AYO, SELAMATKAN HUTAN TROPIS (Belajar dari Gerakan Karamigi)

Oleh Yohanes Supriyadi Pulau Kalimantan adalah pulau terbesar nomor tiga di dunia, mempunyai hutan tropis terbesar kedua setelah Amazon di Amerika Latin dan pulau ini dimiliki tiga negara yakni Malaysia, Brunai dan ’indonesia. Sedangkan yang termsuk wilayah Indonesia sendiri terdiri dari empat propinsi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Di Kabupaten Bengkayang, salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat, terdapat berbagai bahan tambang, jenis vegetasi dan satwa. Selain itu dihuni mayoritas masyarakat adat Dayak (indegenous people) yang tersebar di pelosok pedalaman. Hidup berkelompok, mempunyai bahasa masing-masing dengan menganut prinsip dasar hidup ; mempunyai hukum adat (customary laws) yang lebih berorientasi pada kesinambungan dan harmonisasi, keanekaragaman hayati (biodiversity), kebersamaan (collectivity), ritualitas (rituality), alamiah (naturally), subsistensi (subsistency) dan kesinambungan (sustainability). Proses peminggiran masyarakatnya telah terjadi sejak era-kolonial. Pihak kolonial tidak memberikan porsi kepada masyarakat adat dan lebih berpihak pada kerajaan/kesultanan. Sedangkan peminggiran masyarakat adat di era-kemerdekaan melalui kedok pembangunan-modernisasi, sistem pendidikan formal, sistem ekonomi monopolistik-kapitalis, hukum dan perundang-undangan yang tidak berkeadilan serta sistem pemerintahan yang sentralistik. Senada dengan pendapat seorang antropolog asing Van Lijnden yang mengatakan bahwa masyarakat adat Dayak lebih bernasib untuk dikuasai daripada menjadi penguasa (Rokaert 1985:1) Pemerintah daerah Kabupaten Bengkayang sangat antusias bicara tentang PIR-sawit, HTI, dan pertambangan . Bahkan lahan-lahanya telah diperuntukan untuk itu, belum atau bahkan tidak memiliki visi yang jelas. Kecendrungan yang terjadi adalah pengurasan berlebihan tanpa memperhatikan daya dukung alam dengan bungkus menggali PAD. Apalagi dengan dilaksanakannya UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, dimana akan bermain berbagai kepentingan dengan arogansi alur logikanya masing-masing. Bagaimanakah peluang dan penghormatan sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat adat akan terwujudkan di Kalimantan Barat ? Untuk merespon kondisi ini Yayasan Karamigi mengundang Tokoh-tokoh adat, pemuda, gereja dan perempuan dalam lokakarya Strategik planing yang didukung pula oleh DFID Jakarta pada tanggal 17-24 April 2001 yang lalu. Kegiatan yang dihadiri lebih dari 70 peserta ini melihat issue yang paling strategis ditangani dalam era-otonomi daerah di kabupaten Bengkayang adalah menggali dan menjahit kembali kearifan tradisional dalam berbagai segi kehidupan, utamanya tentang pengelolaan sumber daya alam dan pengetahuan adat untuk kemudian ditularkan kembali melalui simpul-simpul pembelajaran masyarakat . Issue ini terkait sangat erat dengan substansi UU N0. 22/1999 tentang otonomi daerah. Orde Baru mengklaim diri sebagai Orde Pembangunan untuk menjawab problem dasar kemiskinan di Indonesia yang kaya sumberdaya alam. Kemiskinan rakyat disebabkan oleh - kesalahan mereka sendiri, diantaranya (i) rakyat adalah pihak yang kurang dalam akses modal - baca: kekurangan modal; (ii) rakyat adalah pihak yang kurang terhadap akses pendidikan, sehingga kapasitas mereka rendah - baca: SDM rendah, atau tidak memiliki kemampuan untuk mengubah potensi menjadi wahana untuk kesejahteraan; dan (iii) rakyat adalah pihak yang kurang memiliki inisiatif, hasrat untuk maju, dan segala motivasi lain - baca: rakyat terbelenggu dalam sebuah kultur anti kemajuan. Melalui berbagai cara dan media (media massa, institusi pendidikan, institusi agama, birokrasi, sampai kepada lembaga resmi lainnya termasuk parlemen) gagasan pembangunan disosialisasikan dan ditanamkan kepada massa rakyat. Pada akhirnya gagasan pembangunan masuk dan diyakini sebagai jalan satu-satunya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Akhirnya dikalangan masyarakat sendiri menyakini cara berpikir yang ditawarkan - mereka percaya bahwa rakyat adalah sumber masalah dan rakyatlah yang menjadikan hidup mereka tidak berubah. Persoalan kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia yang kaya alamnya dan sekarang mengalami penurunan adalah berpangkal pada konsentrasi atau penumpukan penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta sumberdaya alamnya yang sengaja dibiarkan berkembang bahkan dirusak oleh praktek pembangunan semasa Orde Baru , yang diarahkan oleh politik sentralisme dan sektoralisme hukum keagrariaan berserta kelembagaannya selama ini. Sudah pasti, hal ini mengorbankan keselamatan hidup rakyat, kemerosotan layanan alam, dan menurunnya kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan terutama petani masyarakat adat. Akibat negaraisasi tanah dan sumberdaya alam milik rakyat dan di atas tanah yang diberi nama “Tanah Negara”, pemerintah (pusat) mempergunakan Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang dimilikinya untuk memberikan hak-hak pemanfaatan (use rights) seperti Hak Pengusahaan Hutan, Hak Guna Usaha, Kuasa Pertambangan/Kontrak Karya Pertambangan, Taman Nasional, Kawasan Konservasi, dan lain-lainnya, kepada badan-badan usaha berskala raksasa. Proses peralihan penguasaan disyaratkan oleh metoda yang digunakan institusi politik otoritarian dengan menggunakan instrumen birokrasi dan peraturan pemerintah (government regulation), manipulasi dan kekerasan secara langsung. Era “Reformasi” yang dimulai tahun 1998 lalu sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk melakukan koreksi yang menyeluruh dalam menyusun kerangka pembangunan nasional dan meletakkan kembali fondasi yang mantap. Setidaknya, ada dua faktor yang membuat tidak mungkin kembali, bahkan membuka peluang perubahan, yakni: 1. menguatnya opini dan tuntutan realisasi keadilan, sebagai protes terhadap perlakuan tidak adil selama ini. Sejalan dengan menurunnya oto-ritas dan kapasitas kemampuan negara, menguat berbagai tuntutan lama - kasus lama muncul meminta pemeriksaan kembali. Kaum petani yang dulu tanahnya dirampas, kini bangkit untuk membicarakan kembali, bahkan sebagian telah mengambil inisiatif mengambil kembali tanah-tanah mereka. Penguatan opini ini telah memojokkan aparat negara, sehingga aparat negara berada dalam posisi sulit - lebih terdorong untuk memenuhi tuntutan keadilan, ketimbang berusaha merekayasa kembali. Penguatan opini ini mendapat dukungan dari dunia internasional, yang membuat aparat negara semakin terpojok. 2. terjadinya perubahan susunan kekuasaan meskipun tidak menunjukan terjadinya penguatan kelompok-kelompok pro-pembaruan agraria, namun secara nyata telah terjadi perubahan. Konflik elit yang kini terjadi, menjadi indikasi lain dari perubahan yang dimaksud. Dalam situasi yang demikian, dapat dipastikan bahwa kalangan elit tengah berusaha untuk menguatan posisinya. Artinya, dalam batas tertentu, kondisi tersebut bisa digunakan sebagai prakondisi untuk memperkuat proses perubahan yang lebih signifikan. Kondisi ini dapat pula dilihat sebagai momentum bagi kekuatan arus bawah untuk melakukan proses konsolidasi, guna memperkuat partisipasi politik dan ekonomi. Ketidakadilan penguasaan berbagai kelompok sosial (berdasar kelas, gender, etnis, dll) terhadap SDA melahirkan krisis keadilan. Krisis ini ditandai oleh - di satu pihak -- semakin banyaknya rakyat yang menjadi “pengungsi-pengungsi pembangunan” (development refugees) akibat hilangnya penguasaan mereka atas tanah dan sumber daya alam yang menyertainya; dan di pihak lain tanah dan sumberdaya alam mereka diusahakan secara eksklusif oleh badan-badan raksasa atas nama pembangunan. Akibatnya terjadilah krisis kemakmuran, disatu sisi berlilmpah penghasilan dan pihak lain berkekurangan. Krisis alam menyangkut hancurnya lingkungan ekosistem segala makhluk akibat intervensi proyek-proyek pembangunan yang beresiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan segala makhluk (bukan hanya manusia). Krisis ini ditandai oleh pengambilan manfaat atas sumberdaya alam oleh pihak luar rakyat di satu pihak; dan diterimanya bencana kerusakan alam. Sedangkan krisis produktivitas menyangkut mandeknya kemampuan usaha (productive forces)rakyat mengubah tanah dan sumberdaya alam menjadi barang yang berguna dan barang yang dapat dipertukarkan Rakyat yang hidup dalam krisis keadilan, krisis alam, dan krisis produktivitas itu telah mengekspresikan diri dalam berbagai tindakan protes. Hal ini bukan hanya berupa ekspresi dari ketidakpuasan, melainkan eskalasinya sudah sampai pada bentuk yang meluluhlantakkan dasar-dasar legitimasi pembangunan di antaranya berupa pengambilan kembali tanah, penghancuran wujud fisik proyek-proyek, pengusiran pegawai-pegawai proyek, dll. Ketika rasa senasib dan sependeritaan dari penduduk yang telah sampai pada suatu pengorganisasian dan pembelaan yang mengarah pada tuntuan pengakuan, perlindungan dan penghormatan bahkan pemulihan hak-hak rakyat atas tanah dan sumberdaya alam, maka tidak ada jalan lain kecuali dilakukannya perubahan kebijakan pemerintah. Pada konteks ini, pemerintahan daerah dituntut untuk berkreasi agar permasalahn pokok rakyat bisa diselesaikan, dengan mempergunakan jiwa dasar desentralisasi dimana rakyat semakin dekat jarak politik dan geografisnya untuk ikut campur membentuk kebijakan pemerintahan. Jelas sekali ada suatu tuntutan pada pemerintahan (terutama pemerintahan daerah) untuk mengelola kekuasaannya yang tidak berakibat pada hancurnya wilayah kelola rakyat. Selain itu, pemerintahan daerah juga sedang menghadapi berbagai mesin globalisasi dimana kekuatan global menghendaki berjalannya proses yang sejalan dengan kepentingan kapitalisme internasional dan nasional. Kekuasaan global mengembangkan pula program memperlemah posisi negara, dan di sisi lain mampu menciptakan kondisi yang bisa memfasilitasi berkembangnya industri ekstraktif dan di sisi lain, memperkuat sektor pertanian di bawah konsep yang baru. Dengan otonomi daerah, dimana kewenangan pemerintahan, administrasi dan anggaran diserahkan ke tingkat kabupaten, pada gilirannya akan menempatkan daerah sebagai arena pertarungan kepentingan. Maka, pintu yang terbuka harus dengan segera dimasuki, dan dari sana dibangun langkah-langkah strategis, sehingga perubahan pada masa kini bisa memberi makna besar bagi gerak pembaruan yang lebih substansial. Daerah kampung di satu kebinuaan dan wilayah sejenisnya, memiliki persoalan warisan akibat ”pembangunan” yakni menurunnya kemampuan lokal untuk menjaga kelestarian dan keselamatan, baik untuk rakyat ataupun alam. Dengan demikian yang menjadi masalah adalah bagaimana agar arah perubahan benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat. Persyaratan sosial dan ekologis dapat dikemukakan sebagai keadaan kehidupan masyarakat dan keadaan ekosistem setempat yang harus terpenuhi dan berlangsung di sepanjang proses perubahan. yakni keselamatan rakyat, produktivitas rakyat, dan kelangsungan pelayanan alam. Keselamatan Rakyat dan identitasnya Keselamatan rakyat, pada skala individu maupun kelompok, termasuk didalamnya keselamatan identitas rakyat seperti adat istiadat (hukum adat) dan budaya, tidak pernah diurus sebagai syarat yang harus dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara dan alat-¬alatnya. Hilangnya nyawa, tanah (kawasan adat) , hukum adat, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat (identitas budaya) karena proses penyelenggaraan perubahan adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama keselamatan rakyat tidak dipersyaratkan sebagai agenda pengurusan masyarakat dan wilayah, akan terus jatuh korban. Keselamatan rakyat sudah saatnya menjadi salah satu agenda inti dari proses pembaruan ketentuan kenegaraan, pembaruan hukum, dan penyelenggaraan fungsi politik menjadi tindakan kolektif dari lembaga politik terkecil pada aras kampong hingga kabupaten. Kesinambungan Pelayanan Alam Kesinambungan Pelayanan Alam dapat berkurang jika hilangnya sumber-sumber air, gundulnya wilayah dataran tinggi dan curam yang berfungsi mengatur daur tata air setempat, peracunan dan pemiskinan hara tanah karena cara produksi tani dan pertambangan yang mementingkan hasil jangka pendek, hal itu mendorong bahkan memperluasan kemiskinan rakyat khususnya di kampung, dan merupakan ancaman jangka panjang. Proses kerusakan alam setempat maupun pencegahan / perlindungannya selama ini berjalan terlepas dari proses pengurusan keselamatan, kesejahteraan, produktivitas rakyat dan proses politik desa. Wilayah yang seharusnya dikelola bersama untuk dicegah proses kerusakannya --seperti di wilayah berhutan-- telah dijadikan areal kekuasaan negara (tanah negara, hutan negara, dll) yang bahkan tidak boleh disentuh, apalagi dimanfaatkan oleh rakyat setempat. Penanganan dengan kekerasan negara lewat tindakan polisionil dan peradilan, maupun pengerahan dana untuk pemecahan teknis seperti penanaman pohon, telah terbukti tidak mampu menghentikan laju kerusakan apalagi menumbuhkan keinginan rakyat untuk memulihkan lahan kritis. Mendesakkan pilihan ini sebagai ketentuan negara atas dasar kesepakatan rakyat adalah prioritas nomor satu bagi badan legislatif di daerah Kalimantan Barat. Produktivitas Rakyat Produktivitas rakyat pekerja tani, tidak pernah beranjak dari kedudukannya yang sangat rendah untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraannya sendiri. Bertentangan dengan penjelasan yang menyesatkan bahwa produktivitas kerja adalah cerminan sederhana dari tingkat teknologi dan efisiensi produksi. Rendahnya produktivitas pekerja tani merupakan akibat dari penekanan sistematis atas nilai tukar produk petani, pengurangan atau penghapusan subsidi input produksi, politik pengembangan wilayah dan sarananya yang diskriminatif terhadap bentuk-bentuk traditional hak dan kuasa rakyat atas tanah serta terhadap kemampuan lokal untuk menghasilkan bahan pangan. Selama politik produktivitas Pertanian tidak mendorong naiknya nilai kerja tani dan produk tani, dan selama Kabupaten Bengkayang tidak menerapkan syarat perlindungan pada tanah rakyat desa dari pengambilalihan untuk fungsi non pertanian dan kepentingan perusahaan besar pekerja tani akan tetap miskin. Proses pemusatan hak milik dan kuasa atas lahan akan terus merambat luas, tanpa dengan pendudukan kembali/reklamasi hak atas tanah-tanah pertanian maupun redistribusi tanah. Produktivitas seharusnya mengacu pada kemampuan kolektif rakyat di satu wilayah terorganisir / wilayah kelola, untuk menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan bukan kesejahteraan yang hanya menjadi semboyan dalam program, pos anggaran dan indicator, tidak pernah diurus sebagai syarat dari kerja birorasi Negara. Produktivitas rakyat desa harus dikaji dalam bingkai persoalan setempat. Demikian juga tindakan sistematis miningkatkan produktivitas rakykat hanya masuk akal apabila tindakan tersebut berguna bagi rakyat desa pekerja tani untuk memenuhi syarat kesejahteraan dan keselamatan.

Tentang Konflik di Kalbar

Oleh Yohanes Supriyadi

Pendahuluan
Jauh sebelum tiga dasawarsa yang penuh dengan konflik sosial ini, antara tahun 1770-1790, Kalbar juga pernah mencatat terjadi konflik yang besar antar komunitas etnik Tionghoa dan etnik Melayu pada masa kerajaan (sekitar tahun 1770-an). Konflik ini berkaitan dengan kebijakan kerajaan Sambas dan Mempawah yang mendatangkan orang-orang Tionghoa untuk diperkerjakan di pusat-pusat pertambangan emas. Konflik serupa juga terjadi antar komunitas etnik Tionghoa dan etnik Dayak yang berkaitan dengan usaha pertambangan emas di Kalbar. Konflik dalam skala lebih luas terjadi lagi antar kedua etnik ini pada tahun 1967 yang menyebabkan pengusiran besar-besaran warga Tionghoa keluar dari wilayah pedalaman.

Tercatat antara tahun 1950 sampai 1999 (Kalimantan Review No. 45, Mei 1999) telah terjadi 12 kali konflik antar etnis yang meluas antar etnik Dayak dan Madura. Konflik tahun 1997 merupakan konflik yang terbesar antar kedua komunitas etnik tersebut dan meluas di hampir semua kabupaten di Kalbar. Konflik ini dipicu oleh peristiwa perkelahian antar pemuda di Sanggau Ledo. Pengusiran besar-besaran pun terjadi terhadap komunitas etnik Madura oleh etnik Dayak dari wilayah pedalaman. Konflik ini akhirnya mulai mereda saat mekanisme adat dan budaya diakomodir dalam menyelesaikan masalah tersebut. Sebagian kecil komunitas etnik Madura mulai dapat kembali lagi di wilayah pedalaman (daerah-daerah tertentu).

Pada tahun 1999 juga terjadi konflik besar antar komunitas etnik Melayu dan etnik Madura yang dipicu oleh pembunuhan oleh warga Madura terhadap warga Melayu. Bersamaan dengan ini pula terjadi konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura yang juga dipicu dengan terbunuhnya warga dayak oleh warga Madura. Konflik ini meluas dengan cepat sehingga pengusiran besar-besaran terhadap etnik Madura khususnya didaerah kabupaten Sambas dan beberapa daerah lain seperti Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang. Dan sampai tahun 2002 masih tercatat sekitar 68.000 pengungsi (IDPs) yang menyebar di beberapa tempat penampungan yang ada di Kodya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Selama terjadi pengungsian ini konflik kekerasan terus berlanjut secara sporadis pada tahun 2000, 2001 dan 2002 diwilayah Kodya Pontianak dan Kabupaten. Salah satu pemicu utama adalah ketidakjelasan orientasi penanganan pengungsi di Kodya Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Konflik etnik di Kabupaten Sambas ini merupakan titik kulminasi dan juga dianggap sebagai salah satu konflik yang paling mematikan dan paling luas dampaknya sampai hari ini. Pengusiran besar-besaran warga etnik Madura oleh etnik Melayu dari wilayah Kabupaten Sambas masih berlaku sampai hari ini. Akhirnya komunitas etnik Madura terpaksa kehilangan hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan menjadi pengungsi di negeri sendiri (IDPs).
Dalam sejarah hubungan antar etnik Melayu dan etnik Dayak, belum pernah terjadi konflik fisik secara terbuka dan dalam sekala yang besar. Menurut catatan Bouman dalam adatrechbundels (1952) menyatakan bahwa konflik antar kedua etnik besar ini pernah terjadi antara komunitas Melayu Silat dibawah Panembahan Minjoek, yang bergabung dengan orang Melayu Silimbau yang kemudian berperang dengan komunitas Dayak Taman. Kemudian komunitas Melayu tersebut juga menyerang orang Dayak Pekaki, Dayak Pajak, dan Dayak Suhaid yang semuanya terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.

Akar Masalah Kecenderungan Masa Depan
Rangkaian konflik yang terus menerus terjadi berulangkali ini memperkuat stereotipe etnis dalam kepercayaan budaya masing-masing komunitas etnis sedangkan dilain sisi praktek-praktek sosial dan politik menyuburkan sikap kesukuan yang radikal dan ekslusif. Lebih jauh dampak konflik juga memunculkan fenomena sipral kekerasan yang akan terus menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Perubahan situasi politik dan ekonomi juga memberikan kontribusi baru terhadap munculnya konflik atas nama identitas etnik ini. Diantara fenomena baru yang muncul adalah premanisme yang semakin menguat di masing-masing kabupaten, ketidakperpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik dan ketidakseriusan pengambil kebijakan terhadap fenomena konflik itu sendiri.

Dari pengalaman sejarah, konflik kekerasan antar komunitas etnis di Kalbar ini dapat dengan mudah meluas. Kejadian di satu wilayah (mulai desa sampai kabupaten) dapat dengan mudah meluas di wilayah-wilayah lainnya. Akar konflik yang belum selesai, rekonsiliasi yang masih macet, sterotype yang menguat, spiral kekerasan, pertarungan politik tingkat lokal, perebutan sumberdaya lokal merupakan diantara faktor utama yang akan dapat memicu konflik kekerasan dimasa depan. Sehingga dimasa mendatang, benturan-benturan kecil pun akan sangat mudah meluas menjadi konflik kekerasan dengan simbol etnis.

Konflik masa lalu, khususnya untuk kasus kerusuhan sosial Sambas (1999) masih menyisakan agenda yang cukup penting yakni:
 rekonsiliasi yang macet (pengungsi warga Madura masih belum diterima di Sambas)
 penyelesaian sengketa kepemilikan sumber daya (khususnya tanah dan harta benda) dari kedua pihak yang bertikai
Dampak konflik masa lalu menimbulkan masalah baru dalam proses interaksi antar etnik dan penanganan konflik masa depan yang ada di Kalbar:
 Pewarisan spiral kekerasan bagi generasi selanjutnya
 Relokasi bagi warga madura yang menimbulkan suatu gejala untuk timbulnya suatu konflik baru antar IDPs dengan warga lokal
 Perebutan sumber daya didalam komunitas sebagai pemicu konflik baik inter-komunitas etnis maupun intra-komunitas etnis
 Semakin mengentalnya legitimasi budaya kekerasan di kalangan etnis tersebut dalam menyelesaikan sengketa antar komunitas (etnik)
 Trauma konflik masyarakat luas yang akan memperkuat stereotype/stigma etnis



Peluang konflik masa depan yang dipengaruhi dan diperkuat dengan problema struktural di Kalbar:
 Pertarungan politik lokal berbasis masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol etnisitas dan bahkan agama
 Semakin menguatnya Premanisme sebagai alat kekuasaan
 Pola pemukiman masyarakat yang masih terkotak-kotak dan menghambat proses akulturasi dan asimilasi budaya
 Masih sangat terbatasnya sarana transportasi, komunikasi dan inforamsi bagi masyarakat basis sehingga masih sangat mudah mengalami dis-informasi (provokasi isu)
 Belum optimalnya upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat banyak (dampaknya terhadap rendahnya tingkat pendidikan dan masih rendahnya kualitas kesehatan masyarakat)
 Struktur kebijakan yang masih tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat
 Pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan tidak memberi ruang bagi masyarakat banyak
 Masih lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik
 Pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat memperlebar kesenjangan sosial antar masyarakat akan berdampak terhadap munculnya simbol-simbol etnisitas sebagai kelompok tertindas dan termarginalkan dalam interaksi sosial
 Masih lemahnya penegakan hukum menangani konflik dan masih lemahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam mengelola konflik

Penutup
Pada dasarnya sinyal-sinyal dini akan terjadinya kekerasan dan konflik antar komunitas etnik sudah cukup jelas di Kalimantan Barat. Faktor-faktor diatas jelas menggambarkan kerentanan Kalimantan Barat dalam hubungan antar komunitas etniknya. Dan sampai saat belum ada satu pihak pun yang secara sistematis melakukan terobosan baru dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dan mengelola konflik di Kalimantan Barat. Jika faktor-faktor tersebut diatas tidak segera di tindaklanjuti maka konflik kekerasan antar komunitas etnik di Kalbar akan sangat mudah berulang kembali. Akibatnya konflik kekerasan ini tentu akan membawa dampak destuktif yang lebih luas di Kalimantan Barat karena faktor-faktor penyebabnya lebih bersifat akumulatif dari persoalan masa lalu yang tak terselesaikan.

Untuk itu perlu ada usaha yang sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyimpulkan akan terjadinya peluang konflik dilihat dari kecenderungan utama interaksi sosial masyarakat di Kalimantan Barat. Upaya ini perlu dilakukan untuk sedapat mungkin memberikan peringatan dini akan peluang terjadinya konflik kekerasan antar komunitas etnik. Sehingga lebih jauh dapat mencegah dan setidaknya mengurangi dampak konflik kekerasan tersebut.






La Politica (5): Menjejak ”Dapur” Politik

Oleh Yohanes Supriyadi

Gagas masih terlihat kusut ketika saya menemuinya sore itu. Entah apa yang ia pikirkan, saya hanya bertanya dalam hati. Sebagai sahabat, saya hanya prihatin dan khawatir. Gagas duduk diteras, melantai. Secangkir kopi panas dan sebungkus rokok menemaninya.
”pelantikan tinggal lima hari lagi, tapi sejak tiga hari lalu saya demam, kata dokter sih hanya gejala typus”
”ooo”
Saya mengangguk kecil. Dipendopo, sebelumnya, saya melihat banyak sekali orang yang sibuk, dari yang hanya lalu-lalang, bersenda gurau hingga yang angkat-mengangkat meja, kursi, dll. Pantas saja saya tidak melihat Gagas disana. Mungkin Gagas kecewa dengan kondisi tubuhnya yang tak mampu ”memfilter” penyakit typus yang dideritanya saat ini. Mungkin juga ia kecewa tak bisa bantu teman-temannya yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu menjelang pelantikan.
”kamu dari mana”
”tadi lihat-lihat sebentar dipendopo, dan saya tidak melihat kamu disana, jadi saya susul kesini”
”okelah”
Sungguhpun ”masih” sakit, Gagas masih bersemangat untuk berdiskusi seputar kisah perjuangan politiknya bersama dengan 10 anggotanya yang ”heroik” itu.
”saya merasa perjuangan ini sebagai sejarah bagi hidup saya, maklumlah, empat puluh tahunan, kami tidak bisa melakukan hal-hal ini”
”benar”
”tetapi gimana ceritanya strategimu itu ?. dulu kamu sudah berjanji akan ceritakan ini”
Gagas masuk kedalam, rupanya ia membuat kopi panas. Maklum, istrinya masih dikampus, ia hanya ditemani 3 orang anak saat itu. Beberapa saat kemudian, ia kembali keteras, dan menyodorkan segelas kopi.
”begini, sebenarnya saya berencana menulis buku ini, tapi mudah-mudahan kedepan bisa ada yang mendukung. Sebagai gambaran awal, baiklah”
Gagas mengambil sebuah buku agenda, dan 2 map besar warna merah.
”suatu kali, saya berkunjung lagi ke dango Anto. Disana menunggu 10 orang tim yang sudah siap untuk melaksanakan perintah”
”selamat sore kawan-kawan”
”sore”
”apa kabar hari ini”
”baik”
”gagas”
”hebat”
”siap”
”Nah, dari hitungan kalender, masih ada tujuh bulan lagi untuk dimulai pemungutan suara di TPS. Berarti dalam sebulan, minimal terlaksana 1 kali kursus (minggu pertama) dan tiga minggu berikutnya praktikal, apakah kawan-kawan siap mengikuti kursus ini ?”
”siaaaap”
”baiklah, saya sudah siapkan modul khusus”
Gagas mengeluarkan sekotak buku-buku yang sudah dijilid rapi. Setiap peserta dapat satu buku.
”dibuku ini, terkumpul semua materi kursus. Saya menyiapkan modul ini sejak Pilkada disalah satu kabupaten 2006 lalu”,
”terima kasih bang”
Gagas sudah menyusun modul kursus politik bagi timnya. Kesepuluh orang yang hadir sore itu adalah tim inti dari sebuah organisasi yang tergabung dalam Jaringan Kaum Muda Indonesia (JKMI).
”oke kalau begitu, kita akan menyelenggarakan kursus dasar politik. Waktu setiap kursus 4 hari. Dalam melatih, saya tidak sendiri, saya ditemani Robert Greene, seorang ahli politik Amerika, Catherine Shaw, ahli Pemilu Amerika dan Aristoteles, filsuf besar Yunani. Kadang-kadang Sun Tzu, teman saya, yang juga filsuf dan ahli perang Cina sekali-kali akan terlibat bersama kita.”
”aok”
”oooooo”
”siap”
”merdekaaaa”
Gagas mengepalkan tangan kanannya dan mengangkatnya keatas.
”Bersatu kitaaa.....”
”menaaaaaaaang”
”maaf kawan-kawan, semua materi kursus ini merupakan sebuah kombinasi strategi politik yang disusun para ahli Amerika dan Cina. Kita harus belajar dengan mereka, sudah ratusan tahun mereka berpengalaman soal ini, beda dengan kita yang baru menjalaninya awal tahun 1990-an lalu.Empat maha guru inilah yang akan mengajar kita, saya ikut mendampingi dan sebagai fasilitator” (bersambung)




CLC: Community Learning Centre for social reconciliation in West Kalimantan


By Yohanes Supriyadi

As other provinces in Indonesia, West Kalimantan is in a difficult situation. While on the one hand the central government gives opportunity to the province to be autonomous, democracy does not yet run well and human rights are not well appreciated. Suspicions among different ethnic groups prevail. Amidst the economic crisis and the integrity of members of local legislative body that is yet to be tested, powerful groups work into placing their favoured persons into power by way of money politics. Powerful groups and capital owners tend to pursue their own interests sometimes by doing things that violate human rights of the people at the grass-root level.

West Kalimantan is a province with multi-ethnic populations. The Dayaks, who are regarded as indigenous, make up 41 percent of the total population followed by the Malays or Melayu (39 %), Chinese (10.25%), Bugis (4%), Javanese (3%) and Madurese (2.75 %). The province’s history notes that political motives of the elites underlie conflicts among different ethnic groups.

The end of 1960s was the starting point when development projects came into the hinterland of West Kalimantan, creating new problems to the indigenous. Logging concessionaire and then pulp plantations and oil-palm estates contribute a lot in degrading the environment of the province. On the other hand, as Prof.Dr. Syarif Ibrahim Alkadrie (1992) says, logging activities do not lift up the economy of the local people.

Logging activities and activities of pulp plantation and oil-palm estates also directly pollute the rivers and affect the decrease of the debit of the rivers. The polluted rivers affect the health condition of the local people since the rivers are their source of drinking water while the decreasing debit of the rivers also makes water transportation difficult. While road network is not yet good, the difficulty in river transportation affects the economy of the interior area. The forest destruction also causes many species of plants and animals to disappear, causing certain pests to multiply quickly. In the district (kabupaten) of Ketapang, locusts (Locuita Migratoria Manilensis) attack crops in three subdistrict (kecamatan) areas, i.e. Kecamatan Marau, Kecamatan Jelai Hulu and Kecamatan Manis Mata within the past three years.

Up to the present, conflicts between oil-palm plantation companies and local communities keep on. The conflicts actually stem from the interests of the oil palm company in controlling as large area of lands as possible with as low price as possible and the indifference both central and local government to the local (adat) rights. On the other hand, for local people, lands are their existence. The local people are generally in very weak position in any conflict.

Very little attention has been paid to indigenous communities since the New Order era. The Law (Undang-undang) No. 5, 1960 regarding the Agrarian Matters actually gives room to local rights although in some aspects the law has some weakness. But the law was paralysed by other laws sunch as Law regarding forestry matters and law regarding the mining. The Law No. 5, 1979 (now replaced with Law No. 22, 1999) regarding Village Administration, was not always applicable to communities in islands other than Java. In West Kalimantan this Law was utilized by both central and local government to destroy adat institutions. Appointing government-favoured already “tamed” figures as adat leaders is among other examples of how the new order government destroyed the adat system.

Autonomous kabupatens (districts, regions lower to province) that is to be effective in 2001 surely requires strong communities, good and critical legislatures and clean and effective kabupaten-level governments. Otherwise local policies will be controlled by certain powerful groups and directed to benefit them only.

Strong communties means empowered and organized community groups at the grassroot level. Good local legislatures means legislatures that are able to produce fair local regulations that can give benefits to all stakeholders. Good legislatures require legislators who have integrity and who have awareness of the duty of representing the people. Local knowledge of the ethnic groups in the province, social and cultural values, expectations of the people are resources that should be taken into account in making local regulations. Local regulations that neglect these things will not be well accepted by the pople and will cause a lot of friction.

Discussions with the local community members led to conclusion that they already had the awareness of what and who caused the problems they were facing. Interesting ideas on how to solve the problems even sometimes occurred surprisingly. The constraints are that the communities still have collective sense of self-inconfidence and that they are not organized.

The collective sense of self-inconfidence dates back to a long history. However, the 90 decade witnesses encouraging phenomena i.e. the emergence of initiatives among local communities. Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) has documented success stories of at least 5 communities

Communication and information are among other significant factors in boosting the sense of self-confidence among the local communities. YPPN’s experience so far shows that in gatherings that involved representatives of communities from different places, participants were eager to share experience and learn one to another.
Community Learning Centre Building
Costly formal education and the fact that many of the target community members have a little educational background make community learning center a strategic option in empowering the people. In a community learning center (CLC) community members can learn anything that they need through many ways. A CLC, however, is meant more as a form of commitment of a community than merely a place.

Community learning centers are the core of the community activities. A village (kampung) can set up a community learning community. But it will depend on the decision of the community regarding their social, geographical and other situations to decide whether they will have a community learning centre in each kampung or several kampungs join together to set up a community learning centre.

Organizing, however, is the first thing the communities should learn because without organizing any effort they make will avail nothing. And since CLC is more of a commitment than anything else, the setting up of a CLC might indicate the beginning of being organized of a certain community. It will be those are already trained in community organizing who are in charge of the CLC. NGO activists act as facilitators.

Program activities to support CLCs at the target areas are: Consultative Discussions. Discussions will be frequent both in the preparation and during the implementation of a CLC. At a CLC community members will set their agenda of learning, determine activities to organize themselves, making plans and the like. When community members indicate that they are already capable of doing these jobs themselves, the frequency of these consultative discussions can be decreased. Community media development. The development of popular media is directed towards better communication among communities or CLCs. The popular media is also meant as a media or learning through which community members can get necessary information.

In the context of the advocacy work, in order to determine to make a new policy or revise or annul old regulation, a study to find out how, and why the policies that relate to the condition of the fragile social cohesion should be studied. It is also expected that the communication building between community representatives and the local legislatures and also the dialogues bring about common agreement to have things investigated.

Me project activities are directed towards the achievement of the following objectives: (1) Create a foundation of strong, empowered and human rights-and-democracy -conscious communities by boosting their human rights understanding and increasing their capacity in organizing and in finding alternatives to solve their basic problems. (2) Increase local legislatures' capacity and sensitivity to the people as a base for policy dialogues and “people-friendly policy making”. Create a foundation of democracy mechanism in the district level.
Create a foundation of reconciliation among different ethnic groups in the West Kalimantan.

Closing
It is expected that the community organizing training re-vitalize target community members’ eagerness to organize themselves. Starting with bringing the habit of gathering into life again, discussing things related to their day-to-day life, the whole village gathering is expected to end in an agreement to set up an organization. The community learning center will enable them do more than merely getting together. They will be stimulated to think that their problems can only be solved when they are united and organized. Exchange of information, experience at the CLC, the media that the community members themselves develop, will increase their eagerness. Discussions and exchange of information on how the local democracy work in reality will stimulate them to respond. Meanwhile with human rights training they become aware of their rights as well as other people’s rights.

The exchange of information and communication with other community groups, especially with those of different ethnicity to them can be encouraged at this step. This is expected to boost their understanding of other “different” groups.

The human rights training and also democracy training are expected to stimulate community members to do monitoring to the practice of democracy in the district. Their awareness of democratic values and human rights will also give them benefit when they have to push the legislature to make policies that will benefit the people, policies that encourage different groups in the community understand one to another more.

Community learning centers are designed to allow them to make replication. Trainings, apprenticeship system (activities first started by the leading organisation while partner organisation and community-based organisations are involved and learn during the process) , and the dissemination of ideas done by the local communities (with their community-based organisations) will enlarge the coverage of empowered communities as basis of "strong" grassroots forces to promote democracy. The experience of legislatures in concern with the project will be shared to other kabupaten (district) level legislatures, either directly by the legislators or through activities of outreach (publication).




La Politica (4) Dango Perjuangan Anto

Oleh Yohanes Supriyadi

Matahari sudah mulai tenggelam. Puluhan anak yang telanjang, orang tua, lelaki dan perempuan ”antri” menuju sungai, tak jauh dari pondok, dimana kami menginap. Pemandangan ini sungguh tak biasa saya lihat di kota. Gagas hanya tersenyum kecut, ketika saya menanyakan aktivitas warga sore itu.
”biasa aja tuh, memang dari dulu” ujarnya. Gagas tetap sibuk dengan laptopnya, tangannya bergerak-gerak ringan. Saya mengintip, lho...kamu main game huh ! Gagas tertawa.

Hanya berselang tiga puluh menitan, Anto datang dengan sembilan temannya. Semua laki-laki yang masih muda. Ditangan Anto, dua bungkusan besar. Pembungkusnya kantong plastik hitam.
”selamat malam bang”
”malam juga, apa kabar nih”
”baik-baik”
”biasa bang”
”aok..leakoalah...”
Anto mengeluarkan bungkusan. Satu bungkusan berisi ketela rebus, dan keladi rebus, sedangkan bungkusan yang satunya lagi kolak pisang. Anto menyuruh seorang temannya untuk mengambil piring dan beberapa buah gelas plastik.

Sembilan orang duduk melingkar, Anto memimpin pertemuan malam itu. Ia didampingi Gagas. Anto sangat berbakat, suaranya lantang dan keras. Ia sudah sangat terampil berpidato dan memimpin diskusi.
”Kawan-kawan, malam ini kita akan mengevaluasi program kita yang sudah berjalan sejak maret 2007 lalu. 13 bulan sudah kita jalankan program ini, hasilnya terbukti baik dan berjalan sesuai rencana. Sekarang kita mau diskusi tentang langkah-langkah selanjutnya dan sedikit mengevaluasi program”
”ooo...”
”edo’ yukng”
”aoklah”
”siap komandan !”
Sembilan pemuda itu semakin merapat. Ditangan mereka, sudah ada buku dan pulpen. Lembaran-lembaran kertas yang sudah diisi juga terselib dibukunya. Saya penasaran dan meminta beberapa lembaran itu.
”itu lembaran tugas kami dulu bang”
”ooo”
Saya manggut-manggut kecil. Dilembaran ini, jelas saya melihat kolom-kolom khusus yang sudah terisi, antara lain: daftar nama-nama pemilih yang terdaftar di KPPS, daftar nama dan latar belakang petugas KPPS, daftar nama-nama penduduk dewasa dikampung itu, daftar nama-nama tim sukses dari 4 pasangan calon dan latar belakang mereka. Dilembaran yang lain, saya membaca tentang materi kursus. ada 7 tahapan kursus politik yang pernah mereka ikuti sepanjang maret-juli 2007, nama peserta kursus, nama instuktur dan foto-foto. Ada juga laporan-laporan kursus yang dibuat oleh ketua panitia pelaksana kursus. Dilembaran lainnya, ada profile 4 pasangan calon, peta wilayah, aturan dan jadwal pelaksanaan pilkada oleh KPUD. Beberapa dokumen hasil kerja mereka juga masih terlipat rapi. Masing-masing orang memegang dokumen penting ini.
”sebelum lanjut kemateri lain, baiklah kawan-kawan, kita mulai dulu dengan refleksi tentang apa saja yang pernah kita ikuti selama 13 bulan ini. Mungkin, biar lebih jelas, masing-masing ketua panitia pelaksana kegiatan itu yang melaporkan. Gimana ?”
”siaaaap ...dan”
”aoookk”
Seorang pemuda maju tengah lingkaran kecil itu. Badannya tegap berisi, dimulutnya terselib rokoh ”cakra” kretek.
”Salamat malam kawan-kawan”
”malaaaamm”
”Saya akan menjelaskan tentang Kursus Managemen Team, dimana saya yang jadi ketuanya. Peserta kursus ini ada 10 orang, semuanya pemuda kampung. Lelaki ada 7 dan 3 perempuan. Kursus ini dilaksanakan 4 hari, instrukturnya sdr Gagas. Dalam kegiatan ini, peserta dilatih untuk: mengenali diri sendiri dan mengenali orang lain, membentuk sikap positif thinking, cara membentuk tim yang solid dan kuat, dan cara mengelola sebuah tim, baik tim kecil 5-10 orang maupun tim besar 10-20 orang. Penugasan setelah kursus ini adalah: meneliti orang per orang dikampung untuk dijadikan sebuah tim, membentuk tim.”
Ia berhenti dan meneguk segelas air putih.
”jumlah yang berhasil direkrut sebagai tim inti hanya 10 orang. 7 lelaki dan 3 perempuan. Kita mementingkan kualitas, selain karena masing-masing dari 10 orang ini sudah memahami karakter anggota”
Tepuk tangan menggemuruh. Gagas tersenyum. Saya melirik seorang peserta diskusi yang sedari tadi hanya diam.
”yang mengesankan, setelah kursus itu, seorang teman kami menjadi sangat terobsesi mengubah wajah kampung kami yang miskin ini”
”huuuu..”
”hahaha....”
”bagus...bagus...”
Gagas berdiri. Tangan kanannya mengepal keras dan diacungkannya keatas.
”merdekaa”
”merdekaaaaaaaaaa”
”Bung, yang diobsesikan salah seorang alumni kursus ini pasti akan terwujud, bila semua anggota tim ini tetap bersatu dan kompak. Dalam merebut kekuasaan dan memajukan kampung, tidak mungkin bisa kalau kita sendiri. Ingat, bila Bersatu kitaaaa.....”
”menaaaaaaanggg !”
Teriakan itu membahana memenuhi ruangan yang ada. Semua bersorak gembira, melepas kepenatan setelah kerja seharian. Gagas duduk kembali, sedangkan Anto masih berdiri tegak. Beberapa temannya juga mulai berdiri...mereka bersalaman satu sama lain...Gagas tampak tersenyum, mungkin ia telah puas...

Saya terdiam menyaksikan peristiwa yang menurut saya heroik ini. Bayangkan, hanya dengan kekuatan 10 orang tim inti ini, mereka telah mampu menunjukan bahwa kaum muda juga piawai berpolitik. Mereka dengan tambahan beberapa kali kursus dikemudian hari, berhasil ”memerahkan” kampung yang cukup besar ini dengan kemenangan mutlak. Sungguh suatu perjuangan yang tidak dibilang ringan, maklumlah dalam politik, apapun cara akan lawan gunakan, termasuk dengan uang saku. Anto dan kawan-kawannya memang fenomenal, bagi saya...sungguh.
(bersambung.....)




MENCERMATI TRADISI LISAN DAYAK KANAYATN DI KALIMANTAN BARAT


Oleh Yohanes Supriyadi

Tradisi lisan adalah cerita dan non cerita yang dituturkan secara langsung oleh nenek moyang suku Dayak secara turun temurun. Tradisi lisan ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat Dayak, sebab dari tradisi lisan inilah dapat diketahui pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat Dayak. Selain itu dalam tradisi lisan ini mengandung filsafat, etika, moral, estetika, sejarah, seperangkat aturan adat, ajaran-ajaran agama asli Dayak, ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, serta hiburan rakyat. Bagi suku Dayak tradisi lisan menghubungkan generasi masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang.

Kelompok Cerita:

1. Singara
Singara adalah cerita rakyat biasa yang berhubungan dengan situasi kehidupan di masyarakat. Cerita itu berupa cerita jenaka, cerita pelipulara, cerita binatang, dan cerita kasih sayang. Cerita jenaka misalnya cerita tentang Pak Ali-ali yang sangat kocak membuat tawa bagi yang mendengarkannya.Berikut ini contoh cerita Pa Ali-ali sedang mencari ikan sungai dengan bubu.
“Dimusim hujan ketika air sedang pasang, Pak ali-ali yang pemalas disuruh istrinya mencari ikan dengan menggunakan bubu. Awalnya Dia merasa enggan, tapi karena istrinya sering merengek-rengek akhirnya pak Ali-ali mengikuti keinginan istrinya. Malam ia mulai memasang bubu. Pagi harinya ketika diangkat, tak satupun ikan yang ia peroleh. Ia pun membawa bubunya kerumah dan melaporkannya ke pada istrinya. Istrinya marah-marah dan berkata : “ Dasar bodoooh kao Pak ali-ali, seko’ saluakng buta’ pun kao na’ namu. Dah…..kao gago’ agi ikatn ka’ sunge” Sambil menghukum Pak Ali-ali tidak diberi makan. Terpukul oleh kata-kata istrinya “sekok saluakng buta’ pun na’ namu” akhirnya ia pun pasang bubu lagi. Kali ini ia dapat ikan penuh satu bubu. Tapi begitu dicek satu persatu tidak satu seluangpun yang buta. Akhirnya semua ikan seluang dan ikan yang lain dilepaskannya lagi ke sungai. Iapun pulang dan melaporkan bahwa ikan yang didapatnya sudah dibuang ke’ sungai semua, karena tidak ada yang buta”.

2. Gesah
Gesah adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama lama suku Dayak, sosok kepahlawanan, asal usul benda/ kehidupan manusia. Contoh gesah misalnya tentang Ne’ Baruakng Kulup dengan asal usul padi turun ke dunia. Gesah Ria Sinir yang terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya. Gesah Pak Kasih yang berjuang merebut kemerdekaan.

3. Osolatn.
Osolath adalah kisah asal usul keturunan suatu suku, atau keluarga. Contoh Osolatn dapat dilihat pada asal usul kehidupan manusia di bumi menurut kepercayaan Dayak Kanayatn.
“Pada mulanya, pada perkawinan kosmis di Pusat Ai’ Pauh Janggi kemudian tercipta Kulikng Langit dua Putar Tanah (Kubah langit dan Kubah bumi), yaitu Sino Nyandong dan Sino Nyoba memperanakan Si Nyati Anak Balo Bulatn Tapancar Anak Mataari (Nyati Putri Bulan dan Putra Matahari). Memperanakan Iro-iro man Angin-angin ( Kacau Balau dan Badai), memperanakan Uang-uang man Gantong Tali (udara mengawang dan Embun menggantung), memperanakan Tukang Nange man Malaekat (Pandai Besi dan Bidadari), memperanakan Sumarakng Ai’ man Sumarakng Sunge (segala air dan segala sungai), memperanakan Tunggur Batukng man Mara Puhutn (Bambu dan Pepohonan) memperanakan Antuyut man Marujut (Akar-akaran dan Umbi-umbian) memperanakan Popo’ man Rusuk (Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga). Kesejukan Lumpur adalah perempuan dan tulang iga adalah laki-laki. Selanjutnya Popo’ man Rusuk Memperanakan Anteber dan Guleber. Anteber dan Guleber inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang Dayak Kanayatn. Setelah menjadi manusia, selanjutnya, Anterber dan Guleber melahirkan anak-anaknya dan kemudian dalam waktu cukup lama melahirkan anak cucu, sehingga dengan demikian, semakin banyaklah anak manusia di bumi”.


4. Batimang
Batimang adalah kegiatan yang bersifat hiburan atau pelipur hati atau bujukan oleh para orang tua untuk anak-anak. Batimang dilakukan pada saat senggang atau saat mau tidur. Batimang dapat dilakukan pada ungkapan pepatah, pantun atau lagu. Berikut ini contoh pepatah:
1. Abeh gi ka’ bahu, lajak udah bajalatn. Maksudnya Ia masih merencanakan sesuatu tapi rencananya sudah disebarluaskan.
2. Jantek siku siku tulakng takar. Maksudnya Perbuatan yang serba salah.

Batimang dalam bentuk lagu dapat dilihat dari syair batimang padi berikut ini:

Talinsikng papatn inge, tangilikng ka’ surambi
Nek Gasikng turutn pene, bakulilikng tangah sami’
Ansuit dalapm langko, nyingkubakng tongkoktn tanga’
Ne’ Ulit-ulit nyaru’ leko, Nek Baruakng maba pangka’
Nyingkubakng tongkotn tanga’, bakoro nangah sare
Nek Baruakng maba pangka’, baleko tangah pante
Bakoro nangah sare, tarad pulo bantatn
Baleko tangah pante, pangka’ tangah laman
Tarada pulo bantatn, barapi oncok limo
Pangka’ tangah laman, padi turutn ka talino
Barapi oncok limo, angkala’ pamumpunan
Padi turutn ka talino, pangka’ bakaturunan
Angkala’ pamumpunan, bajantok ka’ talidi
Pangka’ ba katurunan, Nek Tingkakok batimang padi
Bajantok ka talidi, satangkakng tama bubu
Nek Tingkakok batimang padi, padi atakng lalu baribu
Satangkakng tama’ bubu, baui raba pango’
Padi atakng lalu baribu, ia tama dalapm dango
Baui raba pongo, satangkakng batakng munukng
Padi tama’ dalapm dango, lalu atakng da’ Nek Untukng
Satangkakng batakng munukng, kandis bunga lada
Atakng da Nek Untukng, minta tulis ka Jubata
Kandis bunga lada, mampak kayunya raya
Minta’ tulis ka jubata, ia baranak menjadi raya
Karake’ ada sakojek, bajuntukng pucuk sangkuakng
Minta tele’ ka Nek Sijaek, minta unsur ka Nek Baruakng

5. Pantutn
Pantutn atau pantun merupakan cerita yang berisi nasihat, peringatan, dan kasih sayang. Pantun terdiri dari empat baris bersajak ab-ab, dua baris sampiran dan dua baris isi. Sampirannya menarik karena kata-katanya berasal dari lingkungan kehidupan. Pantun banyak dipraktekkan dalam kesenian jonggan, berkomunikasi di mototn dan menoreh getah. Tokoh pantun yang terkenal media elektronik yang berasal dari Desa Rees adalah Pak Namben dijuluki si raja Pantun. Berikut ini salah satu pantun hasil karyanya:

Tuhan dan Manusia
Beli gulamerah susah bawa galah
Ke sebuah lahan nabur palawija
Lagi muda gagah, Sudah tua lemah
Begitulah Tuhan mengatur manusia

Mahasiswa Tirakatan boleh jajan
Bahan gula sediakan niranya
Manusia diciptakan oleh Tuhan
Jangan lupa muliakan namaNya

Rupanya teman ngajak bergegas
Tunduk sembunyi rasa ditekan
Kuasa Tuhan tidak terbatas
Mahluk dan bumi Ia ciptakan

Agar menarik dan merdu didengar, pantun juga dapat dinyanyikan saat melakukan pesta adat , atau upacara syukuran lainnya. Biasanya pantun dinyanyikan pada jenis kesenian jonggan yaitu musik tradisional Dayak Kanayatn menggunakan gong, dau, duma, dan suling. Lagu-lagu yang sering dinyanyikan adalah Kayu ara, Kambang bapanggel, dan ma’inang serta banyak lagi lagu yang lain. Lagu-lagu itu merupakan lagu legendaris Dayak Kanayatn yang sangat digemari oleh semua kalangan baik tua maupun muda. Saat ini lagu-lagu itu dimodifikasi kedalam musik moderen.

6. Sungkaatn
Cerita dalam bentuk perumpamaan/pepatah disebut dengan sungkaatn. Perumpamaan atau pepatah yang dikaitkan dengan lingkungan sekitar tentang peringatan,penjelasan atau nasehat. Biasanya kata - kata yang digunakan adalah bahasa formal adat. Berikut ini adalah contoh sungkaatn.
1. Saenek-enek udas, paling ina’ tupe jejek ka’ dalapmnya. Maksudnya pada sebuah komunitas paling tidak satu orang menjadi pemimpinnya.
2. Suka mani’ ka’ Daya maksudnya sesorang yang selalu mengaku dirinya lebih hebat dari yang lain. Kebalikan dari pepatah ini adalah Suka mani ka’ ilir yang maknanya seseorang selalu merendahkan dirinya meskipun ia sesorang pemimpin.

7. Salong
Salong adalah cerita dalam bentuk sindiran atau ejekan terhadap suatu kebiasaan, atau perilaku yang kurang baik di masyarakat. Salong berusaha memperbaiki Sifat,perilaku, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan adat atau kebiasaan yang berlaku umum. Contoh salong adalah sebagai berikut :
1). Sayang istri, dipukul
Sayang ke anak di tinggalkan ; maksudnya bekerja keraslah mencari nafkah untuk anak istri.
2). Ujatna’ abut koa ; maksudnya salong untuk anak yang menangis.
3). Angus padakng dinunu ; maksudnya kebohongan yang disampaikan dipercaya pendengar.
4). Katungo ka’ jauh katele’atn, Babotn ka’ samaknya nana’ ia tele’’ : Maksudnya kesalahan orang orang dibesar-besarkan, kesalahan sendiri ditutupi.


Kelompok Non Cerita

1. Sampore’
Sampore dilakukan dalam kehidupan sesorang yang berhubungan dengan rehablitasi hubungan yang pernah cacat. Sampore dilakukan dalam acara lenggang, liatn, dendo, bapipis, batampukng tawar, dan babuis (karena badi atau jukat)/



2. Lala’
Lala’ adalah pantangan bagi masyarakat Dayak Kanayatn dalam melakukan sesuatu baik itu pantang makan, melakukan sesuatu, dan mengucapkan kata - kata. Masa pantang bisa tiga hari, tujuh hari, 44 hari, dan seumur hidup diatur dalam tradisi masyarakat setempat. Tujuan lala’ adalah agar setiap anggota masyarakat terhindar dari bahaya, kekuatan meningkat, atau terkabulnya niat dalam pekerjaan.

3. Tanung.
Tanung merupakan tradisi masyarakat dalam menentukan jenis kegiatan misalnya membangun rumah, menetapkan mototn, mancari jalan terbaik dalam situasi gawat/perang. Upacara batanung akan memberikam suatu keyakinan tentang jenis kegiatan yang dapat dilakukan kemudian. Jenis tanung adalah tang ai’, tanung tali, tanung karake’, tanung sarakng pinang, dan tanung dapa’ layakng.

4. Baremah
Baremah adalah permohonan penutup atau ucapan syukur atas hasil pekerjaan, seperti pada baroah, babalak, muang rasi, bapipis, basingangi (niat). Kegiatan ini lebih bersifat pribadi atau bagian upacara keluarga.

5. Renyah
Renyah adalah bahasa dayak kanayatn dalam menyebutkan lagu atau nyanyian. Isi nyanyian berupa pantun yang sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat dalam berkasih sayang, saling sindir, atau oleh orang tua menyampaikan pesan kepada anaknya. Renyah biasanya dilakukan pada saat ke mototn atau ke hutan.

6. Bacece’
Bacece adalah berunding di antara para tokoh, sanak keluarga, dan kerabat sekampung mengenai budi, hutang, atau hal lainnya dari orang tua/kepala keluarga/tokoh adat/tokoh masyarakat yang sudah meninggal dunia. Perundingan yang dipimpin oleh pemuka adat biasanya menghasilkan kesepakatan mengenai kejelasan dan tindakan yang dapat diambil bilamana perlu. Tujuannya agar arwah orang yang meninggal dapat lebih baik dan aman di surga, dan keluarga yang ditinggalkan dapat lebih tenang dan rukun.

7. Pangka’
Upacara adat pangka adalah upacara adat untuk memperingati Ne’ Baruakng Kulup merunkan padi ke dunia.Upacara ini biasanya dilakukan sebelum patahunan (masa ba mototn). Sebelum Upacara adat yang dipimpin oleh temenggung ini dilaksanakan , terlebih dahulu melakukan sembahyang bersama di panyugu setelah itu pangka’ gasing dimulai.

8. Mura’atn
Muraa’atn adalah berdoa agar sesorang tidak ditimpa mala petaka. Tradisi ini sifatnya pribadi perorangan.

9. Liatn
Liatn adalah upacara adat Dayak Kanayatn dalam bentuk magis dan sakral. Ditampailkan dalam bentuk tarian, doa, dan prosa berirama. Tujuan liatn adalah untuk pengobatan, membayar niat, dan lain-lain. Liatn dipimpin langsung oleh seorang dukun ahli liatn dan dibantu oleh seorang panyampakng serta beberapa panyangahatn. Jenis liatn berdasarkan pemampilannya adalah liatn daniang, liatn nyande, liatn bantal, dan liatn kanayatn. Perbedaan jenis liatn itu didasarkan pada irama serta kata-kata yang digunakan. Tiap jenis mempunyai tokoh tersendiri, misalnya liatan danian adengan tokoh Ne’ Sinede, dan Ne’ Lampede. Sedangkan pembagian jenis lian menurut tujuannya adalah liatn batama bohol, liatn ngaladak buntikng, liatn badingin, dan liatn ngangkat paridup. Misalnya liatn batama bohol bertujuan untuk memberi anak, sedaangkan liatn ngangkat paridup untuk memperbaiki patahunan yang gagal. Kegiatan upacara dalam liatn antara lain adalah nyangahatn dalam rumah, ngantar roba, ka’ ayutn, baramauan ngamok jalu, ka’ bawakng, bajampi, ka’ Jubata masaka, nyangahatn ngago’ sumangat, notor (memberi makan iblis jahat), ka’ dango bonto, ngalainse, ngungke, ka’ paramainan, dan baripakng. Waktu pelaksanaan antara lain sehari semalam, tiga hari tiga malam.Nilai seni tari dan lagu dalam liatn ini sangat menonjol yang diiringi alat-alat musik agukng, dau, dan tuma’ (gendang)

10. Mulo
Mulo adalah adat mengucilkan seseorang yang melakukan kesalahan berat kepada masyarakat adat Dayak.

11. Gawe
Gawe adalah upacara ucapan syukur. Gawe juga dilakukan untuk memulai kehidupan baru. Contoh gawe adalah gawe padi, gawe balak, dan gawe panganten.

12. Totokng
Upacara adat besar penerimaan kepala manusia hasil bakayo tempo dulu. Karena dalam pelaksanaannya menyangkut kehidupan dan hubungannya dengan lingkungan sehingga upacara nyangahatn dilakukan di setiap tempat kegiatan orang Dayak, misalnya di Panyugu, Panamukng (bukit/hutan rimba), Pasiyangan (tempat keramat asal usul nenek moyang beserta sejarahnya), sunge, tanga’ rumah, di atas pante, dan di dalam rumah. Semua tempat harus didatangi sebab kalau tidak kampung akan terkena bencana atau jukat. Totokng dipimpin oleh imam.
Saat ini upacara totokng jarang dilakukan, selain biayanya besar, upacaranya juga harus sesuai dari asal usul keluarga pengayau dan dari keturunan cerdik pandai adat. Selain itu ada kekawatiran terkena jukat.Sesuai denga tujuannya, totokng dibuat untuk penamaan pantak (topeng) guna menemukan asal usul suatu keturunan. Ada tiga tokoh Dayak yang dulu pembawa totokng yaitu: Bunsu, maniamas, dan Ure Nyabukng.

13. Nyangahatn
Bagian upacara dalam bentuk doa dalam adat dayak adalah nyangahatn. Upacara adat ini banyak digunakan dalam peristiwa adat seperti liatn, lala’remah, gawe, sampore’, dan mato’. Nyangahatn juga dilakukan saat bercerita sejarah kejadian asal usul. Tujuannya mengucap syukur mohon bimbingan dan perlindungan atau pemberitahuan kepada Jubata, Ne’ Panampa, Ne’ Daniang, terhadap kegiatan dalam bekerja. Nyangahatn dilengkapi dengan palantar (persembahan).

14. Dendo atau Lenggang
Bentuk upacara ini bukan berasl dari asli Kanayatn. Upacara ini dilakukan pada saat membayar niat. Kegiatan ini mirip dengan liatn tetapi dengan variasi dari luar yaitu melayu dan cina.




STRATEGI PENGEMBANGAN HASIL HUTAN NON KAYU BERBASIS KOMUNITAS DI KALIMANTAN BARAT


Oleh Yohanes Supriyadi

Latar Belakang
Selama lebih kurang tiga dekade terakhir, Indonesia menerapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif, khususnya hutan. Hal ini didorong oleh politik ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dalam skala makro. Semangat eksploitasi ini terlihat dengan dikuasakannya 54,3 juta hektare dari 64 juta hektare yang hutan ada pada konsesi hak pengusahaan hutan, dimana lebih dari setengahnya beroperasi di Kalimantan. Akibatnya, kondisi hutan pun mengalami degradasi yang sangat memprihatinkan. Jika antara 1970-1980-an, laju kerusakan hutan yang terjadi sebesar 500.000 hektar per tahunnya, maka sejak 1980-an, laju kerusakan hutan yang terjadi setiap tahunnya mencapai dua kali lipatnya.
Pada era 1980-an, eksploitasi hutan untuk diambil kayu alamnya, mengalami masa keemasan. Ekspor kayu pun mengalami peningkatan yang sangat besar dan menjadi salah satu tulang punggung pendapatan negara. Larangan ekspor kayu bulat ditetapkan dan mendorong pertumbuhan industri berbasis kayu dengan sangat pesat di dalam negeri. Instalasi industri perkayuan yang sangat besar pada masa itu, tidak mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan keberlanjutan usaha.
Di sisi yang lain, ternyata masyarakat di sekitar hutan tidak terpengaruhi oleh gegap gempita yang dialami industri perkayuan. Teori tetesan ke bawah (trickle down effect) yang diagung-agungkan oleh pembuat kebijakan ekonomi, ternyata tidak berlangsung dan tidak pernah terjadi. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan menggantungkan kehidupannya pada produk-produk hasil hutan, tidak juga merasakan akibat dari eksploitasi sumber daya yang ada dihadapan mereka. Kesejahteraan mereka tidak mengalami perubahan. Bahkan, sumber penghidupannya malah terganggu diakibatkan kerusakan ekologis hutan, dampak dari eksploitasi yang serampangan.
Sejak masa kejayaan ekploitasi hutan melalui sistem HPH, harga kayu hasil penebangan cukup menggiurkan masyarakat untuk mengusahakannya. Sebaliknya, nilai tukar produk hasil hutan non kayu secara bertahap mengalami penurunan. Akibatnya banyak masyarakat, yang secara tradisi mengusahakan hasil hutan non kayu, menghentikan kegiatan tersebut dan beralih pada ekspoitasi kayu hutan. Eksploitasi ini sekarang tidak hanya berlangsung pada kawasan produksi saja, tapi juga telah merambah pada kawasan konservasi yang ada. Akibat dari telah semakin terbatasnya tegakan hutan yang belum diekstraksi. Selain itu, prilaku eksploitatif ini juga berdampak langsung pada produk hasil hutan non kayu. Dimana banyak produk-produk tersebut yang membutuhkan dukungan tegakan hutan yang baik untuk berkembang optimal. Jika kondisi kerusakan hutan semakin parah, bukanlah sebuah keniscayaan beberapa produk hutan non kayu akan pula menjadi punah.
Prilaku yang eksploitatif tersebut masih berlaku hingga saat ini. Pemberlakuan kebijakan desentralisasi pemerintahan pada pemerintah daerah, ternyata tidak membuat pengelolaan sumber daya alam menjadi lebih baik. Peluang untuk merumuskan kebijakan secara mandiri ini ditangkap sebagai peluang untuk kembali mengeksploitasi sumber daya hutan. Pengeluaran izin hak pengusahaan hutan skala kecil marak dilakukan hampir pada seluruh kabupaten yang masih memiliki sumber daya hutan. Episode penghancuran sumber daya hutan pun kembali bergulir, dimana masyarakat di sekitar hutan tetap hanya sebagai penonton dan korban dari eksploitasi yang dilakukan di depan mata mereka.
Belakangan ini di Kalimantan, pada sebagian masyarakat di sekitar hutan telah mulai tumbuh kesadaran untuk mengusahakan alternatif pendapatan selain kayu. Umumnya, mereka mengembangkan komoditas yang merupakan hasil hutan non kayu. Banyak dari mereka yang mencoba menggali kembali kearifan lokal yang diwarisi nenek moyangnya dalam mengupayakan hasil hutan non kayu. Kesadaran ini tubuh dari kenyataan penurunan kondisi lingkungan di sekitar mereka dan menipisnya ketersediaan kayu yang dapat dieksploitasi.
Inisiatif pemanfaatan yang tidak merusak ini bukan tidak memiliki kendala. Salah satu kendalanya adalah belum berpihaknya kebijakan dari pemerintah pada pengembangan hasil hutan non kayu. Banyak pemerintah daerah yang belum memandang produk hasil hutan non kayu sebagai produk yang dapat diandalkan dalam mendorong ekonomi daerahnya. Insentif dan perlindungan dari pemerintah daerah bagi keberlanjutan usaha pemanfaatan hasil hutan non kayu oleh masyarakat belum banyak dirasakan. Keadaan ini diakibatkan masih rendahnya pemahaman pemerintah daerah menyangkut potensi yang dimiliki oleh produk hasil hutan non kayu.
Mencermati kondisi di atas, beberapa pihak yang berkegiatan mendorong pemanfaatan hasil hutan non kayu di Kalimantan dan tergabung dalam Jaringan Pemantau Kehutanan Kalimantan, bermaksud mencoba mendorong perubahan kebijakan di tingkat lokal (baik di tingkat kabupaten maupun propinsi) dan regional (Kalimantan) melalui sebuah program identifikasi dan desain strategi pengembangan hasil hutan non kayu di Kalimantan. Aktivitas ini diharapkan dapat mendukung bisnis masyarakat berbasis hasil hutan non kayu, yang akan memberi efek peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar hutan dan juga akan berdampak pada perlindungan hutan.

Harapan :
Mendorong pengembangan usaha kecil kelompok masyarakat berbasis hasil hutan non kayu melalui perencanaan bersama antara pemegang kebijakan, pelaku pasar dan produsen hasil hutan bukan kayu sebagai upaya pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan di Kalimantan

Tujuan :
1. Mengidentifikasi potensi-potensi HHNK yang dimilki komunitas-komunitas sekitar hutan di 8 kabupaten di Kalimantan
2. Mengidentifikasi rantai dan jaringan perdagangan, kapasitas penyerapan dan pengolahan pabrik-pabrik pengolah HHNK di 8 kabupaten di Kalimantan
3. memberikan input kepada pembuat kabijakan dalam membangun strategi pengembangan HHNK yang prospektif

Hasil Yang Diharapkan

1. Data, informasi dan pengetahuan yang komprehensif dan mendalam (sebagai hasil dari studi identifikasi potensi HHNK di komunitas-komunitas sekitar hutan di 8 kabupaten) mengenai HHNK, teknik-teknik budidaya dan hambatan-hambatan dalam usaha-usaha berbasis HHNK di tingkat komunitas, termasuk hambatan-hambatan yang berupa kebijakan yang menyangkut HHNK
2. Data, informasi dan pengetahuan yang komprehensif dan mendalam (sebagai hasil dari studi potensi perdagangan beberapa produk HHNK) mengenai rantai dan jaringan perdagangan, kapasitas pengolahan pabrik, rute perdagangan dan transportasi beberapa HHNK yang prospektif serta kendala-kendala yang ada termasuk kendala kebijakan.
3.1 Draf strategi untuk pengembangan HHNK prospektif sebagai masukan bagi pembuat kebijakan di tingkat kabupaten (di 8 kabupaten), di tingkat provinsi (4 provinsi) dan tingkat regional Kalimantan.
3.2 Buku mengenai HHNK dengan pendekatan komprehensif dan kritis

Kelompok Penerima Manfaat

1. Pemerintah kabupaten dan provinsi akan mendapat manfaat dari data dan informasi yang komprehensif mengenai HHNK yang prospektif di daerahnya; data dan informasi tersebut dapat diintegrasikan ke dalam strategi pengembangan pendapatan daerah yang bervisi konservasi dan pemerataan distribusi sumberdaya kepada komunitas, khususnya komunitas sekitar hutan;
2. Komunitas sekitar hutan pengelola HHNK akan mendapat manfaat dari informasi mengenai prospek HHNK, teknik-teknik budidaya dan kebijakan yang mendukung pengembangan HHNK. Informasi mengenai prospek HHNK (yang akan diintegrasikan dengan informasi yang lebih luas di tingkat regional Kalimantan melalui Infokal) akan dapat dijadikan strategi pemilihan budidaya cash-crops dalam strategi ekonomi mereka. Informasi mengenai teknik-teknik budidaya HHNK prospektif (dari dokumentasi teknik-teknik budidaya HHNK prospektif) akan membantu komunitas dalam meningkatkan kualitas HHNK yang akan berimplikasi pada peningkatan harga. Kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan HHNK yang dikembangkan pemerintah akan mendukung usaha-usaha pengelolaan HHNK;
3. Pedagang pengumpul, pengusaha pengolahan lanjutan, pengusaha jasa transportasi dan eksportir HHNK akan mendapat manfaat dari informasi mengenai rantai dan jaringan perdagangan, kapasitas pengolahan pabrik, rute perdagangan dan transportasi beberapa HHNK yang prospektif serta kendala-kendala yang ada dalam mengenali peta permasalahan mereka yang mereka hadapi untuk menyusun rencana mereka dalam asosiasi mereka masing-masing. Kebijakan megenai pengembangan HHNK oleh pemerintah kabupaten maupun provinsi tentu akan mendukung usaha perdagangan, transportasi, pengolahan dan ekspor HHNK;
4. Informasi mengenai potensi, teknik-teknik budidaya, perdagangan, dan ekspor HHNK akan bermanfaat bagi pengelola program untuk mendisain program-program fasilitasi kepada kelompok-kelompok komunitas pengelola HHNK secara komprehensif. Informasi mengenai kendala-kendala kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan HHNK juga dapat dijadikan dasar kerja-kerja perubahan kebijakan (advokasi) yang harus didesakkan kepada pembuat kebijakan secara terus menerus.




INDONESIAN MOVEMENT POLITICAL STATEMENT AND APPEAL: Change now or there is no hope at all


By Yohanes Supriyadi

Those in power and the political elite have failed to carry out the People's mandate. This is
plain to see from the evidence of on-going devastation in various areas of life across the
nation. Farmers, fishermen, laborers, the unemployed, and the urban poor continue to be
gripped by the same problems, which are only growing worse. We witness children dropping
out of school, unemployment, and various other social wounds lashed upon the lives
of the People. Natural disasters, landslides, floods, and forest fires increasingly reveal the
consequences of human greed that eventually brings catastrophes. It is undeniable that
suffering and misery have become the daily rations for a large portion of the Indonesian
people.

Justice for former President Soeharto remains little more than a dream for the majority of
the People, to say nothing of trials for violators of human rights. Not only is the fight
against KKN [collusion, corruption, and nepotism] not advancing, but KKN is actually increasing
and spreading to the new business and political elites. Piles upon piles of KKN
cases are ignored, giving the impression they are even being protected. Whether we are
talking of the KKN cases involving the family and cronies of former Gubernur Usman Djafar or
those involving current power holders such as the cases of Corruption Assurance, Lativi
and the case of the Tenda Biru - the supremacy of law bows down to the supremacy of money and power.

In a word, the reform agenda has been deliberately thrown in the "garbage can" by those
in power and the political elite. More than that, they have deliberately "killed" the reform
movement voiced by every element in the nation. This "killing of reforms" has been accompanied by the launching of policies that are anti-People such as the raising of prices for fuel, electricity, and telephone, while at the same time granting blanket amnesty to the worst
corruptors.

Setting a moral example has become a rare event among our leaders. Concern for the People
has been reduced to empty political rhetoric. Any deep commitment to carrying out the
People's mandate has been "prostituted." Meanwhile, political activity amounts to little more
than the accumulation of political power resources and money for personal and group interests
that are obviously particular and of the moment. This is why the political transition of
this nation has not brought democracy and justice, but rather political uncertainty and perpetual
impoverishment of the People.

These facts confirm one thing - that a de facto vacuum of national leadership is occurring at
this moment. Formal political leaders do indeed exist, but their existence contributes very
little to solving the nation's problems and uplifting the quality of people's lives in general. It is
nearly impossible to find any concern on the part of these leaders for the fate of the People,
whose suffering, poverty, and destitution grows. It is justified, then, for the People to lose
their trust and begin to support an agenda to withdraw the mandate making them national
political powerholders.

Fundamentally, no hope for change can be given to those in power now. And yet, for the sake
of the future of democracy and a genuine struggle for the people, we will give one last opportunity to those in power to prepare and repair themselves in accordance with the demand for
total change from every corner of the nation. We believe that such and opportunity still exists,
even if only tiny. If the opportunity is fully utilized to achieve the aspirations of the People
and the reform movement, the powerholders and political elite will have regained their
place in the People's hearts. But if this small chance is squandered, it is the justice of history
that will be heard. It is well to recall that the strength of the People can always rise to end the
oppression and suffering they endure.

It is evident that this country's formal political leadership must change quickly, or there can
be no hope for the of this beloved nation. For these reasons, we, a private grouping of citizens
concerned about the fate and future of the Indonesian People, declare:
1. Appeal to those in power and other political elites to concentrate their attention on rapidly addressing the problems of the nation in the shortest time possible, bearing in mind the political competition for 2009 and the potential for political feuds.
2. Appeal to those in power and other political elites to set an example as leaders who truly care about the fate of the People. The form that example takes, among others, should begin with promoting a simple life starting with the leaders themselves and extending to their families, and further supported by a personal desire to cut their own salaries for the sake of the broader population.
3. Appeal to all elements of the population not to depend on the formal political leadership to solve all the nation's problems, which are so complex and in need of immediate handling. Only by working collectively can we make the maximal contribution to solving the national problems that are increasingly acute and alarming.
4. Appeal to all levels of society to push for the emergence of new leaders who are honest, clean, consistent, and prepared to make sacrifices to guide the People out of this un-ending crisis.
5. Appeal to all Indonesians to arouse the spirit of struggle and strengthen their consolidation to compel the powerholders and other political elites to make greater efforts to solve the problems of the nation.
6. Appeal to the whole Indonesian People to be vigilant of and prepared to prevent the return of Soehartoist forces and the New Order which could seize the opportunities presented by the current political mess.

These are the appeals we put forth with the singular certainty that changes in the life of the
People are only possible if each of us acts collectively with solidarity.
The history of the Indonesian People provides proof of this.

Pontianak, March 2008
INDONESIAN MOVEMENT WEST BORNEO




THE PORTRAIT OF WEST KALIMANTAN INDONESIA IN LATEST 5 YEARS


By Yohanes Supriyadi

Background
The province inhabited by plural communities, in latest 5 years has the quality of human resources under the national average. In 2002, Human Development Index only reached 62,9 (National: 62,8). The development in public health is still low comparing to national average, although it has shown a significant increase. The data of 2000 and 2003 show: life age expectation is 64,3 years (National: 67,9), infant’s mortality rate: 50 per 1000 births, (National: 44 per 1000), while the nutrient status of children under five years that is still bad, is high enough that is 14% (National:9%).

In education field, West Kalimantan, so far is still under the National average. In 2003, the average of time length for schooling of about 15 years, reached 6,03 years (National:7,1 years). Participation rate of schooling for 7-12 years old was 92,05% (National:96,42%), while the drop-out rate increased from 1,315% in 2002, to 2,12% in 2003. According to the data of the same years, West Kalimantan reached the rate of pure participation of elementary school, 88,89 (National: 92,55), Junior High School, 50,88 (Natinal:63,49), Senior High School, 29,11 (National:40,56), College, 5,15 (National:8,55). While the percentage of illiterate people above 10 years old is 10,91%, (National:9,07%) and of those who do not go to school is 11,1% (National:8,50%).

In population field, the population growth decreased from 2,65% in 1980-1990 period into 1,53% in 19990-2000 period. This is not ideal for West Kalimantan that has a population of 3.993.580 inhabitants (2003) to live in a region of 146.807 square kilometers. The population growth decreases and the economic growth is still low. In 1996-2002 the economic growth was only 3,30% per year and generaly it was pushed by the people’s consumption, investment in the permanent capital, goods export and service.

In 2003, the percentage of open unemployment was 8,8% or 165.000 persons. (In 2002, 155.000 persons or 8,57%) The persentage of poor people was 14,79% and now it tends to rise.

In this country, act number 32/2004 motivates ethnic awareness strongly that leads to the emergence of ethnic nationalism (Alqadrie,2003). The emerging ethnic awareness was modificated by the authoritative political elites by “dividing” the West Kalimantan area into regency/city areas which directly or indirectly has divided this province based on the ethnic groups. This condition was worsened by the implementation of direct vote in electing the local heads (PILKADA) in 2005. the political violence happened among the teenagers. Thousands of students, from Elementary Schools’ till High Schools’ students were involved in the riots among the supporters of the candidates. They were mobilized by the political elites and their parents to participate in the campaignes which were going on, whereas those under 18 years old were considered children as stated in act number 20,2004 about the protection of children.


High Criminal Rate
In the latest five years, West Kalimantan has been the threathened by the increase of criminal rate. The severance of working relation (PHK) in wood industry, the control of on illegal loging resulted in unemployment. Then the criminal cases (such as robbery, motorcycle plundering) increased more than twice. Based on the city police’s data, in 2003, the robbing cases reported to the police were only 40 cases, while in 2004, they increased into 77 cases,and in 2005, it was reported that the cases dramatically increased to 222 cases and in 2006 up to April, there were already 116 cases. (AP Post, Saturday, April 29th, 2006)

Collective violent actions by the youths increasingly happened from year to year in West Kalimantan. The fights among students did not only happen in the cities, but also in the villages. In 2004, there were 34 students’ fights cases and in 2005 they increased to 56 cases. The causes of the fights were usually personal problems (the fight over girls: 12 cases, sport competition: 12 cases, prestige acknowledgement: 21 cases, and the impact of the school initiation: 6 cases, and the rest due to alcoholic areas: (AP Post, January 27th, 2006)

Gender- Based Violence
The victims of gender-based violence in West Kalimantan lately have been increasingly high, so that they need serious attention from various competent sides. The victims generally consist of urban society members, housewives, factory’s workers and women farmhand. The causes could not be generalized, perhaps due to economic burden and many resulted restricts women’s movement and their ways of dressing including the patriachal culture that place men in higher position. The violence at home still happens up till now. The victims are usually women and children. Because of the arbitrary and unfair action, there are many victims suffer from phsycal and mental disturbance. From many cases happening in Singbebas (Singkawang, Bengkayang and Sambas) Sambas Regency gets the highest position, then followed by Bengkayang and Singkawang (AP Post, Saturday, June 24th, 2006).

West Kalimantan also is being overhelmed by the “trend” of adultery and violation cases, whose victims are young women, particularly in Sambas Regency. In the latest 2 month, in a sub-district there happened 3 cases. Based on the latest cases, there were some causes of the cases. Among others, were pornographic movie, free sex, the weakness of faith and piety and loose control of their parents. (AP Post, Friday, September 22th, 2006). Besides, it is easy to get pornographic VCD, stencilized books and the access of Internet without protection. These are considered as the causes of the “cultural trend”.

The Increase of HIV/AIDS Victims
HIV/AIDS in West Kalimantan has become an epidemic at present HIV epidemic is still concentrated with the low spreading level in general population, but high in certain populations. The threat of their epidemic can be seen through the data of HIV infection that continue to rise, particularly among the groups with high risk in some districts in West Kalimantan.

¬Proverty and Morality
The state of morality correlates with poverty, where criminal cases tend to be high because of the poverty. Iqbal (2004) noted that the high rate of crime in 1999-2005 was caused by unstability in family life in the society, where the deforce rate increased, a family with a single-parent that became a trend, love and inimate relationship in a marriage that decreased. Moreover, according to Iqbal, the crime did not only correlate with poverty, but also with prejudice, poor housing conditon, lack of education, lack of food and healthy sanitation, and poor family environment even having no family at all.

THE TRENDS
Our assistance process in 2 years shows interesting phenomena. Modernization and globalization, signed with the implementation of technology and information has changed people’s life style. One of the growing lifestyle is an instant life style. People tends to simplify their lives or striving ease of life. People try to minimize the difficulties in various dimensions and level of life. The development in science and technology makes many things to happen. In fact, what they are doing are natural and legal, but, for the youths, these things trap them (without being concious) in a situation or life experience that can spoil them to live in an easy life. They can not face or are not accustomed to difficult reality, whereas, life is not always easy, it demands struggle.

Being trapped in the situation. Like this, makes the youths alien to reality of life. They are quite accustomed to something easy, not difficult. On the otherhand, their alien situation paralyses the youths, so that they can not make a certain attitude toward the development of life situation which is happening. They tend to go with the follow in life.

The condition above was supported by the result of research done by some NGOs in West Kalimantan some time ago. Another problem that influenced the methods of teaching at schools was the educational system in Indonesia. The system used did not base itself on value education (Bahari.S, 2005). The lessons at schools were only about modern sciences, while the local knowledge based on the wise culture toward fellow human beings and the environment was not considered at all. The changes the students got from the school made them really confused. The result was the moral degradation in the children’s and youths’ communities. Many of them did not use or respect the wisdom of customs and traditions inherited by ancestors in their daily lives.

Besides, the experience of the long conflict among ethnics groups also influences the youths in West Kalimantan very much. They experienced by themselves, how the interests among the people collided each other, and customary laws, negotiations, and peace efforts were made to settle the conflicts. But when the efforts failed, the struggle continued by using the violent actions, especially those concerning the desputes on the vital needs in life, such as the access to the land, forest and other natural resources, as the important part of their environment.
Ironically, when people did violent actions in conflict resolution, their demands were more often fulfilled companying to using the peaceful ways and negotiations(Krist,2005). This cunduction motivated the children and the youths chose violence actions as the ways to overcome every problem the faced. Therefore, cultural violence as we know, lately increased accompanied by the use of symbols that adhered to the image of head hunters. This was the manifestation of frustrated feeling that was very strong but failed to be understood by the rulling regime, or got the wrong response.

However, we can not blame the youths merely on the situation. The youths were in the situations that conditioned them to behave and to act in certain ways. The first condition was social-economic situation in which money became determining factor or everything. Money has become “New God”. Everything in life was valued and appreciated by the amount of money spent for it. Therefore, life become very materialistic. Values in life, including faith value, decreased and lost its influence in every aspect of life.

People did not hold on to the moral values, but they always asked, “ how much money have I to pay?” So, it was not surprising that corruption, collusion and nepotism happened everywhere. Money was shackling everything; it became the reason, means and purpose of living. We agree that money is important, but it is only the means for doing or achieving something else. But in the latest time, when people talken about values in life, it was as if they talked about nonsese.

The second condition is the socio-political situation in which communalism happened everywhere. What we mean by communalism is the situation in which people do not concern about common necessity, but only about their own group’s. The thinking pattern like this eneourages and trap people in individualism. Common necessity is not a hope that must be struggled for, but becomes a dream with no end. One does not care about others’ necessity, as long as my group is weathy; as long as my group wins; as long as my group is happy. “why should I think about it.” Is an expression that often reflects this inner attitude.

The third condition is the sosio-cultural situation in which the violence become more structuralized. This condition is the end of the first and the second conditions. Feeling of respect toward others and reality in life (nature and environ ment) gradually lost. When it is considered to prevent from doing something, it must be put away, or distroyed if necessary. On the other hand, of something is wanted to selp, it will be aquired in any way, without considering the necesity of others. So the killing toward fellow human beings, the destructing of foresh and the exploiting of natural resorces happen here and there. So, the purpose permits any way, including violence way. The violence becomes the only choice when facing anything or anybody.

So the yourths in West Kalimantan live in there kinds of condition that push them down and influence each other. Basically, they make the youths feel strange to themselves, to then families, to their communities, and at the and, to their god.



PEOPLE’S INITIATIVE FOR DEVELOPING
This program is done as the continuation of the series of facilitation of Cooperation Program of YPPN with Cordaid in the latest 2 years (January 2005 to December 2006). Trerefore, the program will be done integrally and involves the initiative of education community groups. It is meant to avoid people’s “ demoralization” at school institution, since West Kalimantan is priority place for managing the conflicts.

There are three districts that have been made project basis for developing learning process in preparing social aspect of conflict management in peaceful ways done by the youths assisted by YPPN in 2 years (January 2005-December 2006), they are: Pontianak Regency, Landak Regency and Bengkayang Regency. Bat based on the suggestion and recommendation of the people in the workshop on strategic planning and program on 2 to 4 of October 2006, in the period of 3 years to conie (January 2007-December 2009), besides strengthening project basis in the 3 regencies, we also will enlarge the project basis on other 2 regency areas, i.e.. Sambas Regency and Singkawang City.

The enlargement of program area terget is based on the consideration of the lesson of creativity and the care about learning enivironment showed by 30 schools in these there regencies that are important and neccessary for the common learning material, especially within the scope of surrounding communities as well as the communities of the other schools in the scope of West Kalimantan

We found out that during the program time, the youths in the 30 schools showed that the need of freshness of the environment of learning could be fulfilled by investigating the use of learning result, at schools as well as in the society. Together with this, they also showed the pactiee of living together harmoniously. Besides, the effort of good experience disseminating could be used as the way to build larger awareness, and at the same time showing another interesting aspect in supporting peace culture through productive, activity with the high perception of nationality.

The practices are in line within the global trend supported by various international organizations, the ones organized by the government, as well as those organized by NGOs, or the institutions under UNO. One of the organizations is Cordaid that develops its missions, by (one of them) developing peace and increasing the capacity for conflict transformation. Through Peace Building Program offered in Indonesia, Cordaid’s missions closely relates to the initiative that has been developed by the youths’ groups that have been mentioned previously, particularly in three important aspects, namely gender, conflict resolutions, anti-violence promotion.

In developing the program in gender aspect, the assisted youths have shown the clear educational abjectives, namely to make use of space for the emergence of initativess of young girls and boys to make mutual interaction. It has also been shown there are sosial pre-condetions that have been fulfilled, among others are:
(1) Students’ institutions that are special organizations built through the students’ meetings to manage the organizations based on their agreements.
(2) There are norms, values or rules as the basis for developing the organizations’ regulations for gender education and anti-violence continously and
(3) There is a clear description among the teachers about the education model, without considering the legal acknowledgement from the government.

School as an Entry Point
School is an institutations that has an important duty, not just as place for increasing information control and technology mastery, it also has a duty in building the students’ capacity in responsibility and in decision making that is wise in their life.Goverment schools must become the main motivators in free public education, wher the education must be universal, does not take side (non sectarian), and free. As the mani objectives of citizenskip policy (civic virtue) and to creatc the men of character, so it is obviously that education is not for certain groups only (sectarian ends). The falure of moral resoning and values clarification approaches with the resuct that can be felt in social demoralization in 1990’s era han made the anti-climax in moral education in West Kalimantan .
¬
Based on this reality, on 18 to 20 of September 2005, YPPNs some experts in education, youths’ leaders and ethics scholars who had concern on the condition met in a meeting named Workshop on Strategic Planning and Programming in Wisma PSE, Pontianak and they produced some recommendation as follows. (1) The conviction that the next generation is a decicive factor social, national and state’s lives, therefore the sociaty needs good citizens (caring citizenry) with good-moral characteristics. (2) They also believe that a person does not automatically have good-moral characteristics, so that it is neecessary to think about the efforts to teach the characteristics effectively. (effective character education) (3) The moral education system does not think about whose values that should be taught to the students, but it is neccessary to think about what values that should be taught to the students. (what values should we teach?) (4) Seing from the poin of view of educational method we still see some weakness, because the method being used is concentrated on the left brains/cognitive approach, that only demands the students to know and to memorize (memorization) the concepts and the truths without touching the feeling, emotion and one’s inner self. (5) Besides, the practices of attitude and the implementation of values of goodness and noble character are not done at schools. This is a methodological-basic error in moral education for humans. There fore, it is not surprising if we find a lot of inconsistency between what they get from the schools, and what the studnts practice outside the schools. In this case, the role of parents in education to form the children’s characterstics (read:morale) is absolutety important, since through the parents the children obtain the continuity of values of goodness they already know at schools. And (6) Without the involvement of parents and family, no mather how good the values taught at schools, they will be useless, because the character education (or “akhlak” in Islam) must contain the elements of affection, feeling, inner touch, and the practice (at the same time) in the form of application in avery everyday life.

This program is designed to be implementad based on some basic assumptions, as follows: (1) The trend of violent action increased in the sociely in West Kalimantan lately. It was triggered off by the struggle to obtain an access to natural resource and to local politics, the moral decrease in social association the violence in family, and the spreading of epidemic disease of HIV/AIDS. Now we can see in the middle of globalizatioan and modernization current the violent actions can easily found in information and communication media. The actions return the stigma of racial violence in the past so that it can be a traumatic experience for the children and teenagers which is indicated by: The increase of violence actions, suchas gang fights among the students, The use of “dirty words” in conversation, The negative influence of one group towerd others among the “peen groups”, The attitude or actions of self-destruction such as drinking alcoholic drink, smoking, Free sex and drug addiction, The moral standard begin to fade, replace by superficial “friendship” morality, The decrease of work ethies, such as being lazy in doing the homework, assignments, etc, The decrease of respect attitude towards the parents, or the elders, The attitude of irresponsibility increases, The unfair or dishonest attitude, such as cheating and telling lies to the parents increase. (Megawangi, 2002). (2) The tend to force the practice of the aducation system by the government through The Regulation of National Education System, makes the models of alteanative education that give apportunity to local-based curriculum, unable to accommodate. Most of the subjects are about science knowledge, white the ethics and morals are disregarded. As the result, the social-cultural defence is getting weaker, and the crisis on wisdon in social life increases, while the new values have not been consolidated yes. We can say that the process of transition and transmission of values and attitude are happening in West Kalimantan. The growing of liberal spirit, has pushed permissive attitude (everything is permissible) opportunism, and “now and have” attitude that can shake the foundations of social life. (3) Gender uneguality can ke found in all sectors of life, such as in job field, occupation field in the siciety. The uneguality is due to unegual background in education. Because the women have a lower education level than the men, the women can not get bigger role in society: There fore the opportinity in education should be opened widely and the promotion of gender eguality must be made. The efforts for achieving gender edguality must be stanted by making eguality in education between male and famele students, so that in the futme both of tham will have the same oppartunity in all fields in life.

It the condition above are not emmediately anticipated orprevented they make the communities in West Kalimantan sick. A future society who loves and civilizes violence in the actions and who now is being infected by HIV/AIDS’s virus, is just waiting for the extinction, due to the conflicts or the virus infection of HIV/AIDS. The latest studies show that the children in the eculy age have been suffering chronically; they are sensitive to some kinds of sickness, they don’t have social-emotional sensitivity, having strong tendency to avoid responsibility, having a weak control over aggressive action, having week moral commitment, having unsound perception about god. Therefore, the program is aimed at contributing to the creating of peace culture and helthy culture (without HIV/AIDS infection in West kalimantan in the future. The program activity starts by facilitating the children and the youths and it is expected can disseminate the two kind of culture above among West Kalimantan poeple who are multi-ethnic and multi-religious through formal and non formal education.


APPROACH, METHODOLOGY AND PHASING PROCESS.
Based on our experience and the evaluation result of the program implementation in 2 years, the approach will be used in this program is by using:
1. Cultural integration, that is to integrate various culture and groups of the participants (students) to illustrate basic concept, generalization and the theories in the subjects at schools.
2. The process of idea construction, that is bringing on the students to undersand the cultural implication in the subjech at school.
3. The freedom in presenting, that is to adjust the teaching method to the students’ way of learning in order to facilitate their academic achievement considering their variety in race, culture and social groups.
4. Understanding, that is by identifying the original ethnic characteristics of the students and deciding the teaching method for them.
5. Directed training, by training the students to participate in any activity at school, such as spport activity together with all organizer and other students who are defferent in ethnic groups, in order to build academic culture.

In practice, these approaches will focus on fulfilling the subjects, such as, tolerance; theme desiging about ethnic-cultural and religious differences; the awareness of discrimination danger; conflict resolution and mediation; Human Rights; democracy and pluralism; universal humanism; and other relevant subjects.

The implementation of the appraches that will he used by the program, consists of, (1) Self-tranformation; (2) schools’ transformation and the teaching learning process; (3) society’s transformation, in this condition it is directed to anti-violence education as a part of tolerant and free education for the society in the future.

These can be achieve by the fulfilment of the students’ ability particularly in having the ability in:
1. Self-Confidence
2. Self-control
3. Coorperation
4. Socialization
5. Concentration
6. Empathy and
7. Communication


This method reguires cicled and adaptable process, starting with the discussions among the youths, following the informal way, the participants are, familiar with each other and free to talk. In short, it adjust to the eirclus of everyday activities of the youths.
 The discussion is meant to find aut the relevant experiences of the youths, the stagnation and the degradation experienced by the people, and the violence models that influence the people life, especially in educational system and media life.
 The discussion is expected to show alternative way to increase the youths’ awareness, that can be used as hearning models.
 By mapping the relevance and the alternatives mentioned about, it can be used as stimulus for the youths to do creative active and to develop their axperiences in a larger scope in society.
 The actions that have been done should be refleeted, to see whether they are in line with the basic alsumption stated before.
 The refleetion should give input for the next actions, for the sake of correction, revision, and new actions.

CLOSSING
We think that many efforts to avoid violence action in plural communities of West kalimantan will fail if we do not strart with anti-violence aducation to the students when they are still youg. We expect that this kind of education will train the children solve their problems effectively and peaccfully (without violence) and when they become adults they will be able able to do the same things in the same way, even concerning the bigger and the more conplicated problems in the wider community scope. The point is, the program idea is based on the consideration that children can learn and participate in solving violence action and discrimination among plural people of West kalimantan, and then they can implement the local values for the sake of peace building in West kalimantan in the future.

Besides, the above condction is supported by the existence of the youths’ organizations at schools, that make it stronger and wider, so that it will strengthen the continuation of this program. Besides, the tendency of local autonomy that get stronger and stronger can be use ful for the schools to find out alternative education models. We also belive that the good relationship among students’ organization, including with NGOs is very important for the efforts to build peaceful and heathy communities in West kalimantan in the future. Based on some assumption above, there can be some possibilities, such as:
1. Cantent integration: that integrating various cultures and groups in order to illustrate basic conception, generalization and the theories in the subjects at schools.
2. The knowledge construction process, that is to bring the studenst to implement the cultural concepts into the subjects at schools.
3. An Eguity Paedagogy, that is to adjust the teaching methods to the students, ways of learning in facilitating the students by considering their variety in race, culture, social group.
4. Prejudice Reduction, that is identifying ethnic and religious characteristics of the students to determine the teaching method for them.
5. To train the students to participate in every activity at schools, in oder to interact well among themselves, who are different in ethnic groups, religions, rtc. in order to build academic culture.


Writer; Chairman of Palma Institute in West Borneo Indonesia





 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons