek kehidupan lainnya. Mereka sedang dalam posisi antara maju terus dengan apa yang ada sekarang, mundur beberapa langkah lagi kebelakang, berbelok kekiri atau kekanan untuk memilih sistem mapan pengaruh ORBA atau sistem peninggalan leluhur yang adati, atau kearah mana lagi, ikut arus keadaan atau malah diam ditempat menunggu sang khalik meneteskan kasihnya. Menurut kami, kebingungan memilih jalan ini sangat banyak dipengaruhi oleh sejarah perjalanan suku ini yang selalu diwarnai sebagai “Objek” dan sarat dengan stigma yang pada akhirnya menghasilkan generasi yang berbeban psikologis berat. Dayak Kanayatn seperti halnya suku-suku Dayak Lainnya di Kalimantan selalu menjadi objek misalnya saja “objek pembangunan” yang cerita tentang ini sudah demikian jelasnya, lalu sebagai objek” penelitian” yang latar belakangnya karena suku ini terbelakang, bodoh, primitif, dll yang apabila hasil kajiannya ditampilkan akan membuat pembaca menjadi kasihan, miris, prihatin, dll. Dari perjalanan yang penuh “objek” ini, orang Dayak untuk “setara” saja dengan orang lain, harus berjuang berat. Ditengah perjalanan menuju persimpangan inilah, 3 tahun lalu, ratusan tetua-tetua adapt suku Dayak Kanayatn berkumpul di Menjalin untuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Pada pertemuan pertama ini, muncullah gagasan bersama untuk KEMBALI KE SISTEM PEMERINTAHAN BINUA sebagai langkah terbaik utama menuju kedaulatan masyarakat adat. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pedalaman di Kabupaten Landak dewasa ini menunjukkan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pembaharuan pemerintahan. Rakyat Landak kini lebih vokal dalam menyuarakan kritik mereka terhadap pendekatan otoriter dan sentralistik yang digunakan dalam sistem pemerintahan selama ini. Rakyat menuntut pelayanan yang lebih baik, peningkatan akuntabilitas dan tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat. Masalah terbesar saat ini di Kabupaten Landak adalah berkembang-luasnya krisis legitimasi komunitas lokal sebagai ungkapan dari rasa ketidakadilan sosial, yang dalam hal ini menyangkut pengambilan keputusan berkenaan dengan akses, kontrol dan pemanfaatan kebijakan daerah yang dikeluarkan pemerintah daerah Kabupaten Landak.

MENGAPA PEMERINTAHAN DESA PERLU DIGANTI ?
Sebelum Indonesia menjadi sebuah negara Republik selama 350 tahun berada dalam penjajahan pemerintah Hindia Belanda dan jauh sebelumnya ada banyak kerajaan yang menguasai sebagian besar wulayah-wilaya yang sekarang ini menjadi wilayah Republik Indonesia ( Haryo Habirono, 2003 ). Selama masa itu, baik pada kerajaan maupun penjajahan telah tumbuh dan berkembang sistem-sistem pemerintahan baik dipusat-pusat kerajaan dan ditingkat desa atau nama lain. Waktu telah berlalu, kerajaan demi kerajaan datang silih berganti sampai dengan penjajahan belanda dan kini Indonesia merdeka. Pergantian–pergantian kekuasanan ini diikuti pula pergantian sistem pemerintahan baik ditingkat pusat kekuasaan maupun ditingkat desa atau nama lain.
Dalam perkembangannya, sistem pemerintahan lokal di seluruh Indonesia yang beranekaragam, dianggap menyulitkan ”tentara” dibawah Pemerintahan Orde Baru untuk mengontrol rakyat. Oleh karena itu, diciptakan konsep penyeragaman atas sistem pemerintahan ditingkat lokal. Pada Tanggal 1 Desember 1979 disahkan UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sepanjang masa berlakunya UU ini berikut peraturan pelaksanaannya, telah sukses menjalankan misi penyeragaman desa di seluruh tanah air. Desa dipilih oleh Pemerintah Otoriter Orde Baru selain karena politik unifikasi hukum juga karena kepentingan “pembangunan”. Dengan politik sentralisasi kekuasaannya, pemerintah Orde Baru “berhasil” melaksanakan pembangunan nasional dan mengharuskan pemerintah pusat untuk selalu mengucurkan dana kepada pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang banyak diantaranya telah dirancang oleh pemerintah pusat sendiri.

Kelahiran UU ini secara tegas mengobok-obok “desa’ lokal yang beragam dan tidak memperhatikan legitimasi sejarah desa yang bersangkutan sehingga pemerintah dengan gampangnya melakukan tindakan-tindakan pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa . Hal ini merupakan konsekwensi dari dianggapnya penduduk desa sebagai kumpulan orang-orang semata. Pada UU ini misalnya menyebutkan bahwa desa dapat dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat ( 1 ) luas wilayah ( 2 ) jumlah penduduk ( 3 ) dan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Dalam kasus ini misalnya muncul Permendagri No 4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Setidaknya ada 6 syarat pembentukan desa yang disebutkan dalam peraturan tersebut dan lima diantaranya berkenaan dengan syarat sosial budaya. Syarat fisik yang dimaksud adalah jumlah penduduk minimal 2500 jiwa atau 500 KK, luasnya harus terjangkau ( bagi aparat pemerintah ) untuk memberikan pelayanan dan pembinaan masyarakat, letaknya dapat diakses dengan mudah seperti tersedianya sarana perhubungan dan komunikasi, tersedia prasarana dan sarana perhubungan, sosial, produksi dan pemerintahan desa, tersedia tempat mata pencaharian sesuai dengan pola tata desa. Sedangkan syarat sosial budaya lebih banyak ditujukan pada adanya suasanan kerukunan antar umat beragama dan bermasyarakat. Dari syarat-syarat tersebut, bahkan syarat sosial budayapun sama sekali tidak dimasukan pertimbangan kondisi sejarah dari desa yang bersangkutan. Syarat sosial budaya “kelihatannya” dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya ekses dari kontak budaya yang sangat mungkin terjadi dengan rekayasa pembentukan, pemecahan dan penyatuan desa.
Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU tentang Desa kenyataannya masih saja mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara. Fakta sejarah menorehkan bahwa sebelum tahun 1970-an kepemimpinan tokoh masyarakat, pemuda adat, orang-orang yang dituakan dan pembuka agama masih sangat berpengaruh dalam masyarakat adat khususnya Dayak. Peranan dan kewibawaan mereka terhadap masyarakat cukup besar dan daya kepengikutan masyarakat terhadap mereka cukup tinggi sehingga berbagai masalah adat dan kesulitan hidup dimusyawarahkan oleh mereka dengan tokoh masyarakat tersebut untuk diperoleh jalan keluar. Sejak tahun 1970, terutama ketika sumberdaya hutan (SDH) di Kalbar mulai mengalami kehancuran (deforestation process), oposisi terhadap sumber kehancuran itu mulai timbul (Alqadire,1994a) diikuti secara perlahan dan pasti oleh menurunnya kewibawaan,kepercayaan dan peranan tokoh atau pemuka adat dalam masyarakat mereka.

Krisis kepercayaan terhadap adat pada umumnya dan terhadap pemuka adat pada khususnya mencapai klimaksnya dan terlihat jelas ketika dalam pertikaian antara anggota komunitas Dayak dengan komunitas Madura pedalaman yang terjadi pada tahun 1996/1997 pada peristiwa atau kasus Sanggau Ledo,Kabupaten Bengkayang (setelah pisah dari kabupaten Sambas) dan kasus Salatiga, Kabupaten Landak (setelah Kabupaten Pontianak di mekarkan), sebagian besar pemuda dan mahasiswa Dayak menendang dan tidak mau lagi mendengarkan himbauan tokoh adat mereka maupun pemuka agama Nasrani ( Katolik dan Protestan) untuk tidak bertindak anarkis. Para pemuda ini menganggap bahwa pemuka adat mereka tidak lagi mampu melindungi dan membina mereka. Pola pertikaian yang benuansa keberingasan dan kekerasan tampaknya lebih mudah timbul dipermukaan setelah perubahan kepemimpinan dan komunitas Dayak dipedalaman bersentuhan dengan pola kepemimpinan Desa, yang tidak mereka kenal sebelumnya dipedalaman Kalbar.
Saat ini desa atau nama lain merupakan unit pemerintahan yang terkecil dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Pada tingkat yang dibawa desa tidak ada lagi struktur pemerintahan kecualai struktur pe ngorganisasian seperti dusun, Rt, Rw. Berangkat dari struktur pemerintahan yangt terkecil inilah, didesa atau nama lain sesunggunya struktur-struktur pemerintahan yang ada diatasnya seperti kabupaten, Propinsi dan Pusat dibangun. Logika ini disampaikan dengan maksud bahwa struktur pemerintaan desa atau nama lain [pada akekatnya merupakan dasar atau fomdasi bagi struyktur-struktur pemerintaan yang ada diatasnya. Apabila struktur pemerintahan desa atau nama lain kacau, maka dapat dipahami bahwa struktur pemerintahan diatasnya juga kacau. Ibarat sebua bangunan rumah apabila fondasinya dasarnya kacau, rapu dan tidak dibangun dalam desai yang baik, maka bangunan ruma tersebut pasti juga tidak kuat dan muda roboh. Pertanyaannya adaah mengapa desa harus diruba di Kabupaten Landak ? beberapa alsan yang mendasarinya adalah sebagai berikut :

1. Produk Politik Orde Baru
pemerintahan desa dikukukan dengan UU No 5 tahun 1974 dan UU No 5 taun 1979, yang kemudian oleh Gubernur Kalbar ( Parjoko S ) dibuatkan SK Nomor 065 taun 1985 tentang regrouping desa. Dengan kekuasaan ini maka mulailah proses penghancuran tatanan kampung yang demikian sudah baik. Kampungt-kampung yang berdekatan disatukan menjadi satu (1) Desa. Proses penggabungannya pun tidak melalui studi kelayakan yang baik, sehingga ada kampung yang tidak memiliki akses transportasi/perubungan yang memadai kepusat desa padaal kampung tersebut lebi tepat bergabung dengan desa sebelanya yang memiliki akses transportasi, dan historis. Contoh lkasus di kampung Ansiap Desa Ansiap, kampung ini santgat dekat dengan Desa Tempoak Kec. Menjalin namun oleh pola regrouping diga bungkan dengan Kecamatan Toho. Demikian pula dengan kampung Gutok Desa Ansiap, kampung ini lebi dekat dengan Desa Caong Kec. Mempawa Hulu Kab. Landak namun digabungkan dengan Desa Ansiap Kec. Toho kab. Pontianak. dan masih banyk lagi kampung-kampung lainnya yang tumpang tin dih satu sama lain.

2. Birokrasi Pemerintahan Tidak Efisien
Dulu, sebelum UU No 5 taun 1974 dan 1979, setiap kampung dipimpin ole seorang Kabayan ( pakpong ). Waktu itu, kampung sangat otonom dan tidak ada lembaqga lain yang dibentuk pemerintah. Uriusan pemerintaan yang harus dilakukan setiap warga sangat praksis, mereka cukup b berhubungan dengan Kabayan dan biayanya hampir tidak ada. Karena si Kabayan tela memperoleh haknya berupa Ari Tuha, yakni warga kampung wajib bekerja diladang Kabayan beberapa hari dalam setahun. Itula onornya Kabayan. Jadi penyelenggaraan pemerintahan sangbar murah, cepat dan memuaskan warga. Dengan keghadiran UU ittu, semua yang sudah baik iini menjadi hancur. Birokrasi pemerintaan menjadi sangat jau dari warga, biaya pengurusazn KTP menjadi san gat mahal dan berbelit-belit, belum lagi mengurusnya harus pergi kepusat desa ( kampung yang lain ) yang jalannya jelek danb jauh. Contoh kasus sepergti yang dialami Pak Soman dari kampung Tahumatn, untuk membuat KTPnya dia mesti pergi ke kampung Rees pusat desa. Jalan ke Rees sangat jelek dan jauh, dia harus berjalan kaki bisa setengah hari baru tiba di kampung Rees, ittupun kalau Kepala Desanya ada dirumah kalau tidak ada dirumah misalnya keladang, maka dia harus men ginap semalam di Rees. Lucuya untuk menuju kampung Air Mati Desa Toho Ilior Kecamatan Too Kabupaten Pontianak, dia hanya menempuh perjalanan 1,5 jam saja. Jadi sistem desa suata pemb orosam yang tidak perlu, segala urusan jadi sangat mahal dan tidak efisien.

3. Jarak Pelayanan
mari kita lihat kasus di Desa Nangka Kec. Menjalin. Desq ini terdiri dari beberap kampung sweperti Nangka, Jungkung, Nyawan Ulu, nyawan ilir, Duling dan Konyo dengan penduduk 780 KK. Jarak dari kampun g Nantgka kemapung-kampuing lainnya berkisar 3-7 Km. Kepala Desanya berasal dari Konyo, berjarak sekitar 3 Km dari Nangka sebagai Pusat Desa. Kalau setiap hari dia kekantor, keluarganya pasti tidak dapat makan, karena gajinya sebagai Kades hanya Rp 60.000/3 bulan. Sesuatu yang tidak mungkin, dia mampu melayani 780 KK dengan jumlah jiwa 2.000-an. Sesuatu yang vtidak mungkin. Bandingkan kalau dia hanya mengurus kampung Konyo dentgan KK sebanyak 67 KK saja, tentu saja jasaq dari pemerintah yang ada masi dapat digunakan untuk keluarga ditamba Ari Tuha.

4. Keberpihakan Pemerintah Desa
dengan status yang dipandang sebagai pimimpinan desa, keidupan yang pas-pasan tentu tidak bisa bertahan lama. Sangat masuk akal kemudoian dioa memberikan peluang piak lain ( penanam modal baik legal maupun ilegal ) masuk kedesanya, tentu dengan imbalan yang memadai, walaupun sebagian besar vwarganya menolak kehadiran pihak luar tersebut. Maka jadilah seorang pemimpin didesa nenihak kepada atasannya yang memang mengundang pihak luar masuk diedesanya. Tidak kuat berhadapan den gan warga sendiri, maka dia mendatangkan aparat keamanan dengan alasan mengaqmankan jalannya pembangunan. Dulu seortang Kabayan sangat dfiprmati warganya bdan sangat berwibawa, karena dia di;pilh setelah men galamai seleksi alamiah berdasarkan kriteria yang diinginkan warga sekampungnya, bukan kriteria pemerintah. Warga sangat indepemden dalam mementuklan pimpinannya. Tapi sekarang denga status desa, yang katanya sangat demokratis dengan pemilihan secara juredil, dan kriteria yang ideal ternyata yang terpilih yan g panmdai bermain politik. Jadinya kepala desa tidak berwibawa dihadapan warganya. Di Desa Caong ( Kec. Mempawah Hulu ), Agustus 2003, kantor Kepala Desa dibakar dan Kepala Desa terpilih diusir dari kampungnya, karena kettidakmampuannya beradaptasi dan banyak kasus lainya terkait hukum adat warga setempat.

5. Kehancuran Inisiatif Lokal
disetiap kampung selalu dijumpai keunggulan-leunggulan yang tidak dijumpai dikampung lain. Dikampung Nek Tune Desa Parigi Kec. Mempawah Hulu, warganya sangat kompak membangun sebua gedung untuk sekolah dasar secara swadaya. Serta membangun instalasi air bersi denagn menggunbakan bambu. Semua ini atas inisiatif warga kampung. Kalau harus menunggu kebijaksanaan pemwerintah desa, p[astila bukan kampung mererka yang diutamakan ( boasanya dipusat desa saja ). Namun dengan regrouping desa, inisiatif ini menjkadi hilang, karena selalu terkait dengan dana subsisdi desa, instruksi pemedrintah, dsb.

6. Hilangnya Semangat Gotong Royong
dulu ketika akan membangun jalan kampung, setiap kepala keluarga menirim wakilnya untuk kerja gotong royong. Banyak hal lain yang dilalukan dengan cara seperti ini. Wwarga kampung tidak tergantung dengan piak lain untuk me3wngerjakan sesuat yant mememang mereka butukan. Tetap[I sekarang, dengan adanya Desa yang ada subsidinya, kalau tidak ada dana imbal/upah hampior pasti warga tidak mau kerja. Dengan Kata lain ketergantungan masyarakat terhadap progaram pembangunan desa yang katanya lebih efesien, begitu tinggi.


7. Pengakuan Asal-Usul
UU Seragamisasi Struktur Desa yang diberlakukan pada masa orde baru ternyata berimplikasi sangat luas dalam banyak bidang. Disamping beberapa hal yang telah terurai diatas, satu contoh kecil lainnya adalah kehilangan asal usul. Nama sebuah kampung, misalnya kerap diganti dari nama aslinya menjadi nama yang berbau Jawa/Melayu dengan alasan kemudahan dalam lafal (ejaan). Sebagai contoh “
Sunge’ (sungai) Banokng ………….Menjadi Sungai Bandung
Sunga’ ………….Menjadi Karangan
Manur ………….Menjadi Mandor

Sepintas lalu perubahan satu huruf atau penghapusan tanda apostrof (‘) pada masing-masing nama tempat/wilayah yang dirubah tidak berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat, tetapi jika dikaji lebih dalam perubahan tersebut sesunggunya adalah penghilangan/pengkaburan sejarah/asal usul masyarakat diwilayah tersebut. Bagi masyarakat Dayak setiap jengkal tanah (wilayah) umumnya diberinama berdasarkan ciri alam (misalnya jenis kayu atau binatang yang banyak didaerah tsb), sejarah/legenda, atau nama pemiliknya pertama dari wilayah tersebut. Dari uraian singkat ini setidaknya nama yang dilekatkan oleh masyarakat untuk wilayahnya sesungguhnya tidak lepas dari “sejarah” atau ciri yang memaknai tempat mereka hidup dalam satu komunitas.

8. Penghilangan Batas Kampung
Orang moderen menyebutnya tata ruang atau tata guna yang ditandai dengan uraian nama, fungsi serta batas-batas fisik area/wilayah pemanfaatannya. Dayak Kanayatn menyebutnya palasar palaya, yang juga selaras dengan konsep tata ruang/tata guna lahan dalam konsep moderen. Satu hal yang membedakan konsep tata ruang dari kedua versi tersebut adalah “kepentingan” yang melekat didalamnya. Ketika regrouping kampung menjadi desa terjadi, tata guna lahan/palasar palaya kampung yang dulunya dikelola berdasarkan kearifan lokal, tergeser akibat tekanan dari atas (pemerintah di atas pemerintaan desa) untuk mengubah tata guna lahan yang sudah ada. Topeng pembangunan/pengentasan kemiskinan masyarakat kerap digunakan untuk memasukan produk-produk kapitalisme moderen yang mengancurkan batas-batas asli dari masyarakat yang suda ada, akibatnya konsep tata ruang yang dulunya diakui dan dimanfaatkan oleh masyarakat antar kampung menjadi tumpang gtindah/rancu, tidak efektif. Kampung-kampung yang dulunya mempunyai kekuasaan dalam mengelola tata guna lahannya (otonom), hilang oleh hegemoni kapaitalisme yang dilegitimasi pemerintah. Dengan demikian, jelas bahwa system pemerintah Desa yang dianut selama hampir 30-an tahun sudah tidak dapat lagi memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat dayak di Kabupaten Landak.

KONSEP SISTIM PEMERINTAHAN BINUA
Pengembalian sistem pemerintahan binua merupakan salah satu konsep yang diinginkan dengan penerapan sistem pemerintahan dewasa ini. Konsep pemerintahan lokal ini sejalan dengan penurunan daya dukung ( resources ) baik yang berupa kemerosotan lingkungan, moral, inefisiensi dan inefektivitas pembangunan dan sejenisnya ditingkat desa. Penguatan nilai-nilai adat dalam pelaksanaan pemerintahan binua akan memberikan harapan yang baik khususnya dalam kerangka mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis.

Realitas politik lokal serta praktik-raktik penyelenggaraan pemerintahan desa saat ini menunjukan bahwa telah terjadi penurunan kapasitas sebagian besar aparatur pemerintahan desa, baik dalam arti personil maupun institusional. Banyak bukti serta anekdot yang berkaitan dengan mandulnya peran Kepala Desa. Pengetahuan umum yang berkembang dikalangan masyarakat akademik menunjukan fenomena ini merupakan suatu keadaan yang kurang menggembirakan dalam awal penyelenggaraan otonomi daerah. Didasari pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka perubahan sistem pemerintahan lokal merupakan sebuah hal yang sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa kedepan. Prospek kedepan perkembangan demokrasi lokal ditingkat binua akan memberikan harapan cerah bagi Kabupaten Landak. Sebagai bagian dari pemerintahan binua, Bide Pamane Binua merupakan ujung tombak dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan binua.

Implementasi demokrasi ini dalam draft Raperda Pemerintahan Binua sudah cukup memberikan peluang bagi masyarakat dibinua dalam menata pertumbuhan demokrasi lokal. Disisi lain, dengan kepatuhan masyarakat atas pemimpinnya yang bersendikan ADAT dan HUKUM ADAT akan mengembangkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun binua dan kampungnya. Kondisi terakhir ini ada kecendrungan bahwa masyarakat adat akan selalu merespon dan berperan aktif dalam menuntut hak-haknya sehingga mendorong pemimpin desa untuk menggunakan sumber dana dan daya yang tersedia secara jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. Meningkatnya kepercayaan pada pemimpin akhirnya juga akan mendorong penyelenggaraan pemerintahan desa yang transparan, akuntabel, efektif, efisien dan demokratis. Dengan transparansi akan menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah binua dengan masyarakat adat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan binua.

Bumi Intan, Januari 2008

BERSATU KITA MENANG “Refleksi dan Rekomendasi Atas Fenomena Persaingan Antar LSM di Kalbar”

Oleh Yohanes Supriyadi

Pengantar
Dua hari lalu, tak sengaja saya berdiskusi dengan beberapa “petugas” LSM yang sudah 3 tahun menjadi petugas. Dia mengungkapkan keprihatiannya tentang fenomena LSM di Kalbar yang terpecah-pecah berdasarkan etnik, program, dll.
“yang membuat saya risau, mereka saling bersaing kayak politisi. Korbannya tentu saja LSM kecil, baru berdiri dan masyarakat yang didampingi LSM itu”ujarnya lirih. LSM juga menurut lelaki muda ini, saling bersaing untuk menang di lembaga donor. Seolah-olah, merekalah (lembaganya) yang paling berhak, paling hebat dan paling layak untuk mendapatkan dukungan donor.

Saya terperanjat, begitu kritisnya pemuda ini. Sambil minum kopi yang mulai dingin, sang petugas melanjutkan. “yang hebatnya, menurut saya, LSM di Kalbar juga saling menjatuhkan. Ada semacam persaingan antar LSM untuk mendapatkan donor. Mereka tidak bekerjasama secara kelembagaan, karena sentiment pribadi, merembet ke sentiment lembaga” ungkapnya. Pemuda yang pernah 3 tahun sekolah di luar Kalimantan ini menceritakan bahwa kadang-kadang masalah pribadi petugas (aktivis) LSM menjadi senjata bagi LSM lainnya untuk menghancurkan lembaga dimana petugas itu bekerja. “ini berbahaya bagi gerakan social di Kalbar” lanjutnya.

Empat hari sesudah pertemuan itu, saya juga bertemu dengan beberapa “aktivis” LSM di sebuah warung kopi ditengah kota. Mereka bicara tentang kasus-kasus yang menimpa pejabat pemerintah, kasus-kasus criminal, kasus-kasus dimasyarakat urban. Saya mendengar, mereka mendiskusikan jalan keluar untuk menangani kasus itu dengan menemui pejabat yang bermasalah. Mereka juga mengaku sebagai aktivis LSM. Sekali lagi aktivis LSM. Bekerjanya juga dari warung kopi ke warung kopi lainnya. Ada istilah menarik, “kopi pancong”. Seharian mereka diwarung kopi. Modal mereka menurut info yang pernah aku dengar, hanyalah koneksi dengan pejabat pemerintah, wartawan dan akta notaries LSM. Mereka tidak memiliki kantor tetap, mungkin alamat LSMnya di rumah pribadi pengurus .

Fenomena-fenomena ini kemudian menambah daya tarik saya untuk menelusuri, benarkah keadaan LSM di Kalbar sedemikian parah ? benarkah LSM bekerja untuk rakyat ? atau mereka hanya memperalat rakyat untuk memenuhi ambisi mereka mendapatkan uang dari pejabat pemerintah dan atau lembaga donor luar negeri ?

Siapakah LSM ?
Sembilan tahun lalu, dalam sebuah workshop kecil di Bogor Jawa Barat, saya sempat bertemu dengan Alm.Mansyour Fakih, sesepuh LSM Indonesia. Dalam perbincangan dengan saya, beberapa komentar keluar dari konsultan beberapa LSM.Menurut Mansyour, istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah non-governmental organizations (NGO). Istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai “anti pemerintah”, sesuatu yang tidak disukai rezim orde baru pada waktu itu. Karena itu sekarang ini (2000-an) sebagian LSM dengan sadar kembali mengembangkan istilah Ornop (Organisasi Non-Pemerintah), terutama oleh kalangan LSM yang bergerak dalam advokasi terhadap pemerintah. Namun demikian, dalam berbagai pertemuan informal atau formal, diskusi, seminar, lokakarya serta pemberitaan pers, dan sebagainya istilah LSM tetap lebih banyak dipergunakan.

Tahun 1996, sewaktu masih kuliah, saya juga mempelajari tentang LSM di Pontianak. Dari bacaan, melihat langsung dan terlibat langsung itulah yang menumbuhkan semangat saya untuk menjadi LSM sebagai “pilihan profesi”. LSM menurut saya organisasi profesi, karena orang-orang didalamnya pasti orang-orang professional. Karena itu, pada tahun 1997, saya bersama 8 teman dari berbagai daerah pedalaman Kalbar mendirikan sebuah LSM yang bernama Kostma Borneo, kependekatan dari Kelompok Studi Mahasiswa Borneo. LSM yang berkantor di sebuah kamar kost ini sangat memungkinkan bagi aktivisnya untuk menghindari kejaran aparat keamanan, maklum ORBA masih sangat berkuasa.

Pemahaman saya, sesungguhnya LSM didirikan dengan tujuan-tujuan yang lebih ideal yaitu perwujudan dari semangat filantropi (philanthropist) dan altruisme (altruism). Dengan filantropi dimaksudkan “mencintai (sesama) umat manusia, dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan”, dan dengan altruisme dimaksudkan “menaruh perhatian dan kepedulian terhadap orang lain atau kemanusiaan”. Dengan perkataan lain apapun program atau bentuk kegiatan yang diselenggarakan LSM dilandasi oleh nilai-nilai ideal yang dirumuskan dalam bentuk visi, misi dan tujuan-tujuan organisasi lainnya. Nilai-nilai ini disebut dengan nilai-nilai moral.

Badan hokum LSM juga beragam, namun LSM tidaklah identik dengan yayasan. Yayasan adalah salah satu bentuk badan hukum yang kebetulan dipilih oleh sebagian besar LSM. Tidak semua yayasan dapat dikategorikan sebagai LSM sebagaimana halnya tidak semua LSM berbadan hukum yayasan, karena ada LSM yang mempunyai badan hukum perhimpunan atau perkumpulan.

Salah satu perbedaan penting yang perlu diperhatikan antara sebagian yayasan dengan LSM adalah bahwa: LSM ada dasarnya didirikan untuk keuntungan publik atau segmen masyarakat yang lebih luas (public benefit). Sedangkan yayasan ada yang didirikan untuk melayani kepentingan yang terbatas, misalnya kepentingan anggota-anggotanya saja. Misalnya, Yayasan Kostrad didirikan untuk melayani tentara yang menjadi anggota Kostrad. Demikian pula Yayasan Karyawan BULOG dan berbagai yayasan karyawan lainnya didirikan untuk kepentingan anggota-anggotanya saja (mutual benefit). Dalam berbagai definisi yang umum diterima, istilah LSM menunjukan beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah (non-pemerintah) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit) yang akan dibagi-bagikan kepada pendiri atau pengurus-pengurus, seperti yang dikenal dalam dunia perusahaan sebagai dividen. Istilah ini sekaligus menempatkan LSM sebagai “sektor ketiga” dalam tiga sektor model kehidupan manusia modern, yaitu sektor negara (state), pasar (market) dan masyarakat sipil (civil society) (lihat selengkapnya di tulisan Mansyour Fakih: 1996).

FENOMENA LSM DI KALIMANTAN BARAT
Sejak mahasiswa, saya hanya mengenal beberapa LSM yang aktif bekerja untuk “pemberdayaan masyarakat”. Awalnya, LSM-LSM ini bekerja bersama dengan pihak lembaga agama. Mereka melakukan kerja-kerja pengorganisasian rakyat. Petugas LSM ini semuanya tinggal di kota besar, Kota Pontianak.

Di Kalimantan Barat, ada satu LSM yang cukup terkenal sudah lama ”berkarya” berdiri tahun 1981. LSM ini dikelola dan didirikan oleh para guru, dosen, pegawai negeri orang Dayak yang ada di Pontianak. Awalnya LSM ini hanya mendirikan sekolah, namun pada tahun-tahun berikutnya, LSM ini berkembang menjadi ”gurita” LSM. Berkat berjaringan, LSM yang dikelola mereka ini bagai orang haus merindukan air. LSM ini banyak mendapat dukungan dari LSM-LSM nasional dan internasional, terutama untuk pengembangan kapasitas SDMnya dan ”perluasan” programnya dikampung-kampung.

Untuk memenuhi ambisinya sebagai satu-satunya ”lembaga pemberdayaan” di Kalbar, LSM ini kemudian membentuk ”anak-anak” LSM, istilah di birokrasi pemerintah mungkin sub-unit. Setiap sub-unit LSM ini dikepalai oleh Direktur/ Koordinator. Bedanya, pengelolaan sub-unit LSM ini mandiri, hanya dalam kerangka mencari dukungan dana dari donor, mereka beraliansi-bersekutu-berserikat. Hasilnya, seluruh isu mulai dari lingkungan, HAM, demokratisasi, Pengelolaan sumber daya alam; kehutanan, pertanian, advokasi hukum, resolusi konflik dan rekonsiliasi, pengembangan ekonomi, penelitian kebudayaan, media; majalah, radio, televisi ditangani oleh LSM ini. Jadilah ia LSM ”terbesar” dari LSM yang pernah ada di Indonesia.

Pada waktu itu (1980-2000), situasi Orang Dayak memang sangat menyedihkan di Kalbar. Mereka berada dalam suatu “kubangan” lumpur, yang tidak berdaya. Mereka tersisih dalam pembangunan, padahal jumlah populasi mereka terbesar diantara suku bangsa lainnya di Kalbar. Refleksi atas kondisi inilah yang kemudian menggerakkan petugas LSM ini untuk menjadikan target group program LSM-LSM itu dari kalangan masyarakat Dayak dipedalaman.

Seorang tokoh senior LSM, suatu kali mengatakan kepada saya, bahwa menjadi aktivis LSM pada masa ORBA penuh tantangan, tetapi karena itulah yang justeru membuat mereka menikmatinya. (bukankah sesuatu yang menantang itu menarik? Bukankah sesuatu yang dilarang itu membuat orang penasaran untuk melakukannya ?). Apalagi dengan dukungan data dan fakta, bahwa orang Dayak yang sulit diterima jadi PNS, maka pelariannya adalah menjadi aktivis LSM. Orang Dayak yang bersinar di era ORBA adalah yang menjadi pemimpin LSM. Jadi, jelas bahwa LSM-lah satu-satunya wadah ketika ORBA yang masih tersisa bagi orang Dayak untuk eksis dan masih bisa diperhitungkan. Menurut aktivis LSM yang sudah 18 tahun menjadi ”aktivis” ini, semakin kuat tekanan kepada LSM semakin bersinarlah LSM tersebut dan tentu saja pemimpinnya. Kehadiran aktivis LSM di kampung-kampung juga sangat dirindukan dan juga sekaligus dibenci oleh masyarakat dan aparat desa. Jadilah petugas LSM ini mendapat berbagai gelar, dari tukang diskusi hingga provokator. Namun, ada juga diantara mereka yang berhasil dijadikan ”jembatan emas” oleh orang-orang kampung dengan pejabat pemerintah dari orang dayak yang sedikit itu.

Secara umum, program yang dikembangkan oleh LSM-LSM ini adalah berpikir kritis, maka targetnya orang-orang kampungpun di fasilitasi berpikir kritis. Terjadilah pergumulan-pergumulan kehidupan di tengah-tengah orang Dayak. Wujud konkrit dari pergumulan itu adalah meningkatnya kapasitas SDM orang Dayak. Orang Dayak difasilitasi oleh LSM dan lembaga agama untuk bisa sekolah. Sebuah sub-unit LSM itu, misalnya menyelenggarakan program beasiswa mandiri. Sampai sekarang lebih dari 200 orang yang menerima beasiswa tsb. Sekarang mulai tampak bahwa di berbagai sektor telah ada orang Dayak yang ahli.

Antara tahun 1980-2000 ekonomi makro mulai berkembang dan juga infrastruktur pedesaan membaik. Orang Dayak juga sudah banyak yang sekolah tinggi, menjadi pemimpin pemerintah di kabupaten, dan pejabat di provinsi. Tetapi, keberadaan Orang Dayak menurut versi petugas LSM-LSM itu masih saja sebagai suku dengan identitas sendiri dan tanah sendiri dan terus terancam. Dasarnya, lagi-lagi menurut petugas ini adalah masuknya investasi-investasi oleh korporasi global melalui pembukaan lahan perkebunan skala besar di kampong-kampung yang menjadi “lahan” mereka bekerja.

Menurut seorang mantan aktivis LSM, yang kini telah menjadi politisi (pengurus partai politik), ada banyak alasan bagi petugas LSM untuk ”meningkatkan” kesadaran kritis massa Dayak. Salah satu karya yang saya anggap fenomenal dari karya LSM Dayak ini adalah berhasilnya menyeragamkan penulisan kata ”Dayak”. Jika sebelumnya di berbagai literatur penulisannya berbeda-beda (Dyak, Dajak, Daya, Daya’ dll) maka setelah Konggres kebudayaan Dayak tahun 1992 itu, literatur-literatur telah seragam menggunakan kata Dayak. Promosi kata Dayak semakin menjadi-jadi, melalui buku-buku, laporan penelitian, majalah dll oleh petugas LSM. Promosi kata DAYAK berikut kehidupannya itu berhasil menyihir munculnya kesadaran etnisitas orang Dayak untuk bebas dari “ketertindasan”, terbuang dan teringgirkan ditanah sendiri. Gerakan ini seringkali tak terkendalikan oleh LSM itu sendiri. Akibatnya, Dayak menjadi etnik yang ditakuti oleh etnik pendatang. Dayak telah berhasil dikooptasi sebagai OBJEK utama pekerjaan LSM-LSM.

Petugas LSM yang masuk kategori kelompok menengah keatas, kelompok terdidik, dengan penuh percaya diri, keluar masuk kampong untuk memberikan penyadaran-penyadaran kritis. Melalui penyadaran-penyadaran kritis inilah, dikemudian hari telah berhasil memunculkan sikap percaya diri sebagai orang Dayak. Mereka menjadi sadar, bahwa mereka telah merasa terancam di tanah sendiri. Mereka takut identitas sebagai suku bangsa akan hilang. Ditengah-tengah rasa cemas akan masa depan, rasa aman yang tercabik, rasa takut yang berlebih, dan beragam rasa lainnya. Pendeknya, dunia orang dayak mulai terbuka ketika itu. Dunia luar masuk dan mereka masuk dunia luar. Keberhasilan mereka telah menjadi pendorong orang muda Dayak untuk terus meningkatkan kapasitas SDM. Walaupun jumlah orang Dayak yang terdidik masih sangat sedikit (kira-kira baru 1% dari total populasi Dayak), tetapi hal ini telah melahirkan sikap “mulai bangga menjadi orang Dayak”.

Dampaknya adalah saat itu, saya baru dapat mengerti bahwa ketidakpuasan orang dayak dengan situasi, bersama dengan suatu ketakutan besar bahwa terancam hilang dipulau sendiri, dan frustasi karena system dan kekuasaan, menyebabkan mereka keluar atau meledak dalam kemarahan besar terhadap suku lain, yang dianggap ancaman terdekat (fisik), dan terkadang terjadi berulang-ulang selama puluhan tahun lalu. Saya melihat dan mengalami sendiri ledakan amarah orang dayak ini ditahun 1984, 1987, 1996, 1997 dan 1999 terjadi konflik antar etnik Dayak (dan juga Melayu tahun 1999) melawan etnik pendatang dengan korban jiwa dan harta terbesar sepanjang sejarah konflik antar etnik.

Beberapa catatan saya menyebutkan, sejak 1980-an, banyak LSM yang sudah bekerja pada isu pengurangan kemiskinan. Keterlibatan LSM dalam membantu rakyat miskin yang sedang ditimpa krisis ini dilakukan melalui program-program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat yang disusun kalangan LSM sendiri dengan bantuan dana dari para donor. Keterlibatan LSM dalam program-program pengurangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat ini semakin dimungkinkan dengan adanya perubahan sikap lembaga donor yang semakin memberikan tempat bagi LSM untuk ikut mengambil bagian dalam berbagai program pemerintah RI, khususnya yang berhubungan dengan pengurangan kemiskinan di Kalbar.

Sekarang ini, pekerjaan LSM untuk pengurangan kemiskinan dikenal sebagai isu ekonomi. Kerennya, ekonomi kerakyatan. Sistem yang dikembangkan umumnya gaya lama, muka baru. Pengurus LSMnya semakin kaya raya, pengikutnya disistem ini tetap melarat alias miskin. Tidak ada ukuran yang jelas soal berapa populasi rakyat Kalbar yang menjadi ”kaya” dengan ikut dalam program LSM ini, yang paling jelas hanyalah bahwa anggotanya tetap miskin. Ada kredo, orang miskin mengumpulkan uang namun pengurusnya yang menikmati uang si orang miskin. Dari keseluruhan anggota, sekitar 70.000 anggota/2007, mungkin tidak 1% yang benar-benar berdaya oleh sistem keuangan ini sisanya, masih tetap miskin. Anehnya, sistem ekonomi ini oleh si petugas LSM ”dijual” sebagai sistem yang terbaik dari seluruh sistem keuangan dinegeri ini karena terbukti membuat orang miskin menjadi kaya di Kalbar. Padahal, fakta bahwa yang masuk anggota sistem ekonomi ini, umumnya memang orang kampung dan perkotaan yang sudah mapan secara ekonomi, yakni para pegawai negeri, pegawai swasta (perusahaan) dan para pemilik toko dikampung. ”untuk uang masuk, harus setor Rp. 1 juta, ini sulit bagi orang miskin”, ungkap seorang teman saya. Untuk pinjam, menurutnya, seringkali juga sangat sulit bagi si miskin, apalagi tabungannya masih sangat kecil. Dari penuturan si teman saya, yang mudah pinjam itu, para anggota PNS, TNI/Polri, pengusaha kecil dan menengah atau petugas LSM yang mengelola uang anggota. Kalau petugasnya malah mendapat keistimewaan, mereka bisa pinjam besar dengan bunga ringan.

Telah menjadi rahasia umum bahwa sejak 1980, LSM-LSM juga harus berhadapan dengan pemerintah yang berupaya meningkatkan investasi dengan mengundang berbagai investor masuk di Kalbar. Beberapa catatan petugas LSM menyebutkan bahwa pada tahun 1960-an, perusahaan perkayuan mulai masuk untuk mengeksploitasi hutan Kalimantan, dimana orang Dayak tinggal dan hidup. Melalui pola Hak Pengusahaan Hutan ( HPH), ratusan perusahaan beroperasi tanpa henti, paling tidak hingga akhir tahun 2000 lalu. Pada awal tahun 2000, muncul pola baru bernama Hak Pemungutan Hasil Hutan 100 Ha ( HPHH 100 Ha ), yang izinnya melalui Bupati/Walikota berbentuk Koperasi. Namun pola ini ternyata hanyalah kamuflase dari pola HPH yang telah habis masa konsesinya pada akhir tahun 1999. Seiring dengan habisnya masa konsesi perusahaan, maka pihak perusahaan kayu pada akhir tahun 1990-an, memanfaatkan penduduk setempat untuk melakukan penebangan kayu secara besar-besaran diseluruh kampong orang Dayak. Polanya adalah dengan memanfaatkan pedagang-pedagang local yang diberi sedikit modal, akibatnya ratusan tembawang dan kompokng ( hutan buah ) dimana ribuan pohon tengkawang rusak dan hilang. Kini sangat sedikit sekali kampong yang mampu mempertahankan hutan tembawang dan kompokngnya dari terjangan mesin-mesin chain saw.

Areal perkebunan di Kalbar juga semakin diperluas menyusul dukungan dari Pemda Kalbar dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No.8/1994 tentang prioritas pembangunan sector pertanian subsektor perkebunan. Kebijakan ini kemudian diperkuat lagi dengan dihasilkannya Peraturan Daerah No. 1/1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalbar. Dalam RTRWP itu disebutkan bahwa seluas 5.257.700 Ha lahan akan disediakan untuk perluasan perkebunan. Sampai Desember 2000, pemanfaatan lahan untuk perkebunan di Kalbar telah mencapai 3.560.251 Ha ( 68 % dari 5,2 juta lahan yang dicadangkan). Kebijakan Pemda Kalbar tersebut sebagai upaya untuk menggantikan komoditas eksport kayu yang sejak tahun 1990-an makin menurun produksinya. Situasi ini mendorong LSM untuk mengkampanyekan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan lestari.

KRITIK PADA LSM KALBAR HARI INI
Tingginya kekerasan antar etnik di Kalbar medio 1980-2000, menurut saya, mungkin tanpa sadar merupakan hasil pekerjaan LSM-LSM yang mengorganisir masyarakat melalui pendidikan kritis. Petugas-petugas LSM, dalam kenyataannya telah membawa sebuah sikap masyarakat di kampong untuk “status quo”, takut berubah dan menciptakan dan membangunkan akar kekerasan. Karena dukungan teknis LSM dan ketidaksiapan para petugas LSM dalam kapasitas manajemen konfliknya, cara-cara yang dikembangkan masyarakat “dampingan” LSM tersebut adalah perlawanan dengan kekerasan. Kekerasan telah menjadi alat utama masyarakat yang telah “sadar” untuk melindungi diri, wilayahnya dari investor yang masuk dikampungnya. Dalam rentang waktu 20 tahun (sejak 1980-2000) misalnya, kekerasan demi kekerasan telah terjadi antara warga kampong Dayak dengan perusahaan + aparat keamanan + antar suku, banyak korban jiwa dan harta dari berbagai pihak. Dibakarnya salah satu bangunan dikomplek perkantoran salah satu LSM awal tahun 1997, misalnya, menyulut amarah rakyat Dayak dipedalaman. Dalam waktu singkat, puluhan ribu orang Madura harus rela untuk keluar dari pedalaman Kalbar. Siapakah yang diuntungkan karena situasi itu ? Selain itu, beberapa fakta menyebutkan, setelah masyarakat melakukan aksi perlawanan bersenjata dengan pihak perusahaan, yang diback up aparat pemerintah dan militer setempat, LSM yang bekerja pada isu lingkungan hidup sebagai “pendamping” lari dan kembali ke Kota. Mereka berlindung dari serangan, mengindar dari konflik masyarakat dengan perusahaan. Ketika terjadi konflik masyarakat dengan perusahaan, petugas LSM bisa saja lari, karena mereka punya uang, punya teman di luar. Tetapi masyarakat ? mereka tidak bisa lari dari kampong, karena tak punya uang, tak punya teman didunia luar. Saya sedih, karena LSM juga seringkali membiarkan masyarakat berjuang sendiri pasca perlawanan mereka dengan perusahaan. LSM benar-benar telah menjadi provokator ?

Fenomena menarik lainnya adalah, mungkin sekitar tahun 2005, LSM Dayak mulai membuka diri dengan LSM yang dikelola orang-orang non Dayak di Kalbar. Caranya, LSM Dayak mengajak serta LSM non Dayak untuk membentuk serikat-perkumpulan-aliansi. Ada belasan LSM yang bergabung. Tema yang diusung dari kolaborasi LSM ini adalah rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian. Target group juga mulai beragam, ada dayak, melayu, jawa, madura, bugis, dll. Dayak sudah tidak menjadi isu yang seksi lagi untuk di jual ?

Berbeda dengan gerakan LSM Dayak lainnya, yang hanya mengorganisir masyarakat Dayak sejak tahun 1980, beberapa LSM kecil yang dikelola oleh orang Dayak sejak tahun 2000 telah mempraktekkan inklusif-pluralism dalam karya-karyanya secara konsisten. Ini mungkin, hasil dari refleksi gerakan LSM dengan fenomena diatas. Gerakan LSM-LSM ini sangat terasa kehadirannya di Kalbar. LSM-LSM ini, misalnya, mengembangkan pendidikan alternatif bagi anak-anak pedalaman, dengan tahap awal mendirikan sekolah-sekolah formal dari SD (2002), SMP (2003) dan SMKejuruan (2003). Pada tahun 2007, LSM ini bekerjasama dengan beberapa LSM lain menginisiasi pendirian sebuah sekolah tinggi (perguruan tinggi). Sungguhpun LSM ini dikelola orang Dayak, LSM ini sudah tidak lagi melihat Dayak dalam konteks etnosentrisme tetapi Dayak dalam konteks plularisme dan multikulturalisme. Petugas LSM ini tinggal di kampung, dan beberapa tinggal di kota. Inilah yang membedakan gerakan ini dengan LSM lain yang berkembang sejak tahun 1980-an.

LSM Berpolitik Praktis
Perubahan peta politik nasional, dengan lahirnya UU no 32 tahun 2004 yang memungkinkan pemilihan kepala daerah secara langsung leh rakyat rupanya sebuah isu yang menarik untuk disimak, utamanya perspektif LSM. Sejak tahun 2005, misalnya, LSM-LSM di Kalbar mulai beralih fungsi. Dari advokasi, pendampingan masyarakat kampung (1980-2004) menjadi politisi (2005-sekarang). Sekali lagi, petugas LSM telah menjadi politisi. Pada Pemilu 2004, petugas-petugas LSM menyatukan dirinya kedalam beberapa partai politik. Beberapa petugas juga menjadi pengurus inti partai politik, sebuah pola yang dulunya sangat ditentang oleh kalangan LSM sendiri. Mereka mulai membidik jabatan-jabatan strategis dipemerintahan, dari berbagai level. Hasilnya ? bisa ditebak, mereka kalah. Sekali lagi kalah !!!

Menarik dicermati, bahwa, kekalahan petugas-petugas LSM dalam pertarungan politik di Pilkada langsung, sekali lagi membuktikan bahwa kerja-kerja pengorganisasian rakyat belum berhasil. Artinya, rakyat yang didampingi merasa, petugas LSM itu belum cocok untuk menjadi pemimpin pemerintahan. Satu hal yang penting, dengan kondisi dan fakta ini bahwa sebaiknya petugas LSM dapat mengukur diri, dan mengukur tingkat kepercayaan rakyat pada pekerjaan mereka. Klaim bahwa mereka bekerja untuk rakyat, membela rakyat terbukti tidak bisa dibenarkan lagi.

LSM Warkop & Koran
Sungguhpun cukup banyak LSM yang benar-benar LSM, LSM-LSM di kota menampakkan soal lain. Di Kota Pontianak, ibukota provinsi Kalbar, menurut data Kesbanglinmas provinsi tahun 2007, hamper 400 LSM yang terdaftar. Persoalannya adalah bahwa “booming” organisasi kemasyarakatan berlabel LSM. LSM yang hanya bertujuan mencari keuntungan ekonomi atau politik, serta penyalahgunaan yang dilakukan sementara kalangan LSM di masa depan akan dapat merusak citra LSM Kalbar secara keseluruhan. Citra yang terbentuk ini dapat dipakai oleh lembaga-lembaga lain: apakah itu pemerintah, kalangan legislatif, kalangan yudikatif atau pun partai politik sebagai counter-attack yang akan memojokkan atau mendiskreditkan LSM. Serangan ini juga pada gilirannya akan dapat mengganggu kepentingan-kepentingan LSM dalam berhubungan dengan pemerintah atau pun dengan lembaga-lembaga donor.

Komunitas LSM-LSM (yang tidak jelas) ini juga banyak mengkritisi perbuatan-perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan pejabat-pejabat pemerintah, dan memunculkannya dimedia-media cetak Kalbar. Ini ternyata hanya sebagai shock teraphi bagi pejabat yang tidak mau membagi proyek kepada LSM tersebut. Setelah proyek diberikan, LSM akan diam. Situasi ini dapat merugikan citra dan integritas LSM secara keseluruhan. Sehingga terkesan bahwa LSM mempunyai “standar ganda”. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya rumusan norma-norma moral yang disepakati bersama mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang dijadikan pedoman perilaku LSM di Kalbar dalam bertindak ke dalam maupun ke luar.

LSM “Pendek Tongkeng”
Ada juga LSM di Kalbar yang mempraktekkan “pendek tongkeng”, sebuah istilah yang sering digunakan masyarakat di kampong-kampung bagi seseorang yang sering merajuk dan marah bila ada orang lain yang tidak setuju dengan idenya. Penyebabnya, LSM yang bersangkutan tidak mau belajar-tidak mau tahu-tidak tahu diri. Umumnya petugas LSM ini juga menjadi pengurus artai politik. Karena “berpartai”, para tokohnya satu sama lain tidak cocok dan malas bertemu, malahan saling negative campaign. Bila lembaga donor luar negeri datang ke Kalbar, LSM-LSM pendek tongkeng ini seringkali mempertontonkan tajinya, bahwa dia dan LSM-nyalah yang terbaik, LSM lain jelek dan tak pantas didukung. Malahan LSM ini menyampaikan dengan gagah berani bahwa LSM lain di Kalbar tak layak untuk bekerja karena terlalu kecil dan beribu alas an negative lainnya. Hebatnya, lembaga donor sangat percaya. Seringkali LSM kecil dirugikan dengan sikap “superior” LSM besar ini. Petugasnya sudah seperti dewa, yang tak pernah salah. Bila pekerjaannya gagal, LSM kecil dituding. Ide-ide dan pekerjaan LSM kecil juga seringkali dicurinya, mereka tidak menghargai “intellectual right”.

Yang paling parah adalah LSM berkelahi soal politik. Suatu ketika, petugas LSM tampil untuk merebut kekuasaan melalui PILKADA. Banyak aktivis LSM lain tidak mendukungnya, karena si petugas LSM terlalu percaya diri (PD) dan arogan. Uniknya, ketika si petugas LSM kalah dalam pilkada, aktivis LSM lain semakin dimusuhi. Perbedaan aliran politik menjadi sesuatu yang tabu dan tak dipahami LSM, padahal mereka mengajari rakyat tentang demokrasi, HAM, dll.

Selain itu, pada saat ini, LSM-LSM di Kalbar belum mau memikirkan kode etiknya sendiri. Mereka justru cendrung menyalahkan pihak pemerintah dan kapitalis yang berbentuk investor. Ditengah kegamangan ini, saya menyarankan agar perlu kiranya nilai-nilai moral sebagaimana dikemukakan di atas perlu diperjuangkan kepada pihak luar dan ke dalam diri LSM sendiri. Kepada pihak luar seperti misalnya kepada pemerintah, donor, kalangan swasta, kelompok masyarakat yang menjadi partisipan program maupun publik yang lebih luas, LSM perlu selalu mempromosikan tujuan keberadaannya dan kepentingan-kepentingannya sehingga visi, misi dan nilai-nilai yang dianut oleh LSM dapat diakomodir oleh pihak luar tersebut. Sedangkan ke dalam komunitas LSM perlu menjaga bahwa nilai-nilai moral yang diperjuangkan tersebut tidak dirusak oleh satu atau segelintir LSM atau “organisasi lain yang menamakan dirinya LSM” sehingga dapat merusak integritas dan kredibilitas LSM secara keseluruhan yang pada gilirannya dapat menimbulkan citra negatif LSM. Sebab bagaimana pun juga aktivitas LSM adalah sesuatu yang rentan terhadap penyalah-gunaan


MERETAS JALAN KELUAR
Kondisi-kondisi diatas (LSM pendek tongkeng, LSM berpolitik praktis, LSM Warkop & Koran, dll), bila terus dibiarkan aktivitasnya akan menghancurkan GERAKAN SOSIAL di Kalbar. Masyarakat, pemerintah, investor dan lembaga-lembaga donor internasional tidak akan percaya lagi dengan LSM Kalbar. Bagaimana akan percaya dengan gerakan LSM kalau antar LSM saja konflik terus……

Jalan keluarnya menurut adalah dengan menyelenggarakan KONGRES LSM KALBAR. agendanya menurut saya hanya ada 2, yakni: (1) Merumuskan dan Menyepakati Kode Etik LSM; yang disepakati bersama, diimplementasikan bersama dan diawasi bersama akan memberikan berbagai keuntungan kepada komunitas LSM secara keseluruhan dalam membangun integritas dan kredibilitas LSM kepada pihak luar. Sekurang-kurangnya pihak luar melihat LSM juga peka terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang dapat menimpa dirinya atau tidak mempergunakan “standar ganda” dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitasnya. Salah satu faktor lain adalah perkembangan global. Bahwa keberadaan LSM yang sehat dan kuat dalam arti didirikan secara sukarela, tidak beorientasi kepada keuntungan ekonomi, independen terhadap pemerintah, dikelola secara transparan, demokratis, akuntabel dan beorientasi kepada dan mewakili kepentingan masyarakat, sebenarnya sudah lama menjadi kepedulian berbagai pihak di dunia internasional. Apakah itu pemerintah, lembaga-lembaga donor, mau pun kalangan NGO internasional. Lembaga-lembaga penyandang dana (funding agencies) dalam beberapa tahun terakhir ini semakin meningkatkan bantuannya kepada kalangan LSM. Sementara itu lembaga-lembaga donor dalam bantuannya kepada pemerintah negara-negara peminjam juga semakin menekankan pentingnya melibatkan LSM dalam disain, perencanaan dan implementasi proyek-proyek pembangunan dengan mengembangkan suatu pembangunan yang partisipatif. Pemerintah negara-negara peminjam juga diminta untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan LSM dengan menyusun peraturan perundang-undangan yang dapat mendorong LSM untuk meningkatkan sumbangannya dalam pembangunan nasional. Salah satu aspek yang menjadi perhatian dunia internasional adalah terciptanya good governance yang diterjemahkan menjadi tata-kepemerintahanan/tata-kepengelolaan yang baik. Ada kecenderungan pengertian bahwa good governance sama dengan good government atau pemerintah yang baik. Pengertian governance jauh lebih luas karena bisa termasuk kelompok swasta yang misalnya dikenal dengan istilah corporate governance mau untuk kalangan organisasi masyarakat sipil (termasuk LSM). Salah satu yang menjadi perhatian donor adalah terciptanya good governance di kalangan LSM dalam arti LSM yang mampu bekerja secara profesional, transparan dan akuntabel. Dalam hal kepentingan terhadap pihak luar, dapat saja terjadi perbedaan kepentingan antara LSM-LSM advokasi dengan LSM-LSM yang bergerak dalam pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam keterlibatannya di proyek-proyek yang disponsori pemerintah, LSM pembangunan misalnya mengembangkan nilai-nilai bahwa setiap orang mempunyai hak untuk ikut serta dalam pembangunan sebagai salah satu hak asasi manusia yang melekat dan tidak dapat dihilangkan. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dapat menyumbang kepada pembangunan sosial, ekonomi, kultural dan politik bangsanya. Sehubungan dengan nilai-nilai yang dianut itu LSM yang bergerak dalam pembangunan atau pengembangan masyarakat akan memperjuangkan bahwa LSM mempunyai hak untuk terlibat dalam program-program pembangunan sebagai mitra pemerintah yang setara serta mempunyai hak untuk memperoleh akses pendanaan tanpa mengorbankan otonomi dan independensi mereka. Di pihak lain, LSM-LSM yang bergerak dalam advokasi perubahan kebijakan seringkali menolak keterlibatan mereka dalam proyek-proyek pemerintah agar kampanye mereka akan lebih efektif atau untuk menghindari agar tidak “terkooptasi” oleh pemerintah.

Dunia luar terus berubah, berbagai pihak terus berbenah agar tak ditinggalkan zaman yang merangkak naik. Namun bagaimana dengan LSM di Kalbar ? Saya menyarankan, perkelahian antar LSM karena “berbeda” ini harus segera diakhiri. LSM harus menjadi contoh bagi rakyat Kalbar bahwa perbedaan adalah anugerah dan tak mungkin dikalahkan. LSM harusnya belajar dari komunitas-komunitas multietnik di Kalbar yang damai dan harmonis. LSM di Kalbar harus pula memahami bahwa kekuatan luar sangat besar dan tak mungkin dilawan oleh sekelompok kecil LSM yang bersekutu. Perlu sebuah tindakan strategis antar LSM untuk bersekutu, minimal tidak berkelahi satu sama lain, agar ekologi Borneo ini selamat. Selama ini, LSM lingkungan terkesan bekerja sendiri, demikian juga LSM ekonomi kerakyatan dan LSM resolusi konflik. Padahal, bila ditelaah lebih tajam, ketiga kelompok ini bisa sinergis, itupun kalau memang benar bahwa LSM tersebut bekerja untuk menyelamatkan Borneo dari kehancuran dengan bersekutu dengan rakyat Kalbar. Salah satunya adalah perlunya LSM Kalbar untuk berkongres, agendanya antara lain: (1) merumuskan dan menyepakati kode etik LSM (2) merumuskan agenda strategis bersama seluruh LSM untuk menyelamatkan Pulau Borneo dari konflik antar etnik, konflik pengelolaan sumber daya alam dan ekspansi perusahaan multinasional dikawasan Pulau Borneo. (3) termasuk, kesepakatan LSM untuk bersama-sama “merebut” ruang-ruang public utama di Kalbar menjelang Pemilu legislative, dan Pemilu Presiden tahun 2009 serta Pilkada kabupaten/kota. Sebab tanpa itu, LSM di Kalbar hanyalah ayam yang bertaji, tapi tak berani bertarung. LSM yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri (kelompok LSM) dengan agenda terselubung meniadakan LSM-LSM lainnya.

Dan agenda kedua (2) Rekonsiliasi dan Regenerasi aktivis LSM. Adanya persaingan tajam antar LSM dalam berebut lembaga-lembaga donor internasional, partai politik, dll hanya akan menghancurkan citra LSM Kalbar. Tidak ada yang diuntungkan dalam persoalan ini, yang untung hanyalah “musuh” LSM yakni investor yang menghancurkan tata kelola rakyat, koruptor, pelanggar HAM dll.

Saat ini, aktivis muda LSM juga TIDAK diberi kesempatan oleh aktivis tua LSM (yang sudah puluhan tahun menjadi aktivis LSM) untuk maju dalam agenda-agenda politik, dll termasuk dalam kepemimpinan di LSM. Aktivis muda juga didoktrin untuk “hanya” sebagai pekerja/karyawan bagi aktivis tua LSM sedangkan penentu kebijakan tetap dipegang aktivis tua. Tidaklah heran, program-program LSM masih “seperti dulu”, tidak pernah berkembang. Agenda reformasi aktivis LSM tua, menurut saya, harus dilakukan para aktivis LSM yang berasal dari kaum muda. Kaum tua LSM harusnya tahu diri dan menarik diri dari dunia LSM. LSM juga harus ada agenda regenerasi aktivis, jangan pro status quo pola kekuasaan ORBA. Biarkan aktivis muda berkreasi, karena merekalah penentu Borneo masa depan. Aktivis tua LSM istirahat dan menimang cucu, biarkan kaum muda bergerak…..setuju ????


Pontianak, medio April 2008.






 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons