Oleh Yohanes Supriyadi
Di Kalimantan Barat, Dayak Kanayatn sudah sangat terkenal, baik maupun buruk. Baiknya, kelompok suku ini dikenal sebagai adaftor yang ulung termasuk negosiator dan tidak baik, suku ini dikenal sebagai aggressor bagi suku-suku bangsa lainnya. Disebut adaftor, karena suku ini tinggal disebuah kawasan “bumper”, kawasan pembatas antara pesisir yang dikenal sebagai teritori Melayu-Islam dan kawasan pedalaman yang dikenal sebagai teritori Dayak-Kristen. Sedangkan di sebut aggressor, karena suku ini termasuk suku “pengembara”, yang menjelajah diseluruh bagian provinsi ini. Selain itu, dari sejarah konflik antar etnik di Kalbar, kelompok suku ini terlibat secara dominan dan langsung.
Berbeda dengan saudara-saudaranya di kawasan timur-barat, tidak ada cirri khas kebudayaan yang amat menonjol dari suku ini. Dalam batas tertentu, peradaban suku ini tergolong rendah dibandingkan dengan suku-suku Dayak lainnya. Yang paling menonjol, misalnya; dari persenjataan perang, suku ini tidak mengenal Mandau, mereka menggunakan “tangkitn”, yang tidak menggunakan sarung. Memakainya cukup di tenteng dengan cara di panggung. Tangkitn ini tidak ada hulu, hanya dililit dengan kain merah dan putih, yang dikenal sebagai tangkulas. Suku ini juga tidak mengenal perisai atau gunapm sebagai pasangan dari Mandau, sebagaimana suku Dayak lainnya. Factor kesamaan hanya terlihat pada rumah tinggal, menurut informan saya, nenek moyang mereka memang pernah tinggal dirumah panjang, yang dikenal sebagai rentetn.
Menurut beberapa sumber, kelompok suku ini merupakan bagian terbesar dari seluruh kelompok etnik Dayak di Kalimantan, dengan menyumbang sekitar 600.000 jiwa, yang tersebar di berbagai kabupaten/kota. Informan saya menyebutkan angka ini relative pasti, karena faktanya ada dua kabupaten di Kalimantan Barat yang hamper 90% penduduknya di kategorikan sebagai Dayak Kanayatn, yakni Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Landak. Kedua kabupaten ini, sebelum pemekaran tahun 1999 merupakan bagian dari Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak.
Merekonstruksi Identitas Dayak Kanayatn
Upaya merekonstruksi identitas bukanlah perkara yang mudah. Namun, dalam kerangka pengkajian sejarah asal usul suatu bangsa, yang dalam perkembangannya seringkali salah kaprah, dan penuh dialektika, penelusuran amat kita diperlukan. Pada bagian pertama, saya sudah menulis tentang pasang surut identitas pada Orang Dayak secara umum di Kalbar.
Pada bagian ini, saya akan mencoba merekonstruksi identitas Orang Dayak sub-Kanayatn yang sangat kesohor di Kalbar. Sebagaimana identitas Dayak yang pernah mengalami pasang surutnya di Kalbar, pada orang Dayak Kanayatn, justru identitas mereka tidak jelas. Beberapa klaim terjadi antara orang-orang Dayak yang berbahasa Bakati, Banyadu’ yang kini mendiami wilayah Kabupaten Bengkayang dengan orang-orang Dayak yang berbahasa Baahe, Bajanya, Banana’, Badamea, ataupun yang berbahasa Bajare yang kini mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, sebagian Kabupaten Bengkayang, sebagian Kota Singkawang dan sebagian Kabupaten Sambas. Saling klaim ini menunjukan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam menafsirkan identitas mereka oleh orang luar dan teranjur tersosialisasi sejak lama.
Dari berbagai catatan para pelancong Eropa, dikatakan bahwa ketika pertama kali dating di Kalimantan, mereka telah menemukan cukup banyak orang Dayak yang tinggal dikaki-kaki gunung dan hutan belantara. Petualangan Earld, seorang Nahkoda Kapal Stamford Inggris yang berlayar dari Singapura untuk melakukan transaksi dagang dengan Kesultanan Sambas pada tahun 1834 di sepanjang pantai Sambas membuktikan pendapat itu. Earld, misalnya pernah bertemu dengan beberapa orang Dayak yang menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu bulat dalam perjalanannya mencari sebuah lokasi koloni Cina di Singkawang.
Saya menduga, bahwa orang Dayak yang dimaksud Earld itu adalah orang Dayak Kanayatn. Dugaan ini mungkin sesuai dengan hasil penelitian seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, (2003). Dikemukakannya bahwa Orang Dayak Kanayatn dulunya tinggal dan menetap di kawasan pesisir pantai, tak jauh dari bukit Senujuh, kawasan sungai sambas. Oleh Dunselman (dalam Cence and Uhlenbeck, 1958;15) orang-orang yang ini disebutnya sebagai ‘Old Kendayan’ atau Kendayan Tua.
Jika kita merujuk pada temuan mirasi bangsa Austronesia menurut Kern dan Von Heine (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia demikian juga Suku Dayak termasuk keturunan bangsa Austronesia ini . Dan sangat mungkin, maka orang-orang Dayak sebagaimana ditemui Earld di sepanjang sungai Selakau dan sungai Sambas pada waktu itu, termasuk keturunan bangsa ini (lihat Simon Takdir;2003).
Menurut Collins (1989) yang meringkaskan pendapat Bellwood (1985), sekurang-kurangnya 7.000 tahun lalu, perintis Austronesia dari daratan Cina (mungkin Zheijang dan Fujian) mendiami Pulau Taiwan dan tinggal disitu sekitar seribu tahun. Dari Taiwan, mereka bermigrasi lagi kea rah selatan melalui Filipina kearah barat Borneo.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui Semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat bagian utara ada yang memasuki muara –muara sungai besar yang menjorok ke perhuluan/perbukitan (mungkin saja sungai Sambas atau sungai Selakau). Beberapa kelompok kecil sempat menetap dikawasan ini dan berbaur dengan penduduk yang sudah ada sebelumnya (Takdir;2003;6). Oleh Wonojwasito, (1957) penduduk asli ini di sebutnya sebagai bangsa Weddoide dan Negrito.
Wonojwasito menjelaskan bahwa kelompok Weddoide dan Negrito telah mendiami kepulauan Borneo sejak zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum, kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Kalimantan (Loebis, 1972).
Dari teori Collins, Stanley, Simon dan Wonojwasito diatas, saya menduga ada terjadi perkawinan silang antara kelompok Weddoide dan Negrito dengan kelompok migrant yang baru tiba dari Taiwan ini. Hasil perkawinan silang ini, kemudian dikenal sebagai bangsa Austronesia, yang bercirikan mata terlihat sipit, agak pendek, kulit kuning langsat, dan sangat terampil memainkan pedang (Takdir;2003).
Kita juga dapat melihat cukup banyak sisa warisan budaya bangsa Weddoide yang masih bertahan dan dapat dilihat pada bangsa Austronesia (termasuk Dayak Kanayatn) ini, antara lain adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Prosesi menjadikan hewan anjing sebagai bentuk persembahan ini, dengan mudah kita lihat pada ritual adat perang pada orang Dayak Kanayatn sekarang ini. Binatang ini menjadi hewan buruan, mungkin karena mudah ditangkap bangsa Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Merujuk kamus bahasa sanskerta/kawi, istilah ‘Kanayatn’ berasal dari kata kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai (Prawiroadmojo, 1981). Menurut informan saya, mungkin saja ketika melakukan perjalanan, para pelancong, peneliti dari Eropa, Cina ataupun penulis Hindu telah menemukan sebuah komunitas manusia disepanjang aliran sungai Selakau dan sungai Sambas menetap dan membentuk pemukiman yang berada di sebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai selakau, atau disebelah utara jalan raya, atau di sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia (lihat Simon;2003)
Selain ciri-ciri tersebut di atas, ciri lain dari warisan budaya nenek moyang bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, yakni dengan membakarnya. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),
“Praktek pembakaran jenazah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk menunjukan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk yang sangat belakangan di India”
Bagi orang Dayak Kanayatn, lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn. Bukti patunuan ini masih ditemukan di hutan Lago’, Menjalin, Kalbar. Prosesi pemakaman ini, tentu saja mirip dengan budaya Hindu, sebuah agama besar di Nusantara yang masuk pada pertengahan abad 4 SM sampai awal kedatangan Islam pada abad 16 SM sebagaimana ditulis oleh Ahmad dan Zaini (1989).
Ahmad dan Zaini menemukan bahwa di sekitar kawasan bukit Sarinakng, Selakau sekarang ini, pernah ditemukan sebuah kerajaan Hindu yang berdiri tahun 1291, dengan rajanya yang bergelar Ratu Sepudak. Namun, kerajaan ini menjadi hilang, ketika Islam masuk ke Sambas dan mendirikan Kerajaan Islam Sambas. Rakyat dari kerajaan Hindu ini, yang tidak mau masuk Islam kemudian bermigrasi ke hulu melalui sungai Selakau, dan kemungkinan mendirikan pemukiman dan menetap dikawasan itu.
Pada bulan September 2008 lalu, saya berkunjung ke Selakau. Tepat ditep jembatan, pasar selakau, terdapat plang nama yang tertulis;”Selakau, 6 Km”. Dengan beberapa teman, saya berinisiatif menyusuri sungai Selakau, yang disebut-sebut sebagai salah satu jalan migrasi antar bangsa masa itu. Tak jauh dari sungai Selakau, menjulang tinggi sebuah bukit yang bernama bukit sarinakng (bhs.Melayu; bukit selindung).
Menurut informan saya, pada waktu itu dibukit Sarinakng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang. Sarinakng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai. Sarinakng ini selanjutnya disebut Salako Tuha (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Muda’ (Selakau Muda) atau pasar Selakau sekarang ini. Kenapa di sebut Salako ?
Menurut informan saya, nama Salako itu berasal dari Salak Ako. Ako di sana dikenal sebagai nama salah satu jenis anjing hutan. Orang-orang diperkampungan, menurut informan ini sering mendengar salak anjing Ako, siang maupun malam. Karena anjing Ako ini mengganggu, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka. Berbeda dengan leluhurnya bangsa Weddoide, Orang-orang ini tidak mau makan daging anjing. Bagi mereka, anjing adalah binatang sial. Alam supranatural tidak mau berteman dan memberikan kekuatan magis pada orang yang makan anjing sebab badannya sudah kotor. Karena itu keturunan dari orang-orang ini, yang kemudian dikenal sebagai Dayak Kanayatn ‘amali’’ (dilarang) memakan daging anjing. Orang Kanayatn yang memakan daging anjing sekarang ini telah mereka kontak dengan suku-suku Indonesia lainnya.
Ketika saya berkunjung disalah satu kampong dikawasan Salak Ako, saya menemukan sebuah kampong lama, namanya kampong Baron. Kampong ini hanya dihuni sekitar 14 keluarga Dayak, yang telah menikah dengan orang-orang Cina, bekas penambang emas di Buduk. Beberapa peninggalan yang menjadi cirri khas Dayak Kanayatn seperti timawakng, kompokng, padagi, patunuan dan sebagainya masih ada. Saya juga masih menemukan disekitar kampong ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya pohon durian, cempedak, asam kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang disebut Padagi/Panyugu yang sudah tidak terurus, pecah-pecahan keramik yang tersebar dilokasi bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat lainnya. Menurut informan saya, di lokasi bukit Sarinakng ini pernah ditemukan sebuah Nekara pada bulan Mei 1991, yang kini di simpan di Museum Negeri Pontianak.
(peta Kecamatan Selakau)
Migran Dari Sarinakng
Dalam menelusuri identitas ini, kita dapat merujuk pada beberapa teori. Misalnya Nothofer dalam Sari 14 (1996;34) sebagaimana dikutif Aloy (2008;12). Menurut Nothofer, tanah asal usul suatu keluarga dapat dibaca dari keragaman bahasa dan isolek yang mengurainya. Hipotesisnya adalah bahwa makin lama suatu daerah didiami oleh penutur isolek-isolek yang berasal dari suatu bahasa purba makin tinggi tingkat keragaman isoleknya. Sebaliknya, kalau penutur suatu isolek yang timbul beberapa abad sesusah terpisahnya suatu bahasa pura yang meninggalkan tanah asal usulnya untuk mendiami daerah yang baru, maka waktu ntuk timbulnya isolek yang beranekaragam ditempat yang baru itu sangat berkurang. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa dengan menganalisis keragaman bahasa, kita dapat menelusurinya dari asal usul penutur (manusia) yang mewarisi, membawa dan menyebarkan bahasa tersebut. (Aloy;2008;13).
Penyebaran manusia purba dapat ditelusuri melalui aliran sungai. Hal ini dimungkinkan, karena jaman dahulu, transportasi utama masyarakat adalah sungai. Earld, pedagang dari Singapura yang berkunjung pada sebuah koloni Cina di pantai barat Borneo tahun 1834 mengatakan, untuk masuk kepedalaman, mereka harus melalui sungai yang membentang luas dan dalam. Sungai-sungai tersebut bercabang-cabang (J.B.Wolters;1918;3).
(peta aliran sungai Sambas dan sungai Selakau)
Dengan aliran sungai yang berhulu di bukit Bawakng dan bukit-bukit kecil lainnya, saya menduga bahwa migrasi orang-orang dari Sarinakng kemungkinan dilakukan secara berkelompok dan bergelombang. Alasan migrasi, umumnya karena arus migrasi yang massif dari orang-orang yang tidak mereka kenal yang mengancam keamanan dan penghidupan religi serta bercocok tanam (Supriyadi;2005;69).
Paling tidak ada lima kelompok kecil. Kelompok pertama menyusuri sungai Sebangkau dan menetap di Paranyo (bhs. Melayu; pelanjau), sebagian kecil meneruskan perjalanan hingga dimuara sungai, Pemangkat. Kelompok kedua melakukan perjalanan dengan menyusuri sungai Bantanan, dan menetap di Tabing Daya (17 Km dari Sekura sekarang), kemudian menyebar lagi di Kuta Lama (dekat pasar Galing sekarang). Dari Kuta Lama, ada dua kelompok kecil yang memisahkan diri lagi dengan menyusuri Sungai Enau dan menetap di Jaranang (desa Sungai Enau sekarang). Sebuah kelompok lagi terus menyusuri sungai ke hulu dna menetap di Bapantang Batu Itapm (Batu Itapm sekarang). Di Batu Itapm inilah mereka lama menetap bahkan sampai sekarang. Generasi dari Batu Itapm ini kemudian menyebar sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati 24 kampung dengan populasi 9.558 jiwa, antara lain kampong Rukapm, Biawak, Paon, dan lain-lain.
Penulis juga memiliki keyakinan bahwa generasi yang bertahan di Sarinakng, Tabing Daya dan Kuta Lama telah memeluk agama Islam dan menyebut dirinya Melayu. Keyakinan penulis ini berasal dari temuan bahwa sejumlah informan tua (70an tahun) didaerah ini walaupun sudah beragama Islam tetap menyebut bahwa kakek dan nenek mereka dulu adalah orang Darat (Dayak red), bahkan ada yang mengatakan Ayah dan Ibu mereka adalah orang Darat (Dayak red).
Kelompok lain yang bermigrasi dengan menyusuri hulu sungai selakau melalui sungai sangokng dan menetap dibeberapa kampong yang terebar di kawasan Kota Singkawang sekarang ini. Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawakng Abo’ dan pindah ke Puaje (jembatan dekat simpang Monterado). Mereka ini kemudian mengembangkan bahasa yang dikenal sebagai bahasa ba damea/ba dameo.
Dari Sarinakng, sekelompok besar menyusuri hulu sungai selakau hingga di daerah Lao, daerah Serukam sekarang ini. Dari Lao, sekelompok kecil lagi bermigrasi ke daerah Sawak dan Gajekng serta Pakana dan sekitarnya. Mereka inilah yang kemudian mengembangan orang Dayak yang berbahasa Baahe dan Banana’.
Sebagaimana di tempat asalnya, Sarinakng, Tabing Daya, Batu Itapm, Kuta Lama, Jaranang, yang telah memeluk Islam, orang-orang di Pakana ini juga telah memeluk Islam. Penelitian Owat (2005) di Pakana, menyatakan bahwa pada masa lalu, Pakana merupakan pusat penyebaran Islam ditanah Dayak. Bukti-bukti ada infiltrasi Islam ditempat ini masih nyata. Dari Pakana, orang-orang yang tidak mau memeluk Islam bermigrasi lagi, menyusuri Sungai Mempawah hingga ke Karangan, Menjalin, Takong, Toho dan Sangkikng.
Berdasarkan peta migrasi diatas, di tinjau dari bahasa yang dikembangkannya, ada tujuh kelompok sub suku Dayak di daerah ini: (1) Baahe logat Karimawatn Sakayu (Dayak Mampawah), (2) Baahe logat Sangah (Dayak Bukit), (3) Bajare (Dayak Gado), (4) Banana’, Banyadu’(Dayak Banyuke), (5) Balangin, Bampape (Dayak Landak), (6) Badamea/Badameo (Dayak Salako) dan (7) Bakati (Dayak Rara dan Dayak Bakati;) (lihat Atok;2008;8)
Dalam analisisnya, Atok menjelaskan bahwa (1 dan 2) bisa berkomunikasi dengan baik karena 90% perbendaharaan bahasanya relative sama, walaupun ada perbedaan fonemiknya (bunyi bahasanya). (1 dan 3) bisa berkomunikasi dengan mencampur bahasa masing-masing tapi saling mengerti apa yang dimaksud. (1,2, dan 4) sebagian besar bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa Baahe kedua logat yang ada. (5 dan 6) bisa berkomunikasi karena masih cukup banyak perbendaharaan kata yang sama dan umumnya komunikasi dengan lancar dengan bahasa Badameo. Sedangkan (1,2,3,4,5,6, dan 7) bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa campuran Baahe – Badameo -Bajare.
Kondisi inilah yang menurut Atok dapat menjelaskan bahwa rumpun subsuku ini berasal dari moyang yang sama, bangsa Austronesia di daerah Sarinakng. Saat ini mereka mengidentifikasi diri kedalam 3 kelompok yaitu Dayak Kanayatn (1-5), Dayak Salako (6) dan (7) Dayak Banyadu’/Bakati’. Untuk mempertegas kelompok ini dapat dilihat dari penyelenggaraan adat pesta padi, orang Kanayatn dan orang Salako menyelenggarakan Naik Dango sedangkan orang Bakati’/Banyadu’ menyelenggarakan Maka’dio. Kedua acara adat ini sesungguhnya memiliki prosesi, makna dan nilai-nilai religius yang sama. Penyebutan yang banyak ini menurut penulis karena pada masa lalu komunikasi belum berjalan baik.
Siapakah Dayak Kanayatn ?
Timbul pertanyaan, siapakah Dayak Kanayatn itu ? Istilah ‘Kanayatn’ dikalangan suku Dayak yang berbahasa Bakati’/Banyadu’, Bajare, Banana’, Baahe, Badamea/Badameo masih diperdebatkan hingga hari ini. Bagi orang Bakati’, istilah Kanayatn ini berasal dari nama salah satu jenis rotan untuk menjemur pakaian serta nama sebuah sungai di wilayah Ledo sekarang ini. Sedangkan pada orang Banana’, Baahe, Badamea, Bajare, istilah Kanayatn diperoleh dari kata Nganayatn (persembahan kepada Jubata karena pekerjaan telah selesai).
Jika kita melihat dua versi istilah ini, maka pada orang Bakati, istilah tersebut merujuk pada nama tempat, sedangkan pada orang Banana’, Baahe, Bajare, Badamea merujuk pada budaya khususnya religi dan sastra lisan. Namun, dalam sastra lisannya, semua suku, baik Bakati’/Banyadu’ maupun Banana’, Baahe, Bajare, Bampape dan Badamea masih mengarahkan tempat persembahan kepada Jubata di sebuah tempat bernama Bukit Bawakng, Kecamatan Lembah Bawang Kabupaten Bengkayang sekarang ini. Saya pernah dua kali berkunjung di salah satu kampong dikawasan lembah bawang ini, yakni kampong Jaruk Param. Di kawasan ini, semua penduduk berbahasa Bakati’.
Jadi, wajar saja kalau klaim atas identitas Kanayatn tetap terjadi, sepanjang belum ada rekonsiliasi diantara penutur bahasa-bahasa tersebut. Kesulitan menganalisis klaim identitas ini, dikarenakan tidak adanya referensi ilmiah ataupun laporan perjalanan yang ditulis para pelancong, misionaris ataupun aparatur pemerintah colonial ketika itu. Beberapa laporan yang ada, tidak ada yang secara tegas menunjukan istilah “Dayak Kanayatn”.
Istilah Dayak Kanayatn secara jelas hanya tergambar dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dan mengunifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Secara sistematis, sosialisasi identitas “politik” ini mewarnai sejarah Kalbar dengan actor utama para politisi, akademisi dan praktisi LSM.
Ada dua periode kemunculan identitas ini, yang memiliki argumentasi tersendiri. Periode pertama di wakili oleh adopsi dari hasil penelitian Pastor Donatus Dunselman diatas. Periode ini berjalan kira-kira sejak tahun 1980-an hingga tahun 2000. Periode lainnya adalah sebuah periode kritikal identitas yang ditandai dengan upaya untuk mengembalikan identitas Dayak Kanayatn kepada mereka yang paling berhak, yakni Dayak yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.
Periode pertama, saya sebut periode politik identitas. Sebagaimana disebutkan diatas, tulisan Pastor Donatus mungkin dengan cepat menyebar dikalangan misionaris Katolik diberbagai kawasan. Sosialisasi identitas baru ini menjadi lebih tersalurkan dengan dukungan dari petugas-petugas paroki, yang setiap minggu berkunjung ke kampong-kampung Dayak. Hasilnya, identifikasi sebagai Dayak Kanayatn muncul dikalangan Dayak yang sebelumnya belum begitu mengenal identitas ini.
Identitas baru ini kemudian dibaca sebagai sebuah kekuatan yang hebat dalam hal populasi. Ini penting untuk proyeksi kekuatan politik. Dalam politik, besaran populasi dan persatuan para elit Dayak di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak ketika itu menjadi sangat penting sebagai bagian dari strategi politik yang dikembangkan pemerintah Indonesia untuk mengkooptasi dan sekaligus merangkul kekuatan politik Dayak.
Pada bagian pertama buku ini, saya juga menjelaskan mengenai sejarah perpolitikan di Kalbar yang berubah ketika perubahan rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru, awal tahun 1970-an. Perubahan rezim ini disatu sisi mengecilkan peran politik Orang Dayak, namun disisi lain mempererat persatuan mereka dengan strategi baru.
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail periode ini, dalam perspektif politik identitas yang terjadi pada Dayak Kanayatn, saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn.
Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya secara positif dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, memanfaatkan politik pada era Orde Baru.
Menurut statistic tahun 1980, populasi orang-orang Dayak yang berbahasa ba ahe, ba nana’, ba inyam, ba nyadu’, ba kati’, ba dameo, ba langin cukup besar. Mereka hamper menguasai 20% dari seluruh populasi Dayak di Kalbar, dengan penyebaran yang dominan di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak. Karena itu, kelompok etnik ini merupakan pemilih potensial untuk memenangkan Golkar, sebuah partai pendukung pemerintah.
Bubarnya Partai Persatuan Dayak (PD) pada tahun 1960, memaksa serangkaian perpecahan dikalangan internal politisi Dayak Kalbar. Mempersiapkan diri menyongsong Pemilu 1971, bekas pengurus PD memisahkan diri. Kelompok pertama menyatakan bergabung di Partindo. Kelompok ini dimotori oleh J.C. Oevaang Oeray, Gubernur Kalbar. Beberapa aktivis politik lainnya menyatakan bergabung di Partai Katolik, kelompok ini dipimpin oleh F.C. Palaoensoeka, anggota DPR RI. Namun perpecahan ini menjadi kentara ketika, perubahan politik nasional berlangsung sedemikian cepat.
Di masa pemerintahan Golkar, pemenang Pemilu 1971, partai-partai politik berupaya di sederhanakan. Partai Katolik dan beberapa partai nasionalis lainnya berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan beberapa partai Islam berfusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai partai pemerintah, Golkar mengkonsolidasikan tiga elemen penting; ABRI, Birokrat dan Golkar sendiri, atau dikenal dengan istilah ABG.
Membaca kencendrungan politik kelompok etnis Dayak yang beragam di Kalbar, ada enam kelompok sub-etnik Dayak yang menarik perhatian Golkar. Dengan beragam cara, elit Golkar meminta para elit-elit Dayak agar bergabung ke dalam Golkar untuk ‘mewakili’ masyarakat Dayak. Beberapa ‘Dayak Golkar’ ini diberikan tempat dalam berbagai upacara-upacara kenegaraan, dan daerah. Beberapa diantaranya menduduki posisi dalam bidang pemerintahan, namun tidak ada lebih dari pada pemerintah kecamatan.
Bagi rezim yang memerintah, tentu saja elit-elit Dayak ini berfungsi untuk mengamankan suara Golkar dalam pemilu yang telah diatur. Mengingat kemenangan Golkar telah ditetapkan sebelumnya, jumlah perbedaan suaranya dapat dipertanyakan. Pada pemilu 1977, J.C. Oevaang Oeray berkampanye untuk Golkar. Kemudian, Oeray diberikan jabatan anggota DPR RI di Jakarta. Pada pemilu 1977, Oeray dan Aloysius Aloi ditunjuk sebagai anggota DPR; G.P Djaoeng dan Moses Nyawath duduk di DPRD I; Rahmad Sahudin di Kabupaten Pontianak. dan Willem Amat duduk di DPRD II Sangga.
Kemenangan Golkar di kelompok pemilih Dayak memunculkan keinginan kuat untuk melembagakan orang-orang Dayak untuk bergabung di Golkar, sebagaimana kebiasaan Golkar yang membentuk organisasi-organisasi sayap partai. Di dorong keberhasilan mobilisasi Dayak dengan menggunakan “adat” sebagai bumper pemersatu pada peristiwa demonstrasi Cina tahun 1967 diseluruh wilayah Kabupaten Pontianak, adat dibidik Golkar sebagai prioritas. Lembaga-lembaga adat yang tersebar di level kewilayahan local berusaha di strukturisasi.
Keinginan ini ditangkap dengan cerdas oleh seorang Temenggung di Pahauman, Kabupaten Pontianak. Harapannya, para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas, khususnya di Kabupaten Pontianak kala itu.
Tangan dingin F. Bahaudin Kay, Temenggung Binua Temila Ilir I Pahauman mewujudkan ambisi itu. Kay dengan cekatan melaksanakan musyawarah adat se-Kecamatan Sengah Temila pada tanggal 23-24 Mei 1978 di Gedung Serba Guna Pahauman. Meski sebagian biaya musyawarah ini didukung Golkar, menurut Kay, biaya musyawarah tersebut juga ditanggung oleh masyarakat adat yang dimobilisasi oleh pengurus adat disetiap tingkatan, mulai dari Timanggong, Pasirah dan Paraga. Oleh Kay, seluruh kepala keluarga diwajibkan mengumpulkan sumbangan satu kaleng beras dan satu kaleng beras ketan serta uang Rp.100,-.
Awalnya, musyawarah dibungkus dengan upaya menyeragamkan hukum adat (unifikasi) dan mencatat / membukukan (kondefikasi) hukum adat di Kecamatan Sengah Temila, namun sesi akhir dari musyawarah itu memutuskan untuk membentuk wadah adat ditingkat kecamatan yang diberi nama Badan Koordinator Adat (BKA) Kecamatan Sengah Temila. Sebagai organisasi adat, simbol/ lambang adat juga ditetapkan. Simbol tersebut terdiri dari gantang dan pamipis dalam lingkaran segi lima dan dasarnya terdiri dari sebuah balok yang bertulisan motto adat “ADIL KA ‘ TALINO BACURAMIN KA’ SARUGA BASENGAT KA’ JUBATA ”. Musyawarah juga menetapkan F. Bahaudin Kay sebagai koordinator BKA yang baru saja terbentuk untuk masa bhakti 1979-1983.
Sukses pelaksanaan MUSDAT se-Kecamatan Sengah Temila di Pahauman, beberapa tahun kemudian, Kay dan teman-temannya menginisiasi pelaksanaan MUSDAT di level kabupaten. Ini bersamaan dengan pindahnya Kay di Mempawah sebagai salah sebagai Kepala Unit Produksi (KUP) Asuransi Jiwasraya Mempawah. Di Mempawah, dengan tekad dan kemauan yang kuat, Kay yang terpilih sebagai salah satu pengurus GOLKAR di Kabupaten Pontianak menginisiasi pembentukan panitia MUSDAT level kabupaten. Melalui rapat, Kay terpilih sebagai ketua dengan sekretaris Thomas Mekan. SH. Rapat-rapat kegiatan panitia di kantor lurah Anjungan.
MUSDAT I ini berhasil terlaksana pada tanggal 23-25 Maret 1985, bertempat digedung SMP Negeri I Anjungan. MUSDAT dibuka oleh Bupati Kabupaten Pontianak, Drs. H. Muchali Taufik, dihadiri oleh para tokoh dan pemuka masyarakat adat, serta utusan /peserta dari 10 kecamatan dalam Kabupaten Pontianak. Musyawarah ini di rekam oleh Drs.Tarsisius Uryang selaku notulis.
Selama MUSDAT I, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya sebagai Dayak yang satu tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI.
Sebagaimana tradisinya, hasil pada sesi akhir dapat kita tebak. Secara aklamasi peserta mengesahkan hasil MUSDAT, antara lain; mengesahkan pembentukan wadah adat ditingkat kabupaten yang diberi nama “DEWAN ADAT DAYAK KANAYATN KABUPATEN PONTIANAK”, menetapkan pengurus Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak masa Bhakti 1985-1990 dengan ketua umum F. Bahaudin Kay dan sekretaris umum adalah Thomas Mekan SH, sedangkan R.A. Racmad Sahudin Bsc dan Drs. M. Ikot Rinding masing – masing sebagai ketua dan sekretaris penasehat.
Dari informan saya, DAD dilengkapi pula dengan seksi – seksi. Menurutnya, yang sangat strategi adalah bahwa DAD ini berkedudukan di Mempawah ibu kota Kabupaten Pontianak. Yang unik, hampir seluruh keputusan MUSDAT level kabupaten ini, mengadopsi hasil MUSDAT se-Kecamatan Sengah Temila pada tahun 1983 lalu. Menurut penulis, ini bagian tak terpisahkan dari strategi politik Kay yang sangat ahli dalam berorganisasi. Sebagai Ketua Umum DADK Kabupaten, Kay juga mampu melakukan strategi ini dengan baik. Buktinya, hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah selesai MUSDAT ini, ia berhasil membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn di 10 kecamatan dalam Kabupaten Pontianak.
Ketika seluruh kecamatan sudah memiliki DAD Kecamatan, pengurus DAD Kabupaten Pontianak segera melakukan konsolidasi. Kepada saya, Kay menceritakan, pada rapat yang diadakan di rumah Y. Jampari Lacon di Anjungan pada tanggal 12 Juni 1985, pengurus DADK menuangkan bahwa program pertama yang diselenggarakan adalah mengadopsi upacara adat naik dango yang sebelumnya hanya diadakan ditingkat kampong setelah panen padi usai, menjadi naik dango level kabupaten. Selanjutnya Kay menulis;
”untuk menjaga agar organisasi itu tetap eksis, biasanya harus ada kegiatan – kegiatan dan pertemuan – pertemuan periodik yang dilaksanakan oleh pengurus organisasi, ibarat bunga yang sering disiram supaya tidak layu dan tetap segar” (Kay;2005;7)
Kay tidak ingin organisasi besar yang dipimpinnya tanpa kegiatan. Ia berkeinginan agar masyarakat Dayak tahu, bahwa mereka ini Kanayatn. Bahwa mereka ini telah punya wadah persatuan, yakni DAD. Gaung ini secara jelas ditulis Kay;
“Naik Dango ini merupakan kegiatan rutinitas agar wadah ini tetap eksis tidak statis dan mandek senantiasa mempunyai kegiatan dan dapat memberikan gaung bagi dewan adat agar dikenal baik diluar maupun diluar masyarakat kanayatn” (Kay;2005;11).
Inilah organisasi Dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periode 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periode 1992-1997 dari GOLKAR.
(foto; logo DADK)
Setelah pembentukan DAD Kanayatn dilevel kabupaten, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio pada tahun-tahun sesudahnya. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan yang ditulis oleh Martinus Ekok (Albert;2008;36).
Sejak tanggal 1 April 1992, beberapa orang Dayak di Pontianak juga mengadakan siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa baa he, ba nana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya.
Beberapa akademisi Universitas Tanjungpura juga segera melakukan penelitian dan mempublikasikannya dengan dukungan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia. Mereka diantaranya; Donatus Lansau, Yoseph Thomas Lay dan Yohanes Yan Pius, dkk dengan menerbitkan buku Struktur Bahasa Kendayan (1981), morfologi dan Sintaksis Bahasa Kendayan (1984), dan Morfologi Kata Kerja bahasa Kendayan (1985). Ironisnya, sebagai peneliti, mereka tidak pernah menyatakan kembali nama Kanayatn sebagai suku Dayak yang berbahasa ba ahe/ba nana’/ba dameo/ba jare.
Selain Dewan Adat Dayak Kanayatn yang prestisius itu, saya juga mempelajari sebuah organisasi social kemasyarakatan, dikenal sebagai LSM. Pada tahun 1981, sekelompok intelektual Dayak yang dipimpin oleh A.R. Mecer di Kota Pontianak mendirikan sebuah LSM, namanya Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih. Selain mengelola persekolahan, LSM ini juga mendirikan lembaga penelitian yang dikenal dengan Institute Dayakologi Research and Development (IDRD). Melalui penelitiannya dan kemudian di publikasikan, IDRD semakin mengentalkan identitas baru ini, melalui Majalah Kalimantan Review (KR) serta buku-buku terbitannya. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya, hingga hari ini.
Kritik atas siapa yang berhak mengunakan identitas ‘Kanayatn’ ini semakin meluas dikalangan intelektual Dayak sendiri pada akhir tahun 2002. Beberapa intelektual Dayak mulai sadar bahwa ada kekeliruan dalam penamaan istilah Dayak Kanayatn yang terlanjur sangat popular di Kalbar ini. Salah satunya, Simon Takdir, alumnus Ateneo de Manila University, Philippnes, Departement of Sociology & Anthropology, major: Cultural Anthropology.
Melalui penelitiannya, Simon mengkritik dari awal penamaan istilah “Kanayatn/Kendayan” yang ditulis Pastor Donatus Dunselman diatas. Lebih lanjut Simon menjelaskan;
“Ketika saya mengecek dilapangan, para informan (emik) memberikan keterangan yang berbeda dengan apa yang didapat dan ditulis oleh Dunselman (etik)” (Simon; 2003;15).
Menurut Simon, mungkin kesalahan Dunselman karena ia bukan berprofesi sebagai antropolog. Selanjutnya ia menulis;
“Sebagai seorang social scientist saya menyangsikan artikel Dunselman di atas. Tentu berbeda dengan hasil karya yang bukan antropolog. Bagaimanapun juga, dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataanny memang dipersoalkan” (Simon; 2003;15)
Kritik Simon sebagai antropolog mungkin saja cukup beralasan, sebab ia melakukan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, ilmu social yang berbeda dengan sekedar tulisan harian. Selanjutnya ia menulis,
“Penelitian Dunselman banyak dilakukan di kampung Tiakng Tanyukng (hal.21) Mempawah Hulu. Saya tahu bahwa Daerah Tiang Tanyukng dekat dengan desa-desa orang bakati’ (Jirak, Sebangki, Ti,purukng) dan desa-desa orang banyadu’ (pentek, semade, perigi). Kontak antar komunitas dalam hal bahasa, pertukaran barang, perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang Tanjung. Barangkali Dunselman bertanya seperti ini,” Urakng ahe ba kita’ nian?” Informan itu menjawab, “Aku nian urakng Kanayatn.”
Dugaan Simon, mungkin saja Dunselman menyimpulkan informasi yang didapatnya tanpa mengorek dari informan yang lain lagi. Simon menduga bahwa informan yang diwawancarai pastor ini mungkin dulunya orang Kanayatn yang berbahasa Ba Nyadu dan Ba Kati’, tapi ketika itu sudah menikah dan menetap di Tiang Tanjung sehingga ia mengidentifikasikan dirinya sebagai warga Tiang Tanjung yang berbahasa baa he/ba nana’.
Menurut Simon, disinilah letak kekeliruan itu sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah bagi sebuah suku dimasa lalu. Dalam teorinya, Simon memaparkan kepada saya bahwa sebenarnya yang paling berhak menggunakan istilah Dayak Kanayatn itu adalah mereka-mereka yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.
“dasarnya adalah ada Binua Kanayatn. Binua kanayatn ini meliputi Kinande, Papan Gersik, Papan Tembawang, Papan Uduk, Sejaruk Param, Sejaruk Tembawang, Bekuan, Bombai dan Pacong di Kecamatan Samalantan Kabupaten Sambas (sekarang Kecamatan Lembah Bawang Kabupaten Bengkayang). Kepala binua mereka yang masih diingat antara lain Daeng (almarhum), Kuyu (almarhum) dan Loge” (Takdir;2003;17)
Argumentasi Simon ini juga didukung oleh sebuah penelitian ilmiah oleh intelektual Dayak tahun 1997. Vincent Julivin dan Nico Andas, misalnya. Mereka menulis;
“….. menurut beberapa sumber, pada tahun 1984 orang-orang yang berdialek ba kati’ dan ba nyadu’ yang sekolah di Nyarungkop masih disebut orang kanayatn oleh orang-orang dari Samalantan dan Pahauman. Menurut orang Dayak Bukit Talaga orang Kanayatn itu adalah orang-orang yang tidak pasih berbicara dialek ahe/ba nana’. Mereka misalnya tidak mampu mengucapkan kata-kata yang berakhiran dengan: -utn, -ant, -ikng, - ukng, -ekng, secara baik dan benar. Dan yang tidak pasih berbahasa ahe/ba nana’ itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek mpape, banyadu’, dan balangin” (V. Julivin dan Nico Andas (1997)
Sebagai peneliti social, Simon menyimpulkan bahwa mereka yang tidak pasih berbahasa ba ahe/ba nana’ adalah mereka yang non-ba ahe/non-ba nana’, yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli) dalam ucapan (lapal) ba ahe/ba nana’-nya. Jadi mereka yang non-ba ahe/non-ba nana’ adalah Kanayatn. Dengan demikian, menurut Simon, yang fasih berarti bukan Kanayatn (kandayan). Lalu Dayak apa mereka yang ba ahe/ba nana’ ini? (Takdir;2003;17).
Kritik-kritik atas identitas Dayak Kanayatn ini mulai masuk dikalangan masyarakat Dayak sendiri diperkampungan. Pada tahun 2001, misalnya, sekelompok pemuka Adat Dayak di wilayah Binua Temila yang dipimpin oleh Timanggong Maniamas Miden Sood melakukan musyawarah adat. Seluruh peserta musyawarah, sepakat untuk mengembalikan identitas aslinya, Dayak Bukit.
Namun, menurut Simon, istilah Dayak Bukit pun tidak tepat untuk nama Dayak dikawasan Temila itu. Simon menulis;
“Pada umumnya, suku Dayak Salako dulunya lebih senang tinggal di bukit, termasuk juga suku lain termasuk suku Kanayatn sendiri. Jadi tidak tepat kalau ada penggolongan Dayak Bukit atau Dayak bukan Bukit. Orang Bukit juga terdapat di pegunungan Meratus, di Thailand, di Taiwan (suku Alisan), di Panatubo (Pilipina) dan sebagainya” (Simon;2003;17).
Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar (lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ). Beberapa buku, salah satunya berjudul; Dayak Kanayatn Menggugat (Atok;2003) juga merupakan bagian dari kritisme atas pengentalan identitas tersebut diatas.
MEMBAYANGKAN DAYAK KANAYATN
Yohanes Supriyadi
No comments
0 komentar:
Posting Komentar