Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di Kalimantan Barat. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
"Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, dan agama, " kata Ketua STKIP PGRI Pontianak, Prof.Dr.Samion, M.Pd, , di sela-sela seminar pendidikan multikultural, yang digelar Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) di Wisma Nusantara, Pontianak, Sabtu, (13/6).
Selain Prof.Dr. Samion, M.Pd, tampil sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah Dr. Herculanus Bahari Sindju, M.Pd, Yohanes Supriyadi, SE, Direktur Program Pendidikan LSM YPPN, dan Dr. M Rifaat, Dosen Universitas Tanjungpura. Samion menjelaskan, banyak kesalahan program pendidikan yang diterapkan dalam sekolah selama ini. "Dengan perintisan model pengajaran multikultural yang dikembangkan oleh LSM YPPN ini, diharapkan siswa akan lebih mengetahui pluralitas dan menghargai keberagaman," terang Samion. Dijelaskan, sekolah yang baik adalah sekolah yang belajar. Sekolah bukan saja tempat bagi siswa untuk belajar melainkan sekolah justru ikut berkembang, karena sekolah juga belajar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Karena itu, sekolah perlu mengembangkan diri dan belajar tiada berkesudahan.
Sikap menghargai keberagaman, juga harus ditanamkan di sekolah. Sebenarnya, sekolah adalah tempat menghapuskan berbagai jenis prasangka yang bertujuan membuat siswa terkotak-kotak. Sekolah harus bebas diskriminasi," kata Dr. Herculanus Bahari Sindju, seorang narasumber. Bahari menjelaskan, untuk menghindari konflik antar etnis seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Kalimantan Barat, sudah saatnya dicarikan solusi preventif yang tepat dan efektif. Salah satunya adalah melalui pendidikan multikultural.
Pada model pendidikan ini, jelasnya, pengenalan dan sosialisasi program pengembangan model pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan menggunakan film semi dokumenter. "Mengapa? Karena pembelajaran ini menawarkan metodologi dan pendekatan yang berbeda dari model-model pembelajaran konvensional yang selama ini dicekoki ke siswa," katanya.
Bahari menerangkan, metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung.
"Dari serangkaian uji coba program pengembangan model pendidikan multikultural di 40 sekolah tingkat SMP dan SMA se-Kalbar yang dikembangkan LSM YPPN sejak tahun 2005, bisa diketahui beberapa pencapaian indikator pembelajaran. Di antaranya, adanya pemahaman dan afeksi siswa tentang nilai-nilai multikultural yang dikembangkan. Misalnya, toleransi, solidaritas, musyawarah, dan pengungkapan diri," kata salah satu konsultan pendidikan di LSM YPPN ini. Bahari menambahkan, program pendidikan multikultural dalam penerapannya nanti bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri, namun terintegrasi ke dalam mata-mata pelajaran, sehingga dalam implementasinya perlu dilakukan oleh guru-guru yang kreatif dan inovatif.
"Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar," katanya.
Aspan, S.Pd, guru SMPN 2 Menjalin yang hadir dalam seminar ini menjelaskan bahwa berbagai usaha untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan dalam masyarakat Kalimantan Barat yang pluralis akan gagal dan sia-sia apabila tidak dimulai dengan pendidikan anti kekerasan saat anak-anak masih kecil. “Yang diharapkan dari pendidikan anti kekerasan pada anak adalah bila mereka sudah dididik untuk menyelesaikan masalah-masalaha nyata dan kecil secara efekif dan tanpa kekerasan, maka bila sudah dewasa mereka akan mampu menyelesaikan secara damai masalah-masalah yang lebih besar dan lebih abstrak yang terjadi dalam masyarakat luas” ujarnya.
Sementara itu, Ir. Kristianus Atok, M.Si, Ketua LSM YPPN menjelaskan, melalui model pembelajaran berbasis multikultural, siswa diperkenalkan dan diajak megembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter.
"Dengan begini, siswa juga memahami kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa ini. Dan ini bisa menghambat terjadinya konflik," katanya.
Dalam menggagas model ini, Atok, memaparkan, LSM YPPN telah melakukan uji coba berbagai program pendidikan luar sekolah pada 40 SMP dan SMA di Sambas, Singkawang, Bengkayang, Pontianak, Landak dan Kubu Raya sejak tahun 2005 lalu. Dikatakan, model pembelajaran multikultural ini bisa berhasil, jika kepala sekolah mendukung program ini. Selain itu, para pengajar juga mau menerima pembaruan dan sekolah sudah terbiasa mengembangkan kurikulum sendiri di samping kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional. "Sementara, alat lain yang mendukung adalah adanya audio visual. Karena ini menjadi penting untuk menyaksikan film-film bertema multikultural," kata mahasiswa program Doktor University Kebangsaan Malaysia (UKM) di Kuala Lumpur asal Menjalin-Landak ini.. (Edisi cetak, Tabloid Simpado, edisi I/Juni-Labuh Singal/2009)
TANAMKAN SIKAP MENGHARGAI KEBERAGAMAN, LSM YPPN GELAR SEMINAR PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Yohanes Supriyadi
1 comment
1 komentar:
Yups, mari kita menghargai perbedaan dengan menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai tonggak kebangsaan kita. Tentu dengan Kerja Keras Adalah Energi Kita membangun masyarakat yang madani dan sejahtera.
Salam kenal pak. Postingan yang menarik.
Posting Komentar