LEGENDA BUJAKNG NYANGKO (2)

Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu’ (lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan peralatan berburunya dan naik di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga hari tiga malam, ia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing, serta beberapa jenis pakis tertentu.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya (Melayu, saat ini), bertamu ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata “ pamujakng, kade’ kalaparatn basuman ba ka’ dapur diri dikoa, tapi ame me kita’ nyuman kambing man sapi. Kade’ kita nyuman na’ jukut koa, baik kita suman maan ka’ dapur lain. Kade’ kita na’ ngasiatn kata ku nian awas me kita”(Pemuda, kalau kelaparan masaklah di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing. Kalu mau memasak barang (sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti kataku ini” Setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng terjaga dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal kepala kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata “..koa dah putus unang tage’nyu kambingnya, tapi koa ihan Jubata a, buke’ munuh manusia, aku ga’ munuh laok. Ame ia madi mangka’, babangkawar ka’ aku, jukut ia dah mati dijanjinya, diuntukngnya” ( putuslah kini lehermu hai kambing…tetapi itulah wahai Jubata/Tuhan, aku bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda tadi. “ mau bagaimana lagi, ia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah..” demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia kemudian minta dibuatkan kapoa’ bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir (tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena Doakng terus menerus memohon, akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya. Hari kedua ia mato’ (melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato’ sangat baik, maka ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh, pada hari ketiga. Ia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti. Sesampainya sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat jukut diampa’ dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah), bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan tujuannya pada kamang.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor muis (binatang). Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya ke arah seekor muis yang paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya !”. Kata ketiga orang tersebut. Doakng bingung, melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko’ (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia saja yang memilikinya”.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). “ kade ada nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka’ Timpurukng Pasuk ka’ Lama Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” ( jika mendengar tariu (teriakan perang) tujuh kali, siluan tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu datang kita ngayau di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat pertemuan mereka di Saka Tumuk Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale’). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah pamaliatn (dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala si pamalitan tadi.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai di rumah, ia harus tariu, bersiul dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga, (tempat khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide (tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante, dan menari-nari melewati bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng (manusia) berpantak. Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak (patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti, didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor, parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor (dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu dipersembahkan/disangahatn. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja. Setelah pantak tersebut dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng (gong) dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), ia membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.





THE ESTERN SEAS

Dua ratus tahun yang lalu, George Windsor Earl, melakukan perjalanan ke pulau Borneo. Ia Nahkoda Kapal Stamford pada Tahun 1834. Perjalanan yang cukup mengesankan tersebut dituliskan dalam bukunya yang berjudul “The Estern Seas.” Kapal Stamford yang dinahkodainya ini disewakan oleh pengusaha-pengusaha Cina di Singapura untuk ke Borneo, khususnya Monterado dan Sinkawang yang waktu itu dikuasa Cina dengan maksud untuk menjajaki kemungkinan diadakannya hubungan dagang bilateral dengan Singapura. G. W Earl pria Inggris yang lahir pada tahun 1805. Selain mahir dalam ilmu pelayaran dia juga banyak tahu tentang sejarah, hukum, dan politik. Karenanya tulisan yang berupa catatan perjalanan ini berisi pandangan dan catatan yang memiliki nilai lebih mengasyikkan. Pengalaman G. W Earl tahun 1834 tersebut diterbitkan pertama dalam bahasa Belanda tahun 1918 oleh J.B Wolters, Groningin tahun 1932 dialih bahasakan ke bahasa Inggris dan dicetak di tahun 1971 oleh Oxford University Press, kemudian dicetak di Hongkong oleh South China Photo Precess Printing Co.Ltd.

dikisahkan dalam buku itu, G. W Earl mengawali catatan perjalanannya dengan judul Menuju ke Tempat Asing. Diawal bulan Februari 1834, suatu laporan masuk ke Singapura. Laporan itu berisikan bahwa penduduk dari sebuah koloni China di Pantai Barat Borneo menginginkan hubungan dagang dengan para pengusaha di Singapura terutama Cina. Karena itulah para pengusaha Cina dari Singapura memutuskan untuk mengirimkan ekspidisi dagang ke tempat tersebut dan mempercayakan kepada Earl untuk memimpinnya. Dan tentu saja hal tersebut tidak disia-siakan dan kemudian diterima dengan baik. Untuk melakukan hubungan dagang tersebut, sebuah papal layar inggris bernama Stamford disewa dan Earl ditunjuk sebagai nahkoda. Cargo yang dimuat dalam kapl itu antara lain, candu, teh dan barang-barang lain yang diharapkan kelak akan dapat ditukar dengan hasil tambang emas yang kononnya banyak terdapat di Borneo. 1 Maret 1834, jam tiga pagi stamford bertolak meninggalkan selat Singapura melalui jalan masuk sébelah timar di dekat pulau Karang Pedra Bianca dan disambut angin kencang dari utara yang memasuki Laut Cina Selatan. Bagi Earl, Borneo yang dituju merupakan pulau yang masih asing dan gelap. Saat berangkat G. W. Earl juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan tenaga perwira kapal yang berkebangsaan Eropa, mengingat kelak bila sampai di tempat tujuan harus meninggalkan kapal untuk ke daratan harus ada perwira kapal yang dapat dipercaya. Namun saat itu Earl hanya dipuaskan dengan perwira kapal seorang melayu keturunan Portugis. Selain itu, menurut Earl dalam kapalnya terdapat tiga puluh lima orang anak buah kapal dari suku Jawa, delapan Cina yang dua diantaranya adalah penterjemah, penjaga dan penimbang cargo merangkap peneliti emas yang kelak akan diterima. Dari keterangan sementara yang diperoleh G. W Earl, Belanda memiliki dua settlement yang kecil di pantai barat Borneo terpisah satu sama lain di pinggir dua sungai terpisah Kira-kira sembilan puluh mil, yaitu Pontianak dan Sambas. Koloni Cina terletak di antara dua tempat tersebut. Pernah sebuah kapal Inggris di tahun 1827 berkunjung ke tempat itu, namun tidak seorang pun yang dapat ditemui guna mendapatkan informasi. Lebih susah lagi nama Sinkawan yang merupakan pelabuhan penting bagi orang-orang cina tidak tercantum dalam peta.

Petang hari pada tanggal tiga Maret G. W Earl sampai di pulau St. Julien. Dari kejauhan pulau tersebut telah terlihat. Kemudian keesokan harinya, Earl beserta rombongan melintasi ujung paling selatan dari gugusan kepulauan St. Esprit. Pulau-pulau yang terpencar di bagian laut Cina Selatan ini tertutup oleh hutan kayu dan umumnya tanpa penghuni. Kecuali kepulauan Tambelan yang sering kali dikunjungi oleh bajak-bajak laut sebagai tempat persinggahan dari Borneo ke Selat Malaka. Para perompak tersebut ada yang meninggalkan beberapa orang anggotanya guna mengawasi hasil-hasil rompakan dan tawanan-tawanan yang ditangkap. Menurut G.W Earl, dua orang Cina dalam rombongannya ada yang sudah berusia lanjut dan merupakan pengisap candu yang berat, meskipun sudah dilarang untuk menghisap dalam kapal. Selama dua hari mereka sangat sedih dan nampak sangat lemah bahkan hampir-hampir Earl ingin melarang dua orang cina tesebut untuk tidak menghisap madu. Namun di hari ke tiga, kedua orang tersebut nampak lebih segar dan Earl baru tahu bahwa cara menghisap candu mereka sudah diganti dengan mengunyah candu tersebut. Nampaknya kebiasaan menghisap candu tak dapat dihilangkan, apakah karena kebetulan mereka berdua Cina asli dan totok kelahiran Tiongkok, sedangkan kelima Cina lainnya kelahiran Malaka yang kebetulan dalam rombongan tersebut tak seorang pun punya kebiasaan menghisap candu.

Tujuh Maret siang hari, Earl dan rombongannya melihat kepalauan Lamakutan. Kepulauan itulah yang mereka tuju. Tak lama kemudian pun mereka membuang jangkar dan hari pun sudah menjelang petang. Dari Lamakutan itulah Earl dan rombongan berharap, mudah-mudahan Sinkawan yang dituju semakin dekat. Keesokan harinya, disaat matahari mulai terbit, Earl beserta rombongan mulai turun ke darat menuju arah pantai dan teluk untuk memastikan apakah ada tanda-tanda kehidupan di pulau itu. Namun tak sedikitpun tanda-tanda kehidupan dan mahluk hidup, seperti manusia yang muncul. Tak ada pondok, perahu atau sesuatu yang menunjuk ke arah sana. Teluk yang didarati Earl tertutup hampir seluruhnya oleh gundukan tanah yang makin ke darat semakin meninggi. Waktu itu, Earl menggambarkan seolah olah mereka berada di sebuah danau di pedalaman dalam ketenangan air. Salah seorang Cina dan seorang tukang kayu Jawa yang katanya pernah berkunjung ke Sinkawan tak dapat memberikan informasi yang jelas di mana letak Sinkawan. Ketika rombongan Earl masuk ke muara dengan sekoci dan awak yang dipersenjatai, bersama dengan dua orang penterjemah untuk memastikan adanya kehidupan, namun tetap sia-sia.

Karena pendaratan yang dilakukan tidak ada hasil, keesokan harinya Earl beserta rombongannya kembali melanjutkan perjalanan kembali dan tetap menyusuri pantai untuk kemudian sampailah mereka pada sebuah muara sungai yang cukup besar. Earl memperkirakan jarak dari kapal berlabuh ke muara tersebut diperkirakan dekat, ternyata cukup jauh hampir dua mil. Ketika mereka memasuki muara dengan sekoci dan lengkap dengan anak buah kapal seperti pendaratan sebelumnya terasa sangat mengasyikkan. Tepian sungai yang dilalui tersebut terasa sangat sempit dengan dahan-dahan perpohonan di kanan kiri, seakan-akan saling berangkulan satu sama lainnya. Dua ekor buaya dengan panjang lebih kurang lima kaki yang sedang berbaring terkejut melewati sekoci mereka. Salah satu diantaranya langsung terjun ke sungai menerobos ke air dekat sekoci. Kira-kira seratus yard dari muara sungai, ketika Earl dam rombongan masuk dipasang barikade tonggak-tonggak kayu selebar sungai menahan perjalanan, namun di tengah-tengah terdapat ruang selebar hampir empat kaki memberikan ruang untuk dilalui. Merskipun demikian hampir diperlukan waktu setengah jam untuk lebih leluasa bagi sekoci untuk melewatinya. Tak berapa jauh, masih terlihat bekas-bekas brikade dengan tumpukan-tumpukan lumpur dan tanah menyerupai pertahanan di dalamnya. Dapat diduga bahwa di situlah tempat pertahanan untuk menghalangi masuknya orang atau pendatang asing.

Dalam perjalanannya, Ear berserta rombongan disambut beberapa ekor monyet berwarna sawo mateng. Monyet-monyet tersebut turun dari puncak pohon sambil berteriak memekakkan telinga. Semakin dicoba untuk dihalau, maka semakin lantang teriakan monyet tersebut. Setelah ke hulu sungai, kira-kira sejauh dua mil dijumpai sebuah pondok yang dihuni oleh dua orang Cina yang sedang memasak air laut untuk membuat garam. Mereka gempar kerena kemunculan Earl beserta rombongan yang tiba-tiba. Namun orang Cina tersebut kembali tenang setelah mendapatkan penjelasan penterjemah yang ikut serta. Dua Cina tersebut akhirnya menjelaskan bahwa sungai yang dilalui tersebut bernama Songy Ryah, dan Sinkawan yang dituju menurut mereka masih lima belas mil menyusuri pantai untuk kemudian masuk ke muara sungai serupa dengan Songy Ryah. Kata Cina tersebut, Sinkawan terletak di tepian sungai membelakangi gunung dan menghadap ke laut.Setelah mendapatkan penjelasan dua orang Cina pembuat garam di Sungy Ryah, G. W Earl kembali melanjutkan perjalanan. Saat kembali menghilir menuju pantai, monyet-monyet yang menyambut kedatangan mereka masih saja mengikuti sambil menjerit-menjerit. Karena tak dapat menahan kegeraman, Earl kemudian melepaskan tembakan dan mengenai salah satu dari gerombolan. Monyet itu jatuh terjerembab di atas tanah. Pengikut kera yang lainnya kemudian berhamburan meluncur dari atas dahan dan penuh tanda tanya akan peristiwa yang menimpa kawannya. Pekikan monyet itu akhirnya berhenti, sebagian kecil masih tetap mengikuti rombongan, meskipun dari jarak yang agak jauh dan lebih tinggi di atas pohon dengan lompatan dari dahan ke dahan dengan cekatan. Setibanya di atas kapal, Earl kembali mengangkat jangkar untuk berangkat menyusuri pantai ke utara. Rupanya, selama Earl melakukan penyelidikan pantai, para anak buahnya yang tinggal menghabiskan waktu untuk menangkap ikan. Walau hanya dengan menggunakan pancing, hasil tangkapan yang diperoleh begitu banyak. Ikan ikan tersebut bernama ikan Dori. Konon, jenis ikan tersebut berasal dari sebuah sungai yang disebut Sungy Dori yang terletak tidak jauh dari tempat itu.

Hampir petang, Earl beserta rombongan memasuki sebuah selat yang sempit antara Tanjung Batublatt dan sebuah pulau yang terdekat dengan pulau Lamakutan. Sebuah deretan batu-batuan berbentuk spiral yang tingginya antara sepuluh hingga dua puluh kaki berangkai sambung menyambung sepanjang pantai di kaki bukit. Earl mengatakan, sangatlah mustahil dan kurang tepat bila dilihat dari bentuknya yang sistematis dan indahnya batu itu disebabkan oleh benturan gelombang laut. Setelah melalui pantai, nampak menurun landai ke arah belantara yang seakan-akan menyelimutinya. Di sisi sebuah bukit yang kelihatan dari kejauhan seperti diurus dan diolah secara rapi dan bertingkat tinggi.

Menjelang senja hari, Earl beserta rombongan mendekati sebuah muara sungai yang diperkirakan itulah sengai Sinkawan, seperti yang diceritakan dua Cina yang berada di Sungy Ryah. Earl kemudian memerintahkan anak buahnya membuang jangkar di pantai yang berjarak kira-kira empat mil dari muara. Pembuangan jangkar tersebut dilakukan karena kedangkalan air yang tidak memungkinkan kapal untuk merapat lagi. Keesokan harinya, Earl beserta rombongan baru memutuskan turun dengan sekoci. Saat itu fajar telah menampakkan diri dari ufuk timur. Perjalanan Earl bersama rombongan menuju sungai dihalangi kabut. Sementara semakin mendekat ke sungai, air pun semakin dangkal. Earl terpaksa berhenti mendayung sambil menunggu kabut yang sudah mulai menipis, sehingga memungkinkan muara sungai dapat dilihat dengan jelas.Berselang beberapa menit, dari kejauhan terdengar suara dari kelompok orang pada jarak kira-kira seratus yard. Salah seorang diantaranya melantunkan sebauh lagu Melayu berlirik pantun. Karenanya Earl menduga orang-orang tersebut merupakan orang Melayu yang menggemari pantu-pantun. Dan duagaan Earl tersebut terbukti dan benar. Begitu kabut menipis, jelas nampak dari kejauhan di muara sungai dua buh perahu perang besar. Dengan melihat perahu-perahu tersebut, rombongan Earl segera memukul gong secara bertalu-talu.

Mula-mula Earl mengaku merasa was-was dengan kedatangan dua kapal tersebut. Namun perasaan itu hilang karena pada saat itu perahu nampak mengibarkan bendera Belanda dan panji-panji yang menerangkan bahwa mereka adalah perahu-perahu penjelajah Belanda. Setelah berhadapan, Earl mengaku baru mengetahui bahwa dalam kapal sebesar itu tidak ada seorangpun yang berkebangsaan Eropa, namun sebagai komandannya adalah seorang keturunan Melayu. Menurut komandan perahu besar terebut, mereka diutus Residen Sambas untuk memberitahukan kepada romobongan Earl agar mau membatalkan kunjungannya. Dengan alasan, orang-orang Cina yang ada di Sinkawan sangat antipati terhadap orang asing.

Namun penjelasan utusan Residen Sambas tidak membuat niat Earl berubah. Earl tetap berkeras hati untuk tetap menjalin hubungan dagang. Dengan sikap Earl tersebut membuat utusan Residen melunak. Dan mereka menawarkan diri untuk ikut bersama Earl. Earl kemudian mempersilahkan para utusan tersebut duduk dalam sekoci. Sebuah perahu milik utusan mengikuti dari belangkang sekoci tersebut.Earl memperkirakan lebar sungai yang dilaluinya sekitar lima belas yard dengan kedua tepinya tertutup oleh hutan-hutan yang tebal serupa dengan Sungy Ryah. Pepohonan penuh dengan kera. Setelah mengarungi sungai kira-kira tiga mil, sampailah Earl di Sinkawan untuk segera menuju ke rumah pemimpin-pemimpin mereka yang disebut Kung Se. saat itu rumah Kung Se hanya ditunggui oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Laki-laki itu kemudian segera pergi berangkat ke pusat kota untuk memberitahukan kepada Kung Se tentang kedatangan Earl dan rombongan. Tidak lama kemudian, datanglah tiga orang Kung Se diikuti oleh sebagian besar penduduk.

Earl beserta rombongan kemudian dipersilahkan masuk untuk mengambil tempat di sebuah kursi besar. Sedangkan Kung Se dan kedua penterjemah duduk dikursi berhadapan dengan Earl. Perbincangan itu disaksikan sebuah patung dewa yang menduduki tempat di ujung bagian atas dari ruangan. Earl kemudian langsung mengutarakan maksud kunjungan serta ingin mengetahui apakah ada keinginan di pihak mereka untuk membuka hubungan dagang. Selain Earl dan para Kung Se, pada ruangan besar tesebut juga dipenuhi orang-orang Cina yang masing-masing merasa berhak untuk berbicara dan mengutarakan pendapatnya dalam diskusi, serta berusaha untuk saling melebihi dalam memperdengarkan suara. Akhirnya Earl merasa pertanyaan yang diutarakannya tentang hubungan dagang menjadi semakin hiruk pikuk. Akhirnya, untuk menunggu jawaban dari para Kung Se, Earl memutuskan untuk bergembira melepaskan diri dengan alasan untuk melihat-lihat kota. Ketika keluar dari rumah Kung Se, Earl memperhatikan komandan dari perahu penjelajah beserta pengikutnya yang semula juga ikut hadir sudah mulai meninggalkan pertemuan tersebut.

Hasil pengamatan G. Earl, pada tahun 1834, Kota Sinkawan hanya terdiri dari sebuah jalan dengan rumah-rumah kayu yang rendah. Ruanga depan dipergunakan sebagai warung tempat berjualan gandum, daging, barang-barang makanan dan minuman, atau ruangan-ruangan yang disediakan untuk menghisap candu. Rumah Kung Se sendiri terpisah dari kota, terdiri dari sebuah ruangan yang luas untuk transaksi urusan umum dan perniagaan, serta beberapa ruangan yang lebih kecil untuk keluarga dan Kung Se sendiri. Kediaman Kung Se dilingkari oleh dinding tanah dengan halamn berumput yang bersih. Sebuah gerbang menghadap ke kota yang didekatnya ditempatkan meriam-meriam putar, yang masing-masing dapat memuntahkan peluru seberat satu pound.

Penduduknya hampir keseluruhan China, terkecuali beberapa orang melayu. Saat itu kota hampir kosong dari laki-laki karena semua pergi ke kediaman Kung Se dan sementara itu toko atau warung hanya dijaga oleh perempuan yang sebagian besar orang China. Meskipun Dayak merupakan mayoritas penduduk asli pulau Borneo, namun kebanyakan bertempat tinggal di pedalaman. Perempuan-perempuan Dayak hanya satu dua yang tinggal di Kota Sinkawan dan nampak agak heran melihat orang-orang Eropa. Mungkin satu dua orang yang pernah melihat namun karena sifat pemalunya barangkali yang menyebabkan tak dapat menyembunyikan keheranan mereka.

Beberapa diantaranya tampak cantik dan manis serta penuh daya pikat, meskipun ditempatkan di Eropa sekalipun. Raut muka perempuan Dayak mirip dengan Melayu, namun kebanyakan lebih terang warna kulitnya, bahkan banyak yang lebih bersih dari perempuan-perempuan China. Sedang beberapa diantaranya dengan muka kemerahan diterpa matahari sehingga lebih manis. Earl mengaku belum pernah melihat suku-suku lain yang mempunyai perempuan secantik dan semanis Dayak. Hanya dua orang lelaki Dayak yang dijumpai Earl, dan salah seorang darinya dapat berbahasa Melayu. Ketika Earl mengajukan pertanyaan, Earl tidak berhasil medapatkan jawaban sepatah kata pun.
Sebelum bertemua dengan Dayak, Earl hanya mendengar bahwa orang Dayak merupakan orang terasing, keras, serta kejam. Namun ketika berjumpa di Sinkawan, Earl sangat terkejut karena Dayak tersebut begitu sopan dan menarik dalam pembawaannya.

Setelah melakukan pengamatan. Earl kembali ke rumah Kung Se. Ia disambut dengan tembakan meriam tiga kali, sedangkan kemunculan Earl secara mendadak pertama kali tak memungkinkan mereka berbuat serupa. Masih juga terdengar pembicaraan mereka yang sangat bising tetapi segera berhenti dan terdiam ketika Earl memasuki ruangan. Kung Se kemudian mempersilahkan duduk di kursi besar di hadapannya. Kelihatan bagaimana sulitnya Kung Se memulai pembicaraan dan sekarang barulah jelas bahwa Belanda yang berkuasa penuh dilautan saat itu memblokade semua wilayah pantai dengan efisien. Belanda melarang semua hubungan niaga dengan dunia luar. Khususnya China dilarang untuk berhubungan dengan siapapun terkecuali bila melalui kedudukan mereka di Pontianak atau Sambas. Itu sebabnya Kung Se ragu-ragu untuk membuka pelabuhan karena takut dianggap melanggar peraturan tersebut. Sebenarnya mereka khawatir juga bila hubungan dagang tersebut tidak Aarl lanjutkan karena memang sudah lama didambakan.

Kung Se mengharapkan dengan sangat agar Earl menunggu sampai mereka berhubungan dengan Gubernur China yang bermukim di Monterado sebagai ibu negeri. Letak ibu negeri tersebut terletak sejauh kira-kira tiga puluh lima mil perjalanan yang berakibat bagi Earl tertundanya masalah itu paling sedikit empat hari. Karena keinginan para Kung Se, Earl pun berketetapan untuk ke Sambas dan berusaha untuk membereskan persoalan itu dengan Residen Belanda yang ada di sana. Earl beserta rombongan meninggalkan rumah Kung Se. kepergian mereka diiringi banyak penduduk. Earl menuju sekoci dan ia diharapkan oleh penduduk agar dapat cepat kembali ke Sinkawan.

Sesampainya di muara, kedalaman air menginjinkan Earl beserta rombongan untuk meneruskan perjalanan ke kapal, dan terpaksa Earl menambatkan pada salah satu dari perahu jelajah sampai air pasang tiba. Salah satu dari perahu-perahu kecil tidak nampak, kemungkinan telah dikirim ke Sambas utuk melaporkan kedatangan Earl di pantai kepada Residen. Sore hari, Earl berserta rombongan tiba di kapal dan setelah sauh diangkat rombongan dengan kapal Stamford tersebut bertolak ke arah muara sungai Sambas yang terletak kurang lebih dua puluh lima mil sebelah utara Sinkawan. Kira-kira pukul tujuh malam, Earl melintasi sungai Slaku yang ditepinya berada kota Slaku.

Beberapa tahun yang lalu, kota ini pernah mengalami kemajuan perniagaan yang cukup baik namun berakhir dengan adanya serangan malam mendadak oleh suku Dayak, dan hampir sebagian besar penduduknya tewas. Pada tengah malam, Earl tiba di muara sungai Sambas kurang lebih enam mil dari daratan, pada kedalaman lima depa sauh diturunkan. Dua belas Maret 1834 keesokan harinya, pada siang hari Earl turun ke Sekoci bersama dengan seorang kerani (juru tulis) China dan empat orang menuju Sambas dengan maksud untuk membereskan masalah tugas dengan residen Belanda.

Aliran sungai Sambas luar biasa besar dan Earl yakin atas prospek negeri tersebut dengan perairan yang begitu bernilai. Sesudah memasuki sungai itu, suatu jangkauan yang lurus terbentang di hadapannya selebar tiga mil yang seakan merupakan suatu terusan antara daratan. Sedangkan panjangnya tak mungkin diukur dengan pandangan mata. Tepi-tepi sungai tertutup oleh batang-batang kayu yang rimbun dan tak satu pun rumah kelihatan. Tidak sejengkal tanah pun yang sudah diolah, bahkan tidak seekor hewan pun yang kelihatan dapat mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian. Suatu keheningan yang mencekam suasana, kecuali hanya bunyi dayung sekoci.Di kala senja, Earl terbangun dalam suasana yang terasa tidak menggembirakan. Malam mulai turun, sedangkan masih harus dicapai jarak sejauh dua puluh mil untuk sampai di kediaman penduduk, belum lagi mereka harus berbelok memasuki anak sungai sejauh empat belas mil dari muara. Ketika di Sinkawan hanya di beri petunjuk secara umum oleh penduduk Melayu tentang Rute yang harus di tempuh karena kemungkinan untuk tersesat dapat saja terjadi.

Pukul sepuluh malam, rombongan Earl memesuki sebatang anak sungai yang lebarnya lebih kurang seratus yard, dan diperkirakan Sambas terletak di tepi sungai tersebut. Belum sampai satu mil memasuki sungai, tiba-tiba mereka mendengar suara perahu yang mendekat. Dari suara dayung yang ramai, mereka yakin perahu itu berawak banyak. Sebagai lazimnya sungai-sungai besar seperti ini setiap orang yang di jumpai dianggap musuh. Mereka segera berhenti mendayung serta cepat meluncur dibawah bayangan di tepi sungai. Perahu yang tak dikenal itu tetap melaju ke hilir di tengah sungai yang deras. Selanjutnya Dalam perjalanan tak ada hal-hal yang istimewa yang mengganggu, selain binatang-binatang besar tatkala melintas di tepi sungai. Dari suara yg aneh dan khas, anak buah Earl menyimpulkan suara itu suara orang utan. Apapun ia yang pasti memiliki kekuatan yng besar dan tenaga lur biasa. Sebatang pohon di tepi sungai dengan mudah diobrak-abriknya sehingga porak poranda. Untuk saat itu masih tredengar suara dengusnya namun tidak mengikuti kepergian mereka.
Esok harinya ketika fajar menyingsing Earl tiba di Sambas. Rasa senang,lega dan puas meliputi seluruh anggota rombongan. Meskipun secara non stop berdayung hampir selama tujuh belas jam namun tidak terasa lelah.

Setibanya di kota Sambas, Earl segera menjumpai tuan Rumswinkle, residen Belanda di kota itu. Dijelaskan olehnya bahwa peraturan dan ketentuan pemerintah Belanda di Batavia tak mengijinkan Earl untuk mengadakan hubungan dagang dengan Cina di wilayah Sinkawan. Namun menurut residen ia akan berusaha membantu sedapat mungkin asal kapal Stamford dibawa ke Sambas. Saat itu pelabuhan Sambas baru saja dibuka untuk semua kapal dengan bendera apapun. Untuk itulah maka Earl menugaskan kerani Cina untuk mengadakan survey dan penelitian yang mendalam tentang keadaan pasar. Ternyata sekembalinya ia memberikan laporan yang sangat positif dan prospek yang penuh harapan sehingga Earl memutuskan putuskan untuk membawa kapal Stamford ke Sambas.Jam enam petang, Earl meninggalkan Sambas dengan sebuah Yacht kecil milik tuan Rumswinkle. Tiba di muara sungai petang harinya tanggal 12 Maret. Baru keesokan harinya mereka menyusuri sungai Sambas dan bermalam di muara anak sungai. Keesokan harinya lagi, baru perjalanan di lanjutkan kembali.

Dalam perjalanan nampak dedaunan di tepi sungai yang berjarak pandang kira-kira lima puluh yard bergerak-gerak secara teratus. Ternyata beberapa buah kano kecil dengan sejuamlah orang didalamnya mencoba menyembunyikan diri. Rupanya mereka adalah suku Dayak yang kadang-kdang turun ke hilir untuk menangkap ikan. Dua diantaranya berhasil diyakinkan dan dibujuk untuk naik ke papal. Dari gerak gerik mereka, Earl berkesimpulan mereka belum pernah bertemu dengan orang Barat tetapi sikap perilaku mereka sangat sopan dan tertib. Saat mereka akan kembali ke kano, Earl bekali masing-masing dengan tembakau yang sangat mereka gemari. Sepatah dua patah bahasa Melayu mereka ucapkan.Tatkala tuan Rumswinkil menyusul mereka dari Sambas, menyatakan bahwa Earl sangat beruntung dapat bertemu dengan mereka karena ia pun belum pernah bertemu dengan suku Dyak dalam jumlah kecil dan secara bebas jauh menghilir ke sungai dengan kano-kano mereka dalam ukuran panjang kurang lebih sepuluh kaki. Terbuat dari hanya satu batang kayu dan hanya digunakan untuk melintasi aliran sungai yang deras di pedalaman.(Bersambung....)

Risalah Generasi Pak Sakera di Rantau Panjang

Saat itu masih pagi buta. Ayam saja baru berkokok beberapa kali ketika warga Kampung Rantau Panjang dikejutkan suara tiang listrik dipukul bertalu-talu oleh warga Kampung Sei Layang, kampung tetangga.Warga panik, terutama anak-anak dan wanita. Beberapa lari ke jalan. Ada juga yang menerabas semak-semak, masuk hutan karena mengira musuh telah menyerang. Warga lainnya membalas isyarat tersebut dengan memukul tiang listrik juga. Tapi pak Haji Jasuli cuek saja. Ia mencangklong todi’ dan berangkat ke kebun karet untuk menoreh. Dalam bahasa Madura, todi berarti pisau untuk menyadap pohon karet. Jasuli adalah migran gelombang kedua yang tiba di Rantau Panjang, tahun 1971 silam.
Tak cuma warga Rantau Panjang dan Sei Layang yang geger, warga kampung sebelahnya yaitu Sei Pogok pun turut gemetar. Di tengah kekacauan itu, seorang lelaki tergopoh-gopoh menyusul Supandi. ”Eh.., Bisa ndak? Kalau tidak, pengantinnya saja yang ikut ke sana,” teriak lelaki itu. Namanya Sarmawi, utusan pengantin wanita dari Penepat. Dia juga adalah paman Samsiah, calon istri Supandi. Yang menjawab justru Haji Tiyap, ayah Supandi. “Bisa”. Mereka bicara dalam bahasa madura.
Haji Tiyap adalah orang terpandang di Rantau Panjang, generasi gelombang migran pertama yang tiba 1951. Nama aslinya adalah Yusuf, kelahiran Jawa Timur tahun 1934. Tiyap ke Kalimantan Barat naik Kapal Barang milik orang Bugis, untuk mengadu nasib, meninggalkan anak dan istrinya di Madura. Tahun 1980 dia menjadi Kepala Desa Rantau Panjang, menggantikan Haji Usu’. Haji Usu’ orang Bugis. Warga mengenalnya sebagai tokoh yang berilmu tinggi dan berjiwa sosial. Dia tak segan-segan merogoh koceknya sendiri untuk kepentingan warga. Tahun 1995, dia menjual 6 ekor sapinya untuk mendirikan Madrasah. Sekolah tersebut setingkat Sekolah Dasar. Hati Tiyap terenyuh kala melihat anak-anak Rantau Panjang tak mengecap pendidikan.
Supandi adalah anak angkat Tiyap dengan Misrani. Sebab Tiyap memiliki 3 istri. Dengan Misrani ia memiliki 3 anak, yakni Suminten, Suhar dan Nasuha. Suhar kini tinggal di Madura. Meski Supandi cuma anak angkat, tapi Tiyap sangat menyayanginya. Barangkali karena Tiyap tak memiliki anak lelaki. Ayah kandung Supandi sebenarnya bernama Saleh, tetapi sudah meninggalkannya sejak masih dalam kandungan Asma, sang ibu. Asma lantas menikah lagi dengan seorang pedang keliling asal Sambas yang juga bernama Saleh. Tiyap menikahkan Asma dan Saleh dengan perjanjian setelah sang bocah dilahirkan akan diberikan kepadanya. Tepat saat berumur 7 bulan, Supandi kecil resmi diangkat Tiyap sebagai anak.
Meski cuma menamatkan sekolah sampai SMA di Madrasah Aliah Swasta (MAS) Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang, lantaran nama besar ayahnya Supandi muda disenangi dan disegani warga. Ia hidup berkecukupan dan banyak kawan. Kerjanya keluar-masuk kampung dengan speedboat ayahnya. Tiap-tiap kampung dalam kawasan Kuala Mandor B, hingga sepanjang sungai Landak ada saja kenalan dan teman supandi. Hari itu kerusuhan etnik Dayak-Madura pecah di sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Tapi di hari yang sama Supandi harus segera menikah. Haji Tiyap yang menetapkan tanggalnya! Mak comblangnya adalah Sunah, sepupu Supandi. Samsiah adalah gadis cantik yang menurut Sunah cocok untuk Supandi.
Meski kepanikan melanda, Supandi harus berangkat ke Penepat, ke rumah pengantin wanita. Dari Pangkalan Parit Baru, dia diiringi 2 unit speedboat berkekuatan mesin 3 PK milik Haji Kholil. Rombongan berjumlah 20 orang. Para penumpang tegang, kuatir serangan benar-benar terjadi. Bukan orang madura jika tak punya sikap Bangalan (pemberani) dan tak takut addhu ada’ (beradu muka). Karenanya tiap-tiap orang hari itu menenteng senjata tajam, untuk berjaga-jaga. Paling banyak dibawa tentu saja celurit, senjata khas Madura. Tapi Supandi cuma sempat menyelipkan belati di punggungnya. Dari pangkalan, speedboat dipacu Besdi dan Supandi menuju Penepat.

***

AKHIR Desember 1996 memang terjadi kerusuhan etnik dipicu peristiwa perkelahian antar pemuda di Sanggau Ledo. Pada waktu itu Yakundus dan Akim ditusuk Bakri. Bakri beraksi bersama 4 orang kawannya. Akibat peristiwa tersebut terjadi kerusuhan antara etnis Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas. Yakundus dan Akim orang Dayak, sedangkan Bakri Madura.Kerusuhan Sanggau Ledo sebenarnya mulai mereda, tapi meledak lagi dalam skala yang lebih luas menyusul penyerangan terhadap kompleks persekolahan SLTP-SMU Asisi di Siantan, Pontianak Utara. Dalam peristiwa itu dua gadis Dayak asal Jangkang, Kabupaten Sanggau terluka.
Hanya dalam jarak beberapa hari Nyangkot, warga Dayak dari Tebas, Kabupaten Sambas terbunuh di Peniraman Januari 1997. Setelah kedua peristiwa tersebut terjadi, pertikaian etnis Dayak-Madura terus meluas. Terutama karena yang menjadi korban terdiri dari berbagai sub etnis Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Kerusuhan terus meluas hingga ke Kotamadya Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas dan kabupaten Sanggau. Hanya Kabupaten Sintang, Ketapang dan Kapuas Hulu yang tidak terlibat konflik, karena memang di tiga Kabupaten tersebut jumlah orang Madura tidak begitu banyak. Konflik pada tahun 1997 merupakan konflik yang terbesar dalam sejarah konflik antar etnis di Kalimantan Barat dengan korban kurang lebih 500 orang. Sebagian besar orang Madura.
Secara administratif kala itu Rantau Panjang masih termasuk Kecamatan Sebangki, bersama 4 Desa lainnya. Tahun 2000 Kecamatan Penghubung Sambeh atau Sambih resmi menjadi kecamatan definitif dengan nama Kecamatan Sebangki bergabung dengan 9 kecamatan lainnya di Kabupaten Landak. Luas kecamatan ini adalah 885,60 Km2 atau sekitar 88.560 hektar. Ibukota Kecamatan terletak dipinggir Sungai Samih. Jarak kecamatan ini dengan ibukota kabupaten di Ngabang sekitar 80 Km dapat ditempuh dengan jalan darat menuju Simpang Aur Sampuk-Senakin.
Sedangkan Penepat adalah wilayah Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Pontianak. Namun sejak pemekaran 2007 lalu, kawasan ini telah jadi bagian kabupaten Kubu Raya. Karena itu Rantau Panjang juga tak luput dari imbas kerusuhan etnik tersebut. Namun hingga sekarang kerusuhan etnik tidak pernah pecah di kampung itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Supandi dan rombongan akhirnya tiba dengan selamat di Penepat. Perasaannya sudah tak karuan ketika itu. Di Pangkalan, mereka jemput 7 personil Tentara Indonesia (TNI) dari KODAM VI Tanjungpura Balikpapan yang sedang bertugas disana. Meruta Supandi yang meminta ke-7 tentara itu menjemput rombongan.
Menurut Supandi, yang membuat warga tambah geger di kampungnya adalah informasi yang disampaikan juragan motor air jurusan Pontianak-Kumpang bernama (nama disamarkan) dari Kampung Kumpang. “Ada serangan Dayak” katanya menirukan ucapan sopir kepada para penumang motornya. Supandi hanya 15 hari di rumah keluarga Samsiah di Penepat. Ia pulang lantaran Tiyap sudah menyiapkan pesta penyambutan dan resepsi di Rantau Panjang. Lagi-lagi kata Supandi, sopir, menyebarkan isu kalau Tiyap selamatan besar untuk persiapan menyerang orang Dayak di Sebangki. Informasi itu membuat warga Dayak Sebangki dan sekitarnya bersiap-siap bertempur. Tiga hari berikutnya Saujah (Saulan) dikawal 3 lelaki menjemput Supandi untuk dibawa ke Penepat. Saujah yang akrab dipanggil Saulan adalah bibi Supandi. “Hari itu, seluruh warga kampung berjaga-jaga. Perempuan dan anak-anak, menginap di rumah Tiyap. Sebagian lagi mengungsi ke Pontianak.
Hanya Sarbit, salah seorang warga yang ogah ikut mengungsi. Ia percaya orang Dayak tidak akan menyerang dan membunuh warga kampungnya. “Kami sering bertemu orang Darat, mereka datang kesini untuk berburu babi di hutan. Teman saya banyak orang Darat,” katanya. Orang darat yang dimaksud Sarbit adalah orang Dayak. Supandi tak hanya berhasil menikah dengan selamat. Tahun 2001, dia terpilih sebagai Kepala Desa Rantau Panjang dan pada pemilihan Kepala Desa tahun 2008, ia terpilih kembali. Pemuda Madura ini masih menjabat hingga sekarang.

***

SUPANDI bilang, Rantau Panjang diambil dari nama tikungan atau tanjung sungai yang cukup panjang. Sebab tanjung itu melebihi tikungan yang ada di sungai Landak. Di sekitar Rantau Panjang terdapat beberapa kampung yang saling berbatasan lansung. Antara lain Kuala Mandor, Rantau Panjang Kecil, Sungai Gatal, Sungai Jawi, Sungai Pogok, Parit Baru, Kampung Tengah, Tanjung Kepala Dua, Setoket, Kuala Sambeh, Teluk Bakong, Menanik, Teluk Biong dan Krueng.
Kampung Rantau Panjang dikelilingi dua sungai, yaitu Sungai Landak dan Sungai Mandor. Dari dua sungai ini masih mempunyai beberapa anak sungai lagi, yaitu Sungai Gatal, Sungai Jawi, Sungai Pogok dan Sungai Sambeh. Sungai terbesar diantara anak-anak sungai ini adalah Sungai Sambih. Sungai ini menjadi satu-satunya jalur transportasi ke ibukota kecamatan Sebangki. Jarak pusat kampung dari tepi Sungai Mandor hanya sekitar 400 meter. Tapi jika dari pangkalan Siong Kim, jaraknya sekitar 2 Km. Di Pangkalan itu hanya ada dua rumah yang sekaligus berfungsi sebagai toko, gudang sekaligus steigher motor air menuju Kubu Padi dan Retok. Terakhir kali direhab tahun 2005.
Mula-mula jalan utama hanya terdiri dari timbunan tanah galian. Tapi sekitar 1 km sudah di semen warga kampung secara swadaya sejak sejak tahun 2003. Masing-masing menyumbang sesuai kemampuan. Lebarnya pas-pas untuk sepeda motor lewat, sekitar 50 cm saja. Bagi yang pertama kali lewat dengan sepeda motor, pasti rasanya seperti main akrobat. Jika Anda naik motor air dari Pontianak, untuk tiba di Rantau panjang bisa memakan waktu 7 jam. Tapi naik speedboat tentu saja lebih cepat, yaitu cuma butuh waktu satu jam 30 menit. Boleh juga lewat jalur darat, yaitu naik ojek dari Aur Sampuk Desa Senakin Kecamatan Sengah Temila. Dari Pontianak ke Simpang Aur Sampuk cuma dibutuhkan 3 jam perjalanan naik sepeda motor. Nah, Simpang Aur ke Sebangki tinggal 40 Km lagi.
Studi Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) tahun 2004 memetakan wilayah kecamatan Sebangki terdiri atas dataran rendah dan berbukit. Bukit yang terkenal di kecamatan ini adalah Bukit Cempaka. Tak jarang wilayah di sekitar terendam air saat banjir. Sebagian permukiman masyarakat kecamatan ini terletak di dataran rendah seperti Desa Sungai Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan Desa Agak, Desa Sebangki dan Desa Kumpang Tengah umumnya terletak didataran tinggi.
Tahun 2006 lalu penduduk Kecamatan Sebangki mencapai 14.603 jiwa dengan luas wilayah kecamatan 885,60 Km2. Secara administratif kecamatan ini terdiri dari 5 buah desa dengan 27 Dusun. Penyebaran penduduk tidak merata. Penduduk terbesar ada di 3 desa, yaitu: Desa Kumpang Tengah, Desa Sei.Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan 2 desa lainnya yakni Desa Agak dan Desa Sebangki relatif sedikit penduduknya. Menariknya, desa-desa disana tersegregasi oleh etnik. Rantau panjang berada di pesisir Kabupaten Landak yang berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya. ”Sepertinya ada pembagian kelompok etnik berdasarkan desa” komentar Paulus suatu hari. Paulus adalah Aktivis Yayasan Pangingu Binua (YPB) yang kerab bolak balik ke Rantau Panjang sejak tahun 2004. Desa Sebangki terdiri dari 5 Dusun. 3 Dusun umumnya didominasi etnik Dayak dan 2 dusun lainnya Melayu. Di Desa Agak, dari 8 dusun seluruhnya didominasi oleh etnik Dayak. Demikian pula halnya dengan Desa Kumpang Tengah, dari 5 buah dusun semuanya didominasi oleh etnik Dayak. Berbeda dengan 3 desa di atas, Desa Rantau Panjang dan Desa Sei Segak, paling banyak etnik Madura.
Umar Noyo menceritakan beberapa tahun terakhir sungai sekiar sudah keruh tidak sehat. Ikan-ikan dan udang semakin sukar ditangkap.”Ini akibat penambangan emas di hulu Sungai Mandor,” ujarnya suatu hari dengan wajah murung. Umar adalah pernah menjadi penyiar Radio komunitas di kampung itu. Radio tersebut dibangun sejak 2005 berkat dukungan YPPN yang dibantu Yayasan Tifa Jakarta.
Umar Noyo dan Supandi sama-sama alumni Madrasah Ibtidaiyah Tabiyatul Islamiyah Rantau Panjang. Sekitar tahun 1962, Ustad Maksudi, datang memberi pendidikan dan mengajar ilmu agama di Rantau Panjang. Empat tahun Dia menetap, tapi tahun 1968 sang ustad kembali ke Pontianak. Untunglah segera datang M. Zamachsyari, tokoh agama dari pulau Jawa mengisi kekosongan. Zamachsyari menikah dengan anak Mbah Mahat. Sekitar tahun 1980-an menantu Mahat ini mendirikan yayasan Madrasah yang mengajarkan pendidikan agama. Tahun 1984 sekolah itu mulai mengajar pendidikan umum, setara dengan SD yang dibina langsung oleh Zamachsyari. ”Waktu itu sedikit sekali yang berpendidikan umum,” kata Noyo.
Kebanyakan teman-temannya menimba ilmu di pesantren. Ada yang dikirim orang tuanya ke pesantren di Pulau Madura. Kini generasi Rantau Panjang bahkan sudah menjadi mahasiswa di Universitas Sekolah Tinggi Ilmu Agama Negeri Pontianak dan Universitas Muhammadiyah Pontianak. Setelah SD yang dibangun secara swadaya itu cukup maju, dibangun lagi sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs), setara dengan SLTP. Kemudian dibuka lagi Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS). Kini MIS tersebut sudah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). Sekolah ini satu-satunya Madrasyah Ibtidaiyah Negeri yang ada di Kabupaten Landak. Noyo bersyukur sekarang banyak anak-anak dimapungnya mengecap bangku sekolah. Tapi hidup terjepit di antara parit bukanlah hal yang mudah. Sayur sawi, kacang, ikan libis, sambal ikan teri, telur, sebagian besar harus didatangkan dari Pontianak. Padahal ongkosnya sangat tinggi. Sekali berangkat Rp 100 ribu melayang dari kocek. ”Uang sebesar itu biasanya habis untuk ongkos tambang.” Tambang adalah sejenis taxi air yang banyak mondar-mandir di sepanjang Sungai Mandor atau Sungai Landak. Tanah Rantau Panjang payah. Sukar untuk menanam sayur, karena tanahnya asam dan sebagian besar gambut. Tak heran bila Sekitar tahun 1984 generasi muda kampung mulai enggan bertani. Booming industri kayu di Kalimantan Barat membuat mereka tergiur menjadi buruh dan meninggalkan kampung.
***

SARBIT adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Dia lahir tahun 1938 di Kampung Tolang, Sampang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Saniman sedangkan ibu bernama Sabina. “Waktu itu masih jaman kolonial Belanda, penduduk kampung dipaksa untuk menanam jagung, padi dan ubi untuk keperluan perang,” kenang Sarbit. Di Rantau Panjang ia dikenal dengan nama Haji Jasuli. Sarbit adalah generasi gelombang kedua yang tiba di Rantau Panjang. Dia mengenang perjuangannya tiba di Rantau Panjang dengan air mata berlinang. “Setelah panen, semua hasil harus disetor ke tentara. Untuk makan, penduduk menyembunyikan padi dalam tahi sapi atau tahi kuda,” katanya membuka kisah.
Kampung Tolang dipimpin seorang Klebon bernama Satawi. Kelebon dalam bahasa Madura artinya Kepala Desa. Umumnya penduduk kampung beragama Islam. Mereka sangat miskin dan hidup dalam tekanan. Salah satu tempat yang terkenal di kampung itu adalah Puju’ Matal, makam seorang ulama yang bernama Matal. Tempat kemudian dijadikan tempat keramat warga kampung. Makam tersebut terletak di tengah-tengah kampung. Ke tempat inilah warga sering mengadu dan berdoa minta keselamatan dan perlindungan. Keluarga Sarbit juga sering datang kesana.
Karena kesulitan hidup, Saniman memutuskan pergi mengadu nasib ke Kalimantan Barat bersama beberapa sahabatnya. Mereka berlayar menumpang kapal kayu. Tak terbilang penderitaan sang ayah saat menempuh badai lautan selama 40 hari sebelum tiba di Kalimantan Barat. Rombongan itu akhirnya terdampar di Mempawah, Kabupaten Pontianak sekarang. Saniman menjadi petani jagung dan padi di Parit Banjar. Mereka menyewa tanah milik orang Bugis bernama Haji Derahem.
Setahun kemudian sang Saniman meminta agar istrinya, serta Sarbit dan saudara-saudaranya menyusul. Umur sarbit ketika itu baru 14 tahun. Matanya cekung, kurang gizi. Kulitnya seperti kulit orang Madura rata-rata, coklat dan kurus. Tapi ia cukup tinggi untuk remaja seusianya. Embun masih menetes dinihari itu ketika Sarbit, meninggalkan kampung bersama Sati, Busiran dan Sabina, ibunya. Sati adalah sepupu sekali Sarbit, sedangkan Busiran adalah adiknya. Mereka nekad berjalan kaki sekitar 2 jam menuju pasar Bring Koning, padahal di celana hitam pendek yang dipakai Sarbit cuma ada uang Rp 5.
Baju hitam lengan pendek dan topi sapu’ (topi khas madura), tak mampu menghalau udara dingin yang menghabur dari pasar. Dari sana mereka menumpang dokar menuju Tepiruk. Dalam bahasa Jawa artinya telaga biru. Mereka harus menanti kapal yang akan berangkat ke Kalimantan. Wajah Sabina berbinar setelah 6 hari menanti. Terbayang ia akan berkumpul kembali dengan sang suami. Akhirnya Kapal Jaya Murni, bertolak juga ke Kalimantan Barat. Jaya Murni hanyalah kapal kecil pengangkut barang yang terbuat dari kayu. Warnanya sudah kusam-masam. Lebar kapal 3 meter dengan panjang 10 meter. Ada sekitar 20 penumpang berjejal di dalamnya.
Tak seperti kapal-kapal modern jaman sekarang, Jaya Murni tak memiliki mesin. Agar dapat berlayar, sepenuhnya mengandalkan angin dengan layar yang cukup lebar dan dapat diputar-putar. Juragan kapal adalah lelaki muda yang tabah. “Namanya Ilyas,” kenang Sarbit. Sarbit adalah remaja yang percaya diri. Dia ingat pesan ayahnya. ”Di laut, kamu hanya bertetangga dengan air dan langit. Berdoalah kepada Allah, serahkan dirimu pada-Nya”. Dia mengucapkannya lagi kalimat itu, seperti sebuah penggalan doa sebelum kapal bertolak ke laut lepas.
Dua hari dua malam berlayar, tiba-tiba badai mengamuk. Kapal oleng dibanting-banting ombak. Dunia seakan berputar-putar. Tiang layar tengah kapal patah. “Allahuakbar!”. “Allahuakbar!” Para penumpang berteriak panik. Ilyas meminta penumpang berdzikir, mohon keselamatan. Eeh, Sarbit malah cuma cengegesan. “Saya takut salah melafal doa karena situasi sedang panik”. Penumpang muntah-muntah, mabuk laut. Seluruh isi perut kapal berantakan. Ruap masam aroma muntah memenuhi kapal bercampur asin laut. Tak bisa lagi dibersihkan. Akibatnya mereka tidur pun beralas muntah. Sarbit tidur sambil duduk, terkadang melengkung mengikuti tekstur kapal.
Mata Sarbit berkaca-kaca ketika menceritakan pengalamannya itu. Tak lama kemudian ia menangis sesenggukan. Wajah tuanya semakin keruh, guratan dahinya seakan bertambah dalam. “Selama di Kapal kami tidur beralas jerami padi dan jagung. Kencing pun dalam kapal”. Hari ketujuh, kapal merapat di Parit Wan Salim, Siantan Pontianak. Penumpang seakan menemukan surga ketika tingkap kapal dibuka. Sarbit bersaudara dan ibunya menginap di rumah Saino, salah seorang pamannya. Seminggu kemudian barulah sang ayah datang menjemput. Sarbit hanya 2 tahun tinggal di rumah mereka di Parit Banjar. Saniman kemudian bekerja sebagai juragan angkutan motor air jurusan Pontianak-Retok.
Sarbit ikut sang ayah, menjadi kondektur motor air sekaligus mencari tempat baru untuk bermukin. Suatu kali ia singgah di Kampung Sungai Samak, Teluk Dalam, Kecamatan Sungai Ambawang. Rupanya banyak warga Madura bekerja dan menetap di sana. Sarbit memutuskan tinggal dan bekerja sebagai penoreh getah karet di kebun Haji Abu. Abu adalah orang Bugis. Tapi dia tak kerasan. Setahun kemudian Sarbit pindah ke Parit Mahidin. Lagi-lagi menjadi kuli pemotong karet. Tapi kali ini ia bekerja pada orang Tionghoa, yaitu A Lo. Selain memiliki kebun karet yang cukup luas, A Lo juga punya toko penampung karet. Sarbit muda menikah dengan Masirah. Karena tak punya anak ia lantas bercerai lalu menikahi Masiyem. Lagi-lagi tak dapat anak. Ia menceraikan Masiyem dan menikah lagi dengan Satifah yang kini hidup bersamanya. Mereka memiliki 7 anak, 3 laki-laki dan 4 perempuan. Saat anak keduanya lahir Sarbit pindah lagi ke kampung Rantau Panjang. Untuk mengepulkan asap dapur ia bekerja menoreh karet pada Hasan. “Sistemnya ngoli”. Maksud Sarbit adalah bagi hasil dengan pemilik kebun, yaitu 50 persen untuk Hasan, 50 persen lagi jadi haknya. Rata-rata dia bisa mendapatkan lateks 20 Kg lateks karet. Harganya kala itu sekitar Rp.3 per kilogram. Karet tersebut dijual pada Atan, warga Tionghoa yang tinggal disana.
Tahun 1980 Sarbit naik haji ke Mekkah. Ia mengganti namanya menjadi Haji Jasuli. Walau sudah menjadi warga Kalbar, ia tak bisa melupakan kampung Tolang. Sudah 2 kali ia kembali ke Madura. Yang pertama tahun 1980. Sendirian saja dan hanya sempat tinggal 12 hari di sana. Tahun 1999, dia pergi lagi, sekalian menjemput keponakannya. Tahun 2001 lalu Sarbit naik haji untuk kedua kalinya. Ia dianggap sebagai tokoh dan sepuh madura di kampung. Sekarang Sarbit tinggal di rumah anak bungsunya yang bernama Naji, persis di sebelah rumah Nakip, putra sulungnya.

***
JIKA Sarbit, Tiyap adalah generasi yang lahir di pulau garam, Supandi adalah generasi yang dilahirkan di tanah Borneo. Tapi mereka tetaplah orang Madura. Emha Ainun Nadjib sebagaimana dikutip http://maduracenter.wordpress.com, pernah mengungkapkan bahwa manusia Madura merupakan the most favorable people yang watak dan kepribadiannya patut dipuji dan dikagumi dengan setulus hati. Belum lagi dari aspek cara berbicaranya, peribahasanya yang menggambarkan prinsip hidupnya, kegemarannya bermigrasi ke berbagai pelosok negeri dan lain-lain. “Tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang Madura,” kata Emha. Panggilan akrabnya Cak Nun. Dia adalah salah satu dari sastrawan terkemuka di Indonesia, kelahiran Jombang, Jawa Timur.
Disertasi Hendro S Sudagung yang berjudul Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, menyebutkan kedatangan orang Madura ke daerah ini, dibagi dalam tiga periode. Pertama, 1902-1942 ketika Kalimantan dan Madura diperintah oleh Kerajaan Belanda. Migrasi ini berlangsung lambat dan terus-menerus. Kedua, migrasi yang terjadi pada zaman peralihan kekuasaan, saat Perang Dunia II, antara 1942 dan 1950. Saat itu Jepang menduduki Hindia Belanda, lalu terjadi kekosongan kekuasaan, sesudah Amerika mengalahkan Jepang pada Agustus 1945. Antara 1945-1950, terjadi diplomasi internasional guna menetapkan status Hindia Belanda, dimana pemenangnya sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketiga, migrasi yang terjadi pada zaman Republik Indonesia, 1950-1980.
Perpindahan orang Madura ke Kalimantan Barat, juga dikarenakan faktor perdagangan. Orang Madura biasa mengarungi lautan, dan menjadi pedagang antar pulau. Selain mendarat di Ketapang dan Pontianak, para pedagang sapi sapi itu, juga mendarat di pelabuhan Pemangkat, di daerah kekuasaan Keraton Sambas. Buku yang berjudul Manusia Madura, yang ditulis Mien A. Rifai, peneliti senior di LIPI yang juga berdarah asli Madura mengupas seluk-beluk sebenarnya akan kehidupan manusia Madura. Mengupas secara verbal siapa sebenarnya mereka yang selama ini banyak distigmakan negatif. Sejarah membuktikan kelompok etnis ini adalah termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tahan bantingan zaman. Terbukti dari kemampuannya beradaptasi dan sikap toleransi yang tinggi terhadap perubahan, keuletan kerja tak tertandingi, dan keteguhan berpegang pada asas falsafah hidup yang diyakininya. Walaupun kerap dipandang sinis, tapi diakui pula bahwa orang Madura memiliki keberanian, kepetualangan, kelurusan, kesetiaan, kerajinan, kehematan, keceriaan dan rasa humor yang khas. Sikap ini pula yang diwariskan kepada generasi Madura yang kini metap di Rantau panjang.
Ketika pertama kali datang ke Rantau Panjang, Sarbit hanya menemukan hutan dan semak belukar serta beberapa petak ladang. Cuma enam keluarga saja yang hidup disana, yakni Siptina, Sarimah, Suyad, Timah, Puteh dan Longgi. Suyad menjadi pemimpin kampung. “Pondok hanya ada di tengah-tengah ladang dan kabun karet.”
Tidak ada jalan darat kala itu. Untuk datang atau pergi ke kampung itu, Sarbit hanya mengandalkan perahu kecil, karena jalur satu-satunya cuma via sungai. Sekitar tahun 1970 kata Sarbit, di tepian sungai, tinggal orang tiongha bernama Ago, Atang, Siongkim dan Atok. Setahun setelah kedatangannya, Sarbit bertemu Haji Tiyap di arena sabung ayam, kawasan Sei Jawi Rantau Panjang.Dia pernah mendengar cerita orang tentang lelaki itu. Di kalangan Madura di sana Tiyap nyaris seperti legenda. “Dia berilmu tinggi, bisa terbang dan memiliki 2 buah celurit pusaka. Jika dicabut, celurit tersebut mengeluarkan pijaran api.” Karena itu Tiyap sangat disegani kawan, ditakuti lawan, selain berjiwa sosial tinggi.
Jika Mat Sudi memerintahkan warga kerja bakti membangun jalan, Tiyap seringkali menyumbang 2 slop rokok dan gula kopi. Mat Sudi adalah Klebon Rantau Panjang kala itu. Tapi jika Tiyap tahu ada warga yang malas, dia akan mendatangi rumah warga tersebut dan memaksanya ikut bekerja bakti. “Jika menolak, Tiyap tak segan-segan menampar dan menantangnya berkelahi.” Madura Rantau Panjang kata Supandi sebagian besar berasal dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Saat perang kemerdekaan di tanah Jawa, mereka berlayar untuk mencari penghidupan ke Kalimantan dengan perahu layar tanpa mesin, yaitu kapal pengangkut sapi. Akhirnya mereka terdampar di Kalimantan Barat. Kala itu masih banyak lahan kosong dalam penguasaan Kesultanan Pontianak. Atas perintah Sultan, mereka membuka hutan-hutan untuk bercocok tanam dan kebun ke arah hulu Sungai Landak. Namun yang mula-mula membuka kawasan Rantau Panjang adalah orang Bugis. Orang Madura bekerja kepada mereka sebagai kuli. Nama orang-orang Bugis tersebut adalah Wak Lumpak, Wak Tepok, Wak Bampe’ dan Wak Becce’. Mereka adalah saudara sekandung. Selain itu ada juga ada beberapa yang ikut bersama mereka, diantaranya Wak Remang, Wak Kunduk dan adiknya Wak Bundre. Mereka datang dari Sulawesi, membuka kawasan hutan di Rantau Panjang.
Dengan reputasi orang Madura yang telah mereka kenal, para perantau Bugis ini lantas mepekerjakan 12 orang-orang Madura untuk membuka kawasan hutan. Mereka adalah Mbah Mahad, Mbah Uyar, Mbah Punadin, Mbah Tarsimah, Mbah Longgik, Pak Pacer, Pak Nek, Kejjeng, Madin, Mayar, Nawar, Pak Sukarti, Pak Munanti. “Orang Madura menyebut mereka toke,” kata Supandi.
Orang-orang Bugis mengajak orang Madura membantunya membuka lahan dengan kesepakatan bahwa jika luas tanah yang dibersihkan 100 m, maka 25 m untuk pekerja. Sedangkan 75 sisanya untuk orang bugis. ”Selain berupa bagi tanah biasanya ada upah berupa uang,” terang Supandi. Mula-mula rombongan ini membuat pondok kecil dalam hutan. Karena melihat kawasannya cukup subur, mereka memilih menetap. Karena selain diberi upah oleh toke, mereka juga diberi lokasi untuk membangun rumah. Merasa pekerjaannya membawa hasil atau keuntungan, maka mereka mengajak keluarganya yang lain untuk datang ke Rantau Panjang untuk berkerja.

***
Di Rantau Panjang dominan suku madura, tentu saja beragama islam. Jumlahnya mencapai 97 persen. Hanya sekitar 3 persen saja yang bukan, yaitu Tionghoa. Padahal dulunya cukup banyak orang Bugis. Tapi sejak tahun 1980-an, ketika jumlah orang Madura terus bertambah, jumlah suku ini terus menyusut dan akhirnya hilang sama sekali dari kampung itu. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Madura biasa selain bahasa Apesah. Sebenarnya kedua bahasa ini tak jauh berbeda. Namun untuk kalangan tua dan tokoh masyarakat kerab berbahasa apar pesan. Yaitu bahasa yang dianggap asli dari pulau Madura. Bahasa ini dianggap bahasa halus, karenanya baru dipakai ketika berbicara dengan tokoh ulama atau kiyai. Tata krama atau aturan agama yang telah dianut dari zaman nenek moyang dijunjung tinggi. Terutama larangan dan perintah agama yang tertera dalam Alquran. Antara orang Madura dengan aturan agama ibarat garam dan laut. Tapi Supandi juga mencatat masih ada saja warganya bermain judi, mabuk-mabukan, sabung ayam, dan main lotre seperti togel atau toto gelap. Menurut Wiyata, (2002:254) kelompok ini disebut blater. Blater adalah kelompok sosial orang-orang yang memiliki kecenderungan berperilaku kriminal.
Tahun 1985 Polisi datang menggerebek. Warga yang sedang asyik mengadu ayam pucat-pasi melihat polisi tiba-tiba nongol. Ayam dan sejumlah uang taruhan disita. Kata Yusuf alias Haji Tiyap, Teteng yang melaporkannya. Dia guru sekolah dasar di kampung itu. Mendengar warganya ditangkap Tiyap geram. Dia adalah Kelebon Rantau Panjang masa itu. Sambil menenteng dayung Tiyap menyatroni rumah Teteng. Tapi Tetang bekelit sehingga Tiyap makin berang. Dayung di tangan pun melayang menghantam Teteng. Pak guru itu memar dan luka-luka. Dia segera diamankan ke Pos Polisi terdekat. Belakangan Teteng angkat kaki dari Rantau Panjang. Mei 2004, Paulus FS dan Yohanes Bosco dari YPB mewawancari Tiyap. Umurnya sudah 70 tahun. “Selama ini setiap kasus-kasus kecil tidak ada yang tidak terselesaikan, mengapa harus datangkan polisi, apalagi caranya tidak benar, semua barang tangkapan bukannya dijadikan barang bukti tapi di bawa ke tempat Teteng,” katanya. Ada juga warga yang masih percaya pada hantu jarring dan hujan panas serta kepercayaan memelihara tuyul untuk mendapatkan harta dengan jalan pintas.“Saat hujan panas turun, mereka percaya ada makluk halus yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit,” kata Supandi. Kalangan ini sangat yakin jika kena gangguan hantu jarring dan hujan panas, jarang ada yang mampu bertahan hidup. Tapi bila sanggup bertahan selama 3 hari, maka niscaya korban bisa selamat.
Ciri khas warga Rantau Panjang dalam kehidupan sosial adalah tradisi gotong royong membuat jalan umum, membangun tempat ibadah, tolong-menolong satu sama lain. Karena itu jarang sekali terjadi konflik antar sesama warga. Kalau pun ada menurut supandi biasanya disebabkan masuknya faktor eksternal. Buktinya kata Supandi dalam beberapa kali kerusuhan etnik, warga Rantau Panjang tidak terlibat. Sebelum tahun 1994 warga kampung sangat sulit mendapatkan layanan kesehatan. Baru sekitar 1994-1997 ada petugas bidan desa yang ditugaskan pemerintah ke sana. “Itu pun datangnya hanya satu minggu satu kali, bahkan terkiadang satu bulan tidak nongol,” kenang Supandi. Alasannya, klasik, sulit transportasi dan jauh dari pontianak. Tahun 1999-2001 kembali ditugaskan Bidan Desa Petugas Tidak Tetap (PTT) dari ibu kota provinsi. Bidan ini pun setali tiga uang dengan yang pertama. Jika demam, flu dan penyakit ringan lainnya, warga datang ke dukun kampung atau menggunakan racikan obat trdisional.
Seperti Sarbit, sebagian besar warga mengandalkan pendapatannya dari menoreh karet. Hampir sebagian besar wilayah kampung terdiri dari hamparan kebun karet. Tahun 1989 warga Rantau Panjang mendapat bantuan bibit karet unggul dari pemerintah. Namun gagal karena tak tahu cara menanamnya. Selain berkebun karet, untuk pangan mereka menanam padi dan jagung. Hanya sedikit golongan yang tingkat ekonominya cukup baik. Kalangan ini misalnya para pedagang. Warga menyebutnya toke. Pedagang karet disebut toke karet. Sekarang tak kurang dari 5 toke karet di kampung itu.
Pekerjaan lainnya yang dilakukan warga adalah berladang. Untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga, mereka rajin mencari ikan. Semua pekerjaan dalam rumah sangat dominan dilakukan kaum perempuan, sedangkan di luar rumah dikerjakan para lelaki. Tapi perempuan dikampung ini juga bekerja di luar rumah, seperti noreh karet dan berladang tadi.
Pengambilan keputusan-keputusan penting dalam keluarga maupun masyarakat, dominan diambil oleh kaum pria. Remaja perempuan, sebatas membantu saja, sementara remaja laki-laki banyak yang menjadi buruh. Sebagian besar waktunya dihabiskan di luar kampung. Ada juga yang beternak ayam. Para peternak bisa mendapat untung lumayan ketika hari besar keagamaan. Seperti idul fitri, idul adha, maulud nabi. Ayam-ayam dijual murah dan kadang-kadang dapat memberi untung. Sekitar 90 persen lebih lahan di kampung adalah gambut. Karena itu jika hujan turun jalan menjadi mudah becek. Kiri kanan jalan dibangun parit berukuran 1-1,5 m yang dikelilingi pohon karet. Selain itu juga pohon buah-buahan seperti asam mangga, pinang, pisang, rambutan, pisang dan lain sebagainya. Selebihnya adalah semak belukar.
Rata-rata bangunan rumah di Rantau Panjang nyaris sama. Tapi beberapa cukup bagus dan kokoh. Misalnya rumah Supandi, dibangun dengan ikat beton. Tapi rata-rata masih berdinding papan. Diantara 10 rumah, biasanya dibatasi parit kecil. Airnya coklat pekat, kehitam-hitaman. Di pekarangan nyaris tak ada tanaman. Pola pemukiman masih mengikuti kebiasaan mereka di pulau Madura yaitu taneyan lanjang. Yakni halaman panjang.”Deretan halaman rumah yang terbangun dalam kesatuan permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan” ujar Khotifah. Khotifah adalah seorang guru di kampung itu. Dia satu diantara sedikit kaum terpelajar di Rantau Panjang. Jilbabnya melambai-lambai saat mengajar di depan kelas.
Dia menerangkan kalau Pengnpuni rumah sangat terikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anak perempuan menikah, suaminya akan menetap di rumah yang telah disediakan orang tua perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah. Bagi orang Madura anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga intinya. Karena itu struktur pemukiman lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan dalam keluarganya. Pola ini juga menunjukkan hubungan erat antara tanah dan kekerabatan. Bukan sembarangan orang yang tinggal di dalam tanean lajang. Penghuni biasanya adalah anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya.
Di Pulau Madura, terutama didaerah pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai pola berjajar ideal tanean lajang, pengelompokkan rumah tangga yang membentuk keluarga besar masih menonjol sekali. Letak rumah tidak sejajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak lagi memanjang. ”Ini menggambarkan system pewarisan tanah orang Madura dirantau masih sesuai dengan aturan adat yang berlaku dinegeri asalnya,” kata Khotifah. Diantara 10 rumah, umumnya dibatasi sebuah parit kecil. Air paritnya juga berwarna coklat, malah terkesan kehitam-hitaman. Dipekarangan tidak terlalu banyak yang ditanam warga. ”kampung kami setiap minggu selalu terkena banjir pasang sungai” ujar Khotifah membuka cerita. Di hari-hari senggang penduduk kampung menggelar kesenian sandur. Kesenian khas Madura berupa atraksi pencak silat. Penonton dari luar kampung boleh masuk arena dan mempertontonkan keahliannya bermain silat. “Hal tesebut dapat mempererat hubungan kekerabatan dan rasa persatuan antar masyarakat,” kata Rusmidi. Dia dan teman sebanyanya selalu menyempatkan diri menonton sandur. Pemuda berusia 19 tahun ini adalah Cucu Sarbit, anak lelaki Mohamad Nakip. Ia masih sekolah di Madrasah Aliyah Swasta Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang. 2001 lalu dia pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Miftahuddinijah, Desa Telangoh Kecamatan Tanjung Bui Kabupaten Bangkalan. Tahun 2004 Rusmidi dan kedua rekan sekampungnya, Rube’i, dan Jumad, pulang ke Rantau Panjang.
***
Rantau Panjang termasuk kampung yang aman. Jarang terdengar drama kemanusian besar di sana. Peneliti YPB hanya menemukan kasus pencurian, kawin lari dan penganiayaan. Yang paling berat cuma kasus rampok dan carok. Bagi orang Madura Carok adalah simbol perlawanan memperjuangkan kehormatan. Namun sebuah situs http://posmo.wordpress.com menulis kalau Carok baru muncul abad 18 M. Sebab zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, budaya ini belum dipraktikkan. Pertarungan masih dilakukan dengan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul zaman Pak Sakera, Mandor tebu dari Pasuruan.
Studi tentang carok oleh Wiyata (2002:170-185) mengungkapkan, adalah pantangan bagi orang Madura menanggung malu. Ungkapan bahasa madura yang berbunyi “ango’an poteya tolang etembeng poteya mata”, adalah referensi sekaligus manifestasi terjadinya carok. Artinya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu. Mei 2004 lalu, Paulus dan Y Bosco menulis laporan tentang kasus-kasus yang pernah terjadi di kampung itu. Antara lain Kasus Pembunuhan Suba’i. Peristiwanya terjadi 1983. Bermula ketika Umi berpacaran dengan Samsiar. Mereka pernah berfoto bersama saat pacaran. Hubungan itu tak langgeng, mereka pun putus di tengah jalan. Setelah itu Umi pacaran lagi dengan Suba’i. Hubungan berlanjut hingga ke pelaminan. Suatu hari Suba’i menemukan foto mesra Umi dan Samsiar. Darah Suba’i pun terbakar, mengira istrinya berselingkuh. Suba’i yang kalap mendatangi Samsiar dan memukulnya.
Bagi orang Madura menjaga nama baik keluarga adalah utama. Jika salah satu kerabatnya dipermalukan atau dianiaya, dianggap penghinaan yang melukai perasaan. Tumoi memang bukan Pak Sakera, tokoh legenda masyarakat Madura. Tapi darah maduranya terbakar mengetahui Samsiar, sepupunya itu dihina. Tanpa ragu-ragu dia menghunus celurit. Hanya dalam beberapa tebasan, Suba’i pun roboh bersimbah darah tak bernyawa lagi. Singkat cerita, Tumoi pun ditangkap polisi, Resort Mempawah. Dia dihukum 12 tahun penjara. Usai menjalani hukuman, Tumoi lantas pulang ke Madura







TANAMKAN SIKAP MENGHARGAI KEBERAGAMAN, LSM YPPN GELAR SEMINAR PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di Kalimantan Barat. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.

"Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, dan agama, " kata Ketua STKIP PGRI Pontianak, Prof.Dr.Samion, M.Pd, , di sela-sela seminar pendidikan multikultural, yang digelar Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) di Wisma Nusantara, Pontianak, Sabtu, (13/6).

Selain Prof.Dr. Samion, M.Pd, tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Dr. Herculanus Bahari Sindju, M.Pd, Yohanes Supriyadi, SE, Direktur Program Pendidikan LSM YPPN, dan Dr. M Rifaat, Dosen Universitas Tanjungpura. Samion menjelaskan, banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah selama ini. "Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh LSM YPPN ini, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman," terang Samion. Dijelaskan, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.

Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi," kata Dr. Herculanus Bahari Sindju, seorang narasumber. Bahari menjelaskan, untuk menghindari konflik antar etnis seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Kalimantan Barat, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.

Pada model pendidikan ini, jelasnya, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. "Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa," katanya.

Bahari menerangkan, metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung.

"Dari serangkaian uji coba program pengembangan model pendidikan multikultural di 40 sekolah tingkat SMP dan SMA se-Kalbar yang dikembangkan LSM YPPN sejak tahun 2005, bisa diketahui beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya, toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri," kata salah satu konsultan pendidikan di LSM YPPN ini. Bahari menambahkan, program pendidikan multikultural dalam penerapannya nanti bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, namun terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran, sehingga dalam implementasinya perlu dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan inovatif.

"Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar," katanya.

Aspan, S.Pd, guru SMPN 2 Menjalin yang hadir dalam seminar ini menjelaskan bahwa berbagai usaha untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan dalam masyarakat Kalimantan Barat yang pluralis akan gagal dan sia-sia apabila tidak dimulai dengan pendidikan anti kekerasan saat anak-anak masih kecil. “Yang diharapkan dari pendidikan anti kekerasan pada anak adalah bila mereka sudah dididik untuk menyelesaikan masalah-masalaha nyata dan kecil secara efekif dan tanpa kekerasan, maka bila sudah dewasa mereka akan mampu menyelesaikan secara damai masalah-masalah yang lebih besar dan lebih abstrak yang terjadi dalam masyarakat luas” ujarnya.

Sementara itu, Ir. Kristianus Atok, M.Si, Ketua LSM YPPN menjelaskan, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak megembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter.

"Dengan begini, siswa juga memahami kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa ini. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik," katanya.

Dalam menggagas model ini, Atok, memaparkan, LSM YPPN telah melakukan uji coba berbagai program pendidikan luar sekolah pada 40 SMP dan SMA di Sambas, Singkawang, Bengkayang, Pontianak, Landak dan Kubu Raya sejak tahun 2005 lalu. Dikatakan, model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. "Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio visual. Karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural," kata mahasiswa program Doktor University Kebangsaan Malaysia (UKM) di Kuala Lumpur asal Menjalin-Landak ini.. (Edisi cetak, Tabloid Simpado, edisi I/Juni-Labuh Singal/2009)




WANITA LANDAK JADI REKTOR DI KENYA

Sulit menjadi pejabat di perguruan tinggi dalam negeri, ternyata ada orang Landak yang dipercaya menjadi seorang Rektor sebuah perguruan tinggi diluar negeri. Adalah Sr. Xaveria, SFIC, biasa dipanggil Arpina. Sejak 2003, ia memimpin sebuah kampus bernama The Teresia van Miert Development Centre (TMDC), di Nairobi, Kenya, Afrika Timur. Siapakah Suster Xaveria ? Bagaimana Suster ini bisa memimpin kampus diluar negeri ? beberapa bulan lalu, team Simpado berhasil mewawancarainya di Pontianak dan di Nangka-Menjalin. Berikut petikannya.

****
Orang Kenya memanggilnya muzunggu. Dalam bahasa Kiswahili, muzunggu artinya kulit putih. Suster ini memang berkulit putih.Walau kini sudah mulai sepuh, tapi sisa kecantikannya belum pupus. Di biaranya di Kenya, ia biasa disapa Kak Save oleh para juniornya. Sejak tahun 2003 Arpina memimpin sebuah kampus bernama The Teresia van Miert Development Centre (TMDC), di Nairobi. Dia putri Dayak Kalbar pertama yang dipercaya menjadi Rektor sebuah collalge di negara kawasan Afrika Timur yang berpenduduk 38 jiwa itu. Kesetiannya membiara dan hidup untuk melayani sesama, terutama bagi orang miskin dan yang menderita telah membawanya melenting jauh hingga ke negeri yang hanya pernah dia kenalnya dalam peta, yaitu ke sebuah kota yang oleh suku Maasai dijuluki sebagai Ewaso Nai’beri, yang artinya negeri air dingin.


Tahun 1993 kongregasinya mencari siapa suster yang bersedia dikirim ke luar negeri, persyaratanya sangat berat. Ia sendiri tak yakin bisa lolos, tetapi bukan Arpina namanya jika tak berani mencoba. ”Walau sebenarnya saya tak tahu apa yang harus dilakukan, atau dikerjakan disana?” kenang Arpina. SFIC didirikan di Belanda pada tahun 1824. ”Suster itu seperti tentara,” artinya siap ditempatkan dimana saja. Ada yang melayani di dalam negara, ada yang di luar Negara” lanjutnya. Tahun 1993 orang Kalbar pertama yang ke Kenya adalah Sr Sabina, asal Kuala Dua, Jemungko, Kabupaten Sanggau. Kini, Arpina hanya bisa pulang tiap 3 tahun sekali. Tahun 1997, Arpina berangkat ke Fillifina, tinggal selama 1 bulan disana untuk mengurus visa. Lalu diberangkatkan ke Kenya, untuk bidang pendidikan. Mula-mula tinggal di Kenya, ada rasa rindu pada kampung halaman, tetapi lama kelamaan suster ini bisa mengatasinya. “ apalagi kami selalu sibuk oleh pekerjaan” ujarnya. Misi kongregasi SFIC memang melayani orang kecil dan orang yang menderita. Selama di Kenya suster terbiasa makan, makanan kenya. “makanan khas Kenya yaitu Pisang, Ubi Jalar di asrama, minggu minum susu segar, lalu Gideri (jagung tua dan kacang merah bumbu tomat dan bawang” lanjutnya. Menurut alumni SD Raba ini, bayi orang Kenya hanya diberi ubi jalar. Capati, makanan khas orang india, ini sama dengan roti canai di Indonesia. Ugali, jagung digiling. Yang boleh dimakan hanya ayam, sapi domba, kambing, yang lain tak boleh.

Sebelumya Arpina dikirim ke Tanzania, kos di Merinol lingguage Centre, biara SFIC, selama 4 bulan untuk belajar bahasa Kisumaluli. Awalnya mendampingi sekolah tersebut hingga 2003. Setelah itu baru dia dipercayakan menjadi pemimpin di kampus tersebut. Menurutnya, sistem pendidikan di Kenya mengadopsi sistem Eropa. Libur 3 x setahun. Yaitu Arpil, Agustus dan September. Tapi pada 26 Desember ada hari libur khusus yang disebut boxing day. Day School seperti di Indonesia tak laku di sana. TK masuk jam 7 pagi, pulang jam 4 sore. Siswa-siswi hari minggu pun tetap pakai seragam, walau tidak sekolah. Anak kelas 7-8 wajib les. Untuk yang SMS, kelas 3-4 Wajib Les. Suku Masae adalah suku nomaden. Mereka biasanya sekolah di informal school. Jika sudah bisa menyesuaikan diri baru masuk ke sekolah formal.

Kini, Arpina diangkat menjadi Rektor di Collage The Teresia van Miert Development Centre (TMDC), Kenya. Kampus itu berdiri pada tahun 2000, dan lebih focus ke bidang budi pekerti, Di belakang kampus ini adalah Slam’s Kimbera, (kawasan kumuh terbesar kedua di dunia) setelah Soeto, Afrika Selatan. Lebih dari sejuta orang tinggal di kawasan itu. Kawasan ini masih merupakan kawasan pemimpin oposisi Raila Odinga yang memberontak karena kalah dari Presiden Mwai Kibaki pada Pemilu 27 Desember 2007 lalu. Didirikannya collage TMDC ini karena di Kenya tenaga kerja praktis seperti tata boga, perhotelan dan lain-lain itu sangat dibutuhan dan tenaga kerjanya mudah terserap. Baru magang saja gajinya siswa-siswinya sekitar 15 Shilling, atau sekitar Rp 1, 5 juta.

Suster yang terampil berorganisasi ini bercerita, 2,1 juta orang Kenya mengidap HIV/AID. Setiap bulan 700 orang meninggal, tapi menurut laporan para LSM di Kenya, bisa mencapai 1.000 orang. “Faktor penyebab, adalah poligami (klan), single parent, dan anggapan, kalau kami mati kena malaria, mengapa tidak mati kena HIV saja” ujarnya. LSM banyak dan diberi pengobatan gratis. Banyak valounteer (relawan) bekerja disana. Saat ini hanya yang berusia 60 tahun ke atas yang tidak terinfeksi HIV AIDS, ada kampong nenek. Yang hidup disana hanya nenek-nenek dan cucu-cucunya saja. Orang tuanya sudah meninggal semua. Sumur bor yang dipakai disusteran itu dalamnya 330 m, dibor selama setengah tahun. Kenya hanya satu pulau, merdeka tahun 1965 dari penjajahan Inggris. Keladang, penjual jagung baker di kaki lima kota pun pakai dasi. Demikian juga supir. Supir susteran, orang Kikuyu. Orangnya jorok, ada yang disebut flying Toilet. Jumlah suster Misionaris di sana : 17, dan 8 Junior, 1 novis. Cukup banyak suster Indonesia asal Kalbar di Kenya, mereka adalah Suster Sabina tahun 1993, Suster Yuliana Oyem tahun 1996 dari pusat Damai (Bidan), Arpina 1997, Suster Silvi dari Pontianak 2000 dan Suster Ruth dari Kayu Tanam, Mandor 2007. Diseluruh dunia, jumlah Suster SFIC tidak kurang dari 2000. Kalau sudah 10 tahun bertugas, menurut statuta atau peraturan kongregasi, diperkenankan untuk pensiun dan kembali ke tanah air.
****
Satina, kakak Arpina bercerita, Arpina ini adik nomor 4 dari 9 bersaudara. Sejak melihat 6 orang suster belanda dari menjalin datang ke Raba berjalan kaki, Arpina terpesona. ”Kade dah ayak anak, aku jadia suster ugak,” kata Arpina kecil. Waktu itu dia masih duduk di kelas 1 Sekolah Rakyat. Sifat Arpina, agak pendiam tetapi keras hati. Tak jarang ia ribut dengan sang ayah, karena ia tak mau dibantah. Satina dan Arpina berangkat dari rumah pukul 6.30 WITA, masuk jam sembilan lewat. Dari kampung Nangka untuk sampai ke sekolah harus melewati 3 kampung yaitu Gonyel, Konyo, Kaca’ barulah Raba. Pulang sekolah pukul 2 siang, dengan perut keroncongan. Tak jarang di perjalanan singgah dulu mencari nanas hutan, buah Satol. Waktu itu Satina telah kelas 4, sedangkan Arpina masih kelas I. Arpina paling menonjol pelajaran agama. Tiap hari minggu ia tak pernah absen ke gereja walau jauh dari kampung. Padahal ketika itu ia belum dipermandikan sebagai seorang katolik. Saat itu yang bertugas di Raba pastor oktavianus, Fidolinus Heliolinus (Belanda). Arpina baru dipermandikan setelah Sekolah Kepandaian Putri (SKP) di Nyarungkop. ”Saya masih gadis, dia sudah menjadi suster” cerita Satina. Ketika itu kira-kira tahun 1964. 6 tahun tak pulang ke kampung. Waktu dia pulang, pun hanya dapat izin 6 hari saja. Arpina kecil rajin mencari jinton (kulat karet). Kalau adiknya bermain-main saja, dia akan marah. Kalau datang libur seperti natal yang lalu, di rumah dia rajin memasak, masak ala Kenya. Untuk menyekolahkan adik-adiknya Satina memotong getah. Karena untuk Arpina melanjutkan sekolah ke SKP, Bucen harus membayar Rp 25 per bulan. Waktu SMP meningkat Rp 75 perbulan. Waktu itu harga karet Rp 2 per kilogram. Harga Jinton setali. sehari Satina bisa mendapat 7 kg karet.

Arpina adalah anak pasangan Bucen dan Maria Tukan. Keluarga Bucen adalah petani sederhana. Tetapi soal pendidikan bagi anak-anaknya adalah hal utama. Apalagi Bucen termasuk tokoh, karena memangku jabatan sebagai Kabayan untuk wilayah Nangka dan sekitarnya. Jabatan itu sebenarnya warisan dari Girok, ayahnya yang juga Kabayan. Jaman sekarang, Kabayan mungkin setara dengan jabatan Sekretaris Desa. Dalam keluarga, Arpina dipanggil We’ Dara. Hampir setiap hari Arpina dan Satina, kakaknya menempuh perjalanan yang sama. Sekolah bagi Arpina kecil bagaikan sebuah dongeng. Dia sudah tersihir dunia pendidikan sejak pertama kali masuk SR (sekolah rakyat) di Raba. Untuk tiba di sekolah memang tidak mudah, anak-anak Nangka dan kampung sekitarnya harus melintasi kampung Gonyel, Konyo dan Pelades Kaca terlebih dahulu. Tiap pagi Arpina dan Satina berangkat pukul 6.30 dari rumah, bersama anak-anak kampung lainnya. Mereka masuk pukul 09.00 lewat. Pulang pukul 2 siang, kala perut sudah ’keroncongan’.

Satina kerap mengajak Arpina singgah di pinggir hutan, menyelusup ke semak-semak mencari nenas atau Buah Satol untuk mengganjal perut. Buah satol adalah sejenis manggis hutan. Mereka adalah anak petani yang terbiasa survival tanpa mengeluh. Di kiri kanan jalan menuju sekolah, terhampar pemandangan indah, sungai-sungai kecil mengalir di antara sawah. Begitu pun kebun-kebun karet warga sebelah-menyebelah. Mayoritas penduduk kampung adalah etnik Dayak Kanayatn yang bergantung kepada getah karet dan sawah, termasuk Bucen ayah Arpina. Meski baru resmi menjadi suster sekitar tahun 1964, tapi Arpina kecil sudah tersihir oleh penampilan suster belanda yang datang ke Raba ketika itu. ”Saat 6 suster dari Belanda datang berjalan kaki ke Raba dari Menjalin, dia pun bilang ingin jadi suster juga jika sudah besar nanti,” kenang Satina. Padahal Arpina baru masuk kelas 1 SR ketika itu. Sejak itu Suster telah menjadi sebuah obsesi Arpina, dan ketika tumbuh dewasa, ia berkonsultasi kepada pastor yang bertugas di Raba kala itu. Antara lain Heliodorus dan Bos. Tamat SR, Arpina masuk Sekolah Kepandaian Putri (SKP) di Nyarungkop, setelah itu SMP Nyarongkop lalu SGA. Panggilan dalam jiwanya semakin kuat, maka dia pun memutuskan bergabung pada kongregasi SFIC. Mula-mula Maria Tukan agak kegeratan anak gadisnya yang cerdas ini menjadi suster. Dia tahu konsekuensi hidup menjadi suster dan tidak menikah untuk selama-lamanya. Tapi belakangan ibunya setuju, apalagi sang ayah juga memberikan dukungan. Enam tahun Arpina tak pulang kampung. ”Enam tahun kemudian, barulah dia boleh cuti. Itu pun hanya 6 hari, untuk melepas kangen kepada sanak saudara” ujarnya terbahak. Setelah itu ia masuk biara lagi, menjalani hidup yang ketat dan disiplin tinggi.Pendidikan suster menempanya sedemikian rupa. Karena prestasinya Arpina dipercayakan memimpin asrama putri di Nyerungkop, di Sekadau, Pusat Damai, Pahauman dan juga di Asrama Petrina Pontianak.(Edisi cetak, Tabloid Simpado, Edisi I/Juli-Labuh Singal/2009)
********





MENELUSURI JEJAK-JEJAK EMAS DI MANDOR

Bagian (1)
Sejarah adalah guru, dengan mengetahui sejarah, kita dapat berbuat sesuatu untuk masa depan. Dari catatan sejarah yang berserakan, ternyata penambangan emas, yang kini dikenal dengan nama PETI sudah sangat lama dikenal masyarakat Kalbar, bahkan ada sebagian kelompok masyarakat yang menjadikannya pekerjaan pokok. Pertengahan Mei dan awal Juni 2009, terusik razia PETI oleh aparat keamanan, sekelompok penambang melakukan aksi demonstrasi hingga aksi anarkis di kantor aparat keamanan di Mandor, Kabupaten Landak. Bagaimana jejak-jejak emas tersebut ? apa pelajaran penting yang dapat kita ambil ? bagaimana menyelesaikan persoalan ini dengan “win-win solution” ? Berikut laporannya.
*******

Mandor hanyalah kota kecil, tepatnya pasar yang terdiri dari deretan ratusan ruko (rumah toko) berbentuk segi empat. Jaraknya hanya 88 Km dari Kota Pontianak. Jalannya sangat lebar dan licin dengan status jalan internasional. Maklum, menuju Kuching-Sarawak, dari Pontianak, orang akan melewati Kota Mandor. Sebelumnya, Mandor luput dari perhatian public. Mandor dikenal dunia sejak abad ke-17. Saat itu, masa kejayaan sebuah republik tertua dunia, yang dikenal dengan Republik Lan Fang. Republik yang menggunakan nama presiden pertamanya ini di bentuk oleh orang orang Hakka dari Kwangtung pada akhir abad ke-18 dan berlangsung selama 107 tahun.
Kedatangan kaum Cina di Mandor ditengarai atas undangan Sultan Mempawah, dengan membawa 10 orang pekerja tambang emas dari Brunei Darusalam. 10 orang ini dipekerjakan oleh Sultan untuk menambang emas di Mandor, yang kala itu dibawah kekuasaan Sultan. Atas keberhasilan tambang, pada tahun 1745, orang Cina didatangkan lagi secara besar-besaran. Sultan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina ini sebagai wajib rodi, dan dipekerjakan di tambang-tambang emas kerajaan. Di Kalbar, tenaga kerja Cina ini terpusat di Monterado, Bodok dan Mandor. Disebutkan, pada permulaan tahun 1740, jumlah orang Cina ini hanya beberapa puluh saja disana, namun karena perkawinan mereka dengan penduduk Dayak sekitar pertambangan, tahun 1770 orang Cina di Mandor sudah mencapai 20.000 orang. Jumlah mereka bertambah besar lagi dengan kedatangan pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura hingga akhirnya menetap di Mandor.
Orang Cina di Mandor, dibawa oleh Lo Fong Pak dengan membawa sekitar 100 orang. Lo Fong Pak merupakan guru di kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Propinsi Kanton. Mendengar banyak emas di kepulauan Borneo, ia kemudian berlayar. Lo Fong Pak sempat menetap selama 7 bulan di Pontianak, tepatnya di Siantan (Parit Pekong sekarang). Dari Siantan, Lo Fong mendengar sebuah “gunung emas” yang kini dikenal sebagai Gunung Samabue. Dengan perahu kecil, Lo Fong menyusuri sebuah sungai, yang kini dikenal sebagai sungai Dayak (anak sungai Segedong di Peniti). Saat itu, Mandor, telah dihuni oleh suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong (Benuang) didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San King (Air Mati) (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko. Tiba di Mandor, Lo Fong menemukan pasar 220 pintu yang dimiliki oleh Mao Yien. Pasar 220 pintu ini terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan gelar Lo-Man.
Mengetahui potensi besar untuk merubah hidup kelompoknya, Lo Fong mendirikan kongsi yang dikenal sebagai Lo Fong Kongsi. Lo Fong berniat melakukan penyerangan terhadap kongsi-kongsi yang ada. Namun, cara diplomasi dikedepankan Lo Fong. Suatu hari, Lo Fong mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak. Kedua kelompok ini terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong Kongsi tanpa pertumpahan darah. Takluknya berbagai kongsi oleh Lan Fong Kongsi, Lo Fong Pak kemudian mendirikan sebuah pemerintahan dengan menggunakan nama kongsinya, sehingga nama kongsinya menjadi nama republik, Republik Lan Fong, yang jika dihitung sejak tahun berdirinya, 1777, berarti sepuluh tahun lebih awal dari pembentukan negara Amerika Serikat (USA) oleh George Washington tahun 1787.
Ketika Republik didirikan, warga kongsi ingin Lo Fong Pak menjadi Sultan (mengikuti sistem kesultanan Sambas dan Mempawah), namun ia menolak dan memilih kepemerintahan seperti sistem kepresidenan. Lo Fong Pak terpilih melalui pemilihan umum untuk menjabat sebagai presiden pertama, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin Tang Chung Chang atau Presiden. Ibukota Republik ini adalah Tung Ban Lut (Mandor). Menurut konstitusi negara ini, baik Presiden maupun Wakil Presiden harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin Lan Fang Ta Tong Chi. Benderanya berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan huao (Jenderal). Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya China, sementara pejabat yang lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Pada masa pemerintahannya, Lo Fang Pak telah menjalankan system perpajakan, dan mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan.
Republik Lan Fang mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas politik selama 19 tahun pemerintahan Lo Fong Pak. Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teo Chiu) untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Lan Fong Kongsi sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam). Di negara baru yang dikelilingi rumah-rumah panjang orang Dayak ini, Lo Fong kemudian membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Lo Fang Pak berusaha menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas). Presiden Lan Fong merebut paksa kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati). Sejak abad 18, Lo Fong kemudian menguasai seluruh wilayah pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang. Presiden Lo Fang Pak wafat pada tahun 1795, dimakamkan di Sak Dja Mandor.
Berikut ini nama-nama Presiden Republik Lan Fang di Mandor:
No Nama Presiden Masa Jabatan Peristiwa penting
1 Lo Fong Pak 1777-1795 Pendiri dan Presiden pertama
2 Kong Meu Pak 1795-1799 Republik melakukan peperangan dengan Kerajaan Mempawah
3 Jak Si Pak 1799-1803 Republik melakukan peperangan denga Orang Dayak di Lamoanak
4 Kong Meu Pak 1803-1811 Tidak ada keterangan
5 Sung Chiap Pak 1811-1823 Ekspansi tambang emas di Ngabang
6 Liu Thoi Nyi 1823-1837 Belanda masuk dan mulai berpengaruh di Mandor
7 Ku Lik Pak 1837-1842 Konflik dengan Panembahan Suta di Landak dan mulai berkurang hasil emas
8 Chia Kui Fong 1842-1843 Meninggal karena pemberontakan ketua-ketua Kongsi
9 Yap Thin Fui 1843-1845 Meninggal karena pemberontakan ketua-ketua Kongsi
10 Liu Kon Sin 1845-1848 Republik melakukan lagi peperangan dengan orang Dayak di Binuang, Sangking, dll
11 Liu A Sin 1848-1876 Ekspansi lagi ke kawasan Landak (Ngabang)
12 Liu Liong Kon 1876-1880 Meninggal karena pemberontakan ketua kongsi di San King
13 Liu A Sin 1880-1884 Republik di bubarkan oleh Belanda

Pada masa Presiden Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani suatu pakta non-agresi timbal-balik. Penandatanganan pakta tersebut praktis berarti menyerahkan rezim Lan Fong ke dalam kekuasaan Belanda. Belanda berhasil menduduki Republik Lan Fang, walaupun kongsi tersebut terus mengadakan perlawanan selama 4 tahun, tetapi akhirnya dikalahkan, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), presidennya yang terakhir. Selain itu, munculnya pemberontakan penduduk Dayak semakin melemahkan pemerintahan Lan Fong. Di Lamoanak, seratusan Dayak menyerang pusat pemerintahan Lo Fong Pak di Mandor. Bersama warga lainnya dari Tiang Aji, Bangkawe, Saringkuyakng, dll, mereka secara membabi buta melakukan perlawanan. Perlawanan Dayak mereda setelah Republik Lan Fong meminta bantuan Belanda, dan memaksa kelompok Dayak ini melarikan diri hingga ke Sungai Ambawang dan mendirikan perkampungan disana, hingga hari ini.
Pasca perlawanan kaum Dayak ini, secara perlahan, Republik Lan Fang juga kehilangan otonomi dan menjadi sebuah daerah protektorat Belanda pada tahun 1885 dan membuka perwakilannya di Mandor. Namun, sungguhpun demikian, Belanda tidak otomatis menguasai seluruh kekayaan republik, karena takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok. Belandak tidak pernah menyatakan secara terbuka mengumumkan telah menguasai Republik Lan Fang, dan tetap membiarkan salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi pemimpin di negara ini. Baru setelah terbentuknya Republik of China (Cung Hwa Ming Kuok) pada tahun 1911, pada tahun 1912 Belanda secara resmi menyatakan menguasai daerah itu (Republik Lan Fang).
Tak disangka, keturunan republik terus melakukan konsolidasi. Pada tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, keturunan republik ini melakukan pemberontakan bersenjata, yang dikenal dengan Peran Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara) di Mandor Mempawah, Anjungan, Sei Pinyuh, Purun, Toho, Sanking, Binuang, dan Lamoanak. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan ini baru berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Mengenang prajuritnya yang gugur selama peperangan ini, Belanda mendirikan tugu peringatan di Mandor.
Seiring dengan dikuasainya Republik Lan Fang oleh Belanda, orang-orang dari republik ini kemudian melarikan diri ke Sumatra. Orang orang Lan Fang yang lari ke Sumatra bergabung lagi di Medan. Dari sana mereka menyebar ke Kuala Lumpur dan Singapura. Menurut catatan Rahman (2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, Belanda memasukkan kembali distrik Cina di Mandor ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak. Alasan formal dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman yang “tidak berpihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850.
Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan memonopoli dalam pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor. Salah seorang dari keturunan langsung Republik Lan Fang di Mandor ini, adalah Lee Kuan Yew, yang pernah menjadi Perdana Menteri Singapura. Ditangan Lee Kuan Yew, kelompok Hakka yang minoritas di Singapura, menjadi pemegang peranan penting dalam mendirikan Republik Lan Fang yang kedua di Singapura modern, hingga hari ini.(Edisi cetak, Tabloid Simpado, edisi I/Juni-Labuh Singal/2009)




 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons