PEMERINTAHAN ADAT DAYAK: ASAL-USUL PEMERINTAHAN BINUA

Oleh Yohanes Supriyadi


Tidak ada catatan tertulis mengenai sejak kapan pemerintahan binua ada. Namun untuk bahan rujukan, kisah terbentuknya pemerintahan binua dapat kita runut dari mitologi penciptaan hukum adat Dayak Kanayatn yang diceritakan tetua-tetua adat secara turun-temurun. Adalah Karohong dan Dayakng Dinar, sepasang suami istri dari kampung Pakana yang mula-mula menyusun hukum adat khususnya adat perkawinan. Susunan adat ini telah banyak yang menyetujuinya, tapi ada beberapa orang yang menentang. Rombongan penentang ini dipimpin oleh Sule Sampayangan Bakuning Bayar dengan seorang kawannya, Ure Nyabung Bakute Alo. Kedua orang ini sangat menetang susunan hukum adat. Karena tidak ada kata sepakat, terjadi pertempuran sengit antara Sule Sampayangan Bakuning Bayar dan Ure Nyabung Bakute Alo dengan Karohong dan istrinya yang mengakibatkan sepasang suami istri ini tewas. Pertempuran terus berlanjut, pendukung susunan hukum adat selanjutnya dipimpin oleh Udana, seorang yang bergelar Singa. Oleh Singa Udana, kedua orang penentang ini tewas. Dengan kemenangan yang gemilang, Singa Udana telah dapat mempertahankan serta melanjutkan cita-cita berhukum adat, yang telah menertibkan hidup berkeluarga masyarakat.
Ramaga, anak tertua Singa Udana menggantikan bapaknya menjadi pemimpin rakyat. Oleh Ramaga, suatu hari diundang kekampungnya 2 orang Singa disepanjang daerah aliran sungai Karimawatn ( kini sungai mempawah ), yakni Singa Matas yang berkuasa atas tanah binua disebelah kanan mudik sungai karimawatn yang melingkungi daerah Pakana dan seluruh kampung-kampung dipesisir sebelah kanan sungai karimawatn. Matas tinggal dikampung Titi Antu,yangterletak dipinggir sungai mempawah yakni antara binua Ohak dengan Binua Samayak . Matas tinggal bersama istrinya yang bernama Dale Nibukng dengan anak-anaknya Icap, Rawa dan Raga. Kelak anak-anak Matas ini menjadi kepala binua/ Singa juga. Serta Taguh alias Usutn, seorang Singa yang berkuasa disebelah kiri mudik sungai karimawatn. Kedua orang ini sebenarnya adik-beradik. Hukum adat yang dipegang oleh kedua saudara ini menarik perhatian pemerintah Landscaap ( Kolonial Belanda ). Oleh pemerintah, seluruh Tuha Kampokng ( Kepala Kampung ) dan Singa diundang berkumpul dan merumuskan serta menuliskannya. Pertemuan itu diadakan dikampung Sunga’. Kemudian hari untuk mengenang pertemuan itu, nama kampung ini diubah menjadi Karangan .

Untuk melengkapi argumen diatas, mari kita lihat sejarah kerajaan Mempawah sekarang. Sebelum terkenalnya nama kerajaan Mempawah, telah ada jauh kebelakang berdiri sebuah perkampungan besar yang dihuni warga Dayak yang sangat populer dipimpin oleh seorang Panglima yang sangat sakti bernama Gumantar. Beliau bergelar Patih. Pusat perkampungan ( pemerintahan ) Gumantar berkedudukan di dekat pegunungan Sadaniang daerah Sangking sekarang. Perkampungan yang dipimpin oleh Gumantar sangat mewah, ramai dan terkenal hingga diseluruh penjuru negeri. Kemasyuran komunitas ini kemudian merangsang Patih Gajahmada dari Kerajaan Majapahit untuk berkunjung dalam rangka mempersatukan seluruh nusantara. Sebagai tanda persahabatan, Patih Gajahmada memberikan keris Susuhan kepada Gumantar. Keris ini hingga kini masih disimpan oleh rakyat di kampung Pakana . Untuk mengenang Patih Gajahmada, seluruh rakyat di wilayah Sadaniang hingga Pakana kemudian menganugerahi Gumantar dengan gelar Patih. Patih Gumantar mati dikayau oleh suku Biaju kira-kira tahun 1400 . Kira-kira tahun 1610, pemerintahan Patih Gumantar kemudian dilanjutkan oleh seseorang yang tidak mempunyai kaki dan tangan sejak lahir sehingga ia diberi nama Kudung . Karena kesaktiannya ia diangkat oleh rakyat menjadi pemimpin dan bergelar Panembahan Na’ Bapusat Nang Badarah Putih. Oleh Kudung, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Pakana. Beliau hidup aman dan sejahtera dengan istrinya yang bernama Putri Berkelim. Setelah Kudung wafat dan dimakamkan disebuah bukit , belakang kampung Pakana sekarang, Sengaok diangkat rakyat menjadi pemimpin selanjutnya. Sengaok kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Pakana ke kampung Singaok, hilir sungai karimawatn . Pemimpin ini suka sekali berpetualang, berlayar dari satu pulau kepulsu lainnya untuk menambah kesaktiannya. Ia juga gemar bermain perempuan. Suatu hari, di Kerajaan Batu Rizal Indragiri Pulau Sumatera ia mendapat seorang gadis cantik bernama Putri Cermin. Dan atas restu kedua orangtuanya gadis itu dipersuntingnya menjadi permaisuri. Namun setelah mendapat istri yang cantik sekalipun, Singaok tetap saja mencari gadis-gadis cantik untuk diperistrinya. Ketika berlayar kehulu sungai karimawatn, rombongan Singaok mendapati seorang perempuan yang dikiranya masih gadis sedang menjemur padi di halaman rumah panjang. Singaok amat tertarik dengan kecantikannya dan bermaksud untuk memperistrinya. Dicarilah akal dan suatu hari dengan rombongan yang cukup besar, perempuan itu diculik untuk dibawa keistana. Warga kampung, pada saat penculikan itu tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa karena takut. Beberapa warga berinisiatif untuk melapor kepada suaminya yang sedang bekerja diladang. Suami perempuan itu adalah Bangka’, seorang sakti yang sangat disegani oleh penduduk kampung Titi Antu dan sekitarnya. Mendengar istrinya diculik oleh raja, tentu saja Bangka’ marah luar biasa. Segera saja ia membunuhi rakyat kerajaan Singaok disepanjang aliran sungai serta memerintahkan setiap penduduk laki-laki untuk membunuhi rakyat dari Kerajaan Singaok dengan mengatasnamakan dirinya.

Pada perselisihan berdarah itu ratusan orang warga kerajaan Singaok terbunuh sia-sia, dan puncaknya adalah terusirnya raja Singaok hingga kemuara sungai karimawatn, pesisir pantai laut cina selatan. Akibatnya, kerajaan Singaok hampir saja hilang. Rakyatnya terpencar biar tanpa pemimpin. Rakyat darat kemudian berencana mengangkat Bangka’ untuk menjadi raja, namun Bangka’ menolak. Alasan satu-satunya alasan bagi Bangka’ adalah membalas sakit hatinya atas kesewenang-wenangan raja kepada rakyatnya sendiri. Karena kehilangan pemimpin yang sudah cukup lama, oleh permufakatan rakyat binua darat, diutus tiga orang Singa untuk menemui raja yang mengungsi dimuara sungai agar raja kembali memerintah. Namun tawaran itu dipenuhi raja dengan syarat yakni nyawa seluruh anggota kerajaan harus ditanggung oleh rakyat. Syarat itu dipenuhi utusan penduduk itu dan dikemudian hari mereka diangkat menjadi Timanggong , yang artinya menanggung jiwa raja. Dalam arti kamusnya, Timanggong adalah penanggung jawab .

Itulah sebabnya, hingga kini gelar bagi pemimpin rakyat dibinua bergelar timanggong. Dari cerita diatas, dapat diperhatikan bahwa paling tidak ada 3 gelar pemimpin rakyat yang terkenal masa lalu, yakni Singa, Patih dan Timanggong . Gelar pemimpin ini sangat dikenal oleh masyarakat yang hidup didaerah aliran sungai mempawah ( Karimawatn Sakayu’ ). Patut dicatat bahwa gelar ini pada setiap daerah aliran sungai sangat bervariasi namanya. Di daerah Menyuke misalnya pemimpin rakyat ini bergelar Ria . Penamaan ini terkait erat dengan cerita asal-muasal suku ini. Tahun 1370 , Tarik Masehi, dikampung Jarikng Kec. Menyuke sekarang, terkisahlah 2 orang pemimpin rakyat bernama Kaleder bersama istrinya yang bernama Anteber. Tujuh tahun menikah, mereka melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Ria Jambi. Setelah dewasa, Ria Jambi menikah dengan seorang perempuan muda dari gunung Bawang ( Kab. Bengkayang sekarang ) bernama Ngatapm Barangan . Mereka dikaruniai lima orang anak yang bernama Ria Kanu, Ria Tano, Ria Rinding, Ria Tanding dan Ria Jane. Suatu ketika Ngatapm Barangan pulang ke kampung halamannya dan menikah lagi dengan seorang pemuda sakti bernama Bujakng Nyangko dari bukit Samabue ( Kec. Menjalin sekarang ). Dari pernikahan Bujakng Nyangko dengan Ngatapm Barangan lahirlah seorang putra yang bernama Ria Sinir. Suatu ketika, oleh ibunya Ria Sinir disuruh mencari burung rangok ( enggang ) untuk dijadikan sebagai salah satu syarat untuk bersunat.

Dalam perjalannya Ria Sinir tersesat dihutan hingga masuk kesebuah perkampungan bernama Jarikng dan mendapati anak-anak seusianya sedang bermain gasing. Tanpa malu dan takut, Ria Sinir ikut serta bermain gasing. Ia berani memangka gasing yang sedang dimainkan anak-anak itu. Suatu ketika, gasing yang dipangka Ria Sinir terpelanting dan memecahkan tempayan milik Ria Jambi. Karena takut dimarahi, Ria Sinir menghilangkan diri. keesokan harinya ia datang lagi dan kembali bermain gasing. Tanpa diketahui Ria Sinir, rupanya Ria Jambi memperhatikan permainan itu dan meminta Ria Sinir untuk naik kerumahnya. “ darimana engkau datang ? tanya Ria Jambi. Anak itu menjawab “ saya datang dari gunung bawang. Ibuku bernama Ngatapm Barangan dan ayahku Bujakng Nyangko “. Kedua orang ini sangat dikenal oleh Ria Jambi dan segera memutuskan dalam hatinya bahwa anak ini ternyata anakku juga yang telah lama tidak dilihat lagi. Oleh Ria Jambi, Ria Sinir kemudian diangkat menjadi anaknya. Setelah dewasa, Ria Sinir menikah dengan seorang putri dari kampung Selimpat bernama Dara Itapm . Mereka dikaruniai anak kembar bernama Lutih dan Kari. Kedua anak inilah kelak menjadi pemimpin didua wilayah pemerintahan, pemerintahan darat atau hulu yang dipimpin oleh Lutih dan pemerintahan laut atau pesisir oleh Kari.

Berangkat dari cerita-cerita rakyat diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa ribuan tahun silam, telah ada pemerintahan binua. Jauh sebelum pemerintahan penjajah Belanda dan kerajaan-kerajaan melayu. Cerita penyusunan hukum adat dan adat –istiadat zaman Ne’ Matas dan Taguh Pak Usutn dan pemerintah landscaap ( Kolonial Belanda ) berhasil mengumpulkan tetua-tetua adat serta Singa-Singa Binua dan Timanggong Binua dikampung Sunga’ ( Karangan ) untuk menyusun hukum adat menjadi bukti bahwa pemerintah kolonial tidak mencampuri urusan pemerintahan lokal beserta hukum-hukumnya. Oleh karena itu, Timanggong/Singa/Patih atau nama lain sebagai pemimpin rakyat sangat dihormati oleh seluruh lapisan masyarakat maupun pemerintahan penjajah.

Timanggong memegang peranan yang sangat penting untuk mengurusi segala urusan yang berkenaan dengan rakyat baik urusan keatas maupun kebawah. Timanggong dipilih oleh rakyat dari beberapa kampung dalam lingkungan ketimanggongannya. Jika seorang tamu, baik tamu orang biasa ataupun tamu bertugas dalam pemerintahan dan tak melalui timanggong, kemungkinan besar tamu yang bersangkuta tak ada perhatian dari masyarakat. Dan apabila kita mendatangai satu daerah dan terus menghubungi timanggong, pasti segala urusan kita, apa saja urusan itu akan dilayani dengan sepuasnya.

Selain urusan keperluan kita beres, terjamin pula kebutuhan makanan, tempat nginap terlebih soal keamanan . Perlu diingat bahwa Timanggong mempunyai jabatan rangkap, sebagai kepala adat, kepala dari beberapa kepala kampung/Tuha Kampokng, kepala agama , kepala dukun, kepala hukum dan apa saja yang ada sangkut paut dengan rakyatnya. Timanggong menjadi penanggung jawab dalam segala urusan dalam seluruh kampung-kampung yang ada diwilayah ketimanggongannya.

Rakyat pada umumnya sangat patuh dan taat kepadanya dalam segala keputusannya . Semua Tuha Kampokng dalam wilayah ketimanggongnnya selalu meminta petunjuk dan cara apa saja dari timanggong. Timanggong adalah seorang cakap, gagah berani, snaggup menghadapi segala tantangan apa saja, disegani rakyatnya, rajin, berkelbihan harta benda dan benar-benar berwibawa. Kelayakan kepemimpinan yang demikian biasanaya diturunkan kepada anak cucunya yang kelak meneruskan jabatan dalam pemerintahan binua .

Ada pula dewan yang terdiri dari orang-orang tua kampung dan binua yang dianggap ahli dalam adat dan hukum. dibeberapa binua, dewan ini disebut Bide Binua. Bide merupakan penasehat yang mendampingi timanggong dalam soal-soal adat dan hukum. dalam menjalankan pemerintahannya, timanggong dibantu oleh Pangalangok Binua , yakni seorang pemberani dan sakti yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Pangalangok juga diserahi tugas untuk menjaga tempat-tempat pemujaan/ situs yang dipercaya sebagai tempat tinggal roh-roh nenek moyang . Ditempat ini masyarakat meminta bantuan keamanan bila dalam keadaan bahaya dengan perantara pangalangok binua, bide binua dan timanggong adalah pemimpin masyarakat dibeberapa kampung. Melalui ketiga lembaga inilah keamanan seluruh kampung, hak pengelolaan sumber daya hutan milik binua dijaga .

Ditingkat kampung, warga kampung mengangkat seorang Tuha Kampokng ( Kepala Kampung ) sebagai pemimpinnya. Tuha kampokng berkewajiban untuk bekerjasama yang harmonis dengan timanggong sebagai penanggung jawab seluruh kampung-kampung. Dalam menjalankan pemerintahannya, kepala kampung dibantu oleh beberapa orang ahli adat dan hukum, yakni Pasirah dan Pangaraga, yang bertugas melaksanakan dan mengayomi hukum, tuha tahutn yang bertugas melaksanakan adat-adat pertanian dan mengkoordinir kegiatan tuha-tuha aleatn ( ketua kelompok tani ) dalam pekerjaan tani .





Pengertian Binua
Adalah Simon Takdir , seorang antropolog yang pertama kali membuat definisi binua. Menurut Simon, dari latar belakang sejarah peradaban orang Dayak Salako ( Kanayatn, pen) yang hidupnya berkelompok-kelompok menyebar untuk mencari wilayah kelola, binua inilah yang diwariskan mereka kepada generasi berikutnya sehingga menjadi wilayah leluhur ( ancestral domain ) yang kepemilikannya secara kolektive. Pada suatu saat, masing-masing kelompok ini pecah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil yang kemudian menjadi kampung-kampung. Dalam perkembangannya, kampung-kampung ini berdasarkan kesamaan geografis-ekologis dan genealogis mengikat diri dalam satu organisasi yang disebut Binua.

Selanjutnya Kristianus Atok dkk , pernah meneliti keberadaan binua ini selama beberapa tahun. Menurutnya pembentukan suatu Binua diawali dengan pembukaan hutan oleh leluhur yaitu orang pertama beserta keluarganya yang membuka hutan untuk bercocok tanam yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal sementara ( Parokng). Mereka berhasil untuk hidup dengan aman dan sejahtera menggunakan lahan yang ada. Hal ini tidak terlepas dari luasnya tanah yang dikelola serta penduduk yang hanya sedikit. Informasi tentang bagaiman hidup keluarga ini kemudian menyebar keseluruh penjuru negeri, dan berbondong-bondonglah keluarga mereka yang sebelumnya hidup ditempat lain kepemukiman mereka. Dan pasti, bertambahlah penduduk diparokng ini. Lama-kelamaan, karena banyaknya anggota komunitas, parokng ini menjadi kampung-kampung. Agar keseimbangan terjaga, mereka mengatur tata hidupnya dengan aturan-aturan yang tumbuh bersama-sama dengan pengalaman hidup sampai kemudian menjadi hukum dan untuk mengawal hukum itu, mereka membentuk pemerintahan dengan segala kelengkapannya. Dalam Penelitiannya, Kristianus Atok kemudian berhasil mengidentifikasikan berbagai unsur sosial-budaya-politik yang tampak dari sistem pemerintahan binua pada zaman itu adalah (1) sumber penghidupan warga adalah tanah yang dimanfaatkan dengan sistem pertanian atau perkebunan ( 2 ) teknologi pertanian, perkebunan umumnya masih rendah. Kekuatan keluarga untuk berproduksi terbatas pada subsistence ( produksi untuk keperluan hidup keluarga sendiri, tidak untuk pasaran ) ( 3 ) tata hidup dan tata hubungan sosial didalam masyarakat berkembang untuk sosial subsistence ( keperluan sosial sendiri ) dengan menggunakan kekuatan pengalaman hidup sendiri. Perkembangan ini menciptakan adat yang didalam beberapa hal menguat menjadi hukum adat dan menjadi landasan pemerintahannya dengan segala perlengkapannya ( 4 ) karena isolasi fisik dan kultural yang dialami dalam waktu panjang, maka sistem sosial masyarakat lebih kuat bersifat kolektif daripada bersifat individualistik. Jadi, dengan demikian definisi binua adalah kumpulan orang-orang yang hidup tersebar dibeberapa pemukiman yang mengakui sejarah asal-usul, adat-istiadat dan hukum adat, pemimpin dan sistem pengelolaan sumber daya alam yang sama. Namun demikian, oleh masyarakat adat yang hadir dalam Lokakarya Masyarakat Adat Antar Daerah Aliran Sungai se-Kabupaten Landak pada tanggal 29-31 Juli 2004 , definisi ini ditambahkan bahwa sejumlah binua memiliki kesamaan yang secara umum bisa dibedakan dengan kumpulan binua-binua lainnya dengan menggunakan ciri-ciri sejarah asal-usul dan bahasa yang digunakan.

Visi Pemerintahan Binua
Menyadari bahwa UU No 5 tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa tidak lagi sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada pasal 18, yang menyatakan perlunya negara menghormati hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa, maka UU No 22 tahun 1999 memandang perlu untuk menegaskan bahwa pengaturan mengenai pemerintahan desa berlandaskan pada keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan masyarakat . Mengacu pada pasal 18 UUD 1945 itu, maka visi pengaturan desa dapat ditafsirkan muncul berkaitan dengan adanya pengakuan dari pendiri negara bahwa dalam kenyataannya, jauh sebelum negara ini terbentuk sudah ada komunitas-komunitas dengan sistem sosial yang asli. Komunitas-komunitas itu dapat disebut sebagai desa, nagari, binua, kampung, gampong dan sebagainya . Implikasi dari pengakuan itu adalah adanya penghormatan pada satuan-satuan sosial asli komunitas-komunitas yang beragam bentuknya. Penghormatan yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh pendiri negara tersebut ? dalam penjelasan Supomo pada rapat BPUPKI tanggal 11 juli 1945 terungkap bahwa penghormatan pada komunitas-komunitas asli tersebut diberikan pada keberadaan susunan aslinya serta perbaikan pada susunan asli tersebut . Implisit dari pernyataan tersebut adalah bahwa penghormatan bukan sekedar menjaga keaslian dari sistem sosial komunitas-komunitas tersebut tetapi juga membuat perubahan agar sistem yang asli tersebut menjadi lebih baik.

Baik tentunya adalah konsep nilai yang sangat subjektif sehingga membuka peluang untuk ditafsirkan beragam. Misi penyeragaman desa yang dibawa oleh UU No 5 tahun 1979 misalnya dari perspektif pemerintah bisa saja dianggap sebagai upaya perbaikan pada komunitas desa. Namun, bagi komunitas desa yang bersangkutan penyeragaman dengan segala implikasinya bisa jadi bukan perbaikan tetapi perusakan tatanan sosial yang sudah mereka kenal turun-temurun . Jika demikian halnya apakah kebaikan tidak layak lagi diperdebatkan karena sifatnya yang sangat subjektif itu ? menurut saya, justru keberadaan UU No 22 tahun 1999 yang merupakan salah satu wahana pengaturan pemerintahan daerah termasuk desa sebagai subsistemnya dan hubungan pemerintah dengan rakyat, membuka kesempatan bagi kita untuk merenungi kembali apa yang esensial dalam menafsirkan pengaturan perundang-undangan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan “ desa “ yang baik.

Disini kembali konsep “ baik ‘ menjadi krusial untuk dibahas. Kita harusnya menyadari bahwa meskipun konsep baik, dapat saja terperangkap pada kepentinga-kepentingan subjektif, dan tentunya patut disadari bahwa masih ada sisi-sisi universal yang dimunculkannya, yakni pemenuhan sesuatu yang menjadi hak asasi manusia. Dengan demikian, segala upaya perbaikan ditanggapi sebagai upaya pemenuhan hak asasi, bukan sekedar proyek untuk memenuhi obsesi dari pihak yang berkuasa. Pemenuhan hak asasi manusia adalah visi penting yang ingin dicapai dengan sistem pemerintahan binua sesuai UU No 22 tahun 1999 dalam wadah negara kesatuan republik indonesia. Visi inipula yang memberikan konteks penafsiran dari landasan pengaturan “ desa “ yang disebutkan dalam UU No 22 tahun 199 sebagai kenakeragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan. Atas dasar pemenuhan hak asai manusia itu, pada semiloka perencanaan strategis multipihak Kabupaten Landak yang diadakan tanggal 23-26 juni 2004 lalu, pengembalian sistem pemerintahan binua dimaksudkan untuk mencapai visi “ Terwujudnya kehidupan masyarakat Kabupaten Landak yang berdaulat, aman, adil, makmur dan demokratis “ Kedaulatan adalah kenyataan sekaligus peneguhan hak dari komunitas masyarakat adat dari zaman kezaman. Dengan jati diri yang kuat, memberikan legitimasi pada perkembangan sistem sosial yang beranekaragam, sehingga segala upaya penyeragaman adalah pelanggaran hak atas kedaulatan.

Aman adalah sesuatu yang dicita-citakan oleh umat manusia. Semua orang ingin hidup aman, damai dan bebas dari rasa takut. Aman dan damai dalam hidup berdampingan antar etnis, agama. Tidak ada konflik kekerasan antar etnik dan agama. Bebas dari rasa takut karena serangan perampok, pencurian dan perampasan. Dengan demikian juga aman untuk berusaha meningkatkan kesejahteraan hidup. Adil adalah sikap yang selalu dipertahankan. Menciptakan rasa adil dengan memperlakukan seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi. tidak ada tirani mayoritas atas minoritas. Semua itu tercermin dalam pandangan adil ka talino, yang artinya berlaku adil terhadap sesama manusia. Adat adalah alat perekat menciptakan keadilan. Dengan adat, keseimbangan hidup antara manusia dengan alam, antara manusia dengan pencipta dan antar sesama manusia . Makmur dalam arti kata terpenuhinya kebutuhan dasar sebagai manusia. Semua itu tercermin dengan kecukupan pangan, perumahan yang layak huni, kesehatan terjamin, usaha ekonomi maju sehingga pendapatan meningkat. Dan Demokratis terwujud dalam pola kepemimpinan yang bercorak egaliter. Semua orang mempunyai hak berpendapat dan berserikat. Dengan kondisi ini, diwajibkan bahwa pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dengan musyawarah. Salah satu wujud lain dari demokrasi binua adalah adanya lembaga perwakilan rakyat binua ( Bide Pamane Binua ) yang refresentatif dan berfungsi mengemban amanat rakyat binua untuk mengatur tertib kehidupannya.

Kedaulatan, aman, adil, makmur dan demokratis adalah hal-hal yang telah terengut selama pemberlakuan UU No 5 tahun 1979 . Karena itu diperlukan pemulihan hak pada kelima hal tersebut. Pemberdayaan adalah salah satu upaya untuk pemulihan hak sekaligus pengembangan kehidupan politik, sosial budaya, dan ekonomi komunitas binua. Pemberdayaan yang diartikan sebagai proses pemulihan dan pengembangan hak tersebut dilakukan sendiri oleh komunitas binua. Pemberdayaan merupakan perubahan dalam kehidupan komunitas binua, hanya merekalah yang paling berkompeten mengetahui perubahan apa yang diperlukan dan menetapkan cara untuk perubahan itu. Namun kenyataan menunjukan bahwa perengutan hak asasi komunitas binua selama ini menyebabkan kapasitas untuk memberdayakan dirinya sendiri sedikit demi sedikit terkikis. Semua itu tidak lepas dari tanggung jawab pemerintah orde baru dengan memaksakan penyeragaman desa diseluruh nusantara .

KETIKA IDENTITAS KOMUNITAS DIHANCURKAN
Sebelum mengenal lebih jauh tentang pemerintahan lokal yang bernama pemerintahan binua di Kalimantan Barat, mari kita lihat pola-pola penghancuran atas identitas asli komunias secara makro, maksudnya di Nusantara. Regerings Reglement atau peraturan pokok yang mengatur tentang pemerintahan di Hindia Belanda pada tahun 1854 adalah peraturan mengenai desa yang pertama kali dibuat . Dimuatnya pengaturan tentang desa ini didasari oleh kesadaran dari penguasa kolonial atas telah adanya satuan-satuan sosial asli pada masyarakat yang memiliki corak pemerintahannya sendiri jauh sebelum kedatangan orang-orang Belanda. Oleh karena itu hakekat pengaturan yang dimiliki itu bukanlah untuk membentuk satuan sosial dengan pemerintahan baru yang disebut Inlandssche Gemeente tetapi merupakan pengakuan tentang keberadaan satuan-satuan sosial tersebut.

Dalam pasal 71 Regerings Reglement selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam ordonansi yang khusus dibuat untuk mengatur desa yakni Inlandsche Gemeente Ordonantie ( IGO ). IGO berlaku hanya di pulau Jawa-Madura, kecuali diwilayah Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta serta tanah-tanah partikelir disebelah barat dan timur Cimanuk Jawa Barat. Sedangkan untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura dikeluarkan ordonansi yang lain yang disebut dengan Inlansche Gemeente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ). Berbeda dengan dengan IGO yang berlaku secara umum, maka IGOB hanya berlaku jika ada pernyataan pemberlakuannya oleh gubernur. Menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, pemerintah Hindi Belanda masih sempat membuat ordonansi desa yaitu desa ordonantie, namun ordonansi ini tidak sempat berlaku menyusul kekalahan Belanda melawan Jepang sehingga Belanda harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Selama kekuasaan Jepang, tidak banyak perubahan yang dilakukan berkenaan dengan peraturan mengenai desa kecuali mengenai pemilihan kepala desa. Kepala desa dibatasi masa jabatannya menjadi 4 tahun saja sesuai Osamu Seirei No 7 tahun 1944. Di Kalimantan Barat, pada masa ini istilah Singa ( Kepala Binua ) sempat diubah dengan nama SonCo .

Pada saat bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, perhatian terhadap desa telah pula masuk dalam pembahasan mengenai konstitusi negara pada rapat-rapat BPUPKI dan PPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 11 juli 1945, Muhamad Yamin adalah tokoh bangsa yang pertama kali menyinggung keberadaan lembaga yang bernama desa khususnya dipulau Jawa-Madura. Beliau mengutarakan pendapatnya mengenai susunan pemerintahan yang akan dibentuk. Menurutnya terdapat 3 lapisan yang merupakan susunan pemerintahan yaitu pemerintah bawahan yang berisikan badan-badan masyarakat seperti desa di Jawa-Madura, Nagari di Sumatera Barat, dan lain-lain. Lapisan selanjutnya adalah Pemerintah atasan atau pemerintah pusat yang ada diibukota negara dan yang diantara kedua pemerintahan itu adalah pemerintah tengahan yakni pemerintahan daerah .

Hal menarik juga diungkapkan oleh Supomo. Sebagai ketua panitia kecil perancang Undang-Undang Dasar, beliau dalam sidang panitia BPUPKI tanggal 11 juli 1945 menjelaskan bahwa “ hak-hak asal-usul dalam daerah-daera yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu adalah pertama daerah kerajaan baik diJawa maupun diluar jawa dan kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli seperti desa di Jawa, Nagari diSumatera Barat dan lain sebagainya. Karena itu daerah-daerah itu harus dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan aslinya “. Pendapat Supomo ini kemudian masuk dalam pasal 18 UUD 1945 butir II yaitu “ Dalam teritorial negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturede landschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabaun, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa “. Sampai 20 tahun setelah Indonesia merdeka, tidak penah ada lagi peraturan khusus yang mengatur tentang desa secara menyeluruh sehingga dengan demikian Inlandsche Gementee Ordonantie ( IGO ) tetap berlaku. Dalam kurun waktu tersebut, peraturan yang dibuat sifatnya parsial ( Myrna A Safitri, 2000 ).
Pada tahun 1965 barulah pemerintah Indonesia berhasil membuat undang-undang mengenai desa untuk menggantikan IGO dan peraturan-peraturan lainnya. Pada tanggal 1 September 1965 diundangkan UU No 19 tahun 1965 tentang Desapraja . UU Desapraja ini dibuat dengan semangat untuk menggantikan seluruh produk perundang-undangan kolonial dan menjalankan politik unifikasi hukum mengenai desa diseluruh wilayah Indonesia dengan melakukan rekayasa pembentukan, penggabungan dan pemecahan satuan-satuan sosial yang ada. Namun UU Desapraja dalam prakteknya tidak pernah berlaku karena pada tahun 1969 dikeluarkan lagi UU No 6 tahun 1969 yang menyatakan tidakberlakunya sejumlah UU dan Perpu termasuk UU Desapraja karena isinya dianggap bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945.

Masa Orde Baru terbilang sangat produktif menghasilkan peraturan pemerintah dan Undang-undang mengenai desa . Pada tanggal 1 desember 1979 dibuat UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sepanjang masa berlakunya UU ini berikut peraturan pelaksanaannya, telah sukses menjalankan misi penyeragaman desa diseluruh tanah air Indonesia. Desa dipilih oleh Pemerintah Otoriter Orde Baru selain karena politik unifikasi hukum juga karena kepentingan “ pembangunan ”. Dengan politik sentralisasi kekuasaannya, pemerintah Orde Baru berhasil melaksanakan pembangunan nasional dan mengharuskan pemerintah pusat untuk selalu mengucurkan dana kepada pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang banyak diantaranya telah dirancang oleh pemerintah pusat sendiri. Dalam prakteknya , teknik pengucuran dana kepada daerah ( dalam hal ini provinsi ) dilakukan berdasarkan jumlah desa yang ada. Karena terbatasnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah diawal orde baru mengenai jumlah desa yang ada diseluruh Indonesia, maka diharuskan kepada setiap gubernur untuk memberikan data yang lebih rinci tentang jumlah “ desa “ yang ada diwilayahnya.

Gubernurpun kemudian menginstruksikan kepada Bupati-Bupati DATI II untuk melakukan pendataan jumlah desa diwilayahnya masing-masing. Namun permintaan Gubernur itu ternyata tidak mudah dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten karena berbedanya atau bahkan ternyata tidak dikenalnya istilah desa didaerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura. Untuk mengatasi kebingungan para gubernur diluar Jawa-Madura itu, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran No Desa 5/29 tanggal 29 April 1969 yang isinya memberikan batasan tentang desa yang dimaksudkan yakni “ kesatuan masyarakat hukum baik genealogis maupun teritorial yang pemerintahannya berada langsung dibawah kecamatan “.

Namun surat edaran inipun justru semakin membingungkan pemerintah daerah ( Gubernur dan Bupati ) terutama dengan dicantumkannya batasan bahwa yang dimaksud desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang pemerintahannya langsung dibawah kecamatan. Kenyataan diluar pulau Jawa dan Madura adalah seringnya satuan-satuan sosial lokal itu lebih luas dari kecamatan bahkan kabupaten. Untuk menindaklanjuti surat edaran yang semakin membingungkan itu, tidak lama kemudian Menteri Dalam Negeri mengeluarkan lagi surat edaran No Pem 40/5/10 tanggal 5 september 1974 yang memerintahkan agar segera melakukan pendataan jumlah desa. Didorong oleh keinginan untuk mendapatkan dana pembangunan dari pusat yang begitu besar itu yang walaupun semakin bingung, kenyataannya banyak gubernur diluar pulau Jawa dan Madura yang membuat penafsiran sendiri-sendiri mengenai desa yang dimaksudkan pemerintah pusat itu. Untuk mewujudkan “ambisinya “itu, Gubernur Kalimantan Barat, Kadarusno, memerintahkan para Bupati se-Kalimantan Barat untuk segera pula melakukan pendataan jumlah desa yang ada diwilayah kabupaten dengan mengeluarkan surat No DD Pem 539/B-2 tanggal 27 Desember 1974. Di Kabupaten Pontianak ( pada sekitar 20-an tahun kemudian melakukan pemekaran wilayah dengan dilahirkannya Kabupaten Landak ), Bupati kemudian melakukan pendataan desa. Hasil pendataan desa ini kemudian dikirimkan melalui surat kepada Gubernur Kalbar pada tanggal 21 Desember 1974 dengan No Pem 10838/B-1/1974 tentang pengumpulan data-data pemerintahan desa diwilayahnya. Saat menyampaikan daftar desa diwilayahnya maka yang dicantumkan Bupati kepada gubernur bukanlah jumlah satuan-satuan sosial lokal atau masyarakat hukum yang ada ( Binua ) tetapi satuan-satuan pemukiman ( kampung ) yang sebenarnya bisa saja merupakan bagian dari satu masyarakat hukum yang dikenal dengan nama Binua.

Dengan penafsiran bahwa desa diluar Pulau Jawa dan Madura adalah satuan-satuan pemukiman, maka dimulailah babak baru dalam pemerintahan desa secara nasional dan sekaligus ancaman pada integrasi satuan-satuan sosial yang ada disleuruh wilayah tanah air. Demikian pula dengan dianggapnya desa sama dengan satuan pemukiman maka mulailah pula rekayasa untuk lebih menonjolkan prinsip teritorial dalam ikatan satuan-satuan sosial ( Jatiman, 1995 ). Dari peristiwa-peristiwa diatas tidak dapat dipungkiri membawa kebijakan unifikasi hokum pemerintah pusat menjadi pengaruh yang sangat besar dalam perumusan konsep desa dengan melegitimasinya dalam UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. UU ini secara tegas menunjukan keberpihakkannya pada prinsip teritorial, demografis, adminsitrasi dan birokrasi.
Dengan lahirnya UU No 5 Tahun 1979 ini, hilang pula kedaulatan masyarakat adat dalam mengelola kehidupannya berdasarkan warisan leluhurnya diseluruh wilayah Kalimantan Barat. UU ini secara tegas mengobok-obok desa dan tidak memperhatikan legitimasi sejarah desa yang bersangkutan sehingga pemerintah dengan gampangnya melakukan tindakan-tindakan pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Hal ini merupakan konsekwensi dari dianggapnya penduduk desa sebagai kumpulan orang-orang semata. Pada UU ini misalnya menyebutkan bahwa desa dapat dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat ( 1 ) luas wilayah ( 2 ) jumlah penduduk ( 3 ) dan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dalam kasus ini misalnya muncul Permendagri No 4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Setidaknya ada 6 syarat pembentukan desa yang disebutkan dalam peraturan tersebut dan lima diantaranya berkenaan dengan syarat sosial budaya. Syarat fisik yang dimaksud adalah jumlah penduduk minimal 2500 jiwa atau 500 KK, luasnya harus terjangkau ( bagi aparat pemerintah ) untuk memberikan pelayanan dan pembinaan masyarakat, letaknya dapat diakses dengan mudah seperti tersedianya sarana perhubungan dan komunikasi, tersedia prasarana dan sarana perhubungan, sosial, produksi dan pemerintahan desa, tersedia tempat mata pencaharian sesuai dengan pola tata desa. Sedangkan syarat sosial budaya lebih banyak ditujukan pada adanya suasanan kerukunan antar umat beragama dan bermasyarakat. Dari syarat-syarat tersebut, bahkan syarat sosial budayapun sama sekali tidak dimasukan pertimbangan kondisi sejarah dari desa yang bersangkutan. Syarat sosial budaya kelihatannya dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya ekses dari kontak budaya yang sangat mungkin terjadi dengan rekayasa pembentukan, pemecahan dan penyatuan desa.

Kurang lebih 32 tahun pemerintah Orde Baru berjalan, ternyata rekayasa atas pemerintahan desa semakin lama semakin disadari oleh komunitas lokal diseluruh wilayah tanah air. Masyarakat lokal mulai mengorganisir dirinya untuk bebas dari penjajahan ditanah sendiri. Pengorganisasian masyarakat lokal ini dibarengi dengan pengorganisasian dkalangan elit intelektual dan puncaknya adalah dengan turunnya Soeharto dari singasana pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan mahasiswa dan rakyat. Pimpinan nasional beralih secara konstitusional kepada wakilnya, BJ Habibie. Seorang ahli pesawat terbang. Pemerintahan transisi ini kemudian sangat menyadari bahwa bilamana pola kekuasaan masih sentralistik, niscaya “ banyak “ daerah-daerah kaya akan mengkuti jalan merah “ Timor-Timur “, keluar dari Indonesia. Didorong oleh keinginan menjaga keutuhan Negara, pemerintahan BJ Habibie merumuskan ulang konsep pengaturan pemerintahan dengan asas desentralisasi dan lahirlah UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah memberikan harapan baru bagi kelangsungan hidup Negara-bangsa Indonesia. Pengaturan mengenai desa kemudian “ dilebur “ menjadi bagi dari pemerintah daerah, berbeda dengan UU No 5 tahun 1979 yang secara khusus mengatur pemerintah desa. Namun kritik atas pemberlakukan UU ini khususnya oleh masyarakat di Kabupaten Landak adalah bahwa Rakyat Desa masih saja kehilangan kedaulatannya. UU No 22 tahun 1999 secara jelas menjadikan kembali Kepala Desa sebagai lembaga penting dalam pemerintahan desa. Walaupun UU No 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan badan perwakilan desa, namun dalam pengaturan selanjutnya kepala desa lebih banyak mendapatkan wewenang. Sebagai gambaran, jika pemerintahan desa terdiri dari 2 kekuatan itu, maka idealnya ada pengaturan yang berimbang untuk kedua lembaga ini. Dalam kenyataannya, UU telah memberikan porsi pengaturan lebih banyak pada lembaga kepala desa. Dari 19 pasal mengenai desa, 10 diantaranya khusus berkenaan dengan kepala desa dan hanya 1 yang berkaitan khusus dengan badan perwakilan desa. Contoh lainnya adalah persyaratan untuk menjadi kepala desa menyiratkan berlakunya konsekwensi bahwa penduduk desa lebih dilihat sebagai penduduk dalam arti administratif sehingga dalam syarat untuk menjadi kepala desa adalah setiap orang yang terdaftar sebagai penduduk ( de jure ) sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut atau putra desa yang ada diluar desa yang tidak terkena syarat domisili minimal 2 tahun berturut-turut. Tetapi pengertian putra desa juga rancu karena disebutkan bahwa yang dimaksud dengan putra desa adalah selain mereka yang lahir didesa yang bersangkutan dari orang tua yang terdaftar sebagai penduduk desa juga mereka yang lahir diluar desa kemudian pernah menjadi penduduk desa sehingga betul-betul mengenal desa.

Kepala desa dipilih langsung oleh rakyat desa. Ini menunjukan bahwa mekanisme demokrasi telah diterapkan bahkan dalam bentuk demokrasi langsung bukan perwakilan. Namun, kepala desa yang sudah dipilih warganya dengan suara terbanyak diangkat oleh Bupati/walikota atas nama gubernur. Ini merupakan konsekwensi bahwa pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi pemerintahan nasional yang selalu tergantung pada pemerintah diatasnya sehingga kepala desa tidak mandiri . Karena diangkat oleh bupati atas nama gubernur, maka kepala desa juga dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkatnya itu. Disinilah letak hilangnya kedaulatan rakyat desa.
Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini, maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya ( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara.

Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya dikampung-kampung.

Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati ) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal tersebut. Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal.

Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri. Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali.
Memanggil Semangat Otonomi Asli
Sistim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik didalam maupun diluar negeri, serta tantangan persaingan global, akan sangat baik bila dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah pemerintah pusat memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, secara perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman Daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lahirnya UU No.22/1999 karena sangat menyadari bahwa Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa telah menimbulkan banyak masalah yang pada pokoknya menguatkan ketegangan antara negara dengan komunitas. Konsep desa (dan kelurahan) yang tercantum dalam UU Pemerintahan Desa No.5/1979 memaksa pemerintahan daerah di luar Jawa mengubah struktur pemerintahan desa yang telah ada dan guna menyesuaika dengan amanat UUPD 1979. Karena yang tercantum dalam undang-undang ini adalah ‘Desa’, maka pemerintah daerah menghilangkan kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) yang diangap tidak mengunakan kata ‘Desa’ seperti nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta, Sosor dan Lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Jorong di Sumatra Barat, Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Binua di Kalimantan Barat, Kampung di Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, Temukung di Nusatengara Barat dan Nusa Tengara Timur, Yo di Sentani Irian Jaya, dan lain sebagainya. Seterusnya, Kesatuan masyarakat hukum tidak hanya cara formal berganti nama menjadi desa, akan tetapi harus pula secara operasional segera memenuhi segala syarat yang di tentukan oleh UU No. 5/1979. Seperti yang telah disebut, upaya ini oleh Pemerintah Daerah di luar Jawa dan Madura dilakukan melalui Program regrouping desa untuk menuju apa yang kemudian disebut sebagai ‘Desa orde baru’.

Adanya keanekaragaman daerah yang bersifat istimewa tersurat dan tersirat dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi. Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Didaerah-daerah yang bersifat otonom (Streek en locate rechtgemeen-schappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang.” Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan perwakilan Daerah. Oleh karena itu, didaerah maupun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No 22 tahun 1999 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan kembali system pemerintahan Binua di Kabupaten Landak dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah, sebagai mana tertuang dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPRR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tersebut diatas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi peran serta masyarakat, pemerataan dengan prinsip-prinsip keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Dalam TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 tersebut, khususnya dalam bagian Menimbang, antara lain menyatakan: “Bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber daya nasional yang berkadilan; serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah’ dan ‘Bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional; perimbangan keuangan pusat dan daerah belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-perinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan”.

Atas dasar itu, TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 memutuskan untuk menetapkan bahwa ( Pasal 1 ): Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; ( Pasal 2) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah; ( Pasal 3 ayat 1 ) Pengaturan, Pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara efktif dan efesien, bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada pengusaha kecil, menengah, dan Koperasi; ( Pasal 4 ) Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat daerah; ( Pasal 5 ) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertangung jawab memelihara kelestarian, lingkungan; ( Pasal 6 ) Penyelenggaraan otonomi daerah; Pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkadilan; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka mempertahankan dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat. Seluruh ketentuan ini, sebagaimana yang dikemukakan Pasal 7, diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Ketetapan MPR RI No XV/MPR/1998 ini sendiri tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan TAP MPR RI No.X/MPR/1998 Tentang pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, yang pada hakekatnya: “Merupakan pernyataan kehendak rakyat untuk mewujutkan pembaruan di segala bidang pembangunan nasional, terutama bidang-bidang ekonomi, politik, hukum, serta agama dan social budaya”.

Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka Otonomi Daerah sekarang ini didasarkan kapada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang adalah merupakan hak daripada kewajiban. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenagan dibidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan serta serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjwaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga kautuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atas dasar pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa, adalah tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal usul yang bersifat istimewa, sehingga perlu diganti atau dicabut. Penggantian Undang-Undang ini dilakukan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, didalamnya ada yang mengatur perihal Desa (Bab XI). Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat serta meningkatkan peran dan fungsi DPRD. Selain itu Daerah Otonomi juga mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat didaerahnya masing-masing.

Sekarang, mari kita lihat dalam UU No 22 tahun 1999 pada bagian penjelasan umum angka 9 (1), tentang Pemerintahan Desa : “Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah Desa atau yang disebut nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945”. Dengan landasan pemikiran ini peraturan mengenai Pemerintahan Desa harus mengormati prinsip-prinsip keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Jelaslah, menurut rumusan diatas, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut menghendaki bahwa Pemerintahan Desa ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979), dapat saja diganti dengan Pemerintahan asal-usul berdasarkan adat istiadat dan hak asal usul, baik secara implisit maupun secara eksplisit (tersirat maupun tersurat). Dan di Kabupaten Landak system pemerintahan asal-usul itu adalah pemerintahan binua.

Perlu diingat bahwa Pemerintahan Binua yang sesuai dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini bukanlah jiwa dan semangat kolonial berdasarkan IGOB, akan tetapi lebih sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang dan maju di alam kemerdekaan ( meluasnya prinsip demokrasi ). Apabila kita membandingkan Pemerintahan Binua yang sesuai dengan Desa ( berdasarkan IGOB ) dan Pemerintahan Desa ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 ), Pemerintahan Binua lebih besar kesempatan dan ruang geraknya untuk mencapai kemajuan daripada Pemerintahan Desa.

Pada hakekatnya kembali ke system Binua adalah ingin direhabilitirnya kedudukan dan peranan kelembagaan local yang hidup turun-temurun. Idenya ingin agar Binua diakui dalam sistem Pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal-usul dan istiadat setempat ( Krist, 2003 ). Nampak bahwa ada niat para pembuat UU No 22.1999 ingin memulihkan demokrasi ditingkat yang paling rendah, dimana unsur-unsur pokok demokrasi ada di desa, seperti Badan Perwakilan Desa, yang berfungsi sebagai parlemen/wakil rakyat ditingkat desa atau nama lain. Namun, selanjutnya ternyata UU No 22.1999 menyerahkan penyelesaian ketegangan antara Negara dan komunitas lokal itu pada pemerintah daerah dengan menyebutkan bahwa pengatur lebih lanjut mengenai desa akan diatur melalui Peraturan Daerah masing-masing. Diatur pula bahwa masing-masing peraturan daerah berwajib mengakui dan menghormati hak asal-usul desa tesebut. Dalam pasal 93 UU No.22 1999 hanya disebutkan bahwa : Desa dapat dibentuk, dihapus dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan DPRD dan Pembentukan, pengapusan dan/atau penggabungan Desa sebagaimana dimaksud ayat (i), ditetapkan dalam peraturan daerah.

Jadi, prospek pembebasan ‘Desa’ dari birokrasi, atau prospek perwujudan “otonomi daerah, masih bergantung dinamika pembentukan kebijakan di pemerintahan daerah Kabupaten Landak sendiri. Lebih-lebih lagi, dinamikan itu tergambar jelas pada pasal 99 UU No 22 tahun 1999 yang merumuskan kewenangan desa mencakup : Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa, Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.

Mengapa Harus Kembali ?
Ada beberapa perbedaan system Desa dan Binua yang dapat diamati, antara lain ( 1) Bentuk persekutuan masyarakat asli yang disebut dengan nama Binua merupakan persekutuan wilayah ( streekgemeenschap ) yang terdiri dari beberapa kampung. Sedangkan Bentuk persekutuan masyarakat yang dimaksud dengan Desa merupakan persekutuan lokal ( locallegemeenschap ) yang terdiri dari beberapa dusun. Jumlah penduduk dan potensi tenaga pemimpin lebih banyak di Binua dari pada Desa. Mengingat dan mempertimbangkan faktor inilah Pemerintahan Hindia Belanda pada waktu dahulu menghentikan percobaannya dengan mengganti Pemerintahan Binua dengan Pemerintahan Dusun . ( 2 ) Masalah Kewenangan. Kewenangan Pemerintahan Binua, meliputi Pemerintahan otonom menurut Hukum Adat, Pembinaan Adat Istiadat dan Peradilan Adat, Hak Ulayat, yaitu Binua memiliki lingkungan kekuasaan berada di dalam wilayah kekuasaan hukumnya (ambtsgebied), penduduknya bebas mengerjakan tanah yang masih belum dibuka, membentuk kampung, mengumpulkan ramuan rumah atau hasil-hasil hutan lainnya serta memungut sumber-sumber penghasilan Binua antara lain: Pajak (balasteng), sewa bumi, (tanah), izin mendirikan rumah (bangunan), hasil kerikil (pasir, hasil hutan; bea kayu), pelayanan kawin, dan sebagainya.

Sedangkan kalau dilihat dari kewenangan Pemerintahan Desa hanya masalah Pemerintahan, administrasi, pembinaan teritorial, birokrasi nasional dan tidak otonom. Pemerintah desa juga tidak mencampuri pembinaan adat istiadat. Masalah pembinaan adat istiadat secara terpisah diurus oleh lembaga adat (Pemangku Adat) yaitu lembaga adat tingkat Desa. Apabila perkara adat tidak selesai ditingkat desa, maka penyelesaiannya ditingkat kecamatan bahkan hingga kabupaten. Disana dibentuk Dewan Adat Kecamatan dan Dewan Adat Kabupaten, malah kondisi terakhir misalnya dibentuk pula Majelis Adat ditingkat provinsi. Dengan birokrasi yang rumit ini, tampak sekali bahwa lembaga-lembaga adat yang turun-temurun dirampas haknya. Adat dalam satu binua menurut warisan leluhur menyebtukan bahwa perkara adapt hanya selesai sampai tingkat kepala binua. Kepala binua adalah penentu hukum tertinggi diwilayahnya. Dalam arti kata Pemerintahan Binua mengurus baik masalah Pemerintahan (otonom) maupun masalah pembinaan adat istiadat dalam satu tangan

Bagaimana Kedepan ?
Ketika system pemerintahan binua dinyatakan berlaku, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas pemimpin lokal dalam hal ini kepala binua dan perangkatnya secara berkelanjutan. Pengembangan kapasitas pemimpin merupakan salah satu konsep yang diinginkan dengan penerapan sistem pemerintahan binua. Konsep ini sejalan dengan penurunan daya dukung ( resources ) selama ini yang terjadi dengan pemerintahan desa baik yang berupa kemerosotan lingkungan ( dimana hutan-htan keramata ditebang, tembawang dibabat dan kompokng diambil kayunya untuk tujuan komersil ), moralitas pemimpin yang dulunya cendrung korup dan mementingkan diri sendiri, dan tidak mempunyai kapasitas kepemimpinan yang mampu mengayomi seluruh rakyat diwilayahnya sehingga dalam beberapa kasus terjadi diskriminasi warga berdasarkan segregasi etnik dan agama, penyelewengan bantuan pemerintah, inefisiensi dan inefektivitas pembangunan dan sejenisnya.

Pembangunan kapasitas pemimpin rakyat tingkat binua memberikan harapan yang baik khususnya dalam kerangka mewujudkan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik yaitu dalam rangka peningkatan efektivitas dan efesiensi manajemen publik menuju realisasi tujuan yang diharapkan ( lihat visi pemerintahan binua, pen).

Dalam konteks Kabupaten Landak, konsep ini pada dasarnya mulai disadari arti penting dan urgensinya sejak penerapan Otonomi Daerah yang terhitung 1 januari 2001. Keterbatasan kemampuan personil ( SDM ) didaerah dan lokal, tantangan profesionalisme yang semakin meningkat oleh publik karena arus globalisasi, AFTA dan sejenisnya serta berbagai keterbatasan daya dukung mendorong perlunya kapasitas pemimpin lokal ditingkatkan sehingga efektivitas dan efisiensi pelaksanaan fungsi publik daerah dan binua dapat terlaksanan guna mewujudkan tujuan yang hendak dicapai ( Ludis, 2004 ). Namun realitas politik serta praktik-raktik penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini menunjukan bahwa telah terjadi penurunan kapasitas sebagian besar pemimpin, baik dalam arti personil maupun institusional. Banyak bukti serta anekdot yang berkaitan dengan para pemimpin lokal seperti misalnya kepala desa serta pimpinan pemerintahan daerah yang menunjukan betapa kualitas SDM mereka sangat memprihatinkan. Pengetahuan umum yang berkembang dikalangan masyarakat akademik menunjukan fenomena ini merupakan suatu keadaan yang kurang menggembirakan dalam awal penyelenggaraan otonomi daerah.

Munculnya krisis kepemimpinan adalah salah satu akibat dari penurunan kapasitas SDM pemimpin lokal. Dengan kapasitas yang sangat terbatas, seorang kepala desa hanya mampu mengusulkan dan mengadakan pembangunan ditempat tinggalnya saja ( pemusatan pembangunan dimana kepala desa tinggal ). Ini kemudian meninbulkan kecurigaan dan kecemburuan penduduk desa yang tempat tinggalnya jauh dari pusat desa. Namun untuk mengungkapkannya secara resmi, warga desa tidak mempunyai tempat untuk bertanya. Hal ini didasari bahwa dibanyak desa, Badan Perwakilan Desa sebagai refresentasi kedaulatan rakyat desa belum dan tidak terbentuk. Akibatnya, warga desa memilih warung kopi sebagai tempat untuk berkeluh kesah. Denagn kondisi ini, semua kebijakan yang dikeluarkan kepala desa tidak pernah ditaati warga desa.

Kondisi kapasitas barangkali tidak hanya didasarkan pada realitas seperti diatas. Kondisi kapasitas individual yang parah dan memprihatinkan seperti ini sebenarnya merupakan sebuah tamparan yang berat bagi awal penyelenggaraan otonomi daerah di Kabupaten Landak. Dalam konteks yang lebih kecil, ini dapat dilihat dari ketidakmampuan dan kekurangberdayaan pemerintah desa dalam menyediakan dan mengelola pelayanan yang baik dan berkualitas. Fakta-fakta menunjukan bahwa pemerintah desa ( kepala desa, pen ) hanya mampu dan sibuk dalam mengurus dirinya sendiri ( terbukti dari anggaran rutin desa sebesar Rp 12.000.000 per tahun hanya untuk kepentingan aparat desa ) dan belum mampu menyediakan pelayanan dan pembangunan yang prima kepada masyarakat desa. Dengan jumlah desa 156 buah di Kabupaten Landak, anggaran pembangunan desa sangat minim masuk dalam perencanaan APBD. Hanya desa-desa tertentu saja yang mendapatkan “ jatah “ pembangunan dari pemerintah kabupaten, itupun kalau ada pejabat kabupaten yang berasal dari desa yang bersangkutan atau desa tersebut merupakan salah satu basis partai politik yang keterwakilannya di DPRD signifikan.

Mendasari diri pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka pembangunan kapasitas pemimpin lokal bdari tingkat kampung hingga binua merupakan sebuah hal yang dibutuhkan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan binua kedepan. Tuntutan kapasitas tidak hanya dibutuhkan oleh individu pemegang dan penyelenggaran pemerintahan binua secara personal tetapi juga kolektivitas kelembagaan baik yang meliputi institusi binua maupun kapasitas kebijakannya sehingga tercipta suatu peningkatan pemberdayaan masyarakat.

Hal kedua yang harus segera diwujudkan adalah memberikan pemahaman secara mendasar kepada pemerintah binua tentang prinsip-prinsip demokrasi. Prospek kedepan perkembangan demokrasi lokal ditingkat binua akan memberikan harapan cerah bagi Kabupaten Landak. Sebagai bagian dari pemerintahan binua, Bide Pamane Binua ( Badan Perwakilan Binua ) merupakan ujung tombak dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan binua. Implementasi demokrasi ini dalam beberapa dekade memang belum berjalan secara optimal karena dibatasinya peran dan fungsi kepala binua yang hanya mengurusi upacara-upacara adat maupun penyelesaian hukum adat, namun sudah cukup memberikan peluang bagi masyarakat dibinua dalam pertumbuhan demokrasi lokal. Dengan adanya kemandirian binua, berbagai corak dan kekhasan binua akan tumbuh sebagai landasan untuk bersaing dengan binua lain dan sekaligus saling menopang dalam pertumbuhan daerah. Kemandirian binua dalam memilih pemimpin binua, wakil rakyat binua, pengelolaan keuangan dan sumber daya alam binua ditambah lagi dengan kemampuan pemimpin yang mumpuni akan menjadi modal dasar untuk keberhasilan otonomi binua dan pertumbuhan demokrasi.

Kewenangan yang lebih besar yang dimiliki dalam menyalurkan aspirasi masyarakat setempat, pengelolaan sumber daya yang ada dibinua serta pengaturan insentif fiskal akan membuat binua lebih kompetitif karena tidak lagi bergantung “ banyak “ kepada pemerintah kabupaten. Disisi lain, dengan pemerintahan binua, akan mengembangkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun binua dan kampungnya. Gejala tersebut dari dulu memang tampak, namun telah terengut oleh subsidi desa yang sekarang berubah nama menjadi dana rutin desa.

Dalam sistem pemerintahan binua, gejala untuk mengembangkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat mulai tampak, hal ini berarti kepedulian masyarakat terhadap kepentingan mereka sendiri menigkat. Kondisi ini ada kecendrungan bahwa warga binua akan selalu merespon dan berperan aktif dalam menuntut hak-haknya sehingga mendorong pemimpin binua untuk menggunakan sumber danan dan daya yang tersedia secara jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dan akhirnya partisipasi rakyat binua akan memberikan jaminan bahwa setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah binua kedepan hendaknya menyediakan saluran komunikasi secara tertulis dan sebagainya agar masyarakat binua dapat menyampaikan pendapatnya seperti pertemuan umum, dialog kebijakan, dan sebagainya. Olehkarenanya untuk pengembangan demokrasi lokal berbasis binua, diperlukan instrumen dasar tentang peraturan binua yang menjamin hak untuk menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan adanya akses bagi setiap warga binua untuk memperoleh informasi tentang kebijakan pemerintah binua.

Faktor lain yang mendukung perkembangan demokrasi lokal adalah adanya kebebasan pers. Saat ini dibeberap kecamatan telah berdiri stasiun-stasiun radio komunitas. Sebagai media komunikasi antar komunitas, radio akan memberikan peran yang besar dalam pendidikan publik. Dengan adanya radio, masyarakat dapat mengungkapkan pendapatnya tentang hal-hal yang positif dan negatif terhadap kebijakan publik. Radio dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan, saran, pendapat, kritik dan kemungkinan alternatif terhadap kinerja pemerintah binua.

Radio bagi pemerintah binua akan merupakan masukan yang dapat memperluas cakrawala dan wawasan secara lebih lengkap sehingga analisis terhadap permasalahan yang dihadapi akan semakin tajam dan dampaknya keputusan yang diambil akan semakin berkualitas. Sedangakn dampak radio bagi masyarakat disamping memberikan informasi sebagai sarana pendidikan publik yang mampu meningkatkan kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga binua dan warga negara, disisi lain radio juga memberikan ruang publik untuk menyalurkan aspirasi dan pendapat yang dapat memperngaruhi kebijakan pemerintah binua. Jadi dengan radio komunitas akan mendorong proses demokrasi lokal ditingkat binua.
Prospek perkembangan demokrasi ditingkat binua juga didukung tuntutan tentang penegakan hukum yang diharapkan dapat mewujudlkan keadilan bagi semua pihak tanpa kecuali, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan kewenangan yang dimiliki, pemerintah binua sangat mendukung tegaknya supremasi hukum dengan melakukan penerapan peraturan asli secara efektif yang didukung dengan penegakan hukum secara adil dan tepat.

Munculnya fenomena lain yang mendorong berkembangnya demokrasi lokal ditingkat binua adalah meningkatnya peran dan fungsi legislatif binua ( Bide Pamane Binua/badan perwakilan binua ). Walaupun saat ini peran dan fungsi itu belum berkembang karena penyeragaman desa ( penggantian susunan pemerintahan asli ), namun meningkatnya peran dan fungsi legislatif binua akan mendorong pertumbuhan demokrasi. Meningkatnya kapasitas pemimpin binua, adanya radio komunitas, berfungsinya Bide Pamane Binua, penegakkan hukum serta partisipasi masyarakat binua akhirnya akan mendorong penyelenggaraan pemerintahan binua yang transparan, akuntabel, efektif dan efisien. Dengan transparansi akan menciptakan kepercayaan tibal balik antara pemerintah binua dengan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan binua.

PRAKARSA MASYARAKAT KEMBALI KE SISTEM PEMERINTAHAN BINUA
Menutup milenium kedua, pemerintah Indonesia membuat peraturan baru mengenai desa. Pada tanggal 7 Mei 1999 disahkan dan diundangkan Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Peraturan desa yang semula ada dalam undang-undang tersendiri ( UU No 5 tahun 1979 ) dengan undang-undang baru ini disatukan dalam pengaturan pemerintahan daerah. Undang-Undang No 22 tahun 1999 berlaku efektif pada tahun 2001. Menyambut peluang itu, Kepala Binua, Perangkatnya dan masyarakat adat Dayak Kanayatn yang tersebar hampir diseluruh pelosok Kabupaten Landak bertemu dan berdiskusi di Kota Menjalin pada tanggal 3-5 mei 2001. Peristiwa inilah yang kemudian terkenal dengan PIAGAM MENJALIN, sebuah dokumen yang berisi kritik atas pola-pola kebijakan pemerintahan desa orde baru. Mereka menyadari bahwa semenjak dimulainya otonomi daerah dalam tahun ini, segala daya upaya haruslah dikerahkan agar rakyat landak memrebut kembali kedaulatannya yang dirampas oleh sistem desa.
Segala daya upaya ini dimaksudkan agar kehidupan hampir 300.000 rakyat landak semakin membaik. Namun harapan itu dapat saja kandas sekedar sebagai sejarah saja, bila pemerintahan yang telah terbentuk ini gagal menjalankan tugas sejarah yang mulia ini. Kegagalan itu mereka perkirakan justru dilangkah-langkah awal. Berhasil teridentifikasi dua hal yang dapat dijadikan indikasi dari kemungkinan gagal atau berhasilnya pemerintahan Kabupaten Landak kedepan yakni ( i ) pemahaman tentang hakekat dari kewenangan yang dipunyai pemerintahan ( ii ) pemahaman tentang masalah dari rakyat landak dan sebab-sebabnya beserta rute baru untuk memulihkan kerusakan dan meletakkan fondasi bagi landak yang sehat dimasa yang akan datang.

Dalam diskusi kemudian muncul kesadaran bahwa Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa … yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah desa tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang diamanatkan dalam bagian menimbang UU No 22/99 ada keinginan kuat untuk membangkitkan sistem pemerintahan berdasarkan asal-usul yang bernama binua. Seperti kita ketahui bahwa Kabupaten Landak dikenal sebagai daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Sumber daya mineral, minyak dan gas bumi, intan, emas, batubara, nikel, timah, sumber daya hutan, dan lain-lain adalah sumber kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada rakyat yang hidup turun temurun diwilayah Kabupaten Landak. Karena itu, ungkapan Landak seperti untaian zamrud khatulistiwa atau kolam susu di kalimantan barat merupakan ekspresi yang menggambarkan keindahan dan kekayaan alam yang dimiliki kabupaten ini. Tetapi, apakah kekayaan alam tersebut membawa nikmat dan telah mengantarkan rakyat landak ke tingkat kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang dicita-citakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945?

Pertanyaan di atas mengendap setelah lebih dari tiga decade rezim Orde Baru menduduki singasana kekuasaan dalam sistim pemerintahaan yang otoriter dan diskriminatif di negeri ini, dengan segala implikasi politik, ekonomi, social dan budaya masyarakat. Pasca pemerintahan Orde Baru, di peroleh jawaban yang cendrung bernada negatif dari sebagian besar komponen anak bangsa untuk pertanyaan diatas, dalam pengertian bahwa era kekuasaan rezim Orde Baru dinilai tidak mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang hakiki bagi seruruh rakyat Indonesia. Tetapi, justru sebaliknya telah menimbulkan proses pemiskinan structural yang berlangsung secara sistematik, sebagai konsekuensi dari pilihan idelogi penguasaan sentralistik dan paradigma pengurasan sumber daya alam yang dibangun dan digunakan selama pemerintahan Orde Baru. Untuk itulah agar pemberdayaan Rakyat baik adat maupun rakyat non adat di kabupaten Landak betul-betul optimal dan sejalan pula dengan fakta sejarah Asal-Usul Masyarakat di Kabupaten Landak maka Sistem pemerintahan Desa harus diganti dengan Sistem pemerintahan Binua.

Dengan menguatnya kesadaran itu masyarakat adat Kabupaten Landak merasa terpanggil untuk terlibat dalam partisipasi politik reorganisasi system pemerintahan local di Kabupaten Landak. Untuk itu dilakukanlah serangkaian pertemuan masyarakat adat pasca pertemuan tanggal 5 - 8 Maret 2002.

Untuk mengefektifkan pertemuan dan memperkuat jaringan kerja, maka pada pertemuan ini pula, disepakati membagi wilayah Kabupaten Landak menjadi 4 wilayah besar berdasarkan Daerah Aliran Sungai ( DAS ) besar, yakni DAS Samabue Karimawatn Sakayu’ untuk Kecamatan Menjalin, Kecamatan Mandor dan Kecamatan Mempawah Hulu. DAS Sakayu’ Ai’ Banyuke Meranti untuk Kecamatan Menyuke dan Kecamatan Meranti. DAS Sengahe ( Singkatan dari Serimbu-Ngabang dan Behe ) untuk Kecamatan Ngabang, kecamatan Air Besar dan Kecamatan Kuala Behe serta DAS Sangah Tumila’ Samih untuk Kecamatan Sengah Temila dan kecamatan Sebangki. Kemudian secara terorganisir, diadakanlah pertemuan-pertemuan susulan di 4 DAS yang terbentuk, diantaranya : Pertemuan Masyarakat Adat DAS Karimawatn Sakayu’ di Kota Menjalin pada tanggal 4-6 Juli 2002. Forum ini dihadiri oleh 64 orang peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan perangkatnya Pertemuan Masyarakat Adat DAS Sangah Tumila-Samih di Kota Pahauman pada tanggal 16-19 Juli 2002. Forum ini dihadiri oleh 51 peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan perangkatnya.Pertemuan Masyarakat Adat DAS Banyuke-Meranti di Kota Darit pada tanggal 26-28 juli 2004. Forum ini dihadiri oleh 73 orang peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan perangkatnya. Pertemuan Masyarakat Adat di DAS Sengahe di kota Ngabang pada tanggal 8-10 Agustus 2002. Forum ini dihadiri oleh 46 orang peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan perangkatnya. Pertemuan Masyarakat Adat Antar DAS di Kota Pontianak pada tanggal 11-14 September 2002. Forum ini dihadiri oleh 112 orang peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan perangkatnya. Pada pertemuan ini berhasil pula menyepakati untuk membentuk organisasi masyarakat adat yang kemudian bernama Forum Komunikasi Timanggong Binua Kabupaten Landak ( FKTB-KL ), yang diketuai oleh Bp V. Syaidina L, seorang Timanggong dari Kec. Ngabang untuk periode hingga 2003. Forum Ini bernama: Forum Komunikasi Timanggong Binua Kab. Landak (FKTBKL).

Dari berbagai pertemuan itu, terdapat banyak agenda yang harus diperjuangkan masyarakat adat Kabupaten Landak melalui FKTB dan jaringannya untuk kurun waktu hingga tahun 2003. Banyak memang kendala yang dihadapi oleh organisasi ini, baik teknis maupun non teknis. Diantaranya ia “ terkesan ekslusif “, khususnya bagi masyarakat adat “ etnis “ lainnya, oleh karenanya menjelang akhir masa Pemerintahan FKTB, pada awal bulan November 2003 diadakan Lokakarya Refleksi Gerakan Masyarakat Adat Kabupaten Landak yang diselenggarakan di Kota Menjalin. Forum refleksi ini berhasil menyepakati bahwa FKTB harus tetap eksis untuk mengawal perjuangan masyarakat adat, untuk itu perlu diadakan Kongres Masyarakat Adat. Forum ini juga berhasil membentuk kepanitiaan kongres yang diketuai oleh Bp Sabirin dari Kecamatan Menyuke. Dan disepakati untuk dilaksanakan pada tanggal 24-28 Februari 2004 di Kampung Nangka, Desa Nangka Kecamatan Menjalin sekitar 8 Km dari Kota Menjalin.

Menggelar Kongres Masyarakat Adat Pertama
Dalam pelaksanaan kongres pertama ini, panitia pelaksana berhasil menjalin aliansi strategis dengan beberapa Jaringan Kerja ornop Kalbar diantaranya Yayasan Pangingu Binua, Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara, Yayasan PAHAR, Yayasan Sule Binua, Front Pembela Binua, Forum Komunikasi Tune Raya dan Perkumpulan Dukun dan Pengobat Tradisional (Batra Panampukng ). Sungguhpun demikian, aliansi ini tidak hanya dibatasi oleh ke-7 organisasi diatas, karena dukungan untuk kongres ini terus mengalir baik dari organisasi non pemerintah maupun pemerintah daerah diantaranya Aliansi Masyarakat Adat Kalbar, Pemerintah Daerah Kabupaten Landak, Lembaga Bela Banua Talino dan Jaringan Pesisir dan Pedalaman. Acara Kongres juga dimeriahkan oleh kelompok-kelompok kesenian masyarakat adat khususnya di Sanggar Sule Binua dari kampung Sunge Banokng, Sanggar Tumiang Tajur dari kampung Tareng dan Sanggar Dara Kantengan dari kampung Konyo yang mengisi acara-acara budaya. Begitu banyak alasan masyarakat adat untuk mewujudkan Kongres ini, suatu peristiwa pertama kalinya sejak Kabupaten Landak resmi menjadi daerah otonom di Kalimantan Barat.

Kongres Masyarakat Adat berlangsung pada tanggal 26-28 Februari 2004. Peserta Kongres tidak kurang dari 315 orang para Kepala Binua ( Singa/Timanggong ), pasirah, pangaraga, tuha tahutn, perangkat fungsional adat binua dan kampung-kampung, tokoh pemuda, kalangan agama dan perempuan adat dari 10 Kecamatan di Kabupaten Landak. Kongres ini juga dihadiri oleh para organisasi pendamping, pers dan mahasiswa sebagai peninjau. Hampir 700 orang terlibat dan menghadiri seluruh rangkaian kongres ini. Berbagai permasalahan yang mengancam eksistensi masyarakat adat dari berbagai aspek selalu muncul selama Kongres berlangsung. Terbentuknya Persekutuan Komunitas Masyarakat Adat Kabupaten Landak ( PAKAT Landak ) ditetapkan oleh seluruh peserta Kongres pada tanggal 27 Februari 2004.

Untuk menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat adat dan juga sebagai landasan untuk tindakan bersama bagi masyarakat adat diseluruh pelosok Kabupaten Landak maka Kongres I masyarakat adat telah merumuskan dan menetapkan 4 buah garis-garis perjuangan utama yang diamanatkan kepada organisasi politik masyarakat adat yang berbasis di Kabupaten Landak ini, sebagai berikut ;
1. Pengembalian kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi, politik, hukum dan budaya masyarakat adat termasuk kedaulatan atas penguasaan dan pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Untuk menjamin itu maka masyarakat adat melalui PAKAT Landak akan memperjuangkan adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang pengembalian SISTEM PEMERINTAHAN BINUA.
2. Mengawal aspirasi masyarakat Adat. Seluruh peserta Kongres sepakat bahwa aspirasi masyarakat adat secara terus-menerus dan terlembaga harus mampu mempengaruhi proses dan keputusan-keputusan politik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki kekhususan/ciri khas daerah yang menjamin lestarinya adat-istiadat, bahasa, kearifan lokal dan hukum adat. Untuk itu akan diperjuangkan agar ada muatan lokal tentang adat-istiadat, bahasa, kearifan lokal dan hukum adat dalam kurikulum pendidikan disekolah-sekolah mulai dari TK, SD, SLTP dan SMU dengan keterlibatan penuh masyarakat adat, LSM pendamping serta jajaran Pemerintah Daerah dalam pembuatan kurikulumnya maupun pengajarannya.
3. Mendukung penguatan lembaga-lembaga adat dan mengembalikan wewenang lembaga-lembaga adat untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan keamanan masyarakat adat sesuai hukum dan peradilan adat yang berlaku setempat.
4. Melakukan perundingan ulang atau penggunaan tanah dan kekayaan alam “milik” masyarakat adat ( yang dikuasai secara turun-temurun ) yang selama ini dipakai untuk berbagai proyek-proyek pemerintah daerah dan pengusaha seperti proyek eksploitasi hutan, pertambangan, perkebunan, perikanan dan transmigrasi. Berbagai rencana proyek baru didalam/diatas tanah dengan menggunakan kekayaan alam harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya dan dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.

Untuk mensosialisasikan landasan perjuangan organisasi, dengan difasilitasi Persekutuan Komunitas Masyarakat Adat ( PAKAT ), digelar rangkaian-rangkain pertemuan dengan berbagai pihak. Pada tanggal 16-17 april 2004, bertempat di Dango Landak Ngabang diadakan rapat tim kerja untuk merumuskan dan menyempurnakan Draft Raperda Binua bersama Pemerintahan Majelis Adat Budaya Melayu Kab. Landak, LPPMA, YPB dan PAKAT. Jumlah anggota tim 16 orang dari organisasi-organisasi diatas. Kemudian setelah Rapat Tim Kerja berakhir, pada tanggal 17-18 April 2004, bertempat di Dango Landak Ngabang, diadakan Rapat Pimpinan yang dihadiri oleh 16 orang Dewan Presidium dan Sekretaris jendral. Turut hadir pula organisasi-organisasi pendukung seperti LPPMA Pontianak dan YPB. Rapim ini menyepakati untuk menyempurnakan draft Raperda yang pernah diusung ke DPRD Landak pada tahun 2002 lalu. Pertemuan itu dilanjutkan pagi pada tanggal 19-20 Mei 2004, di Hotel Hanura Ngabang. Peserta berjumlah 17 orang dari MABM, LPPMA Pontianak, YPB, PAKAT dan YPPN. Seluruh peserta pertemuan menyepakati untuk mengadakan Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis Multipihak Kabupaten Landak dengan maksud untuk mensosialisasikan draft Raperda Binua kepada masyarakat, merumuskan rencana strategis dan merumuskan Visi Kabupaten Landak versi masyarakat. Pada tanggal 23-26 Juni 2004, diselenggarakan Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis Multipihak Kabupaten Landak yang bertempat di Aula Gedung DPRD Landak di Ngabang. Hadir dalam semiloka ini 103 peserta dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Landak. Dalam presentasinya, Ketua Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Landak ( DR (Hc) Silverius Mulyadi) serta Pangeran Ratu Keraton Landak ( Drs Gusti Suryansyah, M.Si ) menyatakan dukungannya dengan aspirasi masyarakat adat untuk kembali ke sistem pemerintahan binua. “ pengembalian sistem pemerintahan binua merupakan keharusan sejarah yang tidak bisa ditolak…” demikian pendapat ketua DAD Kab. Landak dalam makalahnya. Hadir dalam semiloka ini Ketua DPRD Landak, Kepala BAPPEDA, Kepala BPN, Kadishutbun dan anggota DPRD Landak. Seluruh forum peserta menyepakati agenda selanjutnya adalah sosialisasi kepada masyarakat ditiap Daerah Aliran Sungai se-Kabupaten Landak yang berjumlah 4 DAS. Agenda ini kemudian ditindaklanjuti oleh PAKAT Landak dengan mengadakan pertemuan-pertemuan masyarakat adat di masing-masing DAS. Kemudian pada tanggal 7-8 Juli 2004, bertempat di Hotel Hanura Ngabang diadakan pertemuan Kelompok Kerja Masyarakat Adat ( KKMA ) Landak yang dihadiri oleh 21 peserta dari perwakilan kecamatan yang disepakati dalam semiloka sebelumnya. Bersamaan dengan itu, diadakan pula sosialiasi sistem pemerintahan binua kepada peserta. Masyarakat adat Dayak Bukit dan Kanayatn pada tanggal 15-16 Juli 2004, bertempat di Aula Kantor Camat Sengah Temila Pahauman mengadakan pertemuan masyarakat adat wilayah Kecamatan Sengah Temila dan Kecamatan Sebangki. Hadir dalam pertemuan itu 87 peserta yang terdiri dari timanggong, pasirah, pangaraga, tuha tahutn serta tokoh pemuda. Pertemuan yang dibuka oleh Camat Sengah Temila ini merekomendasikan agar ada prototife pemerintahan binua yang dapat dijadikan model pengembangan. Desa Saham Kec. Sengah Temila menyatakan siap sebagai model awal penerapan sistem ini, kebetulan Kepala Desa saham telah habis masa jabatannya dan masyarakat Saham sepakat untuk tidak melakukan pemilihan Kepala Desa. Untuk mempermudah sosialisasi, peserta mengusulkan agar ada buku pedoman umum sistem pemerintahan binua.

Pada tanggal 19-20 Juli 2004, bertempat di Aula Kantor Camat Menyuke di Darit, masyarakat adat wilayah Kecamatan Menyuke dan Kecamatan Meranti mengadakan pertemuan. Hadir dalam pertemuan itu 76 peserta yang terdiri dari Kepala Desa, Timanggong, Pasirah, Pangaraga, Tuha Tahutn dan unsur pemuda dan perempuan. Pertemuan yang dibuka oleh Camat Menyuke ini dihadiri pula Kapolsek dan Danramil Menyuke serta salah seorang anggota DPRD Landak daerah pemilihan Kecamatan Menyuke dan Meranti, dari PSI. Peserta merekomendasikan agar kembali kesistem pemerintahan binua harus segera diterapkan di Kabupaten Landak dengan meminta kepada DPRD dan Bupati Landak untuk segera membahas draft Raperda yang diusulkan masyarakat adat sejak tahun 2002.

Melihat fenomena yang berkembang dalam masyarakat adat Kabupaten Landak ini, maka pada tanggal 27 Juli 2004, bertempat di Sekretariat PAKAT Desa Raba Menjalin, diadakan pertemuan Pemerintahan DAS Karimawatn Sakayu’ yakni Kecamatan Mempawah Hulu, Kecamatan Menjalin dan Kecamatan Mandor. Hadir dalam pertemuan itu 19 orang peserta yang terdiri dari timanggong,tokoh masyarakat, unsur perempuan dan pemuda. Peserta pertemuan merekomendasikan agar pemberitaan yang dimuat oleh tokoh masyarakat dimedia massa hendaknya disikapi oleh masyarakat adat. “..masyarakat yang katanya tokoh jangan memperkeruh suasana. Kalau belum tahu sistem pemerintahan binua jangan asal omong saja, mari dekatkan diri dengan rakyat di kampung-kampung “ ujar Dolli Matnor, Timanggong dari Kecamatan Mandor. Selain itu, peserta menyepakati untuk merumuskan agenda pendidikan adat diterapkan disekolah-sekolah dalam bentuk muatan lokal yang disiapkan olerh masyarakat adat. Dan rangkaian pertemuan masyarakat adat itu dikumpulkan dalam satu pertemuan pada tanggal 29-31 Juli 2004, bertempat di Pusat Pengembangan Teknologi Arang Terpadu Dian Tama Toho Pertemuan ini untuk mengkonsolidasikan gerakan masyarakat adat yang berjuang agar sistem pemerintahan binua berlaku segera di Kabupaten Landak.







KONSEP “JUBATA” MENURUT KEYAKINAN DAYAK KANAYATN


Untuk mengungkapkan apa yang disebut “JUBATA” oleh Masyarakat adat Dayak Kanayatn, agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah merpakan yang sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya. Masyarakat adat Dayak Kanayat yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis, bunyi’an, antu, sumangat urakng mati,
dan JUBATA. Kedua alam khidupan ini dpat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyatan dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka (Dayak Kanayatn) telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut ADAT.

Sekedar untuk diketahui seperlunya bahwa yang tergolong ADAT di kalangan Masyarakat Adat Dayak Kanayatn antara lain:
- Peraga-peraga adat, lambang, dan simbol-simbol
- Bahasa, seni, dan budaya adat
- Hak-hak kepemilikan adat
- Kearifan-kearifan dan keyakinan adat
- Adat-istiadat dan hukum adat
- Upacara-upacara adat.: Upacara-upacara adat adalah kegiatan ritual bagi masyarakat adat dayak Kanayatn untuk berhubungan dengan Jubata.

Masyarakat Adat Dayak Kanayatn sangat yakin bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari Jubata. Jubata sebagai Pencipta, dan Pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata maupun di alam maya dan karena itu dikalangan masyarakat adat Dayak Kanayatn Jubata sangat dihormatai, dimuliakan dan diagungkan. Jubata diyakini pulas sebgai yang sangat baik, sangat murah hati, sangat adil, tetapi tidak segan untuk menghukum perbuatan-perbuatan yyang jahat. Mari kita simak beberapa kalimat dan penggalan kalimat yang mengungkapkan hal-hal di atas:
- Jubata nang baramu’ ai’ tanah, Adil ka Talino, Bacaramin ka Saruga, Basengat ka Jubata, Samuanya baranse’ ka Jubata.
- Jubata ina’ munuh, Jubata ina tidur, Jubata ina Bengkok.
- Labih adat Jubata bera, kurang adat antu nuntut. Adat manusia sakanyang parut, adat Jubata sapatok insaut, dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang menyatakan hal tersebut. Jubata sebagai pencipta dan pemelihara segala sesuatu itu oleh Masyarakat Adat Dayak Kanayatn disebut pula Jubata Tuha, yang dijabarkan dengan bahasa sederhana sebagai berikut: Ne’ Panitah, Ne’ Pangira, Ne’ Patampa, Ne’ Pangadu’, Ne’ Pangedokng, Ne’ Pajaji, Ne’ Pangingu. Hitungannya ada 7 (Tujuh), dan senantiasa diperingati pada setiap upacara ritual adat oleh Panyangahatn (Imam Adat) dalam Bamangnya sebagai berikut: Asa...dua...talu...ampat...lima...anam...tujuh, agi’nya koa....dst. Untuk menghadirkan atau (lebih tepat mengundang) Jubata untuk hadir pada setiap upacara ritual adat yang dilaksanakan, panyangahatn melakukan beberapa hal misalnya:
- MemanggilNya dengan suara jelas dan lantang Ooooooooooo Kita’ JUBATA.....dst..dst.
- MemanggilNya dengan perantaraan Bujakng Pabaras, yang dilambangkan dengan menghamburkan biji beras yang utuh sebanyak tujuh biji dengan bamang sbb: Aaaa....ian Kita’ Bujakng Pabaras, Kita’ nang ba tongkakng lanso, nang ba seap libar, ampa jolo basamptn, linsode batinyo saluakng jannyikng......dst.
- MemanggilNya dengan bunyian Potekng Baliukng sebanyak 7 kali


United We Win: ‘Reflections and Recommendations on the LSM Inter-Struggle Phenomenon in Kalbar’

By Yohanes Supriyadi


Foreward
Two days ago in a meeting with several welfare workers, we discussed the non-governmental organisations (NGOs) phenomenon in West Kalimantan (Kalbar). These NGOs, more commonly known in Indonesia as Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) were facing numerous obstacles due to categorisations of ethnicity, programmes and others. Having worked as activists for three years, they voiced concerns at troubles affecting the local LSMs.
“I am worried as they are always competing with each other like politicians. Victims are almost always the new and small LSMs, as well as the local community the LSM approaches,” said a worker.
Lamenting this unfortunate incident, he was disappointed that the local LSMs would compete against each other to obtain funds from donors. The LSMs even alleged they were much better, more credible and therefore worthier of donor’s support.

This guy’s criticism strong criticisms certainly surprised me. Silently sipping our cold coffee, he continued voicing his displeasure. “The most shocking revelation is that they seem bent on destroying each other, they do not even work as a unified body but compete aggressively to seek donor’s contribution. Small personal grudges get out of hand and seep into the LSM bodies to become bigger disputes,” he said. Having studied outside Kalimantan for several years, this LSM worker added that these personal quarrels between LSM activists would become a tool to destroy other LSM bodies.
“This is dangerous for the welfare movement in Kalbar,” he said. Four days after the meeting, I sought out other LSM activists at a local coffeeshop in the city centre. They were heatedly discussing important concerns, especially those affecting the governor’s office, criminal cases as well as problems affecting urban society.

I listened intently as they debated necessary solutions, including plans to meet up with the respective parties to discuss these problems. Making coffee shops as their base, the activists’ actions give rise to the term ‘kopi pancong’, whereby they would sit from coffee shop to coffee shop the entire day to discuess these ‘important’ issues. Strangely enough, the only things I have heard them discuss is their wide-spread influence, especially having ‘important ties’ to local governing authorities, journalists and LSM notaries’ act. At the same time, not having a permanent office they may be using their manager’s home address for correspondence.

It is such outlandish pratices that urges me to find the truth about LSMs in Kalbar. Are they really in such a sad state? Do the LSMs care for the local community, or are the people just pawns in their bigger plan to get more aid from local authorities and overseas’ donor bodies?

Who are the LSM?
Nine years ago, in a tiny workshop in Bogor, West Java, I met up with the late Mansyour Fakih, one of the LSM founders in Indonesia. During the discussion that ensued, comments were made by consultants on several of the LSMs. According to Mansyour, the term LSM used widely in Indonesia was coined to replace the term Non-Governmental Organisations (NGOs).The use of NGOs had received negative feedback, and had been misinterpreted as being anti-establishment. It was not accepted by the new order regime (ORBA) then, hence the introduction of a new term, LSM, in the early 1980s. It is only now (2000s) that some LSMs realise the importance of the NGO term, especially regarding issues against the government. Despite the realisation, the LSM term is very much in use at meetings both formal and informal, discussions, seminars, workshops, as well as press conferences.I learnt of the LSMs in Pontianak during my university years in 1996. Through readings, observations as well as personal involvement further strengthened my resolution to make LSM as ‘the preferred career choice’.

I believed that LSM is a professional organisation because those running it are professionals. Hence, in 1997 with eight other friends from several rural areas in Kalbar, we established another LSM body called Kelompok Studi Mahasiswa Borneo (Kostma Borneo) or the Graduates Study Group Borneo. Though it all started in a small rented room, the LSM provided us with an escape from cruelties of the security forces since the influence of ORBA was very much influential at the time. It is well known that LSMs are established with many ideals, to create a spirit of philantrophy and altruisme. Philantrophy refers to ‘a love amongst humankind while giving to the needy’, while altruisme refers to ‘empathy to the causes of others and humanity.’

Therefore, programmes or activities by LSMs should be in tandem with ideals materialised in its vision, mission and objectives; or more commonly known as moral values. The ruling body of the LSM also has many versions, though LSMs are not similar to associations. As a rule, an association is a ruling body chosen by LSMs.
Furthermore, not all associations are categorised as LSMs and not all LSMs have the same rulings as associations. Some LSMs also have their own set of rules and groupings. Moreover, LSMs were established to benefit the public, which differentiates it from other organisations. Other organisations may have limited interests, including safeguarding members’ welfare. An example is Yayasan Kostraad (Kostraad Association), established to look into the welfare of Kostrad members. Another example is Yayasan Karyawan BULOG (BULOG Workers’ Association) and other bodies established for the mutual benefit of its members. LSMs are also identified as several associations or body in the community that legally are not part of the establishment (non-government) and are non-profit. They are unlike other establishments with profits (dividends) that are divided amongst founders or managers. In the three sector model of modern human living, LSMs are placed in the third sector as civil society. The other categories are state (first) and the market (second). (For full listing read Mansyour Fakih: 1996)

LSM PHENOMENON IN WEST KALIMANTAN
Ever since my student days, I recognised only a few active LSMs working to ‘better the community.’ They worked with religious bodies and would carry out various community projects. The LSM activists lived in Pontianak. In Kalbar, there is one renowned LSM which was established since 1981. It has the support of teachers, lecturers, as well as Dayak civil servants in Pontianak. Some of the early projects carried out by the LSM was to build schools. With excellent networking, the LSM received encouraging support of national and international LSM bodies, especially for its human resource (SDM) capabilities. It further extended its programmes to rural villages.

As part of its goal to become the sole authorising body in Kalbar, this LSM then established other LSM ‘children’, the term of which in government institutions would be sub-units. Each LSM sub-unit is headed by a Director/Coordinator. The difference between the two is that the establishment of these LSM sub-units stand alone. Despite this, in its efforts to find support from donors it would form partnerships with others. It would tackle a variety of issues affecting communities, human rights, managing natural resources, forestry, agriculture, law advocate, conflict resolution and reconciliation, economic development, cultural observations, media, magazines, radio, and television. This makes it ‘the largest’ LSM ever established in Indonesia.

At the time (1980-2000), the Dayak situation in Kalbar was also depressing. They were knee deep in problems, and were without resources. Though they are the largest racial group in Kalbar, they did not receive aid. This is one of the reasons the LSM activists made the rural Dayak community their target group of the LSM programs. A senior LSM activist pointed out that being an activist at the time of ORBA was very challenging. Despite the challenges, this made them even more determined to overcome the various obstacles. (Don’t the forbidden become more challenging, and spurs people into carrying it out?) The Dayaks were also not accepted as PNS members, so they became LSM activists. Those that excelled during the ORBA era subsequently became leaders in their own right. It is clear, then that the LSMs became the only gateway during ORBA for the Dayak community to continue existing. Its leaders too, became well-known.

The presence of the LSM activists in the villages were accepted by the community and at the same time, despised by the local leaders. They were known as many things; as orators to provocators. At the same time, some of them became a ‘stepping stone’ for the villagers to communicate with the district offices. Programs carried out by these LSMs were to teach villagers to think critically. Slowly, a new wave of thought began to emerge from the Dayak community. One positive aspect is they become more confident resulting in the increased capacity of the Dayak SDMs. The Dayaks are aided by the LSMs and religious bodies to build schools. At the same time, another LSM sub-unit would organise its own scholarship programme. Until today, more than 200 students have benefited from the scholarships given. It is now evident that there more and more capable Dayaks in many sectors of society.

From the years 1980-2000, the macroenomics of the area began developing rapidly, as well as rural infrastructure became much better. Many Dayaks too, had the opportunity to enter universities and to become leaders at the district as well as provincial levels. However, these LSM activists still held the opinion that as a result of the development, the Dayaks, known for their fierce pride, land and identity were in danger of modernisation. One of the contributors to the change was the investments of global corporate companies opening plantations at the villages where Dayaks worked.

An ex-activist of LSM, who is now a manager of a political party, pointed out that there were many reasons for the LSM activists to increasingly help in creating awareness among the Dayak community.A result of such awareness is the agreement by LSM Dayaks on usage of the word ‘Dayak’. Prior to this, there were many versions on the use of the word in literature such as (Dyak, Dajak, Daya, Daya’, among others). It was only after the Dayak Cultural Congress in 1992 that writings began using the word ‘Dayak’. The usage of the word Dayak then became widespread through books, observation reports, magazine and much more by LSM activists.

It was like a spell had been cast over the Dayak community that unconsciously increased the ethnical awareness of the Dayaks to ‘free’ themselves from being bullied, ignored and ostracised in their own land. At times, these movements seemed out of control, raising fear among other ethnic immigrants. Despite this fear, the main objectives of the LSM activists to empower the Dayaks were a great success.
These LSM activists, who are mostly in the middle to upper class levels, educated and confident, frequently visited the villagers to bring critical insight. It is through these visits that the Dayaks become more confident in their strengths. They become aware that they were threatened in their own land; fear that their identity as a race would disappear as well as other issues. It is then that the Dayaks became more open. The outside world came into the community, and they joined the world community.

Their success became a catalyst for young Dayaks to continue increasing the SDM capacity. Although the number of Dayak intellectuals is still relatively low (approximately 1 % of the total Dayak population), it has managed to instil ‘pride in being a Dayak’.It was at this point that I understood significantly the dissatisfaction amongst the Dayaks with the situation; attached to it a fear of losing their identity in their own land, frustration with the system and power. This resulted in their fury at other ethnic races regarded as their closest physical threat, events which were to be repeated over the years.I was an eyewitness to the Dayak fury in 1994, 1987, 1996, 1997 and 1999 of conflicts between ethnic Dayaks (and Malays in 1999) with ethnic immigrants resulting in deaths and loss of property, the biggest in the history of conflict ethnicity.In a few of my writings, since the 1980s, it was mentioned that many of the LSMs had already concentrated on efforts to reduce poverty. The involvements of these LSMs were through empowerment and development programmes in the community that had been arranged by the LSMs with funds from donors.

This was made possible by the change of attitudes among donor bodies. It provided a platform for the LSMs to become involved in programmes organised by the Indonesian government, especially programmes with objectives of reducing poverty in Kalbar.
Today, their work to reduce poverty is known as community economics with a system best deemed as ‘old style, new faces’. The LSM managers became richer, while followers of the system were still poor. There is no concrete yardstick as to the number of people in Kalbar that ‘became rich’ because of the LSM programme, but the obvious is that its members were still languishing in poverty. There is a saying that describes this: ‘The poor save money but the fund managers enjoy the poor’s money’.

Of the total, 70,000 members (2007), approximately 1% have benefited from the program, while the others are still poor. However, this system is touted by the LSM activists as the best sistem amongst the other monetary systems in the country due to evidence showing the poor becoming richer in Kalbar. Contradictory to this is that, although those involved in the programme are from villages and cities, they are already stable economically. These include civil servants, private sector workers (companies) and shop owners in villages.“To have money, one has to put in Rp 1 million, and to me this is unreachable for the poor,” said a friend. He also pointed out that to borrow money was also difficult for the poor, especially when their savings are still low. From my friend’s statement, those able to make loans are actually government servants, the army (Tentera Nasional Indonesia)/ police (Polis Republik Indonesia), small and medium businesses as well as LSM activists who handle members’ accounts. Furthemore, the activists get special privileges; they get big loans with small interest. One common public secret since 1980, is that these LSMs had to accept the government’s decision especially in the ‘invitation’ of investors to Kalbar. On some notes written by the LSM, it was mentioned that in the 1960s, timber companies began to operate and exploit the forests in Kalimantan, where the Dayaks call home.

On a recent poll conducted by the Forest Clearing Rights (HPH), it was found that hundreds of businesses operated without cease, the last noted was in 2000. In early 2000, a new programme emerged, the 100 hectares Forest Clearing Rights (HPHH 100 Ha). Rights for the programme were through cooperative iniative with Bupati/Mayor’s permission. Unfortunately, this was only a camouflage for the HPH programme which initially ended in 1999, when its concessions ran out.It was therefore at the end of the 1990s, the local community cut trees on a large scale especially at Dayak villages. This benefited local merchants whom were given a little investment fund. As a result, hundreds of tembawang and kompokng (wild forest fruit) as well as thousands of tengkawang trees were damaged and vanished. Today, not many villages are able to defend the tembawang forests and kompokng fruits from the hungry jaws of the chainsaw machines. The vast agricultural land in Kalbar was also cleared with support from the local government (Pemda Kalbar), using local authority orders (Peraturan Daerah No.8/1994) with emphasis on plantations. This was further supported with guidelines on Kalbar Provincial Land Use (Peraturan Daerah No. 1/1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Kalbar (RTRWP)).In the RTRWP, it is mentioned that land amounting to 5.257.700 (5, 257,700) hectares would be provided for plantation purposes. Until Disember 2000, benefits of the land expansion in Kalbar reached 3.560.251 hectares (68 % of 5, 2 million hectares of land suggested). Pemda Kalbar’s efforts were to replace wood as an export commodity since productions dwindled in 1990s. This prompted the LSMs to campaign on another natural resource which would be long-lasting/conserve the environment.

Critiques to LSM Kalbar Today
Ethnic violence which occurred in the middle of 1980- 2000, may have been unconsciously as a result of LSM activities to organise the local communities through analytical education. LSM activists, in their statement pointed out that change of attitude in village communities to the status quo, resulted in fear of change which in turn created and developed roots to violence. As a result of ill-prepared techniques in handling management conflicts by the LSM, communities close to them fought their way with violence. This then became the tool for those receiving ‘empowerment’, as a means for protecting the community from investors to the area.

As an example, in the 20 years from 1980 till 2000, episodes of violence occurred between Dayak villages with businesses, security forces; inter ethnic, which resulted in many lives and properties lost on both parties. The burning of a building in the office complex of the LSMs in early 1997 caused the rural Dayaks to be angry. In a short period, hundreds of ethnic Maduras were forced out from the interiors of Kalbar. Who benefited from the situation? Other facts stated that the local community exchanged blows with businesses, which received support from the local security forces and military. It was then that the LSM activists working on social issues to help the local community fled from the scene and ran back to the city.

The LSMs avoided the attacks and conflicts between the local communities and merchants. In such situations, LSM activists can always run from the scene as they have the means and outside friends to aid them. However, the local community cannot easily run away from their villages as they do not have money or friends from the outside world. I am saddened by this, as almost always, the LSMs would leave the community to fend for themselves when conflicts arise between the community and merchants. Has the LSM then become a provocator for the events?

Another interesting phenomenon occurred in 2005, when the Dayak LSM opened its doors to LSMs established by non-Dayaks in Kalbar. The Dayak LSMs would invite the other LSMs to establish an alliance. This resulted in several LSM alliances carrying the main theme of reconciliation and peaceful development. The target groups also diversified, with participants from Dayaks, Malays, Javanese, Madurese, Bugis and other ethinicities. Or was this alliance necessary, because Dayaks were no longer an interesting issue that could be sold solely on its own merits?

Some of the small LSMs established by the Dayaks since 2000, differed from those Dayak LSMs established in 1980 as the newer LSMs practised the concept of inclusion-pluralism consistently in their writings. This may be due to feedback from the LSM phenomenon above especially since its existence is widely felt in Kalbar. LSM movements have been expanding alternative teachings to children in the rural areas, by setting up formal schools such as primary school/SD (2002), secondary school/SMP (2003) and SMKejuruan (2003). In 2007, the LSM worked with several LSMs to establish a teachers’ training college. Although the LSM is organised by the Dayaks, it is no longer ethnocentric towards the Dayaks, but sees them in the context of pluralisme and multi-cultralisme. These LSM activists live in villages, and also in towns. This differentiates it from other LSMs that have been in existence since the 1980s.

LSM Practical Politics
Change in the political landscape, with the establishment of law number 32, 2004 (UU no 32 tahun 2004) gave the choice of choosing a district head directly to the local community, is an interesting issue especially from the LSM perspective. Since 2005, LSMs in Kalbar shifted their focus from advocacy, and aiding local community (1980 – 2004) to politics (2005 till present). Yet again, the activists became politicians.
During the 2004 elections, LSM activists joined several political parties. Some of them became managers of political parties, an action in the past that was widely criticised by those in the LSM. They targeted specific government departments at various levels. The results? You can guess they lost. Yes, once again, they lost!

It is interesting to note that the failure of these LSM activists in the political arena (election of the head district/Pilkada) proved yet again that their work in organising the community had failed. Maybe the community felt that the LSM activists were not yet qualified to becometheir local leaders.The most important thing that the LSM activists should have done was weigh the conditions and facts, while reflecting the situation to gauge the community’s belief in their work. Therefore, claims that they have been working for the local community, can no longer be allowed.

LSM Coffee Shops and Newspapers
Although there are a huge number of LSMs out there that are actively functioning as LSMs, those in the city are another matter.According to the Racial Unity and Community Well-being (Kesbanglinmas) provincial data 2007, in Pontianak, the provincial capital of Kalbar, there are more than 400 registered LSMs. The LSM boom in society especially those that seek to gain politically or economically, can and will destroy the image of LSMs in Kalbar.Moreover, this so called image can be used by other bodies; governments, legislative, judiciary as well as political parties to attack or discredit legitimate LSMs. This may destroy the LSM relationships between governments and donor bodies.

The LSM community has also critically voiced their displeasure at corruptions, collutions and nepotisme with governing authorities, which have found their way into the media. This becomes a ‘shock theraphy’ to offices not wanting to give projects to the LSM. Once the projects are awarded, the LSMs will stay silent. This sort of situation will taint the image and integrity of the LSMs as a whole, especially as they have been known to practise ‘double standards’. One of the reasons is due to the lack of moral norms that have been agreed amongst the LSMs that can be accepted as a guideline for LSMs actions’ in Kalbar.

LSM “Pendek Tongkeng” (sulk)
There are LSMs in Kalbar that practise the concept of “pendek tongkeng”, a term used by community in villages to refer to someone who is always angry and upset when others do not agree with their ideas. These LSMs do not wish to learn, do not wish to know and forget their duties. These LSM activists also become managers of political parties. As they are active campaigning, they clash with other LSMs and do not meet. Moreover, they spread negative campaign. When overseas donor come to Kalbar, these pendek tongkeng LSMs will usually show their true colours, praising their LSM as the best and that other LSMs are not as good, and should not be supported.

They also claim that other LSMs in Kalbar are too small, and thus not fit to be working with them and many other negatitive reasons. Unfortunately, these international donors believe in these arguments as the truth. Hence, the small LSMs usually lose out to the ‘superiority attitude’ adopted by the big LSMs. The activists are akin to Gods and are not to be blamed. If their work fails, the small LSMs have to bear the brunt of the blame. Ideas of the small LSMs are often stolen; they do not even appreciate the term ‘intellectual rights’.

One of the worst incidents will occur when the LSMs battle over politics. At one time, there was an LSM activist who sought power through the head of district elections.Other LSM activists did not support the person as he was said to be too self-centered and arrogant. When the person loses, other LSM activists would become their enemies.Political differences become taboo and are not understood by the LSM. This differs greatly from what they have been teaching the local community about democracy, human rights and other theories.

Today, LSMs in Kalbar have not begun to think of their own code of ethics. They are prone to blame the authorities and investors. I suggest that in the light of the present situation, moral ethics should be upheld not only within the LSM bodies but also to the outside society. These can be the authorities, donors, public sector as well as communities participating in the programme as well as the public at large.
The LSM should also promote its vision, mission and values so that the outside society can also accommodate them. Within the LSM community, these values should be upheld so that it should not be destroyed by individual interests that can and will destroy the integrity and credibility of the LSM, which in turn creates a negative image of the LSM. At the end of the day, the LSM activists are the ones who can prevent power abuse.

FINDING A WAY OUT
The conditions mentioned above (LSM pendek tongkeng, LSM practical politics, LSM coffee shop and newspapers, and others) if allowed to continue will destroy the social movement in Kalbar. The community, authorities, investors and international donor bodies will no longer place their trust in Kalbar LSMs. Who will they place their trust in when the LSMs in Kalbar are continuously in conflict?

One solution is to organise a Kalbar LSM Congress. Two agendas that can be addressed include: (1) Summarise and Agree on a Code of Ethics for LSM:The code can be agreed upon, implement and observed together. This can bring many benefits to the LSM community besides developing the integrity and credibility of LSMs to the outside community. Outsiders would also notice that the LSMs are sensitive to their actions and not use ‘double standards’ when carrying out its activities. Another factor would be global developments. The existence of a strong LSM (one that has been set up voluntarily, not profit oriented, independent from authorities, run transparently, democratically, accountable for its own actions and orientated towards society’s needs) has long been implemented by many in the international world such as government authorities, donor bodies as well as international NGOs.

In the last few years, funding agencies have increased their aid to the LSMs. Donor bodies have also expressed to governments, that it is important to involve LSMs in the design, planning and implementation of development projects by developing positive participation. Government of countries given loans are also asked to create a condusive environment for the development and growth of LSM by having laws that would encourage the LSMs to increase their contributions to national development.

One of the aspects monitored by the international world is good governance. Some translate this as having good leaders and good governments. In reality, the meaning has a wider scope to include the public (corporate governance) as well as organised civil society (including LSMs). One aspect under scrutiny from donors is that good governance should exist within the LSMs. They should work professionally, with transparency and be more accountable. If there are interests with outside parties, there may rise conflict of interests between LSM advocates with LSMs actively involved in the development of social and economics in society.

In their involvement handling projects sponsored by the government, for example development LSMs can spread the idea that everyone has the right to be involved in the development as part of basic human rights that can never be relinquished. Everyone, whether as an individual or collectively can contribute to social development, economics, cultural and politics of his country. It is with such values in mind that the LSMs move in tandem with developments in society as well as upholding the right to be involved in development programs as mitra pemerintah equivalent to having rights and access to funds without sacrificing their autonomy or indepence. On the other hand, LSMs moving towards advocating change usually avoid government projects so that their involvement would be free from the hassles of governments. The outside world is rapidly changing, and many are jumping on the bandwagon so as to not be left behind. What about the LSMs in Kalbar?

I suggest that the quarrels between the LSMs, due to difference in opinions should be settled once and for all.LSMs should be an example for Kalbar citizens to tell them that differences are gifts, and should not be defeated. LSMs should also learn from multi-ethnic societies in Kalbar that have been living in peace and harmony. LSM in Kalbar should understand that outside influence cannot be defeated if the small groups of LSMs present are ever warring. A strategic alliance should exist, so that the ecology of Borneo is also safe. All these years, the LSMs have been working on their own; this goes the same for economics LSM and conflict resolutions LSMs.

If they come together, they can work for a greater Borneo and save Kalbar from greater destruction as well as work in tandem with the local community. One of these is that the LSM Kalbar needs to have a congress and outline and agree on a code of ethics (1), to create a unified agenda to save Borneo from conflicts amongst ethnics (2) and to attend to conflicts arising from the collection and expansion of natural resources by multi-national organisations in Borneo (3)This should also include agreements by the LSMs to create awareness during legislative campaigns, as well as the Presidential campaign in 2009 and local elections. Without this, LSMs in Kalbar are only self-sufficient and cannot fight equally if they do not co-exist peacefully with other LSMs.

The second agenda: reconciliation and regeneration of LSM activists.
The futile struggle between LSMs to vie for international donor bodies, political parties and others would only destroy the viability of LSMs in Kalbar. Nobody ones, the ones who do benefit are the investors who destroy the community organisers, corruptors, human rights violators and others. Today, young LSM activists are not given the opportunity by seasoned activists to move forward in politics, leadership in LSM and others. Young activists are indoctrinated to only carry out work, while the older ones become the brains of each step made.

It is no wonder then, that LSM programs are still very much the same and has yet to develop further. In my opinion, changes in the agenda should be carried out by young activists. The old ones should retreat from the LSM world so as to pave regenerate new activists and not to become a polarised ORBA. Let the young do the work and fate of future Borneo. The old ones should rest and take time out for their grandchildren, let the young ones move forward, don’t you agree?

Pontianak, mid- April 2008.









 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons