Mandor hanyalah kota kecil, tepatnya pasar yang terdiri dari deretan ratusan ruko (rumah took) berbentuk segi empat. Jaraknya hanya 88 Km dari Kota Pontianak. Jalannya sangat lebar dan licin dengan status jalan internasional. Maklum, menuju Kuching-Sarawak, dari Pontianak, orang akan melewati Kota Mandor. Sebelumnya, Mandor luput dari perhatian public. Awal Juni 2008, Mandor menjadi perhatian public kembali setelah kampanye media yang dilakukan Tanto Yacobus, dkk dari Tribune Institute Pontianak. Tanto menginisiasi pembuatan sebuah blogspot khusus peristiwa Mandor. Koran Borneo Tribune, juga menampilkan berita-berita seputar peristiwa Mandor. Hal ini, menurut Nur Iskandar, Pimred Borneo Tribune karena masoh ada sisi gelap peristiwa ini yang belum terungkap, adahal pemerintah propinsi Kalimantan Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah tahun 2007 lalu dengan menjadikan tanggal 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Bahkan Borneo Tribune menyelenggarakan diskusi topical di Pontianak, dengan mengundang ahli waris korban, saksi sejarah, tokoh-tokoh dan masyarakat lainnya, 21 Juni 2008 lalu.
Menurut Doli Matnor (71 th), Temenggung Binua Mandor, Mandor berasal dari kata Manur, yakni sejenis nama buah asam hutan; asam manur yang dulunya banyak terdapat didaerah tanah berpasir ini. Bagi masyarakat Dayak, kampung memang seringkali diberi nama berdasarkan sesuatu yang unik, dan tentu saja memiliki nilai-nilai estetik berdasarkan kekhasan yang ada dilokasi awal saat itu. Bukti banyaknya asam manur didaerah ini masih terdapat disekitar Selutung, Kemenyan dan Bobor Buranti’, beberapa kampung Dayak yang tak jauh dari Kota Mandor.
Berbeda cerita versi Dayak, versi lainnya menjelaskan bahwa Mandor didirikan oleh Lo Fong Pak, seorang Hakka yang bermigrasi dari Tiongkok. Awalnya, menurut versi ini, Lo Fong Pak sudah menetap selama 7 bulan di Pontianak, tepatnya di Siantan (Parit Pekong skearang, pen) dan dengan perahu menyusuri sungai Dayak (anak sungai Segedong di Peniti). Dialiran sungai Dayak, ia menemukan satu lokasi yang cocok untuk dibangun pemukiman bagi 100 angota rombongannya. Ia kemudian membangun kota Mem-Tau-Er (Mandor) sebagai markas besar dari group perusahaannya, yang bernama Lo Fong Pak Kongsi. Saat itu, Mandor , telah dihuni oleh suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Di Mandor, sebelumnya telah ada pasar 220 pintu yang dimiliki oleh Mao Yien. Pasar 220 pintu ini terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan gelar Lo-Man. Mengetahui potensi besar untuk perkembangan Kongsinya didaerah kaya emas ini, Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong Kongsi tanpa pertumpahan darah. Dengan takluknya Benteng Lan Fo, Lo Fong Pak berhasil menguasai seluruh wilayah Mandor.
Wilayah Kecamatan Mandor, berbatasan langsung dengan Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak. Secara administrative, Mandor merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Landak. Mandor dihuni oleh masyarakat multietnik, Dayak, Melayu, Jawa dan Cina. Warga dari berbagai daerah lainnya di Indonesia juga banyak yang menetap di kecamatan ini. Mereka umumnya pekerja tambang emas, pekerjaan yang sudah digeluti turun-temurun, bahkan sebelum Republic Indonesia lahir. Potensi emas inilah, yang kemudian membuat Mandor begitu terkenal di dunia sejak abad ke-7 hingga hari ini.
Kecamatan ini terdiri dari 58 kampung, terbagi dalam…dusun dan …..desa. sedangkan menurut pemerintahan adat, kecamatan ini terdiri dari……kampung dan…..binua.
Pada tahun 2007, penduduk kecamatan Mandor adalah………jiwa, mayoritas suku Dayak.
Sejarah Mandor tidak lepas dari sebuah system pemerintahan berbentuk republic tertua di dunia. Dr.Irawan/Dr.Frits Hong, misalnya pernah meneliti tentang keberadaan republic ini. Baru-baru ini, Hasan Karman, peneliti Tonghoa Indonesia dan kini menjadi Walikota Singkawang juga pernah meneliti keberadaannya. Republik yang menggunakan nama Presiden pertamanya ini di bentuk oleh orang orang Hakka dari Kwangtung pada akhir abad ke-18, berlangsung selama 107 tahun dan pernah dipimpin oleh 10 orang Presiden !
Orang-orang Hakka adalah satu kelompok etnis yang unik di negeri tirai bambu, Republik Rakyat China (RRC). Orang Hakka disebut juga dengan sebutan orang Khek, orang Khe Cia, dan nama lain, tergantung pengucapan dengan dialek yang mana. Cara pengucapan Hakka sendiri untuk dirinya adalah orang Hakka (Hak = tamu/pendatang; Ka = keluarga). Dengan begitu, Hakka adalah kaum pendatang. Walaupun masih termasuk kelompok etnis Han, orang Hakka dianggap kaum perantau dalam China sendiri, karena itu dinamakan Hakka. Mereka yang dianggap 'pribumi' dalam satu tempat dinamakan kaum Punti (Pen-ti-ren = orang lokal). Karena dianggap kaum pendatang, di China sendiri mereka harus berhati-hati, dan sering kali ada friksi dengan kaum Punti. Dan banyak dari mereka ada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kalau orang local berdomisili di daerah pusat-pusat perdagangan, di kota-kota pelabuhan utama, seperti orang Hokkian, Canton, atau Teochew, orang Hakka masuk ke pedalaman, di daerah berbukit, dimana mereka kurang lebih terisolasi. Rumah-rumah clan Hakka bentuknya seperti benteng pertahanan dibangun di daerah perbukitan. Bentuk rumah itu mencerminkan perasaan tidak aman pada clan tersebut. Secara ekonomis, orang Hakka juga kurang beruntung dibanding dengan kaum Punti.
Orang Hakka sangat terkenal keuletannya. Kalau orang tionghoa terkenal ulet, maka keuletan orang Hakka itu double-tionghoa. Ditempat-tempat perbukitan dimana daerah miring sukar untuk dikultivasi, orang Hakka bisa mengubah tempat yang tidak layak tanam menjadi tanah produktif. Mereka tahan banting, berusaha lebih keras dari penduduk local untuk mengimbangi posisi sosial mereka yang underdog. Kondisi demikian menjadikan orang Hakka lebih independent-minded (berpikiran bebas), lebih mudah melepaskan diri dari tradisi dan menangkap idea baru untuk hidup. Tidak heran, orang Hakka adalah termasuk orang tionghoa yang cepat mengadopsi ide-ide Barat dibanding dengan yang lain dan mengkombinasikannya dengan budaya Hakka. Dan tekanan kepahitan hidup yang mereka rasakan menjadikan mereka lebih mudah menjadi kaum revolusioner, lebih progresif, dan lebih berani maju untuk menuntut pembaharuan, dan banyak pelopor-pelopor pembaharuan yang berasal dari Hakka. Fleksibilitas orang Hakka dalam menyerap ide-ide baru, tidak bersikeras untuk mempertahankan tradisi lama yang menghambat, menjadikan Hakka sebagai etnis yang unik dalam sejarah China modern.
Bukan kebetulan, kalau pemberontakan terbesar di China pada abad ke-19 yang melibatkan puluhan juta manusia, dan termasuk pemberontakan paling berdarah dalam sejarah kemanusiaan, dimotori oleh orang Hakka. Pemberontakan Taiping dengan pemimpinnya Hong Xiuquan hampir meruntuhkan Dinasti Qing. Sejarah Dunia terlalu kecil memberi perhatian pada Pemberontakan Taiping, yang sebenarnya jauh lebih besar daripada banyak pemberontakan-pemberontakan di Eropa. Dengan ditumpasnya pemberontakan Taiping dengan susah payah oleh pasukan Qing, menambah tekanan terhadap orang-orang Hakka tersebut. Dalam kurun waktu yang tak begitu berbeda, pada paruh kedua Abad-19, terjadi lagi Perang Etnis yang paling berdarah di China, terjadi di Canton. Friksi antara orang Hakka dengan orang-orang local di propinsi itu memuncak dengan kekerasan berdarah selama bertahun-tahun, yang menyebabkan banyak orang Hakka terusir keluar dari daerah gejolak, dan berimigrasi ke seluruh dunia.
Sikap revolusioner orang-orang Hakka ini sebagai suku pendatang, tidak mempunyai akar di suatu daerah sekuat kaum Punti, dan tradisi kaum Hakka tidak sekonservatif tradisi kaum Punti. Ketika wanita-wanita elite dan kaya di China dulu mengecilkan kaki, orang Hakka tidak melakukannya karena mereka harus bekerja. Karena itu wanita Hakka sering disebut "wanita berkaki besar", padahal sebenarnya kaum petani Punti juga banyak yang tidak membalut kaki dan berkaki besar juga. Mungkin streotype itu terjadi karena wanita Hakka banyak yang lebih berpikiran independen dan tidak terlalu tergantung dengan kaum lelaki, dibanding dengan wanita-wanita Punti.
Untuk Hakka dari Indonesia, terutama di Kalimantan Barat, kedatangan Orang Hakka telah terjadi pada abad ketujuh. Saat itu, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan sudah sering terjadi, walaupun belum menetap. Hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina - Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara - Kalimantan Barat. Imigran dari Cina ini masuk melalui Brunei dan menetap disana untuk menambang emas. Hubungan kekerabatan Brunei dan Sambas, menyebabkan perpindahan penduduk Cina ke Sambas. Pada tahun 1407, misalnya, di Sambas telah berdiri Muslim/Hanafi - Chinese Community. Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah percaya bahwa orang Cina adalah pekerja keras, membawa 20 pekerja Cina dari Brunei. Sultan Omar di Singkawang juga mendengar tentang ketekunan orang Tionghoa, dan kemudian memanfaatkannya melalui sistem kontrak lahan kepada orang Tionghoa guna membuka kawasannya. Atas keberhasilan tambang, pada tahun 1745, orang Cina didatangkan lagi secara besar-besaran. Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina ini sebagai wajib rodi, dan dipekerjakan di tambang-tambang emas kerajaan. Tenaga kerja Cina ini terpusat di Monterado dan Bodok. Dalam perkembangannya, mereka yang menetap di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan). Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut di Sambas dan Mempawah.
Orang Hakka ini, awalnya hanya terpusat di Monterado dan Bodok dalam Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah. Pada permulaan tahun 1740, jumlah orang Cina ini hanya beberapa puluh saja disana, namun karena perkawinan mereka dengan penduduk setempat, Dayak dan Melayu, pada tahun 1770 orang Cina disana sudah mencapai 20.000 orang. Jumlah mereka bertambah besar lagi dengan kedatangan pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura hingga akhirnya menetap di Mandor.
Pada tahun 1772, Lo Fong Pak datang dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Propinsi Kanton dengan membawa 100 keluarganya dan mendarat di Siantan, Pontianak Utara.
Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu dan Kerajaan Pontianak, yang baru berdiri setahun sebelumnya (1771). Lo Fong Pak oleh kongsi Tszu Sjin dipandang sebagai orang penting.
Saat itu, Mandor , telah dihuni oleh suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo. Daerah Mimbong (Benuang) didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong yang tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San King(Air Mati) (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko.
Mendengar besarnya potensi tambang emas, Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majelis umum (Thong) serta pasar. Lo Fang Pak mendirikan Lan Fang Kongsi, kemudian berusaha menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mendirikan kota Mem-Tau-Er (Mandor) sebagai markas besar dari group perusahaannya. Namun ia merasa tersaingi oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh dan 20 pintu pasar baru yang didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man. Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahasia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati). Sejak Abad 18, Lo Fong kemudian menguasai pertambangan emas Liu Kon Siong dan pertambangan perak Pangeran Sita dari Ngabang.
Pada tahun 1776, 14 Kongsi di satukan membentuk He Soon 14 Kongsi. Penyatuan kongsi-kongsi menjadi He Soon 14 Kongsi, menjadikan Lo Fang Pak, yang asalnya seorang guru ini semakin besar dan kuat. Ia kemudian mendirikan pemerintahan, dengan mengambil nama dari perusahaannya. Pada tahun 1777 berdirilah Republik Lan Fang. Ketika itu banyak orang meminta Lo Fang Pak menjadi Sultan (monarchi), tapi beliau menolak dan tetap menempatkan dirinya sebagai Presiden dalam pemerintahan yang bersistem republik, dan presidensil. Pada masa pemerintahannya, Lo Fang Pak telah menjalankan system perpajakan, dan mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan. Republik Lan Fang bukan hanya disegani kekuatan militernya tapi juga keahlian mereka dalam mengusir buaya di kawasan muara kapuas. Ini membuat para Dayak dan hoakiau menaruh hormat kepada Presiden Lo Fang Pak.
Sejak berdiri pada tahun 1770, Sultan Kun Tien (Pontianak) membangun istana agak ke hulu sungai yang mana dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah. Pembangunan istana ini memicu perang antara kedua kesultanan. Dalam perang ini (1794) Sultan Kun Tien minta bantuan Lan Fang Kongsi karena kedekatan diantara mereka. Sultan Mempawah yang kalah dalam perang lalu bergabung dengan Dayak dan melakukan serangan balasan. Lo Fang Pak kembali mematahkan kekuatan Sultan Mempawah, malah kali ini Sultan Mempawah didesak terus ke utara sampai Singkawang, kemudian berakhir dengan Sultan Singkawang dan Sultan Mempawah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Lo Fang Pak. Segera setelah kejadian itu popularitas Lo Fang Pak melesat dramatis. Setelah itu, rakyat, dan orang Tionghoa didaerah itu bergabung dengan Lo Fang Pak untuk mencari perlindungan, dan Sultan Kun Tien menyadari bahwa dia tidak sanggup melawan kekuatan militer Lo Fang Pak, maka Sultan sendiri meminta perlindungan dari Lo Fang Pak.
Presiden Lo Fang Pak wafat pada tahun 1795 dan dimakamkan di Sak Dja Mandor (dimana ?). peninggalan Lan Fang masih terlihat pada sebuah Toa Pe Kong di Purun, termasuk di Parit Pe Kong Siantan.
Pada saat itu, Republik Lan Fang telah berusia 47 tahun, tepat dimasa Presidennya yang ke-5, Liew Tai Er. Pada masa Presiden Liu Tai Er (Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani suatu pakta non-agresi timbal-balik. Penandatanganan pakta tersebut praktis berarti menyerahkan rezim Lan Fong ke dalam kekuasaan Belanda. Belanda berhasil menduduki Lan Fong Kongsi, walaupun kongsi tersebut terus mengadakan perlawanan selama 4 tahun, tetapi akhirnya dikalahkan, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), presidennya yang terakhir. Selain itu, munculnya pemberontakan penduduk Dayak semakin melemahkan pemerintahan Lan Fong. Secara perlahan, Republik Lan Fong kehilangan otonomi dan menjadi sebuah daerah protektorat Belanda. Belanda akhirnya menduduki Lan fang Kongsi (1885) dan membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak, dengan mencampuri seluruh urusan republik tersebut. Karena takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok, menyebabkan Belanda tidak pernah menyatakan menguasai Lan Fang, maka dibiarkan salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi pemimpin disana. Baru setelah terbentuknya Republik of China (Cung Hwa Ming Kuok) pada tahun 1911, maka baru pada tahun 1912 Belanda secara resmi menyatakan menguasai daerah itu (Republik Lan Fang). Namun, pada tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara) di Mempawah oleh pengikut dan keluarga Lan Fang yang masih tersisa. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk ikut. Pemberontakan ini baru berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda. Untuk mengenang prajuritnya yang gugur selama peperangan dengan Republik Lan Fang, Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor (cari lokasi tugu peringatan Belanda ini di Mandor). Perang Belanda dengan Republik Lan Fang ini terjadi 2 kali, yakni tahun 1854-1856 dan tahun 1914-1916. Perang itu dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalbar.
Nama Pimpinan Lan Fong No.
Nama Periode Peristiwa Penting dalam Masa Pimpinannya
1. Lo Fongpak 1777-1795 Pendirian Langfong Kungsi di Mandor pada tahun 1777.
2. Kong Meupak 1795-1799 Perang dengan Panembahan Mempawah.
3. Jak Sipak 1799-1803 Konflik dengan orang Dayak dari Landak.
4. Kong Meupak 1803-1811
5. Sung Chiappak 1811-1823 Ekspansi tambang di Landak.
6. Liu Thoinyi 1823-1837 Sudah di bawah pengaruh kolonial Belanda.
7. Ku Liukpak 1837-1842 Konflik dengan Panembahan Landak dan kemerosotan kongsi.
8. Chia Kuifong 1842-1843
9. Yap Thinfui 1843-1845
10. Liu Konsin 1845-1848 Pertempuran dengan orang Dayak Landak.
11. Liu Asin 1848-1876 Ekspansi tambang ke kawasan Landak.
12. Liu Liongkon 1876-1880
13. Liu Asin 1880-1884 Kejatuhan Lanfong Kungsi pada tahun 1884.
Seiring dengan dikuasainya Republik Lan Fang oleh Belanda, orang-orang dari republik ini kemudian melarikan diri ke Sumatra. Orang orang Lan Fang yang lari ke Sumatra bergabung lagi di Medan. Dari sana mereka menyebar ke Kuala Lumpur dan Singapura.
Menurut catatan Rahman (2000:123), melalui Keputusannya 4 Januari 1857, Belanda memasukkan kembali distrik Cina di Mandor (sekarang Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak) ke dalam wilayah Kesultanan Pontianak. Alasan formal dari penyerahan itu adalah sebagai imbalan atas “kebijaksanaan” Sultan Usman yang “tidak berfihak” atas kasus kekacauan kongsi cina di Mandor pada 1850. Motivasi penyerahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh kesulitan Pemerintah Kolonialisme Belanda menghadapi perlawanan anggota sub kelompok etnis Dayak, anggota komunitas dan kongsi Cina terhadap Belanda yang sewenang-wenang menanam kuku kolonialismenya dan memonopoli dalam pengeksploitasian pertambangan emas di Mandor dan Monterado (sekarang terletak di Kabupaten Bengkayang).
Salah seorang dari keturunan Republik Lan Fang di Mandor ini, adalah Lee Kuan Yew, yang pernah menjadi Perdana Mentri Singapura. Ditangan Lee Kuan Yew, kelompok Hakka yang minoritas di Singapura, menjadi pemegang peranan penting dalam mendirikan Lan Fang Kongsi yang kedua di Singapura, hingga hari ini.
Antara tahun 1921-1929 karena di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.
******
Jum’at siang, 19 Desember 1941, tepat pukul 12.00 sembilan kapal terbang meraung-raung diatas langit Kota Pontianak. Bom dijatuhkan, dan senapan mesin memuntahkan pelurunya. Asap hitam mengepul diudara, membuat cuaca tiba-tiba menjadi gelap. Serangan bom menjurus dari Gang Masrono dan disekitar Sekolah MULO RK dan Kampung Bali. Serangan demi serangan membuat kekuatan Belanda melemah. Dai Nippon, dengan Hinomarunya menyatakan diri sebagai saudara tua di Asia. 1 Februari 1942, Jepang merebut Pontianak, 6 Februari 1942 (Mardan Adijaya), dan akhir bulan Februari 1942, seluruh wilayah Kota Pontianak telah berhasil diduduki. Pada tanggal 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, dan Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India-Belanda datang ke Kalijati untuk memulai perundingan dengan pihak Tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura. Imamura menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Letnan Jenderal ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal menanda-tangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Dengan demikian secara de facto dan de jure, seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang.
Setelah berhasil menguasai Jawa, Pada tanggal 29 April 1942, Jepang membentuk gerakan 3A, dengan semboyannya yakni “Jepang Pemimpin Asia”, “Jepang Cahaya Asia”. Dengan semboyan ini, pemerintahan di Kalimantan Barat sepenuhnya beralih ke tangan Minseibu (minsei: pemerintahan sipil) pada bulan Juli 1942, yang ditandai dengan kedatangan Rykugun (Angkatan Darat Jepang). yang kemudian sejak 15 Juli 1942, menyerahkannya pada Kaigun (Angkatan Laut Jepang), yang mendarat di Pemangkat pada tanggal 29 Desember 1942. (lihat A.Halim Ramli, Borneo Tribune, Sabtu, 28 Juni 2008 hal 1-20).
Pada tanggal 16 Oktober 1943, Suatu pertemuan di adakan di Gedung Medan Sepakat Pontianak, yang dihadiri oleh kurang-lebih 70 orang tokoh dari berbagai golongan. Dalam pertemuanini, selain merencanakan penyerangan pada pukul 02.30 tanggal 8 Desember 1943, mereka juga merancang garis-garis besar tentang pembentukan Negara, dengan nama; NEGARA RAKYAT BORNEO BARAT (bahasa asliya; Negeri Ra’jat Borneo Barat). Didalam rancangan ini, sudah diatur tentang tata Negara, perbatasan negeri pemerintahan, model bendera Negara. Dipilih juga orang-orang yang akan menjabat, seperti Minister President: Pangeran Adipati, Predisen Muda; Pattiasina, serta 18 Menteri-menteri, Kepala Sekretaris, dll. Disepekati juga untuk mengirim utusan istimewa ke Amerika Serikat dan Inggris sesudah Negara baru dibentuk serta rencana untuk merayakan kemenangan perang.(M.Yanis;1983;181)
Berbeda dengan pergerakan rakyat di perkotaan, dipedalaman, rakyat juga bahu-membahu mengangkat senjata melawan Jepang. Pada awal bulan Maret 1944, Temenggung Mandi alias Pang Dandan dari Kampung Embuan Kunyil-Meliau, dengan rahasia memanggil 3 orang tokoh terkemuka yang terkenal tegas dan berani, yakni Burung, Jap alias Rejap dan Sulang. Pertemuan ini berhasil menyepakati untuk segara membentuk dan menghimpun kekuatan rakyat melawan Jepang. Perlawanan tokoh-tokoh ini memuncak setelah sebuah perusahaan kayu Jepang;Sumito Shokusan Kabushiki Kaisha, di Suak Garong-Meliau mempekerjakan rakyat secara paksa, menyiksa dan tidak member makan pekerjanya. Lisi, seorang pekerja diperusahaan itu memberontak terhadap Yamamoto alias Tuan Pencong, pimpinannya. Karena itu, Yamamoto, bersama dengan Atet (asistennya) berangkat ke kampung Suak Garong mencari Lisi. Namun, rencana Yamamoto ini sudah tercium sebelumnya oleh Lisi, segera saja ia bersembunyi dan menemui Temenggung Mandi di kampung Embuan Kunyil. Mendapati tidak ada penduduk laki-laki di Suak Garong, Yamamoto marah besar. Ia menemui Rontoi alias Caya dan istrinya yang sudah sangat tua. Terjadi perkelahian sengit antara keduanya, yang akhirnya Rontoi berhasil mematahkan tangan kiri Yamamoto. Karena perkelahian menjadi tidak seimbang, Yamamoto dan Atet yang juga luka didahinya melarikan diri ke Posong, kantor perusahaan. Untuk berjaga-jaga atas dampak kejadian ini, Temenggung Mandi mempersiapkan 3 kelompok, yakni Kelompok I dipimpin oleh Menera alias Pang Suma, Kelompok II dipimpin oleh Ajun alias Pang Linggan dan Kelompok III dipimpin oleh Agustinus Timbang alias Pang Timbang.(Yacobus FL;1981;13). Kemudian, karena dirasakan perlu untuk memperluas dan memperbesar kekuatan, maka pada tanggal 13 Mei 1944, di Kampung Embuan Kunyil-Meliau, di deklarasikan suatu organisasi perjuangan bernama; ANGKATAN PERANG MAJANG DESA, dengan Pang Dandan alias Mandi, Temenggung Embuan Kunyil sebgaai ketua/pimpinan/panglima tertinggi. Beliau di bantu oleh Bagok, Temenggung Abdeleng Pampang II sebagai wakil ketua/pimpinan/panglima tertinggi, sertar Pang Perada alias Sayang, seorang juru tulis di Meliau sebagai Sekretaris, termasuk M.Nasir dan Naga sebagai wakil sekretarisnya. Sedangkan bendahara dan perlengkapan organisasi ini diangkat Tan Sin An alias Pak Uban. Organisasi ini terbagi dalam 3 bagian, yakni Perencana Menyerang dipimpin oleh Pang Peah, Penerangan Masyarakat dipimpin oleh Burung, merangkap ajudan Pang Dandan, Penghubung di Meliau dan Tayan yakni Abang Syahdan Syah, juru tulis di Meliau serta Pelaksana Perang/Tempur dipimpin oleh Pang Suma alias Menera. Beliau dibantu oleh 4 orang yakni Pang Linggan alias Ajun, Agustinus Timbang, Gompang dan Lampi alias Pang Lapen. Untuk pelaksanaan perang ini, Pang Suma dibantu oleh coordinator-koordinator wilayah Tayan, Batang Tarang, Sosok (Busu, Gagak, dll), Wilayah Ngabang dan Mempawah (Batu, Kilat, dll), Wilayah Ketapang (Kandol, dll) dan Wilayah Sekadau (London, dll).
Peperangan, ancaman dan munculnya berbagai organisasi perjuangan bersenjata untuk melawan Jepang yang terus terjadi dan semakin meluas, menyebabkan Jepang gerah dengan situasi di Borneo Barat. Maka atas informasi dari mata-matanya, Jepang melakukan penangkapan tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap menentang kebijakan Jepang. Penangkapan dimulai tanggal 14 April 1943, dan dilanjutkan dengan penangkapan besar-besaran saat berlangsungnya konferensi Nissinkai (organisasi pemuda yang dipelopori Raden Pandji Moh. Zubir Notosoedjono dan dr. Roebini; yang direstui jepang); karena sebelumnya, Nissinkai telah banyak melakukan perundingan rahasia dan memprovokasi huru hara di berbagai tempat. Pertemuan itu sendiri adalah taktik jepang untuk memudahkan penangkapan para tokoh masyarakat. Mereka dibawa dan ditutup kepalanya dengan kain dan sungkup; peristiwa ini dikenal dengan istilah PENYUNGKUPAN. Para tokoh yang ditangkap, berdasarkan sidang Madjelis Pengadilan Hoekoem Ketentaraan Angkatan Laot Jepang, kepala-kepala komplotan serta lain-lainnja yang telah ditangkap dijatuhi hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 1944, di Mandor, 88 Km dari Kota Pontianak. Akhirnya nasib para tawanan Jepang menjadi jelas setelah koran BORNEO SHIMBUN edisi nomor 135 tahun II tertanggal 1 Juli 1944 (1 sitigatu 2604) memberitakan sebagai berikut:
Komplotan besar jang mendoerhaka oentoek melawan Dai Nippon soedah dibongkar sampai ke akar-akarnja. Salah satoe Angkatan Laoet di Pontianak jang sedjak dahoeloe mengethoei tentang tersemboenjinja rantjangan komplotan melawan Dai Nippon jang sangat besar oekoerannja di daerah Kalimantan Barat, Pontianak, Singkawang dan sekitarnja sebagai poesatnja, senantiasa meneroeskan pengintipan dengan seksama, hingga pada soeboeh tanggal 23 Zyugatu tahoen jang lampaoe melangsoengkan penangkapan besar jang pertama, dan pada soeboeh tanggal 24 Itigatu tahoen ini dioelangi penangkapan besar sekali lagi. Sedjak itoe pemeriksaan teliti telah diteroeskan terhadap Dokoh Pontianak serta beberapa ratoes orang jang bersangkoetan jang soedah ditahan, maka achirnya terbongkar dengan sendjata-sendjatanja komplotan besar oentoek melawan Dai Nippon jang sangat mengedjoetkan orang. Oleh karena itoe baroe-baroe ini dalam sidang Madjelis Pengadilan Hoekoem Ketentaraan Angkatan Laot kepala-kepala komplotan serta lain-lainnja telah didjatoehkan hoekoeman mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu merekapoen telah ditembak mati.
Tidak dapat dipastikan berapa jumlah kaum intelektual, penguasa setempat (Sultan serta Panembahan), pengusaha, politisi dll. yang menjadi korban keganasan tentara Jepang antara tanggal 23 April 1943 – 24 Mei 1944. Angkanya bervariasi antara 1534 orang sampai 1.838 orang. Namun penduduk Kalimantan Barat yang tewas selama masa pendudukan Jepang dari tahun 1942 – 1945 diperkirakan berjumlah 21.037 jiwa. Keterangan mengenai hal ini diberikan oleh Kyotoda Takahashi, salah seorang mantan tentara pendudukan Jepang yang pernah bertugas di Pontianak, pada tanggal 22 Maret 1977, ketika bersama rombongan mantan tentara Jepang berkunjung ke Pontianak. Menurut Takahashi, yang didampingi oleh Tsunesuke Masco, Sadao Hiraga dan Otonihisa Asuka, data tersebut ada di dokumen perang yang tersimpan di Perpustakaan Tokyo University dan Kyoto University. Ketika disidangkan di Mahkamah Militer tentara Sekutu pada bulan Oktober-November 1945, Yamamoto, Komandan Kempetai di Pontianak mengakui, bahwa target jumlah pimpinan masyarakat setempat yang akan dibunuh adalah 50.000 orang.(http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/auschwitz-jepang-di-kalimantan-barat.html)
Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya (Iqbal;2003;4).
Pada tanggal 29 Maret 2005, di Jakarta, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, YM. Yutaka Limura menandatangani nota diplomatic dengan Direktur Jendral Asia Pasifik, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Herijanto Soeprapto. Dalam nota ini, Pemerintah Jepang memutuskan memberikan dana hibah sejumlah 435 juta Yen (sekitar US$ 4,2 juta atau Rp.39 Milyar) kepada Pemerintah Indonesia untuk Proyek Peningkatan Pelayanan Kesehatan di RSU di Provinsi Kalimantan Barat. (lihat Borneo Tribune, Sabtu, 28 Juni 2008 Hal.1).