Oleh Yohanes Supriyadi Pulau Kalimantan adalah pulau terbesar nomor tiga di dunia, mempunyai hutan tropis terbesar kedua setelah Amazon di Amerika Latin dan pulau ini dimiliki tiga negara yakni Malaysia, Brunai dan ’indonesia. Sedangkan yang termsuk wilayah Indonesia sendiri terdiri dari empat propinsi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Di Kabupaten Bengkayang, salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat, terdapat berbagai bahan tambang, jenis vegetasi dan satwa. Selain itu dihuni mayoritas masyarakat adat Dayak (indegenous people) yang tersebar di pelosok pedalaman. Hidup berkelompok, mempunyai bahasa masing-masing dengan menganut prinsip dasar hidup ; mempunyai hukum adat (customary laws) yang lebih berorientasi pada kesinambungan dan harmonisasi, keanekaragaman hayati (biodiversity), kebersamaan (collectivity), ritualitas (rituality), alamiah (naturally), subsistensi (subsistency) dan kesinambungan (sustainability). Proses peminggiran masyarakatnya telah terjadi sejak era-kolonial. Pihak kolonial tidak memberikan porsi kepada masyarakat adat dan lebih berpihak pada kerajaan/kesultanan. Sedangkan peminggiran masyarakat adat di era-kemerdekaan melalui kedok pembangunan-modernisasi, sistem pendidikan formal, sistem ekonomi monopolistik-kapitalis, hukum dan perundang-undangan yang tidak berkeadilan serta sistem pemerintahan yang sentralistik. Senada dengan pendapat seorang antropolog asing Van Lijnden yang mengatakan bahwa masyarakat adat Dayak lebih bernasib untuk dikuasai daripada menjadi penguasa (Rokaert 1985:1) Pemerintah daerah Kabupaten Bengkayang sangat antusias bicara tentang PIR-sawit, HTI, dan pertambangan . Bahkan lahan-lahanya telah diperuntukan untuk itu, belum atau bahkan tidak memiliki visi yang jelas. Kecendrungan yang terjadi adalah pengurasan berlebihan tanpa memperhatikan daya dukung alam dengan bungkus menggali PAD. Apalagi dengan dilaksanakannya UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, dimana akan bermain berbagai kepentingan dengan arogansi alur logikanya masing-masing. Bagaimanakah peluang dan penghormatan sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat adat akan terwujudkan di Kalimantan Barat ? Untuk merespon kondisi ini Yayasan Karamigi mengundang Tokoh-tokoh adat, pemuda, gereja dan perempuan dalam lokakarya Strategik planing yang didukung pula oleh DFID Jakarta pada tanggal 17-24 April 2001 yang lalu. Kegiatan yang dihadiri lebih dari 70 peserta ini melihat issue yang paling strategis ditangani dalam era-otonomi daerah di kabupaten Bengkayang adalah menggali dan menjahit kembali kearifan tradisional dalam berbagai segi kehidupan, utamanya tentang pengelolaan sumber daya alam dan pengetahuan adat untuk kemudian ditularkan kembali melalui simpul-simpul pembelajaran masyarakat . Issue ini terkait sangat erat dengan substansi UU N0. 22/1999 tentang otonomi daerah. Orde Baru mengklaim diri sebagai Orde Pembangunan untuk menjawab problem dasar kemiskinan di Indonesia yang kaya sumberdaya alam. Kemiskinan rakyat disebabkan oleh - kesalahan mereka sendiri, diantaranya (i) rakyat adalah pihak yang kurang dalam akses modal - baca: kekurangan modal; (ii) rakyat adalah pihak yang kurang terhadap akses pendidikan, sehingga kapasitas mereka rendah - baca: SDM rendah, atau tidak memiliki kemampuan untuk mengubah potensi menjadi wahana untuk kesejahteraan; dan (iii) rakyat adalah pihak yang kurang memiliki inisiatif, hasrat untuk maju, dan segala motivasi lain - baca: rakyat terbelenggu dalam sebuah kultur anti kemajuan. Melalui berbagai cara dan media (media massa, institusi pendidikan, institusi agama, birokrasi, sampai kepada lembaga resmi lainnya termasuk parlemen) gagasan pembangunan disosialisasikan dan ditanamkan kepada massa rakyat. Pada akhirnya gagasan pembangunan masuk dan diyakini sebagai jalan satu-satunya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Akhirnya dikalangan masyarakat sendiri menyakini cara berpikir yang ditawarkan - mereka percaya bahwa rakyat adalah sumber masalah dan rakyatlah yang menjadikan hidup mereka tidak berubah. Persoalan kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia yang kaya alamnya dan sekarang mengalami penurunan adalah berpangkal pada konsentrasi atau penumpukan penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta sumberdaya alamnya yang sengaja dibiarkan berkembang bahkan dirusak oleh praktek pembangunan semasa Orde Baru , yang diarahkan oleh politik sentralisme dan sektoralisme hukum keagrariaan berserta kelembagaannya selama ini. Sudah pasti, hal ini mengorbankan keselamatan hidup rakyat, kemerosotan layanan alam, dan menurunnya kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan terutama petani masyarakat adat. Akibat negaraisasi tanah dan sumberdaya alam milik rakyat dan di atas tanah yang diberi nama “Tanah Negara”, pemerintah (pusat) mempergunakan Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang dimilikinya untuk memberikan hak-hak pemanfaatan (use rights) seperti Hak Pengusahaan Hutan, Hak Guna Usaha, Kuasa Pertambangan/Kontrak Karya Pertambangan, Taman Nasional, Kawasan Konservasi, dan lain-lainnya, kepada badan-badan usaha berskala raksasa. Proses peralihan penguasaan disyaratkan oleh metoda yang digunakan institusi politik otoritarian dengan menggunakan instrumen birokrasi dan peraturan pemerintah (government regulation), manipulasi dan kekerasan secara langsung. Era “Reformasi” yang dimulai tahun 1998 lalu sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk melakukan koreksi yang menyeluruh dalam menyusun kerangka pembangunan nasional dan meletakkan kembali fondasi yang mantap. Setidaknya, ada dua faktor yang membuat tidak mungkin kembali, bahkan membuka peluang perubahan, yakni: 1. menguatnya opini dan tuntutan realisasi keadilan, sebagai protes terhadap perlakuan tidak adil selama ini. Sejalan dengan menurunnya oto-ritas dan kapasitas kemampuan negara, menguat berbagai tuntutan lama - kasus lama muncul meminta pemeriksaan kembali. Kaum petani yang dulu tanahnya dirampas, kini bangkit untuk membicarakan kembali, bahkan sebagian telah mengambil inisiatif mengambil kembali tanah-tanah mereka. Penguatan opini ini telah memojokkan aparat negara, sehingga aparat negara berada dalam posisi sulit - lebih terdorong untuk memenuhi tuntutan keadilan, ketimbang berusaha merekayasa kembali. Penguatan opini ini mendapat dukungan dari dunia internasional, yang membuat aparat negara semakin terpojok. 2. terjadinya perubahan susunan kekuasaan meskipun tidak menunjukan terjadinya penguatan kelompok-kelompok pro-pembaruan agraria, namun secara nyata telah terjadi perubahan. Konflik elit yang kini terjadi, menjadi indikasi lain dari perubahan yang dimaksud. Dalam situasi yang demikian, dapat dipastikan bahwa kalangan elit tengah berusaha untuk menguatan posisinya. Artinya, dalam batas tertentu, kondisi tersebut bisa digunakan sebagai prakondisi untuk memperkuat proses perubahan yang lebih signifikan. Kondisi ini dapat pula dilihat sebagai momentum bagi kekuatan arus bawah untuk melakukan proses konsolidasi, guna memperkuat partisipasi politik dan ekonomi. Ketidakadilan penguasaan berbagai kelompok sosial (berdasar kelas, gender, etnis, dll) terhadap SDA melahirkan krisis keadilan. Krisis ini ditandai oleh - di satu pihak -- semakin banyaknya rakyat yang menjadi “pengungsi-pengungsi pembangunan” (development refugees) akibat hilangnya penguasaan mereka atas tanah dan sumber daya alam yang menyertainya; dan di pihak lain tanah dan sumberdaya alam mereka diusahakan secara eksklusif oleh badan-badan raksasa atas nama pembangunan. Akibatnya terjadilah krisis kemakmuran, disatu sisi berlilmpah penghasilan dan pihak lain berkekurangan. Krisis alam menyangkut hancurnya lingkungan ekosistem segala makhluk akibat intervensi proyek-proyek pembangunan yang beresiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan segala makhluk (bukan hanya manusia). Krisis ini ditandai oleh pengambilan manfaat atas sumberdaya alam oleh pihak luar rakyat di satu pihak; dan diterimanya bencana kerusakan alam. Sedangkan krisis produktivitas menyangkut mandeknya kemampuan usaha (productive forces)rakyat mengubah tanah dan sumberdaya alam menjadi barang yang berguna dan barang yang dapat dipertukarkan Rakyat yang hidup dalam krisis keadilan, krisis alam, dan krisis produktivitas itu telah mengekspresikan diri dalam berbagai tindakan protes. Hal ini bukan hanya berupa ekspresi dari ketidakpuasan, melainkan eskalasinya sudah sampai pada bentuk yang meluluhlantakkan dasar-dasar legitimasi pembangunan di antaranya berupa pengambilan kembali tanah, penghancuran wujud fisik proyek-proyek, pengusiran pegawai-pegawai proyek, dll. Ketika rasa senasib dan sependeritaan dari penduduk yang telah sampai pada suatu pengorganisasian dan pembelaan yang mengarah pada tuntuan pengakuan, perlindungan dan penghormatan bahkan pemulihan hak-hak rakyat atas tanah dan sumberdaya alam, maka tidak ada jalan lain kecuali dilakukannya perubahan kebijakan pemerintah. Pada konteks ini, pemerintahan daerah dituntut untuk berkreasi agar permasalahn pokok rakyat bisa diselesaikan, dengan mempergunakan jiwa dasar desentralisasi dimana rakyat semakin dekat jarak politik dan geografisnya untuk ikut campur membentuk kebijakan pemerintahan. Jelas sekali ada suatu tuntutan pada pemerintahan (terutama pemerintahan daerah) untuk mengelola kekuasaannya yang tidak berakibat pada hancurnya wilayah kelola rakyat. Selain itu, pemerintahan daerah juga sedang menghadapi berbagai mesin globalisasi dimana kekuatan global menghendaki berjalannya proses yang sejalan dengan kepentingan kapitalisme internasional dan nasional. Kekuasaan global mengembangkan pula program memperlemah posisi negara, dan di sisi lain mampu menciptakan kondisi yang bisa memfasilitasi berkembangnya industri ekstraktif dan di sisi lain, memperkuat sektor pertanian di bawah konsep yang baru. Dengan otonomi daerah, dimana kewenangan pemerintahan, administrasi dan anggaran diserahkan ke tingkat kabupaten, pada gilirannya akan menempatkan daerah sebagai arena pertarungan kepentingan. Maka, pintu yang terbuka harus dengan segera dimasuki, dan dari sana dibangun langkah-langkah strategis, sehingga perubahan pada masa kini bisa memberi makna besar bagi gerak pembaruan yang lebih substansial. Daerah kampung di satu kebinuaan dan wilayah sejenisnya, memiliki persoalan warisan akibat ”pembangunan” yakni menurunnya kemampuan lokal untuk menjaga kelestarian dan keselamatan, baik untuk rakyat ataupun alam. Dengan demikian yang menjadi masalah adalah bagaimana agar arah perubahan benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat. Persyaratan sosial dan ekologis dapat dikemukakan sebagai keadaan kehidupan masyarakat dan keadaan ekosistem setempat yang harus terpenuhi dan berlangsung di sepanjang proses perubahan. yakni keselamatan rakyat, produktivitas rakyat, dan kelangsungan pelayanan alam. Keselamatan Rakyat dan identitasnya Keselamatan rakyat, pada skala individu maupun kelompok, termasuk didalamnya keselamatan identitas rakyat seperti adat istiadat (hukum adat) dan budaya, tidak pernah diurus sebagai syarat yang harus dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara dan alat-¬alatnya. Hilangnya nyawa, tanah (kawasan adat) , hukum adat, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat (identitas budaya) karena proses penyelenggaraan perubahan adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama keselamatan rakyat tidak dipersyaratkan sebagai agenda pengurusan masyarakat dan wilayah, akan terus jatuh korban. Keselamatan rakyat sudah saatnya menjadi salah satu agenda inti dari proses pembaruan ketentuan kenegaraan, pembaruan hukum, dan penyelenggaraan fungsi politik menjadi tindakan kolektif dari lembaga politik terkecil pada aras kampong hingga kabupaten. Kesinambungan Pelayanan Alam Kesinambungan Pelayanan Alam dapat berkurang jika hilangnya sumber-sumber air, gundulnya wilayah dataran tinggi dan curam yang berfungsi mengatur daur tata air setempat, peracunan dan pemiskinan hara tanah karena cara produksi tani dan pertambangan yang mementingkan hasil jangka pendek, hal itu mendorong bahkan memperluasan kemiskinan rakyat khususnya di kampung, dan merupakan ancaman jangka panjang. Proses kerusakan alam setempat maupun pencegahan / perlindungannya selama ini berjalan terlepas dari proses pengurusan keselamatan, kesejahteraan, produktivitas rakyat dan proses politik desa. Wilayah yang seharusnya dikelola bersama untuk dicegah proses kerusakannya --seperti di wilayah berhutan-- telah dijadikan areal kekuasaan negara (tanah negara, hutan negara, dll) yang bahkan tidak boleh disentuh, apalagi dimanfaatkan oleh rakyat setempat. Penanganan dengan kekerasan negara lewat tindakan polisionil dan peradilan, maupun pengerahan dana untuk pemecahan teknis seperti penanaman pohon, telah terbukti tidak mampu menghentikan laju kerusakan apalagi menumbuhkan keinginan rakyat untuk memulihkan lahan kritis. Mendesakkan pilihan ini sebagai ketentuan negara atas dasar kesepakatan rakyat adalah prioritas nomor satu bagi badan legislatif di daerah Kalimantan Barat. Produktivitas Rakyat Produktivitas rakyat pekerja tani, tidak pernah beranjak dari kedudukannya yang sangat rendah untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraannya sendiri. Bertentangan dengan penjelasan yang menyesatkan bahwa produktivitas kerja adalah cerminan sederhana dari tingkat teknologi dan efisiensi produksi. Rendahnya produktivitas pekerja tani merupakan akibat dari penekanan sistematis atas nilai tukar produk petani, pengurangan atau penghapusan subsidi input produksi, politik pengembangan wilayah dan sarananya yang diskriminatif terhadap bentuk-bentuk traditional hak dan kuasa rakyat atas tanah serta terhadap kemampuan lokal untuk menghasilkan bahan pangan. Selama politik produktivitas Pertanian tidak mendorong naiknya nilai kerja tani dan produk tani, dan selama Kabupaten Bengkayang tidak menerapkan syarat perlindungan pada tanah rakyat desa dari pengambilalihan untuk fungsi non pertanian dan kepentingan perusahaan besar pekerja tani akan tetap miskin. Proses pemusatan hak milik dan kuasa atas lahan akan terus merambat luas, tanpa dengan pendudukan kembali/reklamasi hak atas tanah-tanah pertanian maupun redistribusi tanah. Produktivitas seharusnya mengacu pada kemampuan kolektif rakyat di satu wilayah terorganisir / wilayah kelola, untuk menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan bukan kesejahteraan yang hanya menjadi semboyan dalam program, pos anggaran dan indicator, tidak pernah diurus sebagai syarat dari kerja birorasi Negara. Produktivitas rakyat desa harus dikaji dalam bingkai persoalan setempat. Demikian juga tindakan sistematis miningkatkan produktivitas rakykat hanya masuk akal apabila tindakan tersebut berguna bagi rakyat desa pekerja tani untuk memenuhi syarat kesejahteraan dan keselamatan.
0 komentar:
Posting Komentar