Sulit menjadi pejabat di perguruan tinggi dalam negeri, ternyata ada orang Landak yang dipercaya menjadi seorang Rektor sebuah perguruan tinggi diluar negeri. Adalah Sr. Xaveria, SFIC, biasa dipanggil Arpina. Sejak 2003, ia memimpin sebuah kampus bernama The Teresia van Miert Development Centre (TMDC), di Nairobi, Kenya, Afrika Timur. Siapakah Suster Xaveria ? Bagaimana Suster ini bisa memimpin kampus diluar negeri ? beberapa bulan lalu, team Simpado berhasil mewawancarainya di Pontianak dan di Nangka-Menjalin. Berikut petikannya.
****
Orang Kenya memanggilnya muzunggu. Dalam bahasa Kiswahili, muzunggu artinya kulit putih. Suster ini memang berkulit putih.Walau kini sudah mulai sepuh, tapi sisa kecantikannya belum pupus. Di biaranya di Kenya, ia biasa disapa Kak Save oleh para juniornya. Sejak tahun 2003 Arpina memimpin sebuah kampus bernama The Teresia van Miert Development Centre (TMDC), di Nairobi. Dia putri Dayak Kalbar pertama yang dipercaya menjadi Rektor sebuah collalge di negara kawasan Afrika Timur yang berpenduduk 38 jiwa itu. Kesetiannya membiara dan hidup untuk melayani sesama, terutama bagi orang miskin dan yang menderita telah membawanya melenting jauh hingga ke negeri yang hanya pernah dia kenalnya dalam peta, yaitu ke sebuah kota yang oleh suku Maasai dijuluki sebagai Ewaso Nai’beri, yang artinya negeri air dingin.
Tahun 1993 kongregasinya mencari siapa suster yang bersedia dikirim ke luar negeri, persyaratanya sangat berat. Ia sendiri tak yakin bisa lolos, tetapi bukan Arpina namanya jika tak berani mencoba. ”Walau sebenarnya saya tak tahu apa yang harus dilakukan, atau dikerjakan disana?” kenang Arpina. SFIC didirikan di Belanda pada tahun 1824. ”Suster itu seperti tentara,” artinya siap ditempatkan dimana saja. Ada yang melayani di dalam negara, ada yang di luar Negara” lanjutnya. Tahun 1993 orang Kalbar pertama yang ke Kenya adalah Sr Sabina, asal Kuala Dua, Jemungko, Kabupaten Sanggau. Kini, Arpina hanya bisa pulang tiap 3 tahun sekali. Tahun 1997, Arpina berangkat ke Fillifina, tinggal selama 1 bulan disana untuk mengurus visa. Lalu diberangkatkan ke Kenya, untuk bidang pendidikan. Mula-mula tinggal di Kenya, ada rasa rindu pada kampung halaman, tetapi lama kelamaan suster ini bisa mengatasinya. “ apalagi kami selalu sibuk oleh pekerjaan” ujarnya. Misi kongregasi SFIC memang melayani orang kecil dan orang yang menderita. Selama di Kenya suster terbiasa makan, makanan kenya. “makanan khas Kenya yaitu Pisang, Ubi Jalar di asrama, minggu minum susu segar, lalu Gideri (jagung tua dan kacang merah bumbu tomat dan bawang” lanjutnya. Menurut alumni SD Raba ini, bayi orang Kenya hanya diberi ubi jalar. Capati, makanan khas orang india, ini sama dengan roti canai di Indonesia. Ugali, jagung digiling. Yang boleh dimakan hanya ayam, sapi domba, kambing, yang lain tak boleh.
Sebelumya Arpina dikirim ke Tanzania, kos di Merinol lingguage Centre, biara SFIC, selama 4 bulan untuk belajar bahasa Kisumaluli. Awalnya mendampingi sekolah tersebut hingga 2003. Setelah itu baru dia dipercayakan menjadi pemimpin di kampus tersebut. Menurutnya, sistem pendidikan di Kenya mengadopsi sistem Eropa. Libur 3 x setahun. Yaitu Arpil, Agustus dan September. Tapi pada 26 Desember ada hari libur khusus yang disebut boxing day. Day School seperti di Indonesia tak laku di sana. TK masuk jam 7 pagi, pulang jam 4 sore. Siswa-siswi hari minggu pun tetap pakai seragam, walau tidak sekolah. Anak kelas 7-8 wajib les. Untuk yang SMS, kelas 3-4 Wajib Les. Suku Masae adalah suku nomaden. Mereka biasanya sekolah di informal school. Jika sudah bisa menyesuaikan diri baru masuk ke sekolah formal.
Kini, Arpina diangkat menjadi Rektor di Collage The Teresia van Miert Development Centre (TMDC), Kenya. Kampus itu berdiri pada tahun 2000, dan lebih focus ke bidang budi pekerti, Di belakang kampus ini adalah Slam’s Kimbera, (kawasan kumuh terbesar kedua di dunia) setelah Soeto, Afrika Selatan. Lebih dari sejuta orang tinggal di kawasan itu. Kawasan ini masih merupakan kawasan pemimpin oposisi Raila Odinga yang memberontak karena kalah dari Presiden Mwai Kibaki pada Pemilu 27 Desember 2007 lalu. Didirikannya collage TMDC ini karena di Kenya tenaga kerja praktis seperti tata boga, perhotelan dan lain-lain itu sangat dibutuhan dan tenaga kerjanya mudah terserap. Baru magang saja gajinya siswa-siswinya sekitar 15 Shilling, atau sekitar Rp 1, 5 juta.
Suster yang terampil berorganisasi ini bercerita, 2,1 juta orang Kenya mengidap HIV/AID. Setiap bulan 700 orang meninggal, tapi menurut laporan para LSM di Kenya, bisa mencapai 1.000 orang. “Faktor penyebab, adalah poligami (klan), single parent, dan anggapan, kalau kami mati kena malaria, mengapa tidak mati kena HIV saja” ujarnya. LSM banyak dan diberi pengobatan gratis. Banyak valounteer (relawan) bekerja disana. Saat ini hanya yang berusia 60 tahun ke atas yang tidak terinfeksi HIV AIDS, ada kampong nenek. Yang hidup disana hanya nenek-nenek dan cucu-cucunya saja. Orang tuanya sudah meninggal semua. Sumur bor yang dipakai disusteran itu dalamnya 330 m, dibor selama setengah tahun. Kenya hanya satu pulau, merdeka tahun 1965 dari penjajahan Inggris. Keladang, penjual jagung baker di kaki lima kota pun pakai dasi. Demikian juga supir. Supir susteran, orang Kikuyu. Orangnya jorok, ada yang disebut flying Toilet. Jumlah suster Misionaris di sana : 17, dan 8 Junior, 1 novis. Cukup banyak suster Indonesia asal Kalbar di Kenya, mereka adalah Suster Sabina tahun 1993, Suster Yuliana Oyem tahun 1996 dari pusat Damai (Bidan), Arpina 1997, Suster Silvi dari Pontianak 2000 dan Suster Ruth dari Kayu Tanam, Mandor 2007. Diseluruh dunia, jumlah Suster SFIC tidak kurang dari 2000. Kalau sudah 10 tahun bertugas, menurut statuta atau peraturan kongregasi, diperkenankan untuk pensiun dan kembali ke tanah air.
****
Satina, kakak Arpina bercerita, Arpina ini adik nomor 4 dari 9 bersaudara. Sejak melihat 6 orang suster belanda dari menjalin datang ke Raba berjalan kaki, Arpina terpesona. ”Kade dah ayak anak, aku jadia suster ugak,” kata Arpina kecil. Waktu itu dia masih duduk di kelas 1 Sekolah Rakyat. Sifat Arpina, agak pendiam tetapi keras hati. Tak jarang ia ribut dengan sang ayah, karena ia tak mau dibantah. Satina dan Arpina berangkat dari rumah pukul 6.30 WITA, masuk jam sembilan lewat. Dari kampung Nangka untuk sampai ke sekolah harus melewati 3 kampung yaitu Gonyel, Konyo, Kaca’ barulah Raba. Pulang sekolah pukul 2 siang, dengan perut keroncongan. Tak jarang di perjalanan singgah dulu mencari nanas hutan, buah Satol. Waktu itu Satina telah kelas 4, sedangkan Arpina masih kelas I. Arpina paling menonjol pelajaran agama. Tiap hari minggu ia tak pernah absen ke gereja walau jauh dari kampung. Padahal ketika itu ia belum dipermandikan sebagai seorang katolik. Saat itu yang bertugas di Raba pastor oktavianus, Fidolinus Heliolinus (Belanda). Arpina baru dipermandikan setelah Sekolah Kepandaian Putri (SKP) di Nyarungkop. ”Saya masih gadis, dia sudah menjadi suster” cerita Satina. Ketika itu kira-kira tahun 1964. 6 tahun tak pulang ke kampung. Waktu dia pulang, pun hanya dapat izin 6 hari saja. Arpina kecil rajin mencari jinton (kulat karet). Kalau adiknya bermain-main saja, dia akan marah. Kalau datang libur seperti natal yang lalu, di rumah dia rajin memasak, masak ala Kenya. Untuk menyekolahkan adik-adiknya Satina memotong getah. Karena untuk Arpina melanjutkan sekolah ke SKP, Bucen harus membayar Rp 25 per bulan. Waktu SMP meningkat Rp 75 perbulan. Waktu itu harga karet Rp 2 per kilogram. Harga Jinton setali. sehari Satina bisa mendapat 7 kg karet.
Arpina adalah anak pasangan Bucen dan Maria Tukan. Keluarga Bucen adalah petani sederhana. Tetapi soal pendidikan bagi anak-anaknya adalah hal utama. Apalagi Bucen termasuk tokoh, karena memangku jabatan sebagai Kabayan untuk wilayah Nangka dan sekitarnya. Jabatan itu sebenarnya warisan dari Girok, ayahnya yang juga Kabayan. Jaman sekarang, Kabayan mungkin setara dengan jabatan Sekretaris Desa. Dalam keluarga, Arpina dipanggil We’ Dara. Hampir setiap hari Arpina dan Satina, kakaknya menempuh perjalanan yang sama. Sekolah bagi Arpina kecil bagaikan sebuah dongeng. Dia sudah tersihir dunia pendidikan sejak pertama kali masuk SR (sekolah rakyat) di Raba. Untuk tiba di sekolah memang tidak mudah, anak-anak Nangka dan kampung sekitarnya harus melintasi kampung Gonyel, Konyo dan Pelades Kaca terlebih dahulu. Tiap pagi Arpina dan Satina berangkat pukul 6.30 dari rumah, bersama anak-anak kampung lainnya. Mereka masuk pukul 09.00 lewat. Pulang pukul 2 siang, kala perut sudah ’keroncongan’.
Satina kerap mengajak Arpina singgah di pinggir hutan, menyelusup ke semak-semak mencari nenas atau Buah Satol untuk mengganjal perut. Buah satol adalah sejenis manggis hutan. Mereka adalah anak petani yang terbiasa survival tanpa mengeluh. Di kiri kanan jalan menuju sekolah, terhampar pemandangan indah, sungai-sungai kecil mengalir di antara sawah. Begitu pun kebun-kebun karet warga sebelah-menyebelah. Mayoritas penduduk kampung adalah etnik Dayak Kanayatn yang bergantung kepada getah karet dan sawah, termasuk Bucen ayah Arpina. Meski baru resmi menjadi suster sekitar tahun 1964, tapi Arpina kecil sudah tersihir oleh penampilan suster belanda yang datang ke Raba ketika itu. ”Saat 6 suster dari Belanda datang berjalan kaki ke Raba dari Menjalin, dia pun bilang ingin jadi suster juga jika sudah besar nanti,” kenang Satina. Padahal Arpina baru masuk kelas 1 SR ketika itu. Sejak itu Suster telah menjadi sebuah obsesi Arpina, dan ketika tumbuh dewasa, ia berkonsultasi kepada pastor yang bertugas di Raba kala itu. Antara lain Heliodorus dan Bos. Tamat SR, Arpina masuk Sekolah Kepandaian Putri (SKP) di Nyarungkop, setelah itu SMP Nyarongkop lalu SGA. Panggilan dalam jiwanya semakin kuat, maka dia pun memutuskan bergabung pada kongregasi SFIC. Mula-mula Maria Tukan agak kegeratan anak gadisnya yang cerdas ini menjadi suster. Dia tahu konsekuensi hidup menjadi suster dan tidak menikah untuk selama-lamanya. Tapi belakangan ibunya setuju, apalagi sang ayah juga memberikan dukungan. Enam tahun Arpina tak pulang kampung. ”Enam tahun kemudian, barulah dia boleh cuti. Itu pun hanya 6 hari, untuk melepas kangen kepada sanak saudara” ujarnya terbahak. Setelah itu ia masuk biara lagi, menjalani hidup yang ketat dan disiplin tinggi.Pendidikan suster menempanya sedemikian rupa. Karena prestasinya Arpina dipercayakan memimpin asrama putri di Nyerungkop, di Sekadau, Pusat Damai, Pahauman dan juga di Asrama Petrina Pontianak.(Edisi cetak, Tabloid Simpado, Edisi I/Juli-Labuh Singal/2009)
********
WANITA LANDAK JADI REKTOR DI KENYA
Yohanes Supriyadi
5 comments
5 komentar:
Tahniah untuk sister...
dan salam dari malaysia.:)
Senang melihat wanita yang berbudi luhur serta mengabdikan sebagian kehidupanya untuk agamanya, ini sebuah Karir yang patut untuk diteladani sebagai seorang wanita.
syalom..... GBU dari anak yesus di kab.landak
Tugas mulia Sang suster adalah tangan dari Tuhan.
Saya sangat bangga sebagai raktyat Kalbar, atas kepercayaan yang diberikan sebagai Rektor, tentunya tempaan dari kecil dan Iman dan tekat yang kuat juga. Dan saya harapkah generasi muda sekarang bisa mencontoh tekad sang Suster Arpina.
Amin.
Tugas mulia Sang suster adalah tangan dari Tuhan.
Saya sangat bangga sebagai raktyat Kalbar, atas kepercayaan yang diberikan sebagai Rektor, tentunya tempaan dari kecil dan Iman dan tekat yang kuat juga. Dan saya harapkah generasi muda sekarang bisa mencontoh tekad sang Suster Arpina.
Amin.
Posting Komentar