PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN ; PARADIGMA BARU DUNIA PENDIDIKAN MENUJU KEHIDUPAN YANG HARMONIS DIMASA DEPAN

Oleh Yohanes Supriyadi

PENDAHULUAN
Dewasa ini, aksi kekerasan yang dilakukan manusia dihampir seantero dunia sangat jelas dilihat. Hal ini diyakini sebagai dampak dari perkembangan arus globalisasi dan modernisasi. Secara jelas dinyatakan oleh John Rawls, bahwa kondisi demikian dipengaruhi oleh fase-fase perkembangan masyarakat, yakni dari masyarakat peramu ke masyarakat petani, dari masyarakat petani ke masyarakat industri dan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi seperti keadaan sekarang ini. Dalam masyarakat informasi, teknologi informasi ( TI ) telah menjadi sumber inspirasi baru dalam pengembangan masyarakat. Nah, melalui berbagai jaringan komunikasi dan informasi inilah secara tidak langsung maupun langsung kepada anak-anak dan remaa telah dipertontonkan budaya kekerasan. Mulai dari barang-barang permainan mereka yang militeristik, pertunjukan aksi kekerasan lewat media massa khususnya lewat televisi dan film, koran, majalah hingga buku-buku yang berbau ”fornografi” dan fiksi-fiksi dengan tokoh-tokoh Sinchan, Superman, Power Rangger, dll. Dengan dipertontonkannya berbagai bentuk kekerasan itu dan tokoh-tokoh didalamnya, anak-anak dan remaja lalu berpendapat kalau orang sedang berkonflik dengan orang lain dan metode yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik adalah aksi kekerasan. Berkelahi dianggap sesuatu yang normal dan dapat dibenarkan. Seperti yang kita ketahui, anak-anak dan remaja adalah masa dimana dalam diri mereka sedang mencari ”identitas” baru. Oleh karenanya, ”ikut” dan ”terlibat” dalam berbagai hal yang baru menjadi ciri khas dunia mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jauh sebelumnya kekerasan telah dimulai. Berbagai jenis peperangan antara kebaikan dengan kejahatan telah berlangsung melalui periode pre modern, modern dan post modern saat ini. Pembunuhan paling primitif pun telah dilakukan sejak periode Nabi Adam hingga pembunuhan Nabi Isa pada periode kekaisaran Romawi. Hampir dua ratus tahun sejak abad ke-18, sejarah Kalimantan Barat juga telah diwarnai oleh aksi dan konflik rasial. Konflik rasial ini menjadi gejala yang selalu berulang dengan interval kurang lebih 25 tahun. Hampir tidak ada etnik yang hidup di Kalimantan Barat yang tidak terlibat konflik rasial itu, dari etnik Cina dengan Dayak ( 1770, 1824, 1965 dan 1967-1968 ), Melayu dengan Dayak ( 1680 = legenda Nek Bangka’, 1999, 2000, 2001), Dayak dengan Madura ( 1950, 1968, 1976, 1977, 1978, 1979, 1983, 1993, 1994, 1996/1997 ), Melayu, Bugis dan Arab dengan Madura ( 2000, 2001 ) dan Melayu + Dayak dengan Madura (1999 ). Walaupun belum secara lengkap sejumlah kronoligis diatas, sebenarnya masih terdapat sejumlah kerusuhan kecil-kecil lainnya antara Dayak dengan Melayu, khususnya sejak antar kelompok pemuda sejak tahun 1998.
Aksi-aksi kekerasan tersebut kemudian menjadi ”pembelajaran” bagi anak-anak dan remaja dalam hidupnya. Dengan kata lain, telah tertanam kuat didalam diri mereka bahwa masalah apapun yang dihadapi hanya dapat diselesaikan dengan jalan KEKERASAN. Bahwa kekerasan telah menjadi ”icon” dalam hidup sehari-hari, apapun bentuknya. Ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang pluralis di Kalimantan Barat sekarang ini, konflik kecilpun dapat menyebabkan aksi kekerasan, baik dilakukan individu maupun kelompok. Tidaklah heran bila, Kristianus Atok, menjelaskan bahwa Kalbar sekarang ini sedang berada dalam situasi perdamaian negative, artinya konflik kekerasan sewaktu-waktu dapat terjadi. Mungkin atas kesadaran inilah, Gubernur Kalbar, Haji Usman Djafar, mencanangkan Mottonya yang prestisius ” Harmonis Dalam Etnis”. Semua orang tentunya paham bahwa kekerasan apapun bentuknya haruslah dijauhi. Tantangan terberatnya adalah ”mampukah orang Kalbar menciptakan suasana Harmonis Dalam Etnis tanpa adanya upaya dasar untuk menghilangkan stigma kekerasan selama ini ? ”. Nah, dalam kerangka itulah, dipertengahan tahun 2003, YPPN, sebuah organisasi non pemerintah menginisiasi sebuah ”program” Pendidikan Anti Kekerasan. Gerakan ini dimulai dengan memfasilitasi anak-anak dan remaja disekolah-sekolah.


MENGENAL KEKERASAN
Kekerasan menurut Simon Fisher, adalah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, sosial atau lingkungan dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Saat ini, kekerasan dalam wacana sehari-hari hampir diidentikan dengan perkelahian atau bentrokan fisik. Secara gamblang, Simon Fisher mengyatakan bahwa kekerasan bukan hanya perkelahian atau bentrokan fisik, akan tetapi perkataan, tindakan, sikap manusia pun dapat dikategorikan sebagai aksi kekerasan. Contoh kecil dari pernyataan ini adalah sikap atau perkataan ; menghardik, mengancam, teror, atau memunculkan simbol-simbol tertentu pada saat tertentu. Di Kalbar, simbol-simbol itu misalnya menaikan bendera kuning ( bagi etnis Melayu Sambas, lihat Bambang HSP, 2003 ), bagi etnis Dayak, munculnya adat Mangkok Merah adalah simbol dari perlawanan berdarah ( lihat, F. Bahaudin Kay, 2005 ). Pada etnis Cina, perayaan Cap Go Meh dengan permainan Tatung adalah simbolisasi dari sebuah tradisi kekerasan.
Menurut Iqbal Djayadi, sosiolog UI, pengertian kekerasan secara umum merujuk kepada tindakan untuk mengurangi atau meniadakan eksistensi manusia lain. Menurutnya, ada dua jenis kekerasan, yaitu kekerasan yang kurang lebih dilakukan individual dan berorientasi sepenuhnya individual yang secara umum kekerasan jenis ini merujuk kepada tindakan kriminalitas. Tercakup kedalamnya adalah tindakan penganiayaan dan pembunuhan, baik yang dilakukan dalam konteks pengambilan harta maupun pengambilan nyawa orang lain. Dan kedua adalah kekerasan yang bersifat kolektif, baik pelaku maupun orientasi hasilnya adalah kelompok, bukan individual.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diterjemahkan sebagai tindakan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik . Mengacu pada tiga pemahaman di atas, kekerasan diterjemahkan sebagai upaya-upaya seseorang atau kelompok untuk meniadakan eksistensi atau dominasi/penguasaan orang atau kelompok lain terhadap keseluruhan hidupnya, yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki, moralitas dan norma hukum. Efek dari tindakan tersebut adalah seseorang atau anggota kelompok, yang di sebut terakhir kehilangan nyawa, hartanya atau kedua-duanya atau mengalami kerusakan secara fisik, baik raga (luka-luka) maupun harta bendanya.
Apa yang melatarbelakangi kekerasan itu ? beberapa ahli psikologi menyebutkan bahwa penyebab utama aksi kekerasan adalah terjadinya penyimpangan atas perilaku manusia Penyimpangan perilaku individu dapat saja berbeda dengan norma umumnya, misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresifitas yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak. Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika individu mempunyai perilaku yang sangat berlawanan dengan lingkungannya sehingga disebut perilaku antisosial, dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominan, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan coret-coretan di tempat umum, pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang melawan nilai, norma dan hukum ini dikenal sebagai suatu kejahatan. Dalam pemaparannya tentang perilaku manusia, Freud mengatakan bahwa pada dasarnya manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar, sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Freud memandang bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual yang mengarah kepada prinsip kesenangan yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas, sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral. Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan memainkan id-nya lebih dominan, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan memainkan super-egonya lebih dominan. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari dan pengalaman masa lalu manusia pada masa kanak-kanaknya.
Dalam kacamata spiritual, kejahatan merupakan suatu bukti atas ketidakmampuan manusia untuk mengendalikan nafsu, motif dan alam bawah sadar yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia. Sedangkan dalam kacamata agama, kemenangan iblis atas manusia seringkali dijadikan simbol kemenangan kejahatan, dimana hilangnya nurani dan lemahnya moral manusia merupakan hal yang menyebabkan terjadinya kejahatan pada umat manusia. Padahal manusia juga memiliki nurani dan moral sebagai simbol kebaikan yang secara naluriah dimiliki oleh setiap manusia.
Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu: meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahsa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Ditinjau dari sudut pandang agama, sebenarnya telah melihat bahwa manusia terlalu lemah dalam pengendalian emosi dan nafsunya karena tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan kekuasaan absolut Tuhan yang supranatural dan tidak diikat oleh kebiasaan baik yang membentengi manusia dari pengaruh kejahatan. Lahirnya paham positivisme dengan mengedepankan bukti nyata science hingga bukanlah kebenaran jika tanpa bukti empirik- telah menggoyang keyakinan manusia tentang keberadaan moral dan agama. Beberapa ahli telah menilai bahwa demoralisasi ini berhubungan dengan rendahnya standar moral dan lemahnya penetapan norma baik dan buruk serta benar dan salah dalam masyarakat maju, yang menyebabkan berubahnya cara pandang generasi muda terhadap kehidupan. Syakrani menyebutkan pula bahwa ada hubungan erat antara kejahatan dengan kurangnya instruksi moral dan ethic dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya beragam kekerasan dan kejahatan.

URGENSI PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN DEWASA INI
Diatas telah dijelaskan bahwa selama hampir dua ratus tahun, provinsi Kalimantan Barat penuh diwarnai dengan aksi kekerasan rasial. Aksi-aksi kekerasan rasial ini terus diveriterakan oleh nenek moyang, para orang tua kepada anak-anaknya sehingga telah menjadi stigma yang sangat kuat dalam alam pikiran mereka. Dalam perkembangannya, ditengah-tengah arus globalisasi dan modernisasi sekarang ini, aksi-aksi kekerasan, baik yang dilakukuan individu ( kriminalitas ) maupun kelompok ( tawuran, perkelahian, amuk massa ) dengan mudah disaksikan oleh masyarakat lintas generasi pada berbagai media informasi dan komunikasi. Aksi-aksi tersebut kemudian mengembalikan stigma kekerasan rasial masa lalu sehingga menjadi pengalaman traumatis pada anak-anak dan remaja yang tampak pada indikator sebagai berikut; (1) Meningkatnya tindak kekerasam, seperti tawuran antar pelajar, (2) Meningkatnya penggunaan kata-kata tak santun dalam tutur bicara, (3) Meningkatnya pengaruh negative secara kelompok “ peer group “, (4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti merokok, dan narkoba, (5) Makin kaburnya acuan moralitas yang tergantikan oleh moralitas ‘gaul”, (6) Menurunnya etos kerja, seperti malas mengerjakan pr, tugas-tugas terstruktur, (7) Merosotnya sikap respek kepada orang tua dan yang lebih tua, (8) Meningkatnya sikap menghindar dari tanggung jawab, dan (9) Meningkatnya perilaku tak jujur seperti “nyontek” dan berbohong kepada orang tua.
Jika 9 indikator tersebut diatas tetap ada bahkan berkembang luas dalam system pembelajaran hidup yang diterima anak-anak dan remaja, maka akan muncul apa yang disebut sebagai generasi punah ( the lost generation ). Menurut Syakrani, generasi punah diatas, selain terkait masalah gizi yang buruk sejak usia anak-anak dibawah 5 tahun, juga karena pengurangan ( deficit ) karakter atau moralitas yang sakit terutama dikalangan anak-anak dan remaja. Studi-studi mutakhir tentang tumbuhkembang manusia menunjukan anak-anak sejak dini mengalami tidak sehata secara fisik, psikologis, emosional, social dan moral. Akibat penyakit ini, mereka akan renan terhadap penyakit fisik dan psikologis, tidak peka secara social-emosional, tidak amanah, memiliki kecendrungan kuat untuk menghindari tanggung jawab, memiliki control agresi dan komitmen moralitas yang lemah serta memiliki persepsi yang tak sehat tentang sosok Tuhan. Didorong oleh keprihatinan atas perkembangan yang ada, telah muncul teori baru dalam tumbuhkembang manusia. Syakrani, pendidik dari Banjarmasin mengemukakan bahwa kalau tidak ada intervensi terhadap mereka ( anak-anak dan remaja ), maka beberapa cirri tersebut diatas akan berlanjut sampai pada usia berikutnya. Artinya, anak-anak dan remaja yang sejak dini termasuk generasi punah berpeluang besar menjadi remaja, pemuda bahkan orang tua yang juga tidak sehat secara fisik, psikologis, emosional, social dan moral. Selanjutnya dari orang tua seperti ini akan lahir generasi punah berikutnya.
Atas dasar itu, pendidikan anti kekerasan menjadi sangat urgen untuk kondisi Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat saat ini. Namun demikian, konsep pendidikan ini haruslah dikontekstualisasikan kedalam cara pandang bahwa pertumbuhan fisik-intelektualitas anak merupakan bagian integral perkembangan social-emosional dan moralnya. Dengan kata lain, pendidikan model ini harus diformat dalam perspektif bahwa anak-anak dan remaja adalah makhluk yang utuh (whole child).

PENDEKATAN DAN METODOLOGI
Pendidikan Anti Kekerasan memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu (1) Integrasi Budaya, yakni mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok dari peserta didik untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. (2) Proses Konstruksi Pemikiran, yakni dengan membawa peserta didik untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin) (3) Pembebasan penyampaian, yakni menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik mereka yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. (4) Pemahaman, yaitu dengan mengidentifikasi karakteristik etnik asal peserta didik dan menentukan metode pengajaran mereka (5) Pelatihan terarah dengan melatih peserta didik untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh organiser dan peserta didik yang berbeda etnis dalam upaya menciptakan budaya akademik. Seperti kita ketahui, dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para organizer perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Dari pengalaman kami, setidaknya secara umum peserta didik memiliki empat ciri yaitu; (1). Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. (2). Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. (3). Mempunyai latar belakang yang berbeda. (4). Dan melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki peserta didik secara individu.
Dalam konsepsi pendidikan anti kekerasan, fokus pendidikan tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok etnik, agama dan kultural domain atau mainstream. Pendidikan anti kekerasan sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok yang ada dilingkungan mereka. Dalam konteks ini, organizer dapat melihat peserta didik secara lebih luas. Karena itu, maka seharusnya kurikulum pendidikan anti kekerasan dapat mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan anti kekerasan perlu memakai kombinasi model yang ada dan dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Pada prinsipnya, mengembangkan konsep pendidikan anti kekerasan dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok rasial mengandung tantangan yang tidak ringan. Dalam kondisi ini pendidikan anti kekerasan lebih diarahkan sebagai bagian advokasi untuk menciptakan masyarakat masa depan yang toleran dan bebas toleransi.
Sebagai suatu kesepakatan, Pendidikan anti kekerasan menjelaskan juga tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai dan kebajikan yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik (Nord and Haynes, 2002). Tujuan lainnya adalah membentuk kapasitas intelektual pada generasi muda yang memungkinkannya untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan. Anti kekerasan secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan yang menekankan pada mana benar dan salah secara absolut. Hal yang diajarkan kepada siswa didik adalah mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman dan sanksi secara langsung maupun tak langsung manakala terjadi pelanggaran.









KURIKULUM
Sekolah merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan informasi dan teknologi dari anak didik, tetapi ia juga bertugas dalam pembentukan kapasitas bertanggungjawab siswa dan kapasitas pengambilan keputusan yang bijak dalam kehidupan. Oleh sebab itu telah berkembang pandangan bahwa sekolah haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas, dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak, dan bebas. Dengan demikian tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu. Untuk memenuhi ketujuh prasyarat diatas, maka dalam implementasi kurikulum pendidikan anti kekerasan, dapat memuat memuat materi-materi pokok, yaitu :

1. Mengembangkan Cara Berpikir
Cara berpikir yang mudah membawa kepada konflik kekerasan adalah anak cenderung berpikir tentang satu hal pada satu saat. Anak cenderung egosentris melihat dunia dari sudut pandang dan kepentingannya. Mereka cenderung berpikir kaku dan dikotomis teman-musuh, baik-buruk. Dengan kata lain mereka berpikir hitam putih dan cenderung streoptif. Pikiran mereka terfokus pada segi konkret dan yang kelihatan mengenai situasi yang ada. Perlu juga dikataka cara berpikir semacam ini masih dimiliki sebagian besar orang dewasa. Cara berpikir itu harus dikembangkan menuju kearah cara berpikir lebih maju. Adapun cara berpikir yang lebih maju itu adalah sadar akan adanya banyak aspek dari suatu situasi. Mampu melihat adanya lebih dari sudut pandang , mampu berpikri abstrak dan mampu melihat hubungan sebab akibat berbagai kejadian.

2. Melatih Dialog
Adanya perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan merupakan suatu yang wajar. Anak harus disadarkan bahwa untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan harus dipilih dialog dan bukan dengan kekerasan. Mereka dilatih dialog, memberi dan menerima dimana banyak sudut pandang yang berbeda dikemukakan dan dihargai. Dengan cara ini mereka makin mengalami betapa baikya sumbangan yang berbeda-beda demi kebaikan hidup bersama. Pendidikan berdialog ini penting, mengingat anak-anak bersifat egosentris sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menghargai teman-teman lain dan berbuat untuk kebaikan teman. Mereka juga cenderung berpikir terbatas sehingga sulit mengerti sudut pandang orang lain. Mereka juga sulit menyadari bahwa tindakannya bisa merimajinasi tentang apa yang tidak dapat mereka lihat. Bila ada perselisihan atau pertengkaran diantara meeka, pendidik harus berkata bahwa idak boleh saling memukul tetapi perlu menggunakan kata-kata bila mereka sedang marah. Juga perlu dikatakan tentang perlunya bergiliran omong untuk memberi kesempatan bagi yang lain mengemukakan pikiran atau perasaan. Juga perlu time out ( berhenti sementara ) agar mereka dapa tenang atau sejuk hati dan punya waktu untuk berpikir ulang tentang apa yang sudah terjadi.

3. Membongkar Keyakinan Salah
Aksi kekerasan biasanya dipengaruhi keyakinan-keyakinan salah yang dipegang oleh kebanyakan orang. Keyakinan itu juga dapat dianut anak-anak. Misalnya yang kuatlah yang menang , jika anda kuat maka andalah yang benar. Keyakinan ini akan membuat orang berusaha untuk menjadi kuat dan punya kekuasaan. Kemudian aksi kekerasan, adu otot yang akan dipilih. Kedua, mata ganti mata, gigi ganti gigi oleh keyakinan ini, orang lalu cenderung mudah balas dendam. Right or wrong is my country. Keyakinan ini membuat orang cenderung membela negaranya dan biasanya denan tindak kekerasan sebagai tanda patriotisme tanpa berpikir kritis akan tindakan dan kebijakan politik yang diambil negara. Anak laki-laki memang anak laki-laki keyakinan ini membuat orang-orang laki-laki harus bersifat jantan dan jantan berarti berkelahi, berani pukul dan ringan tangan. Tujuan menghalalkan segala cara karena keyaninan ini dengan mudah orang akan memilih tindak kekerasan yang diyakininya sebagai cara efektif untuk mencapai tujuan. Kita harus berusaha untuk menyadarkan bahwa keyakinan-keyakinan itu adalah salah. Usaha-usaha ini penting berhubung keyakinan-keyakinan salah itu banyak dianut masyarakat yang mempunyai pengaruh besar pada diri anak-anak.

4. Menguatkan Harga Diri Anak
Harga diri merupakan salah satu syarat penting bagi keberhasilan di sekolah. Anak-anak yang amat cerdas namun harga dirinya rendah bisa mendapat hasil buruk disekolah. Sementara anak dengan kecerdasan rata-rata tetapi memiliki harga diri kuat biasanya berhasil. Anak dengan harga diri rendah cenderung mendapa sedikit kepuasan dari sekolah lalu dengan mudah kehilangan motivasi dan minat. Akibatnya prestasi belajarnya rendah dengan akibat harga diri yang semakin rendah. Selain itu anak denagn harga diri rendah biasanya terlalu agresif atau terlalu menrik diri dari hubungan antarpribadi. Untuk menutupi harga diri yang rendah anak cenderung berbuat kasar yang mengarah pada tindak kekerasan. Kalau kita berhubungan erat dengan orang lain, tidak boleh tidak kita mengungkapkan kepada orang lain itu harapan-harapan kita yang sering menjadi suatu kenyataan. Harapan positif misalnya kamu pasti akan berhasil akan membesarkan hati sang anak. Sedangkan negatifnya adalah ah…kamu, pasti tidak berhasil karena kamu tidak naik kelas akan mengecilkan hati sang anak. Umumnya harapan negatif mudah muncul dalam diri sang anak daripada harapan positif.

PENUTUP
Pendidikan anti kekerasan adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik kekerasan dalam proses kehidupan multietnik. Pendidikan anti kekerasan didasarkan pada gagasan untuk mengurangi skala konflik yang bernuansa rasial dan menciptakan suatu kehidupan yang harmonis dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan anti kekerasan seyogyanya dapat menjadi pendidikan alternative ditengah-tengah ”kegamangan” sistem pendidikan yang ada selama ini. Bahwa dengan pendidikan anti kekerasan akan terfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka. Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas kecendrungan konflik kekerasan rasial masa depan tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan kekerasan-kekerasan yang berimplikasi pada ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban.



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pendidikan Anti-Kekerasan digalakan. Walaubagaimanapun Dayak mesti terus memperjuangkan hak kita sebagai Dayak, orang asal dan sebagai bangsa yang mempunyai tanah.Contohnya : Kita harus lawan system transmigrasi sebab transmigrasi sebenarnya colonialism keatas kita Dayak, orang asal Kalimantan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons