Dayak Kanayatn dan Konflik Antar Etnik



“ Ketika hidup ditepi sungai kami diganggu dan dipaksa untuk bayar pajak dan hak-hak lainnya dirampas, maka kami akan pindah ke daratan ( baca: pedalaman ), jika didaratan kami diganggu lagi, maka kami akan pindah ke bukit-bukit, jika dibukit kami diganggu, maka kami akan tinggal ke gunung-gunung, jika digunung kami diganggu, maka kami akan hidup ketepi jurang, tetapi bila ditepi jurang kami tetap diganggu maka kami akan melawan sampai titik darah penghabisan”.
( Singa Djumin, Kepala Adat Kaca’ )

Kutipan diatas menyentak kesadaran generasi masa kini. Selain menyiratkan bahwa suku ini tergolong “ganas”, muncul juga makna lain dari betapa tertindasnya suku ini dalam sejarah keberadaannya di bumi Kalimantan.
Pada keadaan sekarang ini, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa mereka yang menyebut dirinya Dayak Kanayatn sedang berada dipersimpangan jalan. Mereka berada disatu titik dimana berbagai perasaan berkecamuk, mulai dari bertanya siapa aku ( nama suku ku ) sampai kepada pengalaman hidupnya yang penuh subjek dan objek dari belasan kali konflik antar etnik di Kalimantan Barat. Mereka juga sedang berada diposisi antara maju terus dengan apa yang ada sekarang atau mundur beberapa langkah lagi kebelakang untuk memilih sistem hidup, antara memilih sistem hidup warisan pemerintah rezim Orde Baru atau kembali ke sistem peninggalan leluhur yang adati. Atau ikut arus keadaan modern saat ini atau malah diam ditempat menunggu dan terus menunggu perubahan hingga sang Raja Damai menetaskan kasihnya ?
Kebingungan memilih jalan ini sangat banyak dipengaruhi oleh sejarah perjalanan suku ini yang selalu diwarnai sebagai objek dan sarat dengan stigma yang pada akhirnya menghasilkan generasi yang berbeban berat secara psikologi. “ Dayak Kanayatn “ seperti halnya suku-suku lainnya di Kalimantan selalu menjadi objek dari kekuatan supra Dayak yang tak mampu dibendung lagi. Selain objek penelitian dengan hasil yang sangat mencengangkan misalnya primitif, animis, bodoh dan pasrah pada nasib juga menjadi objek “ perampasan “ hak kekayaan intelektualnya dan sumber daya alam sebagai tempat satu-satuny untuk bertahan hidup dimuka bumi ini.
Dari perjalanan yang penuh objek ini, suku Kanayatn untuk setara saja dengan orang lain harus berjuang ekstra keras. Karena perjuangan yang keras inipula, dibelakangan hari sikap ini menjadi salah satu objek baru didunia perpolitikan Kalimantan Barat. Dayak Kanayatn selalu memaksakan kehendak, dan pemaksaan kehendak adalah sikap yang harus dihindari dan kalaupun tidak bisa dilawan !!!. tidaklah heran, “ konsep “ ini banyak diadobsi oleh elit politik daerah sebagai senjata, yang akhir-akhir ini menjadi “ sumber konflik “ baru.
Ada 2 kabupaten/kota yang dikategorikan sebagai daerah basis konflik utama di Kalbar; Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sambas. Sebelum pemekaran kabupaten akhir tahun 1990-an, dua kabupaten ini menjadi ”sentral info” tentang domain konflik antar etnik. Ada 4 kelompok etnik utama di kawasan ini: Dayak, Melayu, Cina dan Madura. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk asli-mayoritas, sedangkan dua kelompok etnik berikutnya merupakan pendatang-minoritas. Sejak masa kolonialisme hingga sekarang ini, seluruh kelompok etnik telah terlibat dalam persaingan tajam untuk merebut dominasi ekonomi, politik, dan sosio-kultural di satu wilayah yang relatif kurang sumberdaya alamnya itu. Dengan kata lain, hubungan mereka sejak awal memang cenderung konfliktual. Kehadiran negara moderen –mulai dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia— secara langsung atau tidak, cenderung membiarkan bahkan memanfaatkan hubungan inter-etnik yang konfliktual tersebut.
Di masa kolonial, dari waktu ke waktu, semua kelompok etnik pernah berperang satu sama lain. Dan di era reformasi sekarang ini, mereka kembali terlibat dalam peperangan simbolik dalam bidang kultural, institusional, dan struktural.
Tidak seperti mitos yang berkembang, kawasan ini bukan merupakan suatu wilayah yang makmur. Sumberdaya alamnya tidak terlalu bervariasi, dan tanahnya kurang subur. Pada abad 16-19, wilayah ini lebih banyak mengandalkan pada emas dan intan, pada paruh pertama abad 20, pada kopra, karet dan lada, selanjutnya hingga sekarang ini pada kayu, jeruk dan kelapa sawit. Komposisi demografis dan situasi ekologis disamping faktor politik tertentu menyebabkan berkembangnya semacam division of labor secara etnik. Melayu adalah pegawai kerajaan, Dayak peladang berpindah, Cina pekerja tambang,.
Di sekitar awal 1990, sebagai akibat mulai menipisnya hutan dan beralihnya ekonomi ke perkebunan. tingkat kemakmuran warga menjadi menurun, pada saat yang sama pemerataan semakin rendah. Semakin banyak Dayak yang kehilangan tanahnya karena dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, Melayu kehilangan pekerjaannya di industri kayu, dan upaya untuk mengembangkan perkebunan jeruk mengalami hambatan ketika pemerintah pusat melakukan intervensi dengan memberlakukan tata niaga jeruk. Hal ini membuat Dayak dan Melayu terpaksa keluar menjadi TKI ke daerah lain, termasuk ke negara tetangga, Malaysia dan Brunei. Dan bertindak sebagai makelar bagi kedua etnik tersebut adalah Cina dan Madura. Tingkat kemiskinan di Kalbar mendekati kulminasi ketika pada pertengahan 1998 Indonesia mengalami krisis terparah
Hampir tujuh tahun berlalu sejak meletusnya konflik etnis antara Suku Madura dan Suku Melayu di Sambas, beberapa ahli sosiologi (Iqbal;2004) mengatakan bahwa relasi Dayak, Melayu, Cina, dan Madura masih berada dalam situasi perdamaian etnik kendatipun di antara mereka ada konflik etnik yang tajam. Dayak dan Melayu berkompetisi dalam bidang sosial-politik. Dayak vs. Cina berkompetisi dalam bidang ekonomi-politik, Dayak vs. Madura dalam sosial-politik, Melayu vs. Cina dalam ekonomi-politik, Melayu vs. Madura dalam sosial-ekonomi, serta Cina vs. Madura dalam ekonomi.
Sejak pemerintah pusat melakukan pemekaran wilayah Dati II di Kalbar pada 1999 di satu pihak, dan sebagai akibat kekerasan etnik kepada Cina dan Madura di pihak lain, kedua hal itu tanpa sengaja telah berhasil mengurangi kekacauan dalam pembagian teritori etnik tersebut. Setiap kelompok seakan memiliki teritori etnik tersendiri. Sebagai akibat kebijakan pemekaran wilayah, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak menjadi teritori Melayu, Bengkayang & Landak menjadi teritori Dayak. Dan sebagai akibat kekerasan etnik sebelumnya, Cina dan Madura cenderung menetap di sekitar perkotaan. Bersama Melayu, ketiga kelompok etnik tersebut menjadi mayoritas di beberapa lokasi kota perdagangan penting di Kalbar: Pontianak, Sungai Pinyuh dan Singkawang. Daerah yang disebut terakhir ini karena telah diakui statusnya oleh pemerintah sebagai kota otonom, terkepas dari Sambas dan Bengkayang, dapat dikatakan seakan sebagai teritori Cina. Bukan hanya dari aspek demografis, melainkan juga simbolis.
Pembagian wilayah secara administratif diatas jelas tidak memperhitungkan aspek geografis & sosiologis secara detil sehingga menimbulkan kebingungan daerah mana yang merupakan kabupaten pesisir atau pedalaman, dan kelompok etnik mana yang menempatinya. Beberapa kabupaten memang jelas merupakan daerah pesisir, tapi sebagaimana Sambas dan Kabupaten Pontianak juga memiliki daerah pedalaman. Sintang dan Kapuas Hulu memang merupakan daerah pedalaman, namun jumlah penduduk Melayu di kedua kabupaten itu cukup banyak. Kebingungan ini berpotensi menjadi ketegangan ketika daerah harus memiliki bupati.
Berjalan seiring dengan pemekaran wilayah, terjadi juga perubahan praktik pembagian kekuasan secara etnik. Sejak pertengahan 1999, sebuah wacana baru berkembang dan dalam waktu yang relatif singkat langsung diterapkan secara efektif. Bila individu yang berasal dari satu kelompok etnik memegang jabatan kepala daerah, maka individu dari kelompok etnik lain bertindak sebagai wakilnya, atau sebaliknya. Awalnya hal itu secara efektif berlaku hanya pada Dayak dan Melayu. Hingga pertengahan 2003, dari 10 Dati II Dayak dan Melayu berbagi secara seimbang jabatan tersebut, demikian pula gubernur yang sekarang dipegang oleh Melayu sedangkan wakilnya Dayak. Namun pada akhir 2003, untuk pertama kalinya tampil bupati Cina dengan wakil Melayu. Yang menarik, bupati Cina itu justru terpilih pada kabupaten yang Dayak merupakan mayoritas, di Sanggau bukan di Singkawang dimana Cina merupakan mayoritas.
Parsudi Suparlan (1999) menjelaskan bahwa tidak adanya suatu budaya yang dominan di Kalbar, menyebabkan masing-masing etnik terus-menerus mengembangkan adat dan tradisinya masing-masing. Di Kalbar, selama etnik-etnik itu tidak saling bersinggungan secara intensif, maka akan berlangsung koeksistensi damai (seperti antara Dayak, Melayu, Cina dan Jawa). Hal ini kemudian mempengaruhi hubungan antar-suku diwilayah Kalimantan Barat, yang dalam kenyataannya tidak dapat berlangsung dengan baik dan harmonis, khususnya antara suku pendatang dan penduduk asli yakni Dayak. Sedangkan warga Cina perantau kendati tidak pernah berkonfrontasi secara langsung juga menjimpan perasaan kurang senang terhadap perilaku orang Madura yang dinilai kerap mempraktekkan kultur kekerasan dan sikap mau menang sendiri.
Selama berpuluh-puluh tahun hubungan antara suku-suku yang hidup berdampingan gagal menghasilkan proses adaptasi yang sehat. Konflik lebih mengemuka dibandingkan kerjasama dan integrasi gagal terwujud.Antara suku-suku yang bertikai jarang jarang ada kerjasama dalam berbagai aktivitas sosial seperti gotong-royong dan semacamnya.Integrasi dan kerjasama tidak terwujud juga lantaran pola pemukiman yang tersegregasi secara aksklutif. Berkurangnya daya dukung lingkungan akibat pembangunan yang merusak lingkungan serta memarginalkan penduduk asli setempat telah mengaselerasi dan mengakumulasi prasangka antar-etnik.Perilaku aparat yang cenderung tidak lagi mampu menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak hokum yang efektif,semakin menambah akumulasi konflik.Dalam beberapa tahun terakhir sebelum kerusuhan 1999 di Sambas,semacam premanisme telah berkembang yang justru dilakukan oleh para pendatang dari Madura adalah sebagai akibat tidak berfungsinya aparat (Riza Sihbudi,dkk.,2001:212-213).
Hubungan antar-etnik di Kalbar juga diwarnai dengan prasangka sosial. Dayak, Melayu dan China menganggap etnik Madura sebagai suku yang keras, cepat tersinggung, mau menang sendiri, selalu membawa senjata tajam, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasaan,mudah ingkar janji, suka mencuri tanaman dan ternak,membunuh hanya karena persoalan sepele dan hidup eksklusif. Sebaliknya, etnik Madura menilai Dayak sebagai suku yang kuno, pemalas, kasar, tidak ramah, emosional, suka berkelahi, sombong dan pengecut. Sementara pandangan Madura terhadap Melayu sebenarnya tidak sepenuhya negatif, antara lain Melayu di nilai tidak ulet, pemalas, boros, pengecut dan penakut tetapi juga dapat di percaya, teguh pada pendirian dan ramah (Riza Sihbudi, dkk, 2001 : 203-204 ).
Pemukiman etnik madura dipedesaan dan sekitar kota menunjukan pola pemukiman kelompok. Mereka mendirikan pemukiman-pemukiman yang terpisah dari penduduk setempat atau mendirikan perkampungan baru dengan cara membuka hutan.Apabila jumlah mereka cukup besar dan perkampungan mereka luas,maka akan terbentuk sebuah kampung Madura dan bila lebih kecil dan pemukimannya sempit,maka akan terbentuk Rukun Kampung atau Rukun Tetangga.Etnik Madura juga ada yang tinggal secara pola sisipan, yakni dijumpai di perkotaan serperti pontianak , singkawang, sanggau, dan ketapang . walau bertempat tinggal menyisipan di tengah- tengah kelompok etnik lain namun mereka umumnya tetap berkelompok, artinya tinggal di antara mereka sendiri secara berdekatan ( Hendro Suroyo Sudagung, 2001 : 105-107
Sementara perekonomian Kalimantan Barat berkembang, perkembangan itu menimbulkan segmentasi suku dan perasaan dipinggirkan yang makin besar di kalangan orang Dayak. Perdagangan di pedesaan berada dalam tangan orang Tionghoa. Lahan diambil alih oleh para tranmigrasi dan kaum kapitalis perkayuan/perkebunan/ pertambangan dari Jawa, sedangkan birokrasi juga dijalankan oleh orang luar. Selain itu, harapan untuk mobilitas ke atas yang diciptakan oleh wacana pembangunan Orde Baru tidak dapat dipenuhi. Orang Dayak dihadapkan pada hambatan-hambatan yang ditafsirkan oleh semua pihak dari sisi suku. Organisasi-organisasi non Dayak menafsirkan itu dalam idiom global mengenai penduduk asli yang tersingkirkan (kemudian disebut penduduk pertama). Dewan adat yang dibentuk oleh pemerintah, bagian dari korporatisme Orde Baru, mengulangi pesan itu dalam bahasa birokrasi ketika Dewan itu dibentuk setelah tahun 1985.
Ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa keberagaman suku berkaitan dengan potensi konflik yang lebih besar (Rummel, 1997). Menurut Rummel, jumlah suku menjelaskan seperlima dari perbedaan yang ditemukan di antara semua negara yang dilanda kekerasan dahsyat seperti perang gerilya dan perang saudara. Keberagaman suku ini juga sudah menjadi penjelasan ’resmi’ bagi kekerasan di Indonesia. Namun kesimpulan ini didasarkan pada data konflik dari 1932-1982, data yang lebih baru cenderung menunjukkan bahwa perlu ditambahkan beberapa catatan pada kesimpulan ini.
Menurut Collier dan Hoeffler (1998), situasi yang paling mudah memicu konflik adalah saat 2 kelompok suku utama bersaing untuk memperoleh kekuasaan. Masyarakat yang terdiri banyak suku yang sama-sama kuat cenderung, sama seperti halnya masyarakat bersuku tunggal, tidak mudah melancarkan perang. Collier dan Hoeffler menjelaskan ini dari sisi rasionalitas pelaku konflik: rasional bagi sebuah kelompok suku untuk menggunakan kekerasan hanya bila kelompok dapat mencapai sesuatu dengan menggunakan kekerasan hanya bila kelompok dapat mencapai sesuatu dengan menggunakan kekerasan. Dalam situasi dimana hanya ada 2 suku yang dominan, mencederai suku yang lain memang kadang-kadang menghasilkan perubahan politik yang diinginkan, dan dominasi bagi suku yang mencetuskan kekerasan. Namun, penggunaan kekerasan secara besar-besaran untuk tujuan politik di sebagian besar daerah di Indonesia tidak akan membuahkan hasil ’yang diinginkan’, karena dalam lingkungan multi suku tidak ada satu suku yang cukup kuat untuk melancarkan serangan yang dapat menundukkan suku-suku selebihnya.
Menafsirkan ini dalam konteks konflik yang tidak terlalu rasional, kompleks, dan lebih realis, kita dapat menggunakan pendekatan Horowitz, sebuah analisis yang berhati-hati mengenai proses kerusuhan suku (2001) menurut Horowitz, agresi sering disebabkan oleh rasa takut, karena itu sasaran agresi biasanya adalah sebuah kelompok yang kuat. Namun rasa takut juga merupakan penghambat utama bagi terjadinya konflik, seperti misalnya ketika sebuah kelompok ditantang oleh musuh yang kuat dan tidak dapat menggunakan strategi atau waktu untuk menguasai lawan. Sebuah kelompok suku dominan yang kehilangan kekuasaan dalam pemilihan umum atau kehilangan pemimpin kharismatis, atau kalah manuver, selalu menjadi kelompok yang menghadapi resiko menjadi sasaran kekerasan bila ada kelompok suku yang terdesak dan juga cukup kuat.
Rangkaian konflik yang terus menerus terjadi berulangkali telah memperkuat stereotipe etnis dalam kepercayaan budaya masing-masing komunitas etnis sedangkan dilain sisi praktek-praktek sosial dan politik menyuburkan sikap kesukuan yang radikal dan ekslusif. Lebih jauh dampak konflik juga memunculkan fenomena sipral kekerasan yang akan terus menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Perubahan situasi politik dan ekonomi juga memberikan kontribusi baru terhadap munculnya konflik atas nama identitas etnik ini. Diantara fenomena baru yang muncul adalah premanisme yang semakin menguat di masing-masing kabupaten, ketidakperpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik dan ketidakseriusan pengambil kebijakan terhadap fenomena konflik itu sendiri.
Konflik masa lalu, khususnya untuk kasus kerusuhan sosial Sambas (1999) masih menyisakan agenda yang cukup penting yakni: rekonsiliasi yang macet (pengungsi warga Madura masih belum diterima di Sambas) dan penyelesaian sengketa kepemilikan sumber daya (khususnya tanah dan harta benda) dari kedua pihak yang bertikai.
Selain itu, konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu sebesar 16,7% responden menyatakan konflik telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara warga masyarakat (distrust),
Dampak konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga dan sanak saudara dari kepulauan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga ibu kota negara datang membantu keluarganya secara ekonomi, tenaga, ikut berperang dll. Di sudut agama terpanggil rasa solidaritas se-agama dari pelbagai organisasi sosial keagamaan dari pelbagai penjuru tanah air hingga dari luar negeri. Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para pencuri, menyaru sebagai penyelamat-pemihak ternyata mejarah milik semua pihak
Pasca konflik, ekses masih berlanjut, perumahan, lembaga pendidikan, perkantoran, sarana ibadah musnah setidaknya hancur, kehilangan harta benda, mata pencaharian dan sanak saudara, orang cacat, putus sekolah, penderita keabnormalan jiwa, saling curiga, hari depan yang suram, pihak keamanan dan birokrasi kehilangan kharisma, dll. Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma komunal ini juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang berkonflik.
Dengan demikian kedamaian sosial akan masih memungkinkan dicapai sebagai resolusi konflik jika diadakan pertemuan-pertemuan intensif lintas etnis, antar agama, pelapisan sosial dan profesi dalam satu kampung sehingga keutuhan itu semakin terjaga. Namun demikian untuk wilayah Sambas masih belum bisa diprediksi karena etnis-etnis yang bertikai tidak lagi pada wilayah pembauran dan umumnya belum kelihatan kemauan (willingness) dua belah pihak untuk bersama. Namun demikian jika ratifikasi konsep kedamaian para pihak yang bertikai disosialisasi oleh pemerintah serta pihak keamanan serta diiringi bantuan, pembimbingan ke arah perubahan pola interaksi dan upaya pemilikan, pengawasan dan pelaksanaan sanksi hukum secara tegas terhadap oknum, kelompok, atau lembaga penyulut kerusuhan baru, akan memungkinkan terciptanya kerukunan hidup baru. Konflik baru yang sangat rentan jika muncul kehidupan bersama, lebih rentan pada masyarakat dayak, melayu dengan madura di wilayah sambas dan sampit karena mempertemukan jiwa tempramental di satu sisi dan jiwa frustrasi dan stress di sudut lain. Kerentanan kedamaian akan cepat terusik di Kalbar jika esensi agama diusik oleh penyulut.
Sejak tahun 1992, setidaknya 3,397 kali kekerasan etnik yang pecah diKalimantan Barat dengan kecendrungan kenaikan dan segi frekwensi, korban dan keluasan area konflik. Penelaahan oleh seorang sosiolog, Dr Iqbal Djajadi, 2003 menunjukan bahwa umumnya kekerasan etnik berawal dari tindak pidana inter-etnik, yakni seorang atau beberapa orang anggota suatu kelompok etnik yang melakukan penganiayaan dan/atau pembunuhan terhadap seseorang atau beberapa orang yang merupakan anggota kelompok etnik lain.
Dalam rentang sekitar 5 tahun saja, diKalbar ada 602 kasus penganiayaan dan pembunuhan inter-etnik. Ini berarti setiap tahunnya ada sekitar 120 kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anggota satu kelompok etnik terhadap anggota kelompok etnik lainnya. Dari jumlah tersebut, sebagian besarnya berasal dari tindak penganiayaan (88,5 %) dan sisanya adalah pembunuhan. Penganiayaan inter-etnik dalam setahunnya rata-rata terjadi sebanyak 105 kasus (9 kasus perbulan) sedangkan pembunuhan inter-etnik rata-ratanya adalah 34 kasus (3 kasus perbulan). Dari berbagai kasus tersebut, paling tidak ada hanya dalam waktu kurang dari 2 tahun, telah pecah kekerasan etnik secara besar-besaran yakni tahun 1997 dan tahun 1999 yang telah secara maya mensegregasi propinsi ini berdasarkan etnisitas.
Dalam catatan sejarah, telah terjadi 12 kali konflik etnik di Kalimantan Barat, yakni 1 kali antara Dayak dan Tionghoa dikawasan pedalaman Kabupaten Sambas, Pontianak dan Sanggau, 9 kali antara Dayak dengan Madura pedalaman dikawasan pedalaman Kabupaten Sambas, Pontianak dan Sanggau, 1 kali antara Melayu dengan madura diberbagai kawasan Kabupaten Sambas dan 1 kali antara Melayu Campuran-Pontianak-Sambas-Ketapang-Bugis-Banjar-Arab dan sebagainya disatu pihak dengan madura dikawasan Kota Pontianak, khususnya disekitar jembatan Kapuas. Pertikaian antar etnik ini terjadi secara periodik hampir setiap 30 tahun sekali yakni 1990-an, 1930-an, 1960-an, dan 1990-an ( Alqadrie,2003 ).
Dynamics of contention tidak terlalu jelas mengenai proses pembentukan identitas. Setelah sejumlah pemikiran awal yang menarik mengenai sifat kognitif dan relasional dari identitas, proses pembentukan identitas kemudian digabungkannya dengan proses pembentukan pelaku, yang akan kita bahas di bawah. Namun, pemikiran-pemikiran awal itu dapat membantu kita melihat salah satu dari masalah-masalah yang menimbulkan teka-teki mengenai konflik di Kalimantan Barat. Bagaimana kita menentukan penting tidaknya elit dan bukan elit dalam pembentukan identitas ? Episode-episode kekerasan lain di Indonesia menghadirkan bagi kita persoalan yang sama dari revolusi 1945 sampai pembersihan anti komunis tahun 1965-66.
Dynamics of Contention membedakan dua jenis identitas: tertanam dan terpisah (hlm. 135). Indentitas tertanam menunjukan ciri berbagai macam hubungan sosial seperti keluarga di desa. Indentitas terpisah adalah ciri hubungan sosial yang khusus, sempit seperti anggota partai politik. Ketika masing-masing dari kedua jenis identitas ini kemudian terlibat dalam pertarungan, keduanya cenderung menunjukan ’repertoire’ yang berbeda. (Repertoire istilah seni pentas sekumpulan kegiatan rutin saling mengajukan dan menolak tuntutan, termasuk kekerasan fisik). Pertarungan yang melibatkan identitas tertanam cenderung mengedepankan para pelaku lapisan bawah dengan repertoire yang: partikularistik terutama terikat pada kelompok, persoalan atau tempat tertentu; skala kecil melibatkan ssejumlah kecil kelompok orang; dan langsung tidak terlalu ditengahi oleh perantara yang memiliki hak istimewa.
Pertarungan semacam itu terlibat ’spontan’. Sebaliknya, pertarungan yang melibatkan identitas terpisah cenderung melibatkan elit wiraswasta dan menampilkan kegiatan untuk mengajukan tuntutan, artinya: modular tidak terikat pada tempat tertentu, dan sebagainya; skala besar dengan demikian membutuhkan koordinasi yang luas; dan ditengahi memerlukan wiraswasta politik dan jaringan komunitas.
Membuat pembedaan ini mungkin lebih mudah dalam teori daripada dalam praktik. Operasi intelijen terselubung (’perang urat syaraf’) sampai seberapa jauh lagi orang dapat menjaga jarak ? memiliki kepentingan untuk membuat repertoirnya tampak spontan. Timor timur pada tahun 1999 adalah contohnya. Namun pembedaan ini tetap dapat membantu, terutama karena dapat memperluas fokus melampaui kaum elit sehingga membuat kaum non-elit juga tampak di mata.
Kesukuan tertanam tidak selalu ’alami’ sifatnya, tetapi kesukuan tertanam tidak dapat diciptakan dalam waktu semalam. Kesukuan Dayak adalah sebuah muslihat yang pertama berkembang di dalam pikiran para ahli antropologi kolonial pada paruh kedua dari abad 19. kesukuan Dayak mendapat sifat tertanam bukan karena isolasi Dayak di tempatnya yang terpencil dihutan, tetapi karena kontak orang Dayak yang makin banyak dengan ’orang lain’. Interaksi berkembang ditengah-tengah dominasi kolonial yang makin ketat melalui negara, perekonomian, dan gereja. Seperti halnya di wilayah-wilayah lain di kepulauan Indonesia, agama Kristen berperan sebagai pembangun indentitas suku. Gambaran mengenai orang Dayak sendiri adalah taat beragama dan relasional mereka adalah semua orang Dayak di pedalaman Kalimantan yang tidak masuk Islam. Urbanisasi dan pertumbuhan kelas menengah Dayak memperkuat hubungan bergantung dengan sepupu ditepi sungai di pedalaman. Urbanisasi juga menyeragamkan identitas Dayak yang sekarang dihadapkan pada lawan-lawan di dunia usaha dan birokrasi kelompok-kelompok lain.
Sementara perekonomian Kalimantan Barat berkembang, perkembangan itu menimbulkan segmentasi suku dan perasaan dipinggirkan yang makin besar di kalangan orang Dayak. Perdagangan di pedesaan berada dalam tangan orang Tionghoa. Lahan diambil alih oleh para tranmigrasi dan kaum kapitalis perkayuan/perkebunan/ pertambangan dari Jawa, sedangkan birokrasi juga dijalankan oleh orang luar. Selain itu, harapan untuk mobilitas ke atas yang diciptakan oleh wacana pembangunan Orde Baru tidak dapat dipenuhi. Orang Dayak dihadapkan pada hambatan-hambatan yang ditafsirkan oleh semua pihak dari sisi suku. Organisasi-organisasi non Dayak menafsirkan itu dalam idiom global mengenai penduduk asli yang tersingkirkan (kemudian disebut penduduk pertama). Dewan adat yang dibentuk oleh pemerintah, bagian dari korporatisme Orde Baru, mengulangi pesan itu dalam bahasa birokrasi ketika Dewan itu dibentuk setelah tahun 1985.
Kaum elit berada di balik kehidupan organisasi ini, namun daya tahanya yang cukup besar menciptakan dan sekaligus mencerminkan perasaan kesukuan Dayak yang makin dalam tertanam di Kalimantan Barat. Ini tampak jelas dalam pola kekerasan yang meletus menjelang akhir 1996 dan awal 1997. laporan Human Rights Watck dimana pun tidak ada mengindentifikasi pengusaha kunci. Kerusuhan itu tampak spontan. Kelompok Dayak yang menyerang dilukiskan sebagai ’histeris’. Mereka berkumpul untuk perang ketika ’mangkuk merah’ diteruskan kepada mereka untuk melindungi kehormatan Dayak. Peluso dan Harwell (2001) menempatkan episode ini dalam konteks masa protes-protes oleh orang Dayak yang berlangsung bertahun-tahun dan terpencar-pencar mengenai kerusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kayu. Peneliti lain menunjuk pada faktor-faktor jangka pendek, dengan menyorot perasaan tidak aman yang ditimbulkan oleh perpecahan yang makin banyak dalam pemerintahan Orde Baru. Militer ternyata tidak berdaya menghadapi kerusuhan yang serius ditempat-tempat lain pada waktu bersamaan.
Masih terlalu sedikit yang kita ketahui mengenai episode ini untuk bisa memastikan bahwa repetoire militan Dayak yang ditujukkan adalah khas dari apa yang dinamakan Dynamics of Contention pertarungan identitas tertanam. Disatu pihak, tulisan-tulisan yang ada membisu yang membuat frustrasi mengenai-mengenai apa tuntutan-tuntutan modular, bukan tuntutan ’kehormatan’ Dayak bagi kita tampaknya adalah tuntutan modular, bukan tuntutan partikularistik. Di pihak lain, kita sama sekali tidak menemukan pembahasan mengenai hal-hal yang menjadi tuntutan kaum elit, seperti soal pengangkatan pegawai negeri atau pemilihan umum yang akan datang. Selain itu, tidak adanya pengusaha yang memiliki hak istimewa, kekerasan langsung yang dilakukan terhadap tetangga-tetangga mereka orang Madura, dan cara komunikasi ’mangkuk merah’ yang menyebar (jika kita terima ini penting), semua memang tampak seperti sebuah repertoire pertentangan identitas tertanam.
Episode tahun 1999 sangat jauh berbeda, dalam uraian Davidson. Berbeda dengan orang Dayak, orang Melayu di Kalimantan Barat tidak memiliki sejarah pembentukan identitas kesukuan. Bahkan pertumbuhan yang penuh sadar diri akhir-akhir ini tentang identitas Melayu di Riau (dan terkait pada Johor di Malaysia) tidak memiliki hubungan dengan Kalimantan Barat. Dan Islam tidak menanamkan identitas kesukuan. Sejumlah kesultanan kecil-kecil disepanjang bagian barat Kalimantan sudah lama punah, dan lagi pula budaya lokal kesultanan-kesultanan itu tidak banyak dapat menawarkan landasan bagi gerakan pan Melayu. Dalam bahasa dynamics of Contention, adil untuk mengatakan bahwa identitas Melayu di Kalimantan Barat, bagi sebagian besar orang Melayu, adalah ’terpisah’ identitas itu tidak mewarnai kehidupan sehari-hari secara intensif.
Idiom mengenai tuntutan hampir ’sekejap’ bagi identitas Melayu pada tahun 1999 dipinjam dari orang Dayak, bukan perlahan-lahan diciptakan di dalam masyarakat Melayu. Motivasi untuk meminjam tidak sulit dicari. Kegigihan orang Dayak pada tahun 1999 sudah menghasilkan sukses bagi orang Dayak dalam melawan perusahan-perusahan kayu. Lebih penting lagi, protes orang Dayak menghasilkan pengangkatan orang Dayak ke tiga buah jabatan bupati yang paling diperebutkan Layang di Kapuas Hulu, 1997; Andjioe di Sanggau, 1998; dan Cornelius Kimha di Pontianak,1999. tetapi meminjam dari orang Dayak tidak berarti menjadi alter ego orang Dayak. Ini adalah meniru untuk bersaing. ’Bagi elite Melayu’, tulis Davidson (hlm.320), ’kebangkitan ”Melayu” sendiri akan merupakan jawaban bagi kemajuan-kamajuan yang dicapai orang Dayak. Menggunakan kekerasan melawan musuh yang lemah adalah metode yang efektif untuk mengendalikan mobilisasi energi dan untuk memperkokoh identitas Melayu’.
Dua bukti menunjukan bahwa serangan-serangan orang Melayu atas orang Madura di Sambas pada tahun 1999 adalah bagian dari repertoire politik identitas ’terpisah’. Pertama, para perantara yang dimiliki hak istimewa tampak jelas sekali. Kontrol atas kabupaten yang baru saja dibentuk Sambas sisa wilayah dari kabupaten Sambas yang asli setelah Bengkayang di pecah pada tahun 1999 adalah piala yang diinginkan elit Melayu. Ini tidak hanya berarti kebutuhan akan bupati Melayu tetapi juga kontrol atas kejahatan jalanan yang merebak. FKPM adalah kendaraannya penegah yang memiliki hak istimewa untuk mencapai keduanya. Direstui oleh elit politik, militer, dan pengusaha swasta di kabupaten itu, FKPM terdiri dari jaringan preman remaja dan dijalankan oleh jagoan-jagoan yang sudah dikenal luas. Pengusiran orang Madura dari Kabupaten Sambas dilakukan secara sistematis oleh para ’komandan lapangan’ FKPM.
Berikutnya, tuntutan itu adalah tuntutan ’modular’, bukan tuntutan partikularistik. Dalam dua periode militansi Melayu melawan orang Madura di kabupaten Sambas pada tahun 1999 dan Pontianak pada tahun 2000 (dan 2001), tuntutan-tuntutan itu khas dan etlitis sifatnya dan sama dengan tuntutan-tuntutan yang diperdagangkan oleh elit-elit setempat diseluruh Indonesia. Tuntutan-tuntutan iniadalah hak ’penduduk asli’ (Davidson 2002:347) untuk menjalankan birokrasi setempat, dan tradisi lama kekuasaan dalam tangan orang Melayu. Tradisi lama kekuasaan dalam tangan orang Melayu ini dapat dilihat, seperti di Tidore dan di banyak lagi pertarungan setempat di seluruh Indonesia setelah tahun 1998, pada kebangkitan kembali dengan tergopoh-gopoh kesultanan Sambas yang sangat kecil sejak bulan Juli 1999. upaya itu berhasil ketika calon FKPM dikukuhkan sebagai bupati Sambas pada bulan Mei 2000. wakilnya, sekretaris wilayah dan daerah, juga orang Melayu. Dinamika yang sama juga bekerja ditingkat provinsi. Taruhan di sini adalah jabatan gubernur ini tantangan terpusat melawan gubernur yang masa jabatannya belum lagi habis. Kesudahannya, gebernur yang masih menjabat itu berhasil bertahan dan kemudian makin menancapkan kukunya.
Pendek kata, identitas Dayak telah terbentuk cukup lama sehingga menjadi tertanam, sedangakan identitas Melayu adalah identitas yang dibuat cepat-cepat, ’terpisah’, atas didorong oleh elit setempat yang tertarik melihat sukses yang dicapai orang Dayak dalam perpolitikan provinsi yang digiring untuk kepentingan suku pada masa sekitar jatuhnya Suharto. Kedua identitas itu tidak ’alami’. Keduanya berasal dari jenis negara yang dibangun di Kalimantan Barat menjelang akhir zaman kolonial.
Viktor King (1978) mengemukakan 3 (tiga) gerakan sosial yang sangat terkenal yang prosesnya berlangsung lama di Kalimantan, yaitu: (a) Adat Bungan di Kalsel, yang ditujukan kepada kekuasaan Imperalisme dan Kolonialisme Belanda; (b) Nyuli di Kaltim dan Kalteng, yang ditujukan baik kepada Imperalisme dan Kolonialisme Belanda maupun kepada agresivitas para penginjil dari Zending dan Misionaris Barat sebelum kemerdekaan. Sejak kemerdekaan kedua gerakan sosial etnis millenarian ini memiliki dan menampilkan karakter damai, lembut dan tidak bermusuhan (peacefull, nonviolent socio-ethno movement) terhadap siapa pun dari luar; (c) Tariu atau mangkok merah di Kalbar, yang sasaran gerakannya tidak terlalu jelas. Gerakan sosial etnis ini lebih keras, dahsyat dan cenderung lebih beringas (mora violent) disbanding dengan dua gerakan sosial alinnya.
Seperti juga halnya dengan identifikasi etnis yang menghasilkan solidaritas masyarakat dayak dan komunitas madura di pedalaman yang terpusat, identifikasi keagamaan orang-orang dayak terhadap kristenitas, di satu fihak, anggota komunitas madura di kawasan itu terhadap islam, dilain fihak, menghasilkan pula solidaritas etnis yang terpusat, tidak menyebar maupun tidak terpecah-pecah atas berbagai-bagai agama, besar dan sangat kuat. Solidaritas etnis semacam ini, dipasangkan dengan kesadaran etnis baik eksteren pada kelompo etnis dayak, yang, menurut pengamatan Alqadrie (1994; 2001), merupakan reaksi dari rasa terpinggirkan dan menjadi penanton atas proses kehancuran sumberdaya hutan (deforestation process) dan sumber daya alam (SDA) lainnya, maupun kesadaran etnis interen dan eksteren pada anggota komunitas madura, yaitu keinginan untuk diakui tentang keberadaan mereka yang mereka percaya masih berada pada posisi bawah dan proses marginalisasi dan dipinggirkan oleh pemerintah ORBA sejak mereka berada ditempat asal mereka, telah mewarnai perilaku mereka yang kelihatan tenang dan sabar diluar, tetapi menyimpan “api di dalam sekam”, setiap saat membakar, terbakar dan meledak. Kondisi ini menyumbang bagi terciptanya pola tertikaian khas – keras, bringas, berdarah (violent conflict) dan terjadi berulang kali.
Menjadi pertanyaan kita adalah kenapa konflik etnik selalu terulang dikawasan yang sama ? yakni di Kabupaten Sambas ( termasuk Kab. Bengkayang sekarang ), Kabupaten Pontianak ( termasuk Kab. Landak sekarang ) dan Kabupaten Sanggau serta Kota Pontianak ? bukankah dikawasan-kawasan ini hidup “ Dayak Kanayatn “, sebuah populasi kelompok etnik Dayak terbesar di Kalimantan Barat ? adakah kaitan konflik ini dengan sejarah politik masa lalu ?
Walaupun pertanyaan-pertanyaan diatas sulit untuk dijawab, namun menurut saya sikap dan perilaku anggota suku ini yang demikian tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan hidupnya yang tragis dan tertekan. Hampir tidak ada lagi pegangan hidup yang dapat digenggamnya. Mereka kehilangan pegangan hidupnya karena intervensi bangsa-bangsa luar dan bahkan faksi-faksi dikalangan elit politiknya.
Sengaja judul diatas saya ketengahkan, karena menurut saya, hasil dari persekongkolan politik daerahlah yang menyumbat aspirasi politik suku Kanayatn khususnya dan suku Dayak umumnya di Kalimantan Barat. Sebagai perbandingan, sejak didengarnya proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, pada pertengahan September 1945, dibentuk organisasi perjuangan rakyat yang bernama Panitia Penyongsong Republik Indonesia ( PPRI ) di Pontianak. Diorganisasi ini, menurut literatur yang saya baca, tidak ditemukan satu orangpun pengurusnya orang yang berasal dari Dayak. Dalam perkembangannya, organisasi ini menghimpun kekuatan rakyat secara luas untuk melakukan perlawanan kepada penjajah, utamanya Belanda-NICA dan Jepang.
Pada tanggal 29 Oktober 1946, di Sidas, sekelompok massa rakyat Dayak Samih dipimpin Mane Pak Kasih, asal kampung Pancur berencana melancarkan serangan kepada tentara NICA. Tepatnya di tepi jembatan Sidas. Puluhan anak buah Mane menyusuri sungai Samih mudik Sungai Sidas menggunakan perahu. Sekitar 150 meter dari jembatan Sidas, massa telah berhadapan dengan pasukan NICA yang sedang makan siang. Menyambut massa, yang diketahuinya massa Dayak, komandan pasukan NICA segera saja mengajak damai. Mereka merasa tidak memusuhi Dayak. Ditengah rencana damai ini, tiba-tiba dari belakang, seorang pemuda yang diketahui bukan salah satu dari rombongan Mane Pak Kasih menembakkan senjatanya kepad pasukan NICA. Kontan saja pasukan NICA membalas, dan akibatnya Mane Pak Kasih serta 22 anak buahnya tewas dalam serangan balasan itu. Menurt informasi, penembak gelap ini berasal dari Sidas, seorang Melayu yang tidak suka ada perdamaian Dayak dengan Belanda.
Sejarah diatas salah satu dari sekian banyak sejarah perjuangan suku ini dalam menghadapi penjajah, namun sampai saat ini, perjuangan itu tak pernah muncul dan atau dimunculkan kepermukaan. Bahkan, dikemudian hari, pahlawan-pahlawan kemerdekaan RI asal suku ini tak pernah diakui negara atau pemerintah daerah. Sebagai gambarannya, lihatlah nama-nama jalan atau tempat penting lainnya di ibukota propinsi. Mane Pak Kasih sampai tertinggi hanya menjadi nama jalan, walaupun makamnya telah dijadikan makam pahlawan di Sidas, namun tidak terurus. Para pewaris Mane Pak Kasih di kampung Pancur Kecamatan Sebangki Kab. Landak, dimana penulis pernah berkunjung pada akhir mei 2004 masih saja hidup dalam kesederhanaan, tanpa balas jasa pemerintah.
Contoh nyata lainnya, disaat pemerintah provinsi akan mengganti nama Lapangan Udara Supadio menjadi Lapangan Udara Syarif Abdurahman pada tahun 2002, kalangan masyarakat Dayak menolak tegas. Ratusan massa Dayak melakukan aksi demonstrasi dikantor-kantor pemerintah. Akhirnya, rencana ini ditunda pemerintah provinsi. Menurut salah seorang bekas pendemo, yang ditemui penulis, mereka mengharapkan nama pelabuhan udara Supadio itu menjadi YC. Oevang Oeray, seDayak bekas Gubernur Kalbar. Kini, YC. Oevang Oeray hanya menjadi nama bagi sebuah kolam renang dikomplek GOR Pangsuma di Pontianak.
Sejak tahun 1960-an, puluhan perusahaan kayu mulai mengekspoitasi hutan-hutan di wilayah perbatasan Kalbar. Diantaranya PT Yamaker ( Yayasan Maju Kerja ) milik TNI AD dan dilanjutkan dengan Perum Perhutani. Operasi perusahaan ini seringkali berbenturan dengan anggota PGRS/Paraku yang mengkonsolidasikan kekuatannya disepanjang perbatasan RI-Malaysia. Belum stabilnya iklim politik didalam negeri dan luar negeri pasca pemberintakan PKI, September 1965, memaksa pemerintah RI untuk bersikap tegas dengan “ pemberontak “ yang ingin lepas dari NKRI. Tidak terkecuali di Kalbar, krisis di Semenanjung Malaysia-Singapura-Brunei secara tidak langsung mengoncang stablilitas keamanan diwilayah Kalimantan-Indonesia.
Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan maklumat yang terkenal dengan Dwi Kora dengan tujuan mempertahankan sebagian wilayah Kalimantan tetap milik NKRI dari serangan Pasukan Gerakan Rakyat Sarawak ( PGRS ) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara ( PARAKU ). Untuk memuluskan peperangan darat, diisukan simpatisan dan anggota PGRS/Paraku berada ditengah-tengah komunitas Dayak pedalaman dan mengancam keamanan masyarakat Dayak, yakni etnik Tionghoa.
Dalam rangka menumpas pemberontakan ini, entah darimana tiba-tiba muncul “ Mangkok Merah “, sebagai simbol perjuangan sampai titik darah penghabisan bagi suku Dayak. Sentimen Dayak dimunculkan oleh ABRI, akibatnya pada tanggal 14 Oktober 1967 di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak, ribuan Dayak melakukan perlawanan bersejnata terhadap seluruh kaum Tionghoa. Dalam insiden ini, puluhan ribu kaum Tionghoa meninggalkan pedalaman menuju kota-kota pesisir. Sejak penghancuran sisa-sisa PGRS/Paraku yang dilakukan TNI bersama suku Dayak diseluruh pedalaman Kalbar, sepanjang tahun 1967-1972, tidak satupun putra-putra terbaik suku ini yang mendapat jabatan strategis di ABRI maupun kepolisian sebagai balas jasa pengabdian kepada negara. Bahkan, dalam perkembangannya, sangat sulit bagi pemuda suku ini untuk masuk menjadi prajurit TNI maupun polisi.
Pada sisi lain, kelompok etnik Dayak mulai merasakan krisis kepemimpinan ditingkat lokal dan nasional ( daerah provinsi ). Pasca pembubaran Partai Persatuan Daya tahun 1960, tidak ada satupun putra terbaik Dayak yang memegang pimpinan kunci di pemerintahan dan politik. Pada bulan Juli 1966, Gubernur Oevang Oeray, digulingkan dari kekuasaannya karena dituduh orang Soekarno, karena posisinya di Partindo, sebuah partai politik yang didirikan Soekarno. Menjelang tahun 1967, 4 Bupati Dayak juga diganti. Banyak PNS Dayak yang diberhentikan dengan tuduhan terlibat PKI, sebuah partai yang mencoba melakukan KUDETA tahun 1965 di Jakarta dan membunuh jendral-jendral TNI Angkatan Darat. Sehingga focus perhatian komunitas Dayak akar rumput pada saat ini adalah pemimpin yang masih ada dan keluarganya. Jadi, apabila terjadi gangguan apalagi pembunuhan pada pemimpin dimaksud, dapat dianggap sebagai ancaman bagi komunitas etnik Dayak.
Akumulasi atas hilangnya pemimpin-pemimpinnya ditingkat pemerintahan, banyak kasus perkelahian yang sebenarnya sangat mudah diselesaikan menjadi membesar bahkan hingga memunculkan aksi kekerasan yang brutal. Pada tahun 1967 misalnya, terjadi konflik Dayak dengan Madura yang dipicu oleh pembunuhan orang tua seorang Camat di Toho Kab. Pontianak. Konflik ini besar karena kolektivitas suku ini sangat baik, khususnya bila dalam keadaan krisis, apalagi menyangkut nyawa manusia. Puluhan warga madura terbunuh, ratusan rumah dihancurkan oleh massa Dayak. Ribuan warga madura kemudian harus mengungsi kekota-kota. Satu tahun kemudian, 1968, konflik muncul lagi dengan pemicu pembunuhan seorang Dayak yang menjadi Camat Di Sei Pinyuh Kab. Pontianak. Walaupun konflik oada tahun ini relatif kecil baik dalam hal jumlah korban dan areal konflik, namun semakin menambah streoptif suku dayak terhadap madura yang dikemudian hari turut menyumbang pada munculnya konflik baru yang lebvih dasyat.
Guna merampingkan jajaran pemerintahan serta birokrasi untuk pembangunan yang digalakan dengan konsep REPELITA, pemerintah pusat kemudian mengeluarkan kebijakan baru dengan penyeragaman sistem pemerintahan lokal diseluruh wilayah Indonesia menjadi sistem pemerintahan desa. Perubahan sistem pemerintahan di pusat dengan dikeluarkannya UU No 5 tahun 1974 tentang pemerintah daerah menyulitkan birokrat dan elit politik lokal di Kalbar, khususnya share kekuasaan. Pasca pemberlakukan UU ini, sangat sedikit sekali putra Dayak yang menjadi PNS dengan pangkat dan golongan tinggi dan bahkan juga dari militer. Pada masa ini, kebijakan politik pemerintah berupa program transmigrasi secara besar-besaran telah menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi etnik Dayak, karena lokasi transmigrasi berada ditanah-tanah leluhur Dayak. Dayak mulai tidak suka dengan cara-cara suku luar yang mencaplok teritorinya. Dari sekian banyak suku luar yang datang, suku Madura adalah yang paling berani (Baca: menantang). Faktor inilah yang kemudian menyebabkan pemicu konflik semakin mudah bila diulut. Sedikit saja tersentuh, tidak terlalu sulit untuk menjadi besar.
Pada tahun 1976, konflik Dayak dengan Madura terjadi lagi di Sei Pinyuh Kab. Pontianak, yang dipicu oleh pembunuhan seDayak bernama Cangken. Menurut salah seorang bekas “prajurit” Dayak yang ikut perang, konflik tahun 1976 cukup besar. Rombongan mereka saja membantai hampir 30 warga madura, di kampung Sakek’ Desa Terap. Puluhan rumah warga Madura juga sempat dibakar massa, yang ia sendiri tidak kenal sama sekali. Satu tahun kemudian, tepatnya tahun 1978, konflik kembali pecah di Singkawang, dimana seDayak bernama Robert Lanceng ( anggota polisi ) dibunuh oleh oknum dari etnik Madura. Akibatnya, ratusan warga madura harus mengungsi di Singkawang. Dalam kerusuhan ini, puluhan warga tewas dan puluhan rumah hancur. Pada tahun 1979, pecah lagi konflik Dayak dengan Madura yang dipicu oleh pembunuhan seorang warga Dayak bernama Sidik di Pak Kucing-Nyarumkop.
Dibandingkan dengan konflik sebelumnya, konflik di Pak Kucing ini tergolong besar. Ratusan warga madura berbaris ditepi sawah di Samalantan, menunggu massa Dayak dari pedalaman. Aksi mereka ini semakin memancing kemarahan seluruh suku, akibatnya ratusan warga dibantai secara brutal dipersawahan itu. Pada konflik ini, pemerintah kemudian mendirikan Tugu Perdamaian disimpang jalan Samalantan.
Pada tahun 1983, Djaelani, seorang warga Dayak di Sungai Enau Kec. Sei Ambawang Kab. Pontianak dibunuh oleh oknum warga Madura. Ratusan massa Dayak dari Pahauman, dan sekitarnya telah bersiap-siap menyerang madura. Namun aksi ini berhasil dicegah oleh aparat keamanan, namun sungguhpun demikian, ratusan massa lainnya masih meloloskan diri untuk ikut dimedan pertempuran. Belasan warga madura tewas dalam serangan ini.
Seiring habisnya produksi kayu dihutan-hutan, kebijakan pemerintah untuk menambah income daerah adalah dengan ekspansi perkebunan secara besar-besaran diwilayah adat suku Dayak. Ratusan kampung-kampung Dayak hilang dan ditinggalkan pemiliknya, karena program departemen sosial melalui pemukiman perambah hutan ( PPH ), dan pembinaan suku terasing bagi Dayak yang tinggal didalam dan disekitar hutan yang akan dijadikan lahan perkebunan. Puluhan ribu Dayak panik akan situasi ini, untuk melawan mereka dicap anti pembangunan dan anti pemerintah.
Yang paling tragis dan sangat menghancurkan Dayak sebagai masyarakat adat adalah ketika diberlakukannya UU No 5 tahun 1974 dan UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, dimana segala sesuatu harus seragam. Sistem pemerintahan kampung, Binua/Bonua/benua diganti menjadi dusun dan desa-desa. Ribuan pemimpin kampung dan Binua kehilangan jabatan. Muncul pemimpin baru bernama Kepala Desa, yang sangat baru dikenal. Dalam prakteknya, kepala desa tidak mampu berbuat apa-apa karena legitimasi masyarakat yang luntur. Sekali lagi, Dayak kehilangan pemimpin dilevel komunitas.
Bersamaan dengan itu, pada era inipula identitas suku Dayak mulai menonjol kembali khususnya dikalangan pelajar dan mahasiswa di Kota Pontianak. Pasca Seminar Nasional Kebudayaan Dayak tahun 1992 dengan kesepakatan menggunakan kembali kata “ Dayak “, doktrin dayak mulai diajarkan melalui asrama-asrama mahasiswa. Terjadi kebanggaan yang luar biasa dengan identitas baru ini dengan kesadaran yang mulai mengental khususnya atas ketertindasan Dayak diberbagai aspek kehidupan.
Pada tahun 1993, terjadi konflik Dayak dengan Madura, yang dipicu oleh perkelahian pemuda di sepanjang Jalan Penjara-Sei Jawi yang meluas dengan pengrusakan dan pembakaran Gereja MRPD di jl. Gusti Hamzah Pontianak serta persekolahan kristen Abdi Agape Siantan. Ratusan massa madura menyerang gereja dan konp;lek sekolah Abdi Agape. Dua orang penjaga sekolah luka-luka dalam peristiwa ini. namun aksi tidak meluas, karena banyaknya aparat keamanan. Namun demikian, tak urung, aksi massa madura dikota, menyulus emosi dan dendam yang mendalam bagi massa dayak dipedalaman.
*******************




0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons