Oleh Yohanes Supriyadi
JARUM jam menunjukan pukul sebelas siang. Kalender mencatat hari kamis, September 1998. Dua sepeda motor berhenti, tepat di persimpangan antar kampung. Perkampungan yang tenang, tiba-tiba menjadi riuh. Dari atas motor, seseorang berteriak…..
“massa menjarah pasar pagi tadi”
“mereka berikat kepala kuning”
“orang pasar semua naik ke loteng (lantai 2), pasar diaduk-aduk”
Berjarak sepuluh meter, seseorang menyahut dengan berteriak, ”semua anak-anak dan perempuan masuk rumah !!!!”
. tentu saja anak-anak yang bermain berhamburan masuk ke dalam rumah. Wajah-wajah mereka kecut. Rona gelisah memancar. Duapuluh lima meter dari simpang, seseorang berjalan cepat. Ia menenteng mandau berikat kain merah. Matanya merah, keringat mengucur dari dahinya, mengkilat. Ia melirik ke kanan kiri jalan, sepertinya waspada. Tak lama, ia bergegas masuk rumah, ditengah kerumunan warga yang panik. Ada raut-raut wajah gelisah. Ada kebingungan, karena pasar yang menjadi bagian dari hidup mereka telah dikuasai penjarah. Itu berarti hidup mereka juga terancam. Tak lama, enam tetua dari enam kampong menggelar rapat mendadak. Rapat dipimpin Anam, tigapuluh menitan pertemuan itu. Anam adalah Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan. Hasil keputusan rapat disampaikan Ajam Pantang, Ketua Adat Mandor.
“Kita sepakat untuk menggelar adat “pamabakng” (adat pemberitahuan keadaan darurat kepada alam semesta dan manusia sekitar) di saka Manur”
“saya minta saudara-saudara menyumbang, sesuai kemampuan masing-masing”.
Hanya tiga puluh delapan kilometer dari kampong, aksi penjarahan terus berlanjut. Dua hari pasar berhasil dikuasai penjarah. Malam di hari kedua, hujan gerimis mengguyur tanah Sabiris. Lima buah sepeda motor dengan perlahan menembus, mereka tiga belas orang anggota. Anam pemimpin rombongan kecil ini. Mandau terikat erat dipinggang kirinya. Ada anggota menenteng tombak, dan bedil. Tanpa diketahui, rombongan berhasil menembus pasar yang di “jaga” para penjarah. Mereka menemui Awi Musa, Kepala Polisi setempat untuk berkoordinasi.
“Polisi kewalahan mengalau penjarah”
“syukurlah bapak hadir, sama-sama kita jaga pasar ini. Ini bagian dari kehidupan rakyat”
Anam memahami keluhan ini. Ia geram, dan ditengah situasi yang tidak terkendali, tiba-tiba….
“auuuuuuu………..auuuuuu…….aaauuuuuuu”
“aaauuuuuu…aauuuuuu.”
“iiiiihhaaaaaa…..”
Suara “nariu” (berteriak nyaring sambil menghentakkan tanah dengan tumit kaki kanan tiga kali) memecah ketakutan penghuni pasar, membahana menembus sudut-sudut kota. Tiga belas anggota menyerbu - merangsek pasar – menembus terminal. Dikira serangan ribuan orang, ratusan massa penjarah berkeliaran kocar kacir, lari menyelamatkan diri. Selang delapan jam, dua truk penuh massa menyusul dipagi buta. Pasar gegap gempita, memenuhi terminal, dan pertokoan.
“aaaaauuuuuu……..aaaauuuuuuuu”
“iiiiihhaaaaaaaaaaa”
Massa itu berteriak, emosi naik ke ubun-ubun. Balutan embun menghias wajah-wajah garang, tak kenal takut – tak kenal mati. Kain merah bertuliskan “kami anti penjarahan” terikat dikepala. Mandau telah terhunus, tombak berputar-putar, bedil lantak dikokang. Mereka siap perang terbuka dengan para penjarah. Situasi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi penjarah. Mereka sembunyi, mengendap dan sebagian besar melarikan diri. Mereka kembali ketempat asal, tak jauh dari pasar. Dalam tempo satu setengah jam kemudian, situasi pasar berangsur-angsur normal. Pemilik toko mulai berani keluar dan membuka toko, makanan ringan dan minuman dihidangkan kepada ahli waris para pengayau dari Sabiris.
*******
BILA ANDA tiba dipasar Sei Duri, singgahlah di terminal. Anda akan melihat cukup banyak mobil-mobil type L300, pangkeng (sejenis pick up, dipasang atap). Namun, bila anda berniat akan meneruskan perjalanan ke Sabandut, anda naik saja pangkeng jurusan Sei Duri-Capkala. Ada lima mobil yang hilir-mudik; Edo’, Boy, Awan, Siputih, dan Dugem. Dipastikan anda akan sampai ke kampong tujuan. Jalan pun sudah aspal, namun lobang banyak menganga, menunggu mangsa yang bernasib sial. Disepanjang jalan, anda akan melintasi banyak pemukiman warga dari bermacam-macam kelompok etnik. Juga ada hamparan sawah-sawah yang luas, dan mengingatkan kita pada secarik sejarah peradaban, pertanian yang diperkenalkan Orang Cina kepada penduduk Kalimantan Barat. Tak jauh dari pemukiman, disebelah kiri, ada empat buah pabrik tanah liat, bahan baku pembuatan keramik.
Dulu, jalan menuju Mandor ini hanya tanah merah – merekah – lengket dan menjengkelkan. Tahun 1987, jalan berubah menjadi aspal setengah kasar. Pepohonan dulu menjulurkan dahannya melindungi jalanan dan perkampungan, kini telah raib. Pohon berganti tiang-tiang listrik Negara. Itu situasi empat tahun lalu, ketika saya pertama kalinya menginjakkan kaki dikampung ini.
Di pusat kampong Mandor, tepat disimpang sebuah jalan tanah, kalau perjalanan dilanjutkan, anda akan sampai di Sabandut. Orang Cina menyebutnya Ha Bandut, Manur Ilir. Enam meter dari simpang Sabandut, berdiri sebuah bangunan rumah. Warnanya biru laut, agak kusam. Sebelah kiri rumah, berdiri menjulang sebuah tiang besi. Didepan bangunan kokoh itu, ada sebuah warung kopi. Pemiliknya ibu Kacos.
“itu rumah pak Anam, tokoh masyarakat disini”
“itu antenna stasiun radio komunitas disini”
“namanya Rakom Suara Marige, frekwensi 107,4 FM”
“radio ini dibantu oleh LSM, namanya Yayasan Pangingu Binua”
“kalau tidak salah, sudah ada sejak tiga tahun lalu”
Kacos, ibu pemilik warung didepan stasiun rakom. Pendengar setia siaran radio ini. Hanya limapuluh centimeter dari studio radio, muncul seseorang. Ia berkaca mata, tingginya juga biasa-biasa saja, cukup untuk ukuran orang Indonesia. “Saya Anam” ujarnya memperkenalkan diri, ia mengulurkan tangan. Bibirnya tersenyum. Sorot matanya lembut dan bersahabat. Kata Kacos, Anam adalah salah seorang tokoh aktivis komunitas, hasil dari migrasi karena perkawinan duapuluh delapan tahun silam. Sejak 2003, ia mulai terlibat aktiv bersama Yayasan Pangingu Binua sebagai CO (Community Organizer) diwilayah ini.
*********
DUA puluh lima menit dari rumah Anam, rimbunan daun asam raksasa membuat sesak, berserakan tak terurus disepanjang perjalanan. Dikejauhan, jejeran pagar kayu binger (sejenis kayu local yang sangat kuat) mengepung, tak jauh dari pemukiman padat penduduk. Jalannya berliku, mengikuti tekstur tanah persawahan di kanan-kiri jalan. Bila hari hujan, tanah menjadi semacam adonan lumpur yang menggelikan, melilit kaki. Pagi itu, burung oncet (bahasa ilmiahnya…..) menambah riang. Oncet seenaknya bertengger di dahan-dahan kayu kecil, persis depan sebuah bangunan tua, yang masih memancarkan sisa keagungannya dimasa lalu. Di teras, seorang kakek muncul. Ia tersenyum, matanya berkilat. Ia tersanjung, menyapa yang telah hadir. “saya Pak Ajung” jawabnya singkat, memperkenalkan diri. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana benglon pendek (celana yang terbuat dari kain karung gandum) berwarna putih dan sudah mulai kusam.
“Inilah kampong Sabandut” katanya membuka pembicaraan. Ia tertawa renyah, dibibir coklatnya terselip sebatang rokok longlat yang menyala. (rokok ini yang terbuat dari daun nipah. Longlat singkatan; digulung, dijilat, gambaran pelakunya ketika akan merokok). Dari data desa setempat, Sabandut hanyalah salah satu dari tiga belas kampong kecil yang tersebar disekitar pegunungan Batu Baya Komplek. Secara administrative, Desa Sabandut Kecamatan Mandor Capkala Kabupaten Bengkayang. Sebelum pemekaran dua tahun lalu, masih pemerintahan dusun, ada lima buah kampong tergabung. Setelah pemekaran, menjadi pemerintahan desa.
Bila anda mau pergi ke Sabandut, jaraknya sekitar 8 kilometer dari pusat kecamatan di Mandor. Dapat dilalui dengan jalan darat, khususnya berjalan kaki, sepeda engkol maupun sepeda motor. “bila dipaksakan dapat pula menggunakan kendaraan roda empat” ujar Yeyen (27 tahun), pemuda Kampung Jagu’, kampong tetangga. Penduduk Sabandut berjumlah 275 keluarga, 800-an jiwa. Dari segi etnik, umumnya etnik Dayak, Melayu dan sedikit Batak, yang sudah menikah dengan penduduk setempat. Warga Sabandut sehari-hari menyadap karet, sebagian besar bertani padi. Mereka membuka hutan untuk perladangan dan mengusahakan lahan basah untuk persawahan. Hanya ada 7 warga yang membuka toko, mereka menjual kebutuhan pokok. Toko juga menampung hasil karet. Untuk berkomunikasi sehari-hari, digunakan bahasa bajare, berdialek Melayu Sambas. Dialek ini agak beda dengan dialek bajare lainnya seperti yang saya temukan di Mempawah Hulu bagian utara atau Samalantan.
Hampir semua warga mengenal Pak Ajung dengan baik.
“Ia tinggal disebuah pemukiman yang agak jauh dari kampong, istilah lokalnya Parokng”, kata Sahidin Cogok (51 tahun), warga Kampung Mototn Buliatn, 1 Km dari Sabandut. Tak jauh dari bangunan tua itu, sebuah bukit berdiri dengan gagahnya. “seperti diapit tiga bukit” gumam saya. Ya, mungkin cerita Anam ada benarnya. Menurutnya, kata Capkala berasal dari bahasa Cina, Hiap Kala, yang berarti “terjepit diketiak”. Pak Ajung berdiri. Telunjuk jari kanannya mengarah ke bukit itu.
“Namanya Bukit Gantekng Mare”
Ia terdiam, mencoba mengingat sejarah nenek moyangnya. Matanya menerawang, keningnya berkerut. Bibirnya komat-kamit, ia marapal sesuatu.
“dibukit itu, dulu ada sebuah kampong bernama Sabiris. Warganya hidup dirumah bantang, 30 pintu, dipimpin oleh Ne Daem dan Ne Lebe”
Menurut cerita kakeknya, dimasa kepemimpinan Ne Daem dan Ne Lebe, warga hidup rukun dan damai. Untuk menjaga keamanan kampong, warga mengangkat 3 orang pangalangok (panglima perang) yakni Ne Takah, Ne Riukng, dan Ne Buliukng. Suatu ketika, warga Sabiris dikejutkan seseorang dihutan sedang mengendap-ngendap. Karena mencurigakan, ia ditangkap dan dibawa ke kampong. Pemuda itu bernama Nyapi, ia mengaku seorang anak kayo (salah satu rombongan pengayau/pemburu kepala) dari tanah Banyuke yang tersesat. Karena berperilaku baik dan mengesankan, Nyapi diajak tinggal oleh warga Sabiris.
“Ia tinggal sementara dengan Ne Daem, pemimpin Sabiris ketika itu”
Di dekat kampung Sabiris, dilembah Bukit Gantekng Mare, tinggal seorang gadis kayangan yang cantik jelita.
“Ia dikenal baik warga Sabiris, namanya Capala”
“Ia sangat cantik, kulitnya putih”
“Setiap hari, ia mandi disebuah riam, lembah bukit”
Suatu hari, Nyapi pergi ke hutan, mencari damar dan burukng rangok (burung enggang). Tak dinyana, ia bertemu gadis itu. Nyapi terpana dengan kecantikan Capala yang amat sempurna.
“Keduanya berkenalan dan saling tertarik”
“Namun Nyapi sadar, Capala bukan manusia biasa”
Perkenalan keduanya diketahui pemimpin bantang. Ne Daem berinisiatif untuk menikahkan keduanya. Beberapa tahun menikah, tiada seorangpun anak didapat. Nyapi sedih, padahal ia ingin keturunan yang berhak mewarisi kemampuannya kelak.
“Ia mencari akal, agar istrinya mau diajak ke tanah kelahirannya”
Pak Ajung terdiam. Matanya menerawang, mencoba mengingat sesuatu. Tangannya asyik memilih rokok longlat, beberapa batang disodorkan kepada saya.
“Namun,… Capala selalu menolak ajakan suaminya”
“Ia takut asalnya sebagai orang kayangan terbongkar keluarga suaminya”
Nyapi tidak menyerah, ia terus membujuk istrinya. Dan suatu hari, istrinya bersedia. Sepanjang perjalanan, muncul akal jahat Nyapi.
“Tepat disebuah lokasi, di Kampung Parit Mas sekarang, Nyapi nekad membunuhnya”
“Kepala sang istri kemudian hendak dibawanya ke Menyuke”
Diperjalanan, Nyapi singgah di Pakana, kepala sang istri diperlihatkannya dengan gagah kepada warga. Peristiwa pembunuhan Capala, terdengar warga Sabiris. Mereka sepakat mencari Nyapi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Beberapa pemuda sakti dikirim, mencarinya kehutan-hutan, menyeberangi sungai-sungai.
“Namun, pencarian ini sia-sia”
“tak ada informasi apapun didapat”
Karena lelah mencari, warga Sabiris memilih bakayo (permusuhan) dengan orang Banyuke, daerah asal Nyapi. Bukan Nyapi namanya kalau tidak bisa bersilat lidah. Karena takut bersua dengan Orang Sabiris diperjalanannya kelak, di Pakana, Nyapi menceritakan bahwa di daerah Sabiris banyak sekali musuh yang berusaha membunuhnya.
“Karuan saja orang Pakana terpancing dengan siasat Nyapi ini”
“mereka (warga Pakana) mengutus orang-orang terkuatnya untuk meneliti kekuatan anak kayo di Sabiris”
Pak Ajung menyerubut kopi panas yang terhidang. Ia menyulut sebatang rokok merk Cakra, yang sengaja saya beli dua hari lalu.
“Penelitian diperlukan untuk mengatur strategi peperangan nantinya”
“dari yang terbaik dari yang baik, terpilihlah Igak, Dume, Duan, Ote (perempuan), Kunda (perempuan) dan Nanju sebagai tim pangarentes (survey)”
Berhari-hari lamanya keenam orang ini berjalan menuju Sabiris.Namun sesampainya di daerah yang dituju itu, keenam orang ini tidak mendapati seorangpun warga Sabiris sebagaimana cerita Nyapi. Tidak kembalinya tim pangarentes, dan tidak mau terlibat permusuhan yang berkelanjutan antara warga Sabiris dan Menyuke, warga Pakana menginisiasi sebuah upacara perdamaian di Kuala Mempawah.
“Nama adatnya “pasamean”.
“Peraga yang harus disiapkan adalah 1 buah siam (tempayan)”
“Sababak pingatn putih (sebuah piring berwarna putih)”
“Seko’ manok calah (seekor ayam jantan berwarna merah)”
“Seko’ asu’ itapm (seekor anjing hitam)”
“Seko’ babotn itapm (seekor babi hitam)”.
Biasanya setelah adat pasamean, disusul adat “nyimah tanah”. Maknanya agar ada perdamaian orang Menyuke dengan orang Sabiris serta membersihkan tanah bekas pembunuhan Capala ditanah Gantekng Mare. “karena sejarah ini, sampai sekarang kalau ada pemuda Sabandut yang menikah dengan pemudi Banyuke, sebelum pesta perkawinan, dilakukan adat pasamean dulu”, ujar Sirin Banding, Kepala Adat Mandor. Ia adalah salah seorang keturunan Menyuke, dan pertama kali menyelenggarakan adat pasamean ketika menikah di Mandor.
Pada tahun 1740, 20 orang Cina didatangkan dari Brunei oleh Sultan Sambas untuk bekerja di pertambangan emas Monterado. Pedagang emas membuka pemukiman di Jam Tang (Singkawang), dan menyiapkan rumah-rumah bordil dan gudang candu. Hampir setiap akhir minggu, para pekerja tambang beristirahat di Jam Tang. Beberapa diantaranya kemudian memilih untuk berdagang, dan membuka pemukiman baru di Sei Duri. Karena pedagang maupun penambang ini bujangan, mereka kawin dengan penduduk setempat. Jumlah mereka pun semakin bertambah. Pasar dibangun, rumah toko juga dibangun, mirip pemukiman di Tiongkok, tanah air mereka. Menghindari peperangan sesama penambang, termasuk ekspansi wilayah tambang, para pedagang dan pekerja tambang ini membentuk kongsi Tai Kong (Parit Besar) dan Samto Kiaw (Tiga Jembatan). Tahun 1770, anggota Kongsi Samto Kiaw dan Tai Kong di perkampungan sekitar Monterado diserang Orang Dayak Saribas. Pemicunya adalah ketidakpuasan seorang Dayak dari Saribas kepada majikannya. Disebuah toko, seorang pemuda asal Kampung Saribas bekerja sebagai karani (pembantu).
“Ia telah bekerja selama 5 bulan, namun gajinya tak pernah dibayar”
“Setiap kali meminta gajinya, tak ada jawaban pasti dari majikan”.
“Ia sangat kesal, dan memilih pulang kampong” lanjut Pak Ajung. Sekali lagi, ia menyerubut kopinya yang mulai dingin itu.
“nah, di kampong, pemuda ini “menasehati” para orang tua”
“Jangan lagi mengirim anak bekerja sebagai karani ditoko Cina”
“saya sudah tertipu”.
Kontan saja warga kampong geger. Mereka marah. Beberapa pamarani (pemberani, bertemperamen keras dan kasar) bahkan mulai ada niat untuk menuntut balas dengan mengusir orang Cina. Kesepakatan diperoleh. Orang Cina harus diberi pelajaran. Tak lama, beberapa orang menggelar ritual khusus.
“Ritual Mato’, namanya”
“Mereka juga mengedarkan Bun Ka (mangkok merah)”
“Ini bertujuan untuk memberitahu warga Dayak bahwa mereka berniat akan menyerang Orang Cina di sekitar kampong-kampung Dayak”.
Malam hari, ratusan massa bergerak. Tangkitn terhunus, kepala dibalut dengan tali dari kulit tarap. Sebagian besar membawa tombak, tajam dan panjang. Rombongan merayap ditengah gelapnya malam dan rerimbunan hutan belantara. Mereka tiba tepat pagi hari buta.
“aaauuuuuuu……aaaauuuuuuu….aaaauuuuuuuuu”
“aaaauuuuuu…aaaauuuuu….auuuuuuu”
Suaranya sesahutan, memecah keheningan pagi. Kedatangan rombongan besar ini membuat warga Cina di Sabandut tidak mampu menahan serangan, mereka melarikan diri. Serangan ini sangat keras dan beringas.
“Ratusan keluarga Cina meninggalkan Sabandut dan kampong-kampung sekitarnya”
“Mereka melarikan diri kehutan-hutan terdekat”
“sebagian memilih jalur sungai hingga tembus ke Sei Duri”
“Sebagian kecil yang tetap bertahan tewas menggenaskan, kepala terpisah dari raga”
Dengan waktu singkat, Kampung Sabandut dan sekitarnya dikuasai. Sekelompok kecil dari massa yang dipimpin Ne Limo dan Ne Rimong, masuk kerumah-rumah penduduk. Mereka menemukan dua keluarga.
“kalian orang Dayak ?”
“ya..kami Orang Dayak”
Dua keluarga luput dari pembantaian. Identitas sebagai Dayak telah menyelamatkannya. Mereka adalah keluarga Kunda, yang menikah dengan Orang Cina dan tinggal di Sinyaodakng, sekarang dikenal Pujung. Tidak hanya Kunda yang selamat, keluarga Ote di Satanduk dan tinggal di Bukit Kinae juga. Ia menikah dengan seorang pemuda Cina, penambang emas Monterado. Kunda dan Ote, adalah dua anggota dari enam anggota pangarentes (kegiatan survey/mematai-matai) dari Pakana, yang pernah ditugasi untuk “memata-matai” kekuatan Orang Sabiris, atas laporan Nyapi. Rombongan kecil ini, takut dihukum warga yang mengutusnya karena tidak berhasil mendapatkan informasi yang cukup sesuai cerita Nyapi, memutuskan tidak kembali ke Pakana. Selain Ote dan Kunda, anggota lainnya adalah Igak, Dume. Keduanya kemudian menetap di Manur. Beberapa lainnya memutuskan untuk bermigrasi kehulu. Duan bermigrasi hingga menetap ke Sajingan, sedangkan Nanju kemudian bermigrasi kehulu Sungai Sarangan dan menetap di Bukit Sangkikng/Sadaniang”. Sepeninggal orang Cina, Ne’ Limo, Ne’ Rimong, Ote sekeluarga dan Kunda sekeluarga menetap dibekas pemukiman Cina ini. Mereka inilah leluhur warga kampong Sabandut hari ini.
Puluhan tahun lalu, seorang gadis Sabandut hamil diluar nikah. Perbuatan tercela ini sangat memalukan keluarganya, dan juga warga kampong. Atas kesepakatan bersama, gadis ini “diusir”. Itulah hukuman terbaik bagi para pelanggar adat.
“Gadis ini tidak lagi dianggap sebagai anak oleh orang tuanya”
“Oleh orang sekampungnya dianggap sebagai Urakng Laut”
Di kepulauan, gadis ini kemudian angkat oleh warga. Ia dinikahkan dengan seorang pemuda setempat. Ketika anaknya menjadi dewasa, ia kemudian bertanya kepada orangtuanya dari mana sebenarnya ia berasal.
“kamu asalnya Orang Darat”
“masih banyak keluargamu tinggal disana”
Tahu asal usulnya, timbul keinginan sang anak untuk melihat dan kenal dengan keluarga besarnya di daratan. Tak sengaja, sebuah kampong teruju. Kampung yang biasanya sepi, hari itu menjadi ramai. Mereka menyambut ramah kedatangan seorang pemuda berkulit coklat, berbeda dengan warna kulit mereka yang kuning langsat. Ia seorang pemuda sederhana, tinggal di sebuah pulau, pinggiran Laut Cina Selatan, tak jauh dari Sei Duri sekarang. Pemuda ini ahli dalam pembuatan kinsaratn, sebuah alat penggolahan padi menjadi beras. Teknologi baru pertanian padi yang dibawa pemuda pulau ini, tentu saja menarik perhatian warga lainnya yang masih menggunakan “lasukng” (lesung) untuk menumbuk padi. Setiap tahun, menjelang musim panen padi, pemuda dipanggil.
“Ia selalu diminta membuatkan kinsaratn baru, maupun memperbaiki yang dibuat sebelumnya”
“Namun, tetap saja keahliannya membuat kinsaratn tidak mampu ditiru”
Suatu kali, pemuda ini diminta untuk menetap.
“kamu kami beri sebuah kawasan hutan, untuk pemukiman baru”
“nanti, kami bantu membukanya, balasannya, kamu ajari kami membuat kinsaratn”
Pemuda itu setuju, ia kemudian membawa serta keluarganya. Anaknya empat, semua perempuan. Mat Kurau, ternyata adalah anak pulau, ibunya pernah diusir dari Kampung Sabandut puluhan tahun itu. Ia kemudian mengembangkan pemukiman baru, tak jauh dari Sabandut. Kini, pemukiman itu dikenal dengan Pawangi. Warganya semua beragama islam, agama yang dibawa Mat Kurau, dari pulau.
*******
SABANDUT MEMILIKi sejarah panjang dalam pembangunan bidang pendidikan. Sebelum kemerdekaan Indonesia, sudah ada sekolah dasar yang didirikan oleh misi Katolik dan orang-orang Cina di Singkawang, antara lain di Kampung Pak Nibatn dan Satanuk. Sekolah-sekolah ini menggunakan dua bahasa, bahasa Cina dan bahasa Melayu. Ketika Jepang menguasai perkampungan, anak-anak sekolah terpaksa berhenti. Guru-guru banyak ditangkap, termasuk pastor yang berkebangsaan Belanda.
Ne Calek, salah seorang saksi sejarah. Ia ketika itu masih sekolah, kelas 2 SR di Satanuk. Ketika bercerita, tawanya tertahan. Matanya memerah. Ia teringat peristiwa yang menyedihkan kala itu. Bersama ayahnya, Ne Calek setiap hari dipaksa bekerja di persawahan milik Jepang yang sangat luas di daerah Malapis (sekarang daerah Sei Kunyit).
“Komandan Jepang itu bernama tuan Kasumi, pekerja diawasi beberapa orang mandor”
“Mandornya orang laut (melayu)”.
Bersama penduduk lainnya, ia membajak sawah hingga panen. Namun, padi tidak dibawa kerumah, semua diangkut tentara Jepang. Selama membajak, pekerja diberi makan ala kadarnya.
“yang paling sering, ya, makan tamora’ (ubi kayu kering dicampur beras)”.
Pakaianpun, terbuat dari balutan kulit tarap (kayu terap), lemnya dari karet (lateks). Karena itu, bila kena hujan, pakaian kamilepas-lepas hingga setengah telanjang. Tak lama, Jepang kemudian harus menyerah kepada tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat. Sekolah-sekolah mulai berbenah lagi, murid-murid dipanggil untuk bersekolah. Ne Calek memutuskan melanjutkan, kelas dua. Ia juga masih ingat guru-guru yang mengajarnya kala itu.
“Saya diajar oleh Siden (Satanuk), Manurung (Orang Batak), Sundang (Sanggau Ledo), dan Dundang (Putusibau)”
“Mereka adalah alumni sekolah guru di Nyarumkop”
“Sekolah kami masih menggunakan rumah Tendek, dikenal dengan Pak Jimah sebagai ruang belajar”
Menurut Ne Calek, kepala guru waktu itu Agustinus Sundang.
“Ia berasal dari kampong Barimada, Ledo-Bengkayang”
“Ia alumni sekolah guru Nyarumkop tahun 1948”.
Dalam mengembangankan sekolah, Sundang tidak sendiri. Bersamanya ada 5 pastor yang datang dua kali setiap bulan.
“Tetapi pastor khusus mengajar agama katolik”
“Saya sendiri dibaptis oleh pastor Albrick di Nyarumkop pada tahun 1945”.
Selain Ne Calek, cukup banyak saksi sejarah yang masih hidup. Salah satunya Mambah, warga Mandor. Ia mengaku pernah sekolah di Pak Nibatn, tak jauh dari Sabandut.
“para guru dari Singkawang, mereka orang Cina”
“Didepan kelas, ada foto Mao Tse Tung, dan bendera bintang lima”.
Namun, Mambah tidak selesai sekolah, ia harus berhenti ditengah jalan, karena berkelahi dengan Lie Sin Sun, gurunya.
“saya terlambat, hujan sangat lebat”
“saya sampaikan alasan itu, tapi dia (gurunya) justru memaki-maki”
“saya terhina, dan tak sengaja, saya tinju saja mukanya hingga berdarah”
**********
RABAKNG hari itu sedang ramai. Nadin, warga setempat mengadakan pesta perkawinan anaknya. Seorang gadis Sabiris, dengan tertatih-tatih mendaki sebuah bukit. Ia mengunjungi Iyok, saudaranya di Marinso, kampong tetangga.
Kebetulan ada pesta, kamu jadi petugas solo. Solo dalam bahasa setempat berarti sumbangan warga yang hadir kepesta. Adat ini sudah dilakukan masyarakat dayak Kanyatn sejak turun temurun.
” Gadis itu menyanggupi, walaupun masih setengah hati. Demi menghargai kepercayaan saudaranya. Seorang guru muda ikut “ngoyokng” (berkunjung) kepesta itu, ia mengajar di Nyawan sejak tamat SPG di Singkawang tahun 1980. Nyawan adalah sebuah kampong tetangga, 2 jam perjalanan ke Rabakng. Ketika akan “nyolo” (mengisi buku tamu dan memasukan amplop), matanya nanar. Ia terkesima pada senyum manis sang petugas, gadis yang baru ia kenal.
“Itu awal kami kenal, setelah itu, yaaa….kami sering ketemuan”
Ia tertawa mengingat peristiwa bersejarah dalam hidupnya itu.Tak dinyana, jodoh sudah tergariskan. Sang guru muda memutuskan untuk menikahi gadis itu. Pada 7 Maret 1981, pasangan ini diberkati secara katolik oleh Pastor Frans Jansen, Pr dari Singkawang, di gedung SDN 01 Mandor. Hari itu, ia resmi menjadi warga Sabiris. “Sejak menikah, saya mengajar di SDN 01 Mandor” katanya singkat. Ia tersenyum. Sebatang rokok LA light terselib dibibirnya, asap mengepul keudara. Sejak tahun 1980-an, ada delapan (8) sekolah dasar diseluruh Kecamatan Mandor-Capkala, yakni di Mandor, Capkala, Satanduk, Aris, Sarangan, Parit Mas, Sabandut dan Medang. Sang guru muda itu, kini lebih dikenal Martinus Anam.
Anam hanya empat tahun menjadi guru biasa, sejak tahun 1985, ia diangkat menjadi Kepala SDN 07 di Mototn Buliatn. Ketika menjabat kepala sekolah inilah, ia kemudian semakin aktiv memfasilitasi pendirian sekolah lanjutan, salah satunya sebuah SMP di Mandor.
“Namanya SMP Purnama”
“Karena tidak ada guru yang sarjana, guru di SMP ini juga guru SD terdekat”
“Ada 6 guru yang mengajar”
“Kala itu belum ada satupun SMP di Mandor, anak-anak harus berjalan kaki sejauh 15 Km untuk sekolah di SMP Purnama Sei Pangkalan atau 34 Km berjalan kaki untuk sekolah di SMP Dwi Dharma Sei Duri”
Segala keterbatasan sarana, tenaga pengajar dan jumlah murid, tidak menyurutkan niat dan langkah Anam, ia tetap menekuni dan berusaha keras agar SMP ini diakui pemerintah dan berkembang.
“Kami masih menggunakan gedung SDN 01 Mandor”
“Syukurlah, pihak sekolah mengizinkan untuk pemakaian gedung”
Kini usaha yang dirintis Anam berkembang pesat. Sejak awal 2008 lalu, gedung SMP sudah ada dua, SMP Purnama telah dinegerikan menjadi SMPN 1 Capkala di Capkala dan SMPN 2 Capkala di Pawangi.
“Tahun 2006, kami juga mendirikan sebuah SMA di Capkala”
“Namanya SMA St Kristoforus”
Namun sejak 2008, SMA ini kembali di negerikan oleh pemerintah menjadi SMA Negeri 1 Capkala. Menurut Dionisius Frans Namhin, warga Sarangan, pendirian sekolah-sekolah di Kecamatan Mandor Capkala sejak tahun 1990-an tak lepas dari peran Anam sebagai Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sei Raya. Ia terpilih dalam Musyawarah Adat Dayak se-Kecamatan Sei Raya tahun 1997 lalu. Anam sadar dengan posisi politiknya ini. Ia tahu dari latar belakang sejarah, Orang Sabiris umumnya bertemperamen keras dan militant.
“Syukurlah ada YPB, yang mau membantu” ujarnya, suatu ketika.
YPB adalah sebuah LSM yang bergerak pada bidang pembangunan perdamaian. Kantornya di Kampung Raba, Kabupaten Landak. Salah satu kampong yang didampinginya adalah Sabandut, termasuk Mandor. Kelompok sasarannya adalah komunitas multietnis.
“Sasaran YPB tepat, karena Mandor Capkala sangat plural dari segi etnik”
“YPB juga berperan menjembatani masyarakat yang berbeda suku dan agama disini (Mandor)”
Salah satu peran penting YPB, menurut Anam adalah memfasilitasi sebuah Lokakarya Perencanaan Masyarakat Mutietnis tahun 2002 di SDN 01 Mandor. Dalam lokakarya ini, peserta sepakat untuk mendeklarasikan sebuah organisasi pemersatu. Berdirilah Forum Komunikasi Masyarakat Multietnis (FKME) Tingkat Kecamatan Mandor-Capkala.
“Organisasi ini penting sebagai alat komunikasi antar etnis yang ada”
“Selain sebagai jembatan, organisasi ini juga sebagai alat untuk pengembangan kapasitas diri pelakunya”
Untuk menjaga roh perjuangan, peserta lokakarya menyepakati agar figure yang dipilih sebagai pemimpin adalah figure yang diakui semua kelompok etnik yang ada.
“Nah, figure yang tepat itu adalah Pak Anam” ujar Sirin Banding, tokoh masyarakat Mandor.
Anam terpilih secara aklamasi sebagai Ketua FKME. Dalam sambutannya pertamanya, Anam menyampaikan kepada forum bahwa Orang Sabiris layak maju, sebab sejak lama Sabiris dikenal sebagai warga yang toleran.
“Namun, sekarang Sabiris sudah multietnis, multiagama dan demikian juga multibudaya”
“Kalau mengatasi permasalahan, mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan bila jalan damai sulit ditempuh”
Komentar Anam mungkin ada benarnya. Menurut Pontius, dalam bukunya “Sejarah Samalantan”, karakter orang Dayak yang keras ini merupakan turunan dari peperangan demi peperangan yang teramat lekat sejak masuknya Cina dikawasan pertambangan Monterado, ratusan tahun lalu. Mandor dan Capkala, termasuk salah satu kampong Dayak yang “terengut” dalam kekuasaan kongsi penambang yang berpusat di Monterado.
“Itulah sebabnya, Dewan Adat Dayak ini sangat strategis untuk mengakomodir dan mengakselerasi semua kepentingan dan permasalahan social-politik yang ada agar tidak merayap menjadi aksi kekerasan”
Sebagai Ketua tingkat kecamatan, Anam membawahi 2 wilayah adat yang dikenal sebagai Binua (sebuah bentuk pemerintahan local, seperti pemerintahan desa sekarang ini), yakni Binua Atas dan Binua Bawah.
Lihat buku pemerintahan binua; terutama sejarah binua, system pemerintahan dan kondisinya kini.
“Kepala Binua Atas sekarang dijabat Sucipto, ia tinggal di Kampong Kucipu”.
“wilayah binua ini meliputi 3 desa; Desa Aris ketua adatnya Pak Olan, Desa Setanduk Kepala Adatnya Untek/Pak Orot dan Desa Capkala, Kepala Adatnya Sucipto sendiri, merangkap Kepala Binua”.
“…sedangkan Kepal Binua Bawah dijabat oleh Sirin Banding, ia tinggal di Kampung Manur Dalapm”.
“ wilayahnya terdiri dari Desa Mandor, ia sendiri merangkap Kepala Adatnya, Desa Sabandut dijabat oleh Besli Sihombing sebagai Kepala Adat dan Desa Pawangi, karena desa ini mayoritas Etnik Melayu, maka tidak diangkat Kepala Adatnya”
**********
DI SABANDUT, masyarakat yang terdiri dari kelompok etnik yang berbeda dapat bersatu. Tidak hanya Dayak dan Laut (Melayu) yang tinggal di Sabandut. Ditengah ratusan keluarga ini, ada 5 keluarga Batak yang telah menyatu didalamnya. Mereka dikenal sebagai Sihombing bersaudara. Adalah Jansen Sihombing, bekas tentara, yang melarikan diri ketika terjadi Perang Jepang tahun 1942. Jansen berasal dari Pahae, Sumatera Utara. Ia pertama kali menetap di Kampung Nyong Seng, sekarang dikenal sebagai Kampung Pak Nibatn. Ketika menjadi guru di SD Pak Nibatn, ia menikahi gadis Dayak asal Kampung Batas Rancang bernama Longkes. Dari perkawinannya ini, Jansen memiliki empat orang anak laki-laki,yakni Besli Sihombing, Beto Sigombing, Markus Sihombing dan Kimler Sihombing. Pension jadi guru tahun 1970, Jansen terjun kedunia politik. Ia masuk pengurus partai politik yang baru berfusi, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hingga akhir hayatnya.
Garis politik Jansen diikuti anak-anaknya, sekarang mereka menjadi pengurus PDI Perjuangan ditingkat kecamatan. Karena berdarah politik, anak-anak Jansen sebagian menjadi “orang penting” di Sabandut. Besli Sihombing, anak tertuanya pada pemilihan tanggal 5 Juli 2004 lalu, terpilih sebagai Kepala Adat Sabandut. Besli mengalahkan Amet Sulang, pejabat lama, orang Dayak asli.
“selisih suara hanya 3 suara, dari 100 pemilih yang ada”
“satu orang calon, Lamri, menyatakan mundur sebelum pemilihan”
Sebelum menjadi Kepala Adat, Besli menjabat sebagai Ketua II Badan Perwakilan Desa Mandor (sebelum pemekaran). Dalam mengatur adat dan hokum adat, Besli memiliki buku berjudul “Simpado”, sebuah buku hasil rumusan tetua-tetua adat di Ngabang. Buku ini terbitan Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak, 1987 silam.
“buku inilah yang menjadi pegangan saya dalam memutus perkara”
Dalam menyelesaikan perkara berat, Besli tak segan-segan berkoordinasi dengan Dewan Adat Dayak kecamatan. Besli tidak bekerja sendiri, dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh dua orang pejabat yang diangkatnya, yakni Ahian Codak diangkatnya sebagai juru tulis (sekretaris) dan Sabet sebagai pangarah tahutn (urusan pertanian). Namun, Besli mengaku, selama empat tahun menjabat, ia tidak pernah menemukan kendala dari warga yang mayoritas Dayak.
“ Sabandut merupakan kampong yang aman, tidak pernah ada kasus-kasus atau pelanggaran social”
Besli kini menjadi Mandor, disebuah perkebunan kelapa sawit di Sabandut yang baru berperasi Maret 2008 lalu. Ia membawahi 100-an pekerja. Berbeda dengan abangnya yang menjadi Kepala Adat, Beto Sihombing sukses menjadi salah satu dari tujuh pedagang besar di Sabandut.
“Beto gigih dalam berusaha, ia sangat ulet bekerja”
“wajarlah, ia mampu memiliki dua buah truk sebagai alat pengangkut karet”
Selain berdagang, Beto juga aktif diorganisasi. Ia dipilih anggota sebuah perkumpulan warga menjadi bendahara pada tanggal 1 April 2003 lalu. Perkumpulan ini mengelola sebuah group kesenian tradisional Dayak, Jonggan. Grup music ini diberi nama “Jonggan Pangingu Batu Baya”. Tidak hanya itu, Beto dan saudara-saudaranya juga aktif diorganisasi social lainnya, salah satunya kelompok arisan.
“Ada empat kelompok arisan warga di Sabandut”
“PEGA, Persatuan Gawe Adat”
“BAPAKAT, PORSET dan TOGA PUNGUAN SIHOMBING, sebuah organisasi persatuan marga Sihombing yang sudah terbentuk se-Kalimantan Barat sejak tahun 1962”
Sejak pemekaran desa tahun 2007, terjadi pula pemilihan Kepala Desa Sabandut yang baru, menggantikan Kalvianus Malik. Pemilihan diadakan pada bulan Mei 2007. Ada 4 calon yang bertarung; Anto Situhu Halawa, Alexius Laon, Yakobus dan Mahadi Jimat. Dalam pemilihan, Anto Situhu Halawa ditetapkan sebagai Kepala Desa Sabandut terpilih. Terkait kemenangan Anto, Beto Sihombing bercerita.
“saya termasuk tim sukses Anto. Saya menggunakan jalur keluarga”
“SDM dikampung ini sangat rendah, jadi wajar saja kalau Anto terpilih”
Anto Situhu Halawa, sebelumnya adalah seorang motivator agama dan penginjil dari Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Sabandut. Ia menikah dengan Tanggile’, seorang gadis Dayak dari Kampung Sabandut. Dari perkawinannya, Anto memiliki dua orang anak. Sejak 31 Maret 2008 lalu, Beto Sihombing menjadi pemasok belanja bagi sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Lestari Alam Raya (PT LAR). PT LAR mengusahakan lahan seluas 14.000 Ha, pimpinan perusahaannya, Sihombing dan Aritonang. David Darol, bekas Kepala Bappeda Bengkayang tercatat sebagai Kepala Hubungan Masyarakat (Humas).
Sebagai aktivis pemberdayaan masyarakat, ketika PT LAR masuk dan beroperasi, Martinus Anam menginisiasi pembentukan sebuah forum warga yang diberinya nama “Tim Independen”.
“tugas anggota tim ini adalah memantau perkembangan situasi, agar perusahaan tidak merugikan masyarakat”
“kami ingin menjadi mediator, bila nantinya ada konflik perusahaan dengan masyarakat”
Organisasi ini dibentuk sejak bulan Mei 2008 lalu, beranggotakan 5 orang tokoh masyarakat, termasuk Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kecamatan Mandor Capkala. Ketuanya Alexius Laon, bekas calon Kepala Desa Sabandut yang dikalahkan Anto Situhu Halawa.
*****
SUATU sore, dikejauhan seseorang tampak tergesa. Jalannya tertatih-tatih. Ia tidak memakai alat kaki, padahal jalanan beraspal. Kacamata hitam dipakainya. Didadanya melekat tulisan “Satukan Langkah, Lakukan Perubahan”, baju kaos bergambar HM.Akil Mochtar-AR.Mecer, pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Kalbar dalam pilkada 2007 lalu. “Aku Mambah, asal Samantakitn” sahutnya mengenalkan diri. Tangannya menjulur, ia mengajak bersalaman. Terasa tangannya kasar, pertanda pekerja keras. Senyum menghias, giginya kehitaman, beberapa sudah lepas. Ketika kacamata hitam dilepas, sorot matanya tajam. Otot tangannya masih terlihat kekar. Samantakitn adalah sebuah kampong diwilayah Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak sekarang. Ia biasa dipanggil Tangkulu’, usianya menginjak angka 67 tahun.
Mambah peranakan Cina-Dayak, ayahnya Nya Oku Lie Con, seorang Cina dan ibunya Anyuk, asal Caokng, Binua Gado’. Kedua orang tuanya menikah di Caokng, tetapi kemudian memilih tinggal di Samantakitn. Setelah menikah dengan gadis Sabiris, Mambah pindah ke Mandor. Dari perkawinannya, ia memiliki tujuh orang anak, tiga laki-laki dan empat perempuan. Ia kakek dari lima orang cucu.
“sejak muda, saya pandai membuat kun soi (peti mati Cina)”
“saya belajar membuat kun soi dari bapak”
Sejak tinggal di Mandor, ia memutuskan untuk beralih profesi. Perubahan social di Mandor memaksanya untuk berhenti jadi tukang kun soi.
“sudah tidak ada lagi orang yang pesan kun soi, disini kebanyakan Orang Dayak”
Selama hampir dua puluh tahun, Mambah menjadi panyagahatn (profesi untuk memimpin upacara/ritual adat). Dalam ritual adat Dayak, panyangahatn berfungsi untuk nyangahatn, doa litani yang berisi permohonan kepada pencipta alam semesta, untuk tujuan tertentu. Selain menjadi panyangahatn, Mambah sekaligus berprofesi sebagai Nyandon (pembaca syair kematian). Profesi ini, hanya ia sendiri yang mampu. Tidak banyak orang yang mampu berprofesi ganda seperti Mambah.
“banyak syarat yang harus terpenuhi, salah satunya sudah menikah adat secara lengkap”
“juga berdasarkan keturunan”
“atau bisa juga karena yang bersangkutan diangkat secara adat oleh warga”
Tahun 2004 lalu, ia juga memutuskan untuk berhenti sebagai panyangahatn, ia kemudian digantikan Akun Bayang. Kini, Mambah hanya berprofesi sebagai Nyandon, sebuah profesi yang sudah sangat langka di Kecamatan Mandor Capkala. Setiap kali dipanggil Nyandon, Mambah diberi jasa anam mata nyandon (uang Rp.66.000), sote’ lagor (sebuah piring), sote’ iso’ (sebuah parang), sote’ tapayatn (satu buah tempayan) dan sote’ raakng babotn (sebuah rahang babi).
“sekarang jadi Nyandon tidak ada guna lagi”
“keluarga yang anggotanya meninggal lebih memilih doa secara agama”
Agama modern yang umumnya dianut warga sekarang menyebabkan mereka menghindari dan bahkan cendrung menghilangkan tradisi yang bernuansa “mistis” ini, karena dianggap telah bertentangan dengan nilai-nilai iman mereka yang baru. Dibalik kaca mata hitamnya, beberapa butiran bening menetes. Kulit mukanya berkerut. Tangan kirinya memegangi kepala. Ia sedih, mungkin juga cemas.
“dia (Mambah) ingin minum (arak), makanya seperti itu” ujar Kacos.
“wah, kalau gitu, tolong dikasi (arak) secangkir”
“jangaaan,….dia kalau dikasi, akan lama disini”
“Dia kalau minum pasti sampai mabuk”
Kacos adalah ibu pemilik warung disimpang Sabandut. Menurutnya, setiap hari Mambah pasti datang di toko untuk membeli arak dan meminumnya hingga mabuk.
“kadang-kadang, ia dijemput anak atau cucunya untuk pulang”
“bahkan pernah tertidur dijalan raya, ia mabuk berat”
Mambah adalah potret kehidupan Orang Dayak masa kini. Barangkali, ia merupakan satu dari ratusan ribu penjaga tradisi local Dayak yang “hilang” keseimbangan diri karena perubahan zaman. Ia mungkin merasa telah asing dinegerinya sendiri, sebuah negeri yang katanya beradab, namun penghormatan terhadap sejarah dan kearifan leluhur memudar, bahkan meniadakannya. Dibenaknya, mungkin saja masih ada setitik harapan untuk berubah, memanusiakan manusia-manusia Dayak, yang terlena dengan kekuasaan dan kedudukan.
************
SENGATAN NYANDON TANAH SABIRIS
Yohanes Supriyadi
1 comment
1 komentar:
luar biasa reportasenya yukng. tinggal poles sadikit jadiluar biasa...
Posting Komentar