BINUA YANG TERGERUS ZAMAN ( 1 )

Oleh Yohanes Supriyadi

Saya menganggap semangat perjuangan masyarakat adat saat ini ( untuk kembali ke sistem pemerintahan binua=asal-usul ) penting, karena sebagai generasi penerus bangsa ini, selayaknya kita tidak MELUPAKAN SEJARAH !!!, Bung Karno, pendiri Negara RI mengajarkan kepada kita semua untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah. Benarkah kita telah melupakan sejarah ? Seperti yang kita ketahui, sejak tahun 2000, Landak telah menjadi Kabupaten otonom berdasarkan UU No 55 tahun 2000 yang diundangkan pada tanggal 4 Oktober 2000. Namun, diusianya yang kedelapan ini, kita masih saja bertanya-tanya, darimanakah istilah ini berasal ? Banyak versi darimana kata Landak ini berasal. menurut ahli antropoligis barat, yang telah berada ditengah-tengah pulau Borneo awal abad ke -19, istilah Landak berasal dari dua kata, Land dan Daya. Land artinya Tanah dan Daya artinya hulu. jadi, menurut mereka, Landak berarti tanah ( wilayah ) yang didiami orang-orang hulu ( baca;hulu sungai ). Versi lainnya Landak berasal dari nama binatang hutan, yang hidup dilobang-lobang tanah bernama Landak. Landak memiliki bulu yang tak lazim pada binatang lainnya, sangat tajam dan panjang-panjang. tidak heran, binatang ini ditakuti oleh binatang lainnya maupun pemburu. Banyaknya versi tentang darimana istilah landak berasal tentu saja mengkhawatirkan kita sebagai masyarakat adat yang hidup diwilayah Kabupaten Landak dewasa ini. Bukti diatas menyatakan kepada kita semua bahwa kita telah mulai kehilangan sejarah dan mungkin saja cerita diatas hanya segelintir dari bukti-bukti kita telah kehilangan sejarah. Kalau polisi menangkap calon tersangka/terdakwa berdasarkan bukti dan saksi, kalau Jaksa menuntut terdakwa/tersangka berdasarkan bukti dan saksi dan kalau Hakim menetapkan tersangkja/terdakwa berdasarkan bukti dan sakis. Terus, kalau pihak lain menetapkan kita sebagai masyarakat adat, apa bukti dan saksinya ?.salah satu bukti dan saksi bahwa kita masih bisa dikatakan sebagai masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun diwilayah itu adalah adanya tembawang/timawakng. Tembawang/Timawakng adalah bekas perkampungan zaman dulu. disitulah hidup nenek moyang kita, karenanya ia telah menjadi situs asli masyarakat adat. Tembawang bisa menceritakan kepada kita bahwa dulunya disitu ada kehidupan. Padahal, dari tembawang, kita dapat meneliti sejarah asal-usul keberadaan nenek moyang kita, untuk diceritakan kepada anak-cucu dikemudian hari Kini tembawang telah hancur dan nyaris hilang oleh tangan-tangan serakah. Yang menyedihkan adalah tangan-tangan serakah itu juga berasal dari anak-cucu dari pendiri, penjaga tembawang. Karena berbagai persoalan ( katanya ekonomi ), dimana-mana, kita tidak lagi menjumpai adanya tembawang yang masih asli dan utuh.

Bukti lain dari kita telah kehilangan sejarah adalah lenyapnya situs-situs keramat, misalnya Pantak, Padagi, Pantulak, dll. Hilangnya pantak, dll itu banyak sebab, ada yang dicuri untuk dijual kepada penampung benda-benda keramat/kuno, atau ada yang dibuang begitu saja karena telah memeluk agama “baru “ yang menasional dan menginternasional. kepercayaan asli dianggap telah kuno, kafir, penyembah berhala, dan banyal lagi tuduhan negatif lainnya. Padahal situs-situs keramat itu dapat saja menjadi bukti bahwa kita adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadat. Fakta bahwa keramat apapun bentuknya telah ada sejak ribuan tahun silam, dan telah dipraktekkan oleh beratus-ratus generasi masyarakat adat. kini., sulit sekali lagi dijumpai tempat keramat yang masih asli dan utuh diwilayah Kabupaten Landak. Kita telah pula kehilangan lembaga/pemerintahan asli, yang bernama BINUA. sebelum kemerdekaan RI, pemerintahan Binua telah ada dan hidup berdaulat. Disanalah dipelihara berbagai macam aturan hidup manusia, hutan, situs kepercayaan, dll. Pemerintahan Binua dijalankan oleh tetua-tetua kampung yang pandai, terampil, berwibawa dan sangat bertanggung jawab. Secara moral, mereka teruji, karena tidak ada praktek korupsi, tindak asusila serta diskriminasi atas golongan tertentu. Mereka sangat menghargai perbedaan ( Pluralisme masyarakat ) yang ada diwilayahnya serta peka atas kecendrungan konflik antar warga. walaupun hidup dibawah tekanan pemerintah kolonial dan feodal, mereka tetap eksis dan mampu menjaga sistem pemerintahannya. Karena itu, rakyat sangat suka dan segan dengan pemimpin-pemimpinya yang duduk dipemerintahan Binua. Kini, sejak diberlakukannya peraturan-peraturan negara ( katanya negara telah merdeka ), pemerintahan Binua berusaha ditenggelamkan. pejabat-pejabat pemerintahan Binua hanya diperbolehkan untuk memimpin upacara-upacara keagamaan asli serta penyelesaian konflik antar warga. Sungguhpun demikian, toh mereka juga selalu diintervensi dalam membuat keputusan dan kebijakannya agar terjaga “kesinambungan pembangunan nasional”. Kini, generasi masyarakat adat nyaris kehilangan sejarahnya lagi. mereka lebih kenal dengan pemerintahan Desa ketimbang pemerintahan Binua. dan akan mungkin sekali, pemerintahan binua dianggap hanya sebagai sejarah masa lalu yang tak perlu diingat dan dipelajari atau bahkan dipraktekkan lagi dimasa sekarang ini. Kita telah pula kehilangan sejarah kampung !!!. ratusan nama kampung di Kabupaten Landak telah diubah menjadi nama yang berbau nasional. selain perubahan nama kampung, nama desa bahkan kecamatan juga demikian. berikut ini beberapa contoh perubahan itu.
Nama Kampung Asli Perubahan Itu
Tahumatn Tahumban
Amawakng Ambawang
Jarikng Jering
Subangki Sebangki
Samih Sambih
Sake’ Seke’
perubahan nama ini disatu sisi memang mudah untuk semua orang Indonesia menyebut atau menghafalnya, namun disisi lain bagi generasi masyarakat dikampung yang bersangkutan telah kehilangan sejarah kampung. Tim PAKAT ketika berkunjung di kampung Sake’ Kecamatan Mempawah Hulu terkejut dengan pernyataan seorang anak SMU kelas 3. ketika ditanya darimana asal mula nama kampung dan sejarahnya, ia sama sekali tidak tahu. bahkan untuk bertanya saja, ia bingung kepada siapa. Padahal setiap kampung mempunyai sejarah. Dari sejarah kampunglah, kita akan mengetahui sejauhmana peran masyarakat zaman dahulu dalam membentuk dirinya hingga terlihat seperti sekarang ini. dari sejarah kampung pula, kita akan mengetahui bentuk-bentuk teknologi, pengetahuan, kearifan serta kapasitas lokal yang sesuai untuk masa kini. Dari ulasan diatas, maka yang dapat dilakukan agar sejarah harus berulang di Kabupaten Landak adalah dengan meninjau ulang kebijakan pemerintah daerah melalui pembuatan berbagai Peraturan Daerah ( PERDA ) yang partisipatif khususnya tentang perubahan nama DESA menjadi BINUA berikut mengembalikan nama-nama kampung keasalnya, Perda tentang Penetapan daerah-daerah keramat ( pantak, dll ) serta Tembawang sebagai Lahan Lindung. situs-situs in dapat saja menjadi daerah wisata yang akhirnya meningkatkan PAD, serta tentang pendokumentasian sejarah yang dapat dijadikan bahan pengajaran muatan lokal disekolah-sekolah. Dengan tiga buah PERDA ini, Pemerintah Kabupaten Landak akan menuai pujian generasi kedepan, karena berhasil menempatkan CIRI KHASnya dalam ranah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga !!! Pada keadaan saat ini cukup beralasan untuk mengatakan bahwa mereka yang menyebut dirinya Masyarakat adat khususnya Dayak Kanayatn sedang berada di persimpangan jalan. Mereka berada di satu titik dimana berbagai perasaan berkecamuk, mulai dari bertanya Siapa Aku (nama sukuku), sampai kepada aspek-aspek kehidupan lainnya. Mereka sedang dalam posisi antara maju terus dengan apa yang ada sekarang, mundur beberapa langkah lagi kebelakang, berbelok kekiri atau kekanan untuk memilih sistem mapan pengaruh ORBA atau sistem peninggalan leluhur yang adati, atau kearah mana lagi, ikut arus keadaan atau malah diam ditempat menunggu sang khalik meneteskan kasihnya. Menurut kami, kebingungan memilih jalan ini sangat banyak dipengaruhi oleh sejarah perjalanan suku ini yang selalu diwarnai sebagai “Objek” dan sarat dengan stigma yang pada akhirnya menghasilkan generasi yang berbeban psikologis berat. Dayak Kanayatn seperti halnya suku-suku Dayak Lainnya di Kalimantan selalu menjadi objek misalnya saja “objek pembangunan” yang cerita tentang ini sudah demikian jelasnya, lalu sebagai objek” penelitian” yang latar belakangnya karena suku ini terbelakang, bodoh, primitif, dll yang apabila hasil kajiannya ditampilkan akan membuat pembaca menjadi kasihan, miris, prihatin, dll. Dari perjalanan yang penuh “objek” ini, orang Dayak untuk “setara” saja dengan orang lain, harus berjuang berat. Ditengah perjalanan menuju persimpangan inilah, 3 tahun lalu, ratusan tetua-tetua adapt suku Dayak Kanayatn berkumpul di Menjalin untuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Pada pertemuan pertama ini, muncullah gagasan bersama untuk KEMBALI KE SISTEM PEMERINTAHAN BINUA sebagai langkah terbaik utama menuju kedaulatan masyarakat adat. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pedalaman di Kabupaten Landak dewasa ini menunjukkan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pembaharuan pemerintahan. Rakyat Landak kini lebih vokal dalam menyuarakan kritik mereka terhadap pendekatan otoriter dan sentralistik yang digunakan dalam sistem pemerintahan selama ini. Rakyat menuntut pelayanan yang lebih baik, peningkatan akuntabilitas dan tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat. Masalah terbesar saat ini di Kabupaten Landak adalah berkembang-luasnya krisis legitimasi komunitas lokal sebagai ungkapan dari rasa ketidakadilan sosial, yang dalam hal ini menyangkut pengambilan keputusan berkenaan dengan akses, kontrol dan pemanfaatan kebijakan daerah yang dikeluarkan pemerintah daerah Kabupaten Landak.

MENGAPA PEMERINTAHAN DESA PERLU DIGANTI ?
Sebelum Indonesia menjadi sebuah negara Republik selama 350 tahun berada dalam penjajahan pemerintah Hindia Belanda dan jauh sebelumnya ada banyak kerajaan yang menguasai sebagian besar wulayah-wilaya yang sekarang ini menjadi wilayah Republik Indonesia ( Haryo Habirono, 2003 ). Selama masa itu, baik pada kerajaan maupun penjajahan telah tumbuh dan berkembang sistem-sistem pemerintahan baik dipusat-pusat kerajaan dan ditingkat desa atau nama lain. Waktu telah berlalu, kerajaan demi kerajaan datang silih berganti sampai dengan penjajahan belanda dan kini Indonesia merdeka. Pergantian–pergantian kekuasanan ini diikuti pula pergantian sistem pemerintahan baik ditingkat pusat kekuasaan maupun ditingkat desa atau nama lain.
Dalam perkembangannya, sistem pemerintahan lokal di seluruh Indonesia yang beranekaragam, dianggap menyulitkan ”tentara” dibawah Pemerintahan Orde Baru untuk mengontrol rakyat. Oleh karena itu, diciptakan konsep penyeragaman atas sistem pemerintahan ditingkat lokal. Pada Tanggal 1 Desember 1979 disahkan UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sepanjang masa berlakunya UU ini berikut peraturan pelaksanaannya, telah sukses menjalankan misi penyeragaman desa di seluruh tanah air. Desa dipilih oleh Pemerintah Otoriter Orde Baru selain karena politik unifikasi hukum juga karena kepentingan “pembangunan”. Dengan politik sentralisasi kekuasaannya, pemerintah Orde Baru “berhasil” melaksanakan pembangunan nasional dan mengharuskan pemerintah pusat untuk selalu mengucurkan dana kepada pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang banyak diantaranya telah dirancang oleh pemerintah pusat sendiri.

Kelahiran UU ini secara tegas mengobok-obok “desa’ lokal yang beragam dan tidak memperhatikan legitimasi sejarah desa yang bersangkutan sehingga pemerintah dengan gampangnya melakukan tindakan-tindakan pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa . Hal ini merupakan konsekwensi dari dianggapnya penduduk desa sebagai kumpulan orang-orang semata. Pada UU ini misalnya menyebutkan bahwa desa dapat dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat ( 1 ) luas wilayah ( 2 ) jumlah penduduk ( 3 ) dan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Dalam kasus ini misalnya muncul Permendagri No 4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Setidaknya ada 6 syarat pembentukan desa yang disebutkan dalam peraturan tersebut dan lima diantaranya berkenaan dengan syarat sosial budaya. Syarat fisik yang dimaksud adalah jumlah penduduk minimal 2500 jiwa atau 500 KK, luasnya harus terjangkau ( bagi aparat pemerintah ) untuk memberikan pelayanan dan pembinaan masyarakat, letaknya dapat diakses dengan mudah seperti tersedianya sarana perhubungan dan komunikasi, tersedia prasarana dan sarana perhubungan, sosial, produksi dan pemerintahan desa, tersedia tempat mata pencaharian sesuai dengan pola tata desa. Sedangkan syarat sosial budaya lebih banyak ditujukan pada adanya suasanan kerukunan antar umat beragama dan bermasyarakat. Dari syarat-syarat tersebut, bahkan syarat sosial budayapun sama sekali tidak dimasukan pertimbangan kondisi sejarah dari desa yang bersangkutan. Syarat sosial budaya “kelihatannya” dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya ekses dari kontak budaya yang sangat mungkin terjadi dengan rekayasa pembentukan, pemecahan dan penyatuan desa.
Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU tentang Desa kenyataannya masih saja mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara. Fakta sejarah menorehkan bahwa sebelum tahun 1970-an kepemimpinan tokoh masyarakat, pemuda adat, orang-orang yang dituakan dan pembuka agama masih sangat berpengaruh dalam masyarakat adat khususnya Dayak. Peranan dan kewibawaan mereka terhadap masyarakat cukup besar dan daya kepengikutan masyarakat terhadap mereka cukup tinggi sehingga berbagai masalah adat dan kesulitan hidup dimusyawarahkan oleh mereka dengan tokoh masyarakat tersebut untuk diperoleh jalan keluar. Sejak tahun 1970, terutama ketika sumberdaya hutan (SDH) di Kalbar mulai mengalami kehancuran (deforestation process), oposisi terhadap sumber kehancuran itu mulai timbul (Alqadire,1994a) diikuti secara perlahan dan pasti oleh menurunnya kewibawaan,kepercayaan dan peranan tokoh atau pemuka adat dalam masyarakat mereka.

Krisis kepercayaan terhadap adat pada umumnya dan terhadap pemuka adat pada khususnya mencapai klimaksnya dan terlihat jelas ketika dalam pertikaian antara anggota komunitas Dayak dengan komunitas Madura pedalaman yang terjadi pada tahun 1996/1997 pada peristiwa atau kasus Sanggau Ledo,Kabupaten Bengkayang (setelah pisah dari kabupaten Sambas) dan kasus Salatiga, Kabupaten Landak (setelah Kabupaten Pontianak di mekarkan), sebagian besar pemuda dan mahasiswa Dayak menendang dan tidak mau lagi mendengarkan himbauan tokoh adat mereka maupun pemuka agama Nasrani ( Katolik dan Protestan) untuk tidak bertindak anarkis. Para pemuda ini menganggap bahwa pemuka adat mereka tidak lagi mampu melindungi dan membina mereka. Pola pertikaian yang benuansa keberingasan dan kekerasan tampaknya lebih mudah timbul dipermukaan setelah perubahan kepemimpinan dan komunitas Dayak dipedalaman bersentuhan dengan pola kepemimpinan Desa, yang tidak mereka kenal sebelumnya dipedalaman Kalbar.
Saat ini desa atau nama lain merupakan unit pemerintahan yang terkecil dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Pada tingkat yang dibawa desa tidak ada lagi struktur pemerintahan kecualai struktur pe ngorganisasian seperti dusun, Rt, Rw. Berangkat dari struktur pemerintahan yangt terkecil inilah, didesa atau nama lain sesunggunya struktur-struktur pemerintahan yang ada diatasnya seperti kabupaten, Propinsi dan Pusat dibangun. Logika ini disampaikan dengan maksud bahwa struktur pemerintaan desa atau nama lain [pada akekatnya merupakan dasar atau fomdasi bagi struyktur-struktur pemerintaan yang ada diatasnya. Apabila struktur pemerintahan desa atau nama lain kacau, maka dapat dipahami bahwa struktur pemerintahan diatasnya juga kacau. Ibarat sebua bangunan rumah apabila fondasinya dasarnya kacau, rapu dan tidak dibangun dalam desai yang baik, maka bangunan ruma tersebut pasti juga tidak kuat dan muda roboh. Pertanyaannya adaah mengapa desa harus diruba di Kabupaten Landak ? beberapa alsan yang mendasarinya adalah sebagai berikut :

1. Produk Politik Orde Baru
pemerintahan desa dikukukan dengan UU No 5 tahun 1974 dan UU No 5 taun 1979, yang kemudian oleh Gubernur Kalbar ( Parjoko S ) dibuatkan SK Nomor 065 taun 1985 tentang regrouping desa. Dengan kekuasaan ini maka mulailah proses penghancuran tatanan kampung yang demikian sudah baik. Kampungt-kampung yang berdekatan disatukan menjadi satu (1) Desa. Proses penggabungannya pun tidak melalui studi kelayakan yang baik, sehingga ada kampung yang tidak memiliki akses transportasi/perubungan yang memadai kepusat desa padaal kampung tersebut lebi tepat bergabung dengan desa sebelanya yang memiliki akses transportasi, dan historis. Contoh lkasus di kampung Ansiap Desa Ansiap, kampung ini santgat dekat dengan Desa Tempoak Kec. Menjalin namun oleh pola regrouping diga bungkan dengan Kecamatan Toho. Demikian pula dengan kampung Gutok Desa Ansiap, kampung ini lebi dekat dengan Desa Caong Kec. Mempawa Hulu Kab. Landak namun digabungkan dengan Desa Ansiap Kec. Toho kab. Pontianak. dan masih banyk lagi kampung-kampung lainnya yang tumpang tin dih satu sama lain.

2. Birokrasi Pemerintahan Tidak Efisien
Dulu, sebelum UU No 5 taun 1974 dan 1979, setiap kampung dipimpin ole seorang Kabayan ( pakpong ). Waktu itu, kampung sangat otonom dan tidak ada lembaqga lain yang dibentuk pemerintah. Uriusan pemerintaan yang harus dilakukan setiap warga sangat praksis, mereka cukup b berhubungan dengan Kabayan dan biayanya hampir tidak ada. Karena si Kabayan tela memperoleh haknya berupa Ari Tuha, yakni warga kampung wajib bekerja diladang Kabayan beberapa hari dalam setahun. Itula onornya Kabayan. Jadi penyelenggaraan pemerintahan sangbar murah, cepat dan memuaskan warga. Dengan keghadiran UU ittu, semua yang sudah baik iini menjadi hancur. Birokrasi pemerintaan menjadi sangat jau dari warga, biaya pengurusazn KTP menjadi san gat mahal dan berbelit-belit, belum lagi mengurusnya harus pergi kepusat desa ( kampung yang lain ) yang jalannya jelek danb jauh. Contoh kasus sepergti yang dialami Pak Soman dari kampung Tahumatn, untuk membuat KTPnya dia mesti pergi ke kampung Rees pusat desa. Jalan ke Rees sangat jelek dan jauh, dia harus berjalan kaki bisa setengah hari baru tiba di kampung Rees, ittupun kalau Kepala Desanya ada dirumah kalau tidak ada dirumah misalnya keladang, maka dia harus men ginap semalam di Rees. Lucuya untuk menuju kampung Air Mati Desa Toho Ilior Kecamatan Too Kabupaten Pontianak, dia hanya menempuh perjalanan 1,5 jam saja. Jadi sistem desa suata pemb orosam yang tidak perlu, segala urusan jadi sangat mahal dan tidak efisien.

3. Jarak Pelayanan
mari kita lihat kasus di Desa Nangka Kec. Menjalin. Desq ini terdiri dari beberap kampung sweperti Nangka, Jungkung, Nyawan Ulu, nyawan ilir, Duling dan Konyo dengan penduduk 780 KK. Jarak dari kampun g Nantgka kemapung-kampuing lainnya berkisar 3-7 Km. Kepala Desanya berasal dari Konyo, berjarak sekitar 3 Km dari Nangka sebagai Pusat Desa. Kalau setiap hari dia kekantor, keluarganya pasti tidak dapat makan, karena gajinya sebagai Kades hanya Rp 60.000/3 bulan. Sesuatu yang tidak mungkin, dia mampu melayani 780 KK dengan jumlah jiwa 2.000-an. Sesuatu yang vtidak mungkin. Bandingkan kalau dia hanya mengurus kampung Konyo dentgan KK sebanyak 67 KK saja, tentu saja jasaq dari pemerintah yang ada masi dapat digunakan untuk keluarga ditamba Ari Tuha.

4. Keberpihakan Pemerintah Desa
dengan status yang dipandang sebagai pimimpinan desa, keidupan yang pas-pasan tentu tidak bisa bertahan lama. Sangat masuk akal kemudoian dioa memberikan peluang piak lain ( penanam modal baik legal maupun ilegal ) masuk kedesanya, tentu dengan imbalan yang memadai, walaupun sebagian besar vwarganya menolak kehadiran pihak luar tersebut. Maka jadilah seorang pemimpin didesa nenihak kepada atasannya yang memang mengundang pihak luar masuk diedesanya. Tidak kuat berhadapan den gan warga sendiri, maka dia mendatangkan aparat keamanan dengan alasan mengaqmankan jalannya pembangunan. Dulu seortang Kabayan sangat dfiprmati warganya bdan sangat berwibawa, karena dia di;pilh setelah men galamai seleksi alamiah berdasarkan kriteria yang diinginkan warga sekampungnya, bukan kriteria pemerintah. Warga sangat indepemden dalam mementuklan pimpinannya. Tapi sekarang denga status desa, yang katanya sangat demokratis dengan pemilihan secara juredil, dan kriteria yang ideal ternyata yang terpilih yan g panmdai bermain politik. Jadinya kepala desa tidak berwibawa dihadapan warganya. Di Desa Caong ( Kec. Mempawah Hulu ), Agustus 2003, kantor Kepala Desa dibakar dan Kepala Desa terpilih diusir dari kampungnya, karena kettidakmampuannya beradaptasi dan banyak kasus lainya terkait hukum adat warga setempat.

5. Kehancuran Inisiatif Lokal
disetiap kampung selalu dijumpai keunggulan-leunggulan yang tidak dijumpai dikampung lain. Dikampung Nek Tune Desa Parigi Kec. Mempawah Hulu, warganya sangat kompak membangun sebua gedung untuk sekolah dasar secara swadaya. Serta membangun instalasi air bersi denagn menggunbakan bambu. Semua ini atas inisiatif warga kampung. Kalau harus menunggu kebijaksanaan pemwerintah desa, p[astila bukan kampung mererka yang diutamakan ( boasanya dipusat desa saja ). Namun dengan regrouping desa, inisiatif ini menjkadi hilang, karena selalu terkait dengan dana subsisdi desa, instruksi pemedrintah, dsb.

6. Hilangnya Semangat Gotong Royong
dulu ketika akan membangun jalan kampung, setiap kepala keluarga menirim wakilnya untuk kerja gotong royong. Banyak hal lain yang dilalukan dengan cara seperti ini. Wwarga kampung tidak tergantung dengan piak lain untuk me3wngerjakan sesuat yant mememang mereka butukan. Tetap[I sekarang, dengan adanya Desa yang ada subsidinya, kalau tidak ada dana imbal/upah hampior pasti warga tidak mau kerja. Dengan Kata lain ketergantungan masyarakat terhadap progaram pembangunan desa yang katanya lebih efesien, begitu tinggi.


7. Pengakuan Asal-Usul
UU Seragamisasi Struktur Desa yang diberlakukan pada masa orde baru ternyata berimplikasi sangat luas dalam banyak bidang. Disamping beberapa hal yang telah terurai diatas, satu contoh kecil lainnya adalah kehilangan asal usul. Nama sebuah kampung, misalnya kerap diganti dari nama aslinya menjadi nama yang berbau Jawa/Melayu dengan alasan kemudahan dalam lafal (ejaan). Sebagai contoh “
Sunge’ (sungai) Banokng ………….Menjadi Sungai Bandung
Sunga’ ………….Menjadi Karangan
Manur ………….Menjadi Mandor

Sepintas lalu perubahan satu huruf atau penghapusan tanda apostrof (‘) pada masing-masing nama tempat/wilayah yang dirubah tidak berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat, tetapi jika dikaji lebih dalam perubahan tersebut sesunggunya adalah penghilangan/pengkaburan sejarah/asal usul masyarakat diwilayah tersebut. Bagi masyarakat Dayak setiap jengkal tanah (wilayah) umumnya diberinama berdasarkan ciri alam (misalnya jenis kayu atau binatang yang banyak didaerah tsb), sejarah/legenda, atau nama pemiliknya pertama dari wilayah tersebut. Dari uraian singkat ini setidaknya nama yang dilekatkan oleh masyarakat untuk wilayahnya sesungguhnya tidak lepas dari “sejarah” atau ciri yang memaknai tempat mereka hidup dalam satu komunitas.

8. Penghilangan Batas Kampung
Orang moderen menyebutnya tata ruang atau tata guna yang ditandai dengan uraian nama, fungsi serta batas-batas fisik area/wilayah pemanfaatannya. Dayak Kanayatn menyebutnya palasar palaya, yang juga selaras dengan konsep tata ruang/tata guna lahan dalam konsep moderen. Satu hal yang membedakan konsep tata ruang dari kedua versi tersebut adalah “kepentingan” yang melekat didalamnya. Ketika regrouping kampung menjadi desa terjadi, tata guna lahan/palasar palaya kampung yang dulunya dikelola berdasarkan kearifan lokal, tergeser akibat tekanan dari atas (pemerintah di atas pemerintaan desa) untuk mengubah tata guna lahan yang sudah ada. Topeng pembangunan/pengentasan kemiskinan masyarakat kerap digunakan untuk memasukan produk-produk kapitalisme moderen yang mengancurkan batas-batas asli dari masyarakat yang suda ada, akibatnya konsep tata ruang yang dulunya diakui dan dimanfaatkan oleh masyarakat antar kampung menjadi tumpang gtindah/rancu, tidak efektif. Kampung-kampung yang dulunya mempunyai kekuasaan dalam mengelola tata guna lahannya (otonom), hilang oleh hegemoni kapaitalisme yang dilegitimasi pemerintah. Dengan demikian, jelas bahwa system pemerintah Desa yang dianut selama hampir 30-an tahun sudah tidak dapat lagi memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat dayak di Kabupaten Landak.

KONSEP SISTIM PEMERINTAHAN BINUA
Pengembalian sistem pemerintahan binua merupakan salah satu konsep yang diinginkan dengan penerapan sistem pemerintahan dewasa ini. Konsep pemerintahan lokal ini sejalan dengan penurunan daya dukung ( resources ) baik yang berupa kemerosotan lingkungan, moral, inefisiensi dan inefektivitas pembangunan dan sejenisnya ditingkat desa. Penguatan nilai-nilai adat dalam pelaksanaan pemerintahan binua akan memberikan harapan yang baik khususnya dalam kerangka mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis.

Realitas politik lokal serta praktik-raktik penyelenggaraan pemerintahan desa saat ini menunjukan bahwa telah terjadi penurunan kapasitas sebagian besar aparatur pemerintahan desa, baik dalam arti personil maupun institusional. Banyak bukti serta anekdot yang berkaitan dengan mandulnya peran Kepala Desa. Pengetahuan umum yang berkembang dikalangan masyarakat akademik menunjukan fenomena ini merupakan suatu keadaan yang kurang menggembirakan dalam awal penyelenggaraan otonomi daerah. Didasari pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka perubahan sistem pemerintahan lokal merupakan sebuah hal yang sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa kedepan. Prospek kedepan perkembangan demokrasi lokal ditingkat binua akan memberikan harapan cerah bagi Kabupaten Landak. Sebagai bagian dari pemerintahan binua, Bide Pamane Binua merupakan ujung tombak dalam mengawal penyelenggaraan pemerintahan binua.

Implementasi demokrasi ini dalam draft Raperda Pemerintahan Binua sudah cukup memberikan peluang bagi masyarakat dibinua dalam menata pertumbuhan demokrasi lokal. Disisi lain, dengan kepatuhan masyarakat atas pemimpinnya yang bersendikan ADAT dan HUKUM ADAT akan mengembangkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun binua dan kampungnya. Kondisi terakhir ini ada kecendrungan bahwa masyarakat adat akan selalu merespon dan berperan aktif dalam menuntut hak-haknya sehingga mendorong pemimpin desa untuk menggunakan sumber dana dan daya yang tersedia secara jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. Meningkatnya kepercayaan pada pemimpin akhirnya juga akan mendorong penyelenggaraan pemerintahan desa yang transparan, akuntabel, efektif, efisien dan demokratis. Dengan transparansi akan menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah binua dengan masyarakat adat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan binua.

Bumi Intan, Januari 2008

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons