Oleh Yohanes Supriyadi
Artikel ini adalah bagian pertama dari buku saya yang berjudul: "GALAU KANAYATN; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAGAIMANA DAYAK KANAYATN MEMANDANG HIDUP, KEHIDUPAN DIRINYA DAN ORANG LAIN.
Pengantar
Dayak, tetap menjadi sebuah misteri masa lampau, tidak ada dokumentasi yang betul-betul lengkap mengenai tata hidup bangsa ini. Terlepas dari itu, bangsa Dayak sesungguhnya bangsa yang unik, selain sub-sub suku hamper 450-an, bangsa ini juga terdapat pada 3 negara di Asia Tenggara yakni Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia. Dunia melihat bahwa bangsa Dayak adalah bangsa yang besar. Bangsa yang dipenuhi misteri. Ini terlihat dari kepercayaan mereka dalam dunia gaib, yang bagi manusia modern dianggap irrasional. Dalam segi agamapun bangsa ini unik. Disaat agama-agama besar dunia masuk dalam kehidupan mereka, dengan “kelihaiannya” mereka mampu beradaptasi. Meskipun diluar mereka dikenal sebagai Kristen atau Islam, toh kenyataannya mereka tetap memakai agama asli yang dianut secara turun-temurun. Banyak kasus menunjukan hal ini. Tidaklah heran bagi sebagaian orang, bangsa Dayak dikenal sebagai “adaptor” yang sangat baik.
Bangsa dayak sungguh bangsa yang toleran. Ada falsafah hidup yang mengharuskan mereka untuk menerima saja siapapun yang masuk dikehidupan mereka, walaupun orang baru ini kenyataannya merusak diri mereka. ”asu’ maan dimare’ makatn, ahe agi’ talino” (anjing saja diberi makan apalagi manusia). Bila ada orang bertamu kerumahnya, dengan senang hati mereka (tuan rumah) menerima dan melayaninya dengan sangat baik. Mereka menyiapkan daging, telur, dll makanan yang enak-enak yang walapun mereka (dikeluarga itu) hanya setahun sekali menikmati makanan sejenis yang disuguhkan kepada tamu.
Selama hamper sepuluh tahun, saya melakukan penelitian lapangan dan menyusun buku ini. Banyak pihak sudah membantu, karena itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih, khususnya kepada staf dan pimpinan Yayasan Pangingu Binua, Dosen Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura, dan rekan-rekan saya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Buku ini merupakan hasil dari studi lapangan singkat masyarakat Dayak yang menghuni Propinsi Kalimantan Barat. Lebih utama saya memfokuskan pada kehidupan Dayak Kanayatan dan khususnya kekayaan kosmologi dan pengendapan identitasnya.
Menurut ahli antropologi kelompok suku Kanayatn di klasifikasikan sebagai salah satu sub kelompok Dayak Klemantan, kini sebagian besar mereka mendiami daerah Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Menjalin. Namun, klasifikasi mengenai siapa orang Kanayatn dan bagaimana budaya orang Kanayatn sebenarnya sulit dijelaskan karena masyarakat Kanayatn meminjam banyak aspek budaya dari tetangganya yaitu dari kelompok Melayu dan aspek budaya dari perantau seperti Tionghoa, India, Arab, Barat dan pulau-pulau nusantara lainnya yang datang sejak lama. Perantau tersebut didesak melsayakan perjalanan laut dari tempat asalnya untuk mencari bahan perniagaan, mencari hubungan dengan masyarakat luar dan memuaskan keingintahuan mereka serta mencari tempat yang diharapkan lebih subur dan nyaman.
Buku ini akan membahas aspek cultural, social, kepercayaan dan ritual, ekonomi maupun politik.Perspektif Dayak Kanayatn mengenai aspek-aspek tersebut kelihatannya diabaikan atau dilihat sebagai hal yang dinilai kurang signifikan oleh orang-orang luar. Disampingi aspek tersebut makalah ini juga menyajikan sejarah lisan, mitos-mitos orang Kanayatn yang diperoleh dari observasi dan wawancara dengan informan dan tokoh masyarakat di lokasi Dusun Nangka, Desa Rees serta di Desa Raba yang secara signifikan mengalami “goncangan budaya” dari banyak desa lainnya.
Dalam buku ini yang akan dikemukakan adalah perihal evolusi peradaban orang Dayak dan evolusi peradaban sayalturasi. Dewasa ini perubahan juga disebabkan oleh perilsaya politik maupun bisnis yang kebijaksanaan-kebijaksanaannya berasal dari pusat propinsi, ibu kota negara dan bahkan dari luar negeri yang mengakibatkan perubahan serta dampak pada pola hidup dan lingkungan masyarakat Dayak dilokasi studi.
Secara detil, buku ini lebih menggambarkan pola hidup masyarakat Kanayatn di 3 desa sebagai sebuah tulisan etnografi klasik dari pada memfokuskan pada gaya hidup “kota satelit” di pedalaman, gaya hidup yang sering disajikan oleh media masa Kalimantan Barat maupun nasional. Kebanyakan generalisasi dari orang di luar kelompok Dayak mensteriotipkan suku Dayak sebagai masyarakat yang belum paham memeluk era konsumerisme. Masyarakat Dayak juga dipandang memiliki perabadan yang kurang berkembang seperti yang digambarkan oleh media populer pada waktu kerusuhan etnis beberapa tahun yang lalu. Seandainya aspek kekayaan peradaban masyarakat Dayak termasuk keanekaragaman kosmologi yang menyertainya ditonjolkan maka gambaran yang lebih menarik akan muncul.
Di Kalimantan, tidak seorangpun masyarakat yang menyangsikan bahwa orang Dayak adalah penduduk asli (indigenous people). Uniknya, penggunaan istilah “Dayak” pernah mengalami pasang surut. Meskipun dalam prakteknya, kadang-kadang mereka sendiri belum memahami secara utuh tentang Dayak itu sendiri karena keterbatasan pengetahuan. Hal ini terjadi karena hingga awal tahun 1990-an, sangat jarang buku-buku yang mengupas tentang Dayak di Kalimantan yang ditulis oleh orang Dayak sendiri ataupun oleh orang Indonesia.
Selama hamper dua tahun, saya harus bekerja keras untuk mengumpulkan puluhan buku-buku tentang Dayak, yang kenyataannya lebih banyak ditulis oleh pelancong, pedagang Cina, aparat birokrasi colonial Belanda hingga misionaris katolik, yang tentu saja berbahasa Belanda, Inggris dan bahkan Cina/Mandarin. Buku-buku dimaksud telah ditulis pada abad 17, 18 hingga awal abad ke 19 yang lalu.
Mengenai hal ini, seorang antropolog Dayak menulis:
“saya sudah lebih dua puluh tahun meneliti tentang Dayak, namun di sini (Kalbar,red) sangat sulit mendapatkan referensi. Ada teman di kampus menerangkan pada saya, bila anda ingin mengetahui tentang Kalimantan dan Dayak dimasa lalu, anda harus ke Eropa, khususnya Belanda atau ke Tiongkok, RRC. Tentu saja saya menjadi maklum…” (Atok;2008).
Bila kita baca diliteratur-literatur tersebut, umumnya menulis secara harafiah, kata “Daya” berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Dikatakan juga orang Dayak disebut-sebut sebagai orang pegunungan atau orang pedalaman yang menurut asal- usulnya merupakan hasil perkawinan antara ras Negrid dan Weddid yang sebelumnya telah ada di Pulau Kalimantan dengan ras Mongoloid, sebuah ras yang merupakan imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan.
Karena ditulis oleh orang dari beragam profesi, istilah-istilah atau pengelompokan Dayak mengikuti apa yang mereka lihat dan alami sendiri, bukan karena ilmu pengetahuan tertentu. Kita mengenal misalnya ada istilah; Dyak, Daya, dajaker, dayak, dan lain-lain. Dari istilah-istilah ini, yang amat popular dan bertahan hingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia adalah “Daya”.
Popularitas kata “Daya” karena ada asumsi, pengalaman buruk masa lalu dari suku ini bahwa orang lain sering mengungkapkan “dasar kau Dayak !” dan sebagainya bilamana sedang kesal, kecewa, marah, atau sedang bersenda gurau. Perkataan-perkataan ini kemudian membuat semacam rasa rendah diri, bagi kelompok Daya dalam berhubungan dengan orang lain.
Secara sengaja, saya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa Identitas Dayak dalam kenyataannya pernah mengalami pasang surut di Kalbar. Pada waktu tertentu orang Dayak berbondong-bondong menjadi Islam dan mengaku diri sebagai Melayu, pada suatu waktu, orang Dayak berbondong-bondong menjadi Kristen dan mengaku diri sebagai Dayak asli dan suatu waktu dalam periode tertentu, Orang Dayak yang sebelumnya beragama Islam kembali berbondong-bondong mengaku diri sebagai Dayak, dengan identitas baru; Dayak Islam.
Fenomena ini tentu saja menjadi menarik, bilamana kita menelusuri lima periode pasang surut identitas Dayak dengan beragam isoleknya; islamisasi, kristenisasi, kesadaran etnisitas, kontemplasi dan konsolidasi dan periode bangga sebagai Dayak.
1. Periode Islamisasi
Pada periode ini, Dayak belumlah dikenal seperti sekarang ini. Dayak masih dikenal sebagai penduduk yang tinggal di perhuluan sungai, lereng gunung, menganut agama tradisional, hidup di rumah panjang, berburu dan bercocok tanam padi dengan membuka hutan. Karena terisolasi dari “dunia luar”, penduduk Dayak hanya mengenal kelompoknya sendiri. Seorang informan saya bercerita”
“nenek moyang kami dulu hidup terpisah dari orang lain, mereka hanya hidup sekeluarga. Tinggal disebuah rumah panjang, terdiri dari 40 pintu, yang dihuni 40 kepala keluarga saja”
Bila kita rekonstruksi, sejarah orang Dayak ketika berhubungan dengan orang luar hanya terjadi ketika perdagangan berlangsung. Beberapa penduduk pesisir yang Islam menjajakan barang dagangannya melalui perahu di pinggir-pinggir sungai. Istilah lokalnya pangkalan. Terjadi barter barang di sana. Informan saya melanjutkan;
“nenek moyang kami memberi madu, kulit beruang, tanduk rusa, dan lain-lain. Sedangkan mereka memberi kami garam, pakaian, manic-manik. Kami rasa, kami sama-sama diuntungkan dengan system ini”
Menurut informan saya, tidak setiap minggu para pedagang ini datang ke kampung. Mungkin karena akses transportasi dan geografis yang sangat sulit. Mereka hanya datang setiap enam bulan atau ada yang hanya setahun sekali.
Cerita diatas, tentu saja dilihat ketika orang Dayak berhubungan dengan orang diluar mereka. Rendahnya kadar komunikasi dengan orang luar, menjadikan orang Dayak terlepas dari relasi yang harmonis dengan orang luar. Dalam konteks hubungan Dayak dengan sesame Dayak, pada awal abad 18, banyak literature yang ditulis orang Eropa mencatat, peperangan sesama Dayak seringkali terjadi. Ini dikenal dengan perburuan kepala (head hunter) atau Kayau, istilah local. Patut dicatat bahwa pengayauan bukan dilakukan pada semua orang, hanya orang-orang tertentu saja yang boleh di kayau, misalnya kepala kampong, kepala adat, panglima perang, atau orang yang berhasil secara ekonomi (orang kaya). Peperangan-peperangan yang terus terjadi, membuat populasi suku ini menurun drastic, termasuk habisnya generasi yang berkualitas.
Sebagaimana cerita diatas, masyarakat Islam umumnya tinggal di pantai dan muara-muara sungai, yang strategis untuk menguasai jalur perdagangan. Mereka mendirikan pusat pemerintahan yang berbentuk kesultanan. Rajanya bergelar Sultan atau Panembahan. Dari catatan sejarah, awalnya para Sultan atau Raja ini menganut agama Hindu, mungkin pengaruh Kerajaan Majapahit yang pernah berjaya di Nusantara pada abad 14. Seiring dengan hancurnya kekuasaan Majapahit, islam muncul dan berkuasa. Agama ini dibawa oleh pedagang dari Persia, Gujarat, Cina Selatan, dan Arab. Karena tinggal di kawasan pesisir dan hubungan dagang, para Sultan dan Raja musah menyerap pengetahuan dan ideology baru. Segera saja, mereka berkonversi menjadi Islam, untuk alas an perdagangan dan kekuasaan.
Sejak masuk islam, para Sultan atau Panembahan ini menerapkan hokum islam dan pajak ekonomi melalui aparat-aparatnya. Pada beberapa perkampungan Dayak, Sultan atau Panembahan mengangkat wakil pemerintah kerajaan untuk memungut pajak. Namun, dalam prakteknya perlakuan pajak ini berbeda antara penduduk Islam dan non Islam yang umumnya orang Dayak diperhuluan.
Perdagangan yang luar biasa dengan dunia internasional, pengaruh kerajaan Islam kian hari kian kuat dan masuk diwilayah orang Dayak. Takut meninggalkan tradisi nenek moyang, Orang Dayak yang tidak mau memeluk Islam memisahkan diri dengan meninggalkan daerah pesisir menuju bagian pedalaman, yang ketika itu masih hutan belantara. Mereka bergabung dengan Orang Dayak lainnya yang telah lama tinggal disana dan membentuk pemukiman disekitar tepi sungai bagian hulu yang dapat ditempuh dengan perahu dari muara sungai.
Selain takut melanggar adat dan kepercayaan karena pengaruh Islam, situasi ekonomi, politik dan keamanan, juga menyumbang pada banyaknya Dayak kemudian beralih menjadi Islam. Dengan menjadi Islam, mereka bebas pajak,dan berhak untuk menjadi pegawai kesultanan di komunitasnya. Orang Dayak yang beralih menjadi Islam ini umumnya tidak mau mengakui lagi dirinya sebagai Orang Dayak, tetapi sudah menjadi Melayu. Melayu berarti Islam, atau sebaliknya dengan menjadi Islam berarti menjadi Melayu.
“…Dengan menjadi orang Melayu, pada umumnya mereka menganggap dirinya sudah melakukan mobilitas sosial vertikal dari status rendah sebagai orang Dayak meningkat menjadi orang Melayu.” (Bambang;2003)
Hal diatas jelas, alasan-alasan perpindahan ini dalam kerangka mengangkat harkat keluarga. Beberapa literatur klasik mencatat, di kawasan perhuluan Kapuas, Orang Dayak yang ingin naik kelas sosial harus menganut agama Islam. Mungkin, dengan cara inilah akses peradaban menjadi terbuka lebar, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan.
Seiring dengan itu, mereka tidak lagi mengakui dan memang tidak diakui lagi sebagai Orang Darat, tetapi menjadi senganan, atau orang laut atau menjadi Melayu. Perilaku perpindahan Dayak ke Melayu ini, mungkin mengembangkan prasangka dan stereotif tertentu tentang kelompok lainnya, termasuk dengan Dayak yang mengkonversikan dirinya menjadi Islam. Dengan menjadi Melayu dan Islam, Dayak menjadi semakin beradap, sedangkan tetap menjadi Dayak berarti primitive. Stereotif ini terus berkembang dan menggejala disetiap komunitas masing-masing. Dari pasangan simetris yang bertolak belakang ini kemudian lahir relasi sebab akibat dengan logika tertentu, sebuah relasi yang tidak harmonis.
2. Periode Kristenisasi
Islamisasi yang terjadi dengan Orang Dayak pada periode awal terus berlanjut ketika colonial Belanda datang di Kalimantan Barat dengan bendera VOC pada awal abad 17. Sungguhpun demikian, kedatangan Kolonial ini cukup mampu menahan laju gerakan pan-islam. Sebagai penguasa baru, pemerintah Belanda belum mengetahui persis keadaan penduduk di Kalbar. Walaupun secara politik, pemerintah Belanda cendrung lebih dekat dengan kesultanan Melayu yang Islam. Namun pada saat yang sama, secara ideology, sosio-kultural, pemerintah juga merasa khawatir dengan keislaman Melayu yang memungkinkannya bergabung dalam gerakan Pan-Islamisme yang saat itu sedang mengelora dibeberapa kawasan dan memberontak terhadap kekuasaannya. Sejak mengalami perang Aceh, Belanda memang mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu yang berbau Islam.
Ada dua strategi pemerintah colonial membendung gerakan pan-islamisme di Kalimantan yang sedang massif ketika itu, yakni dengan mengkonsolidasikan kelompok Dayak untuk tidak berperang dengan sesame Dayak dan melakukan kristensisasi melalui perizinan misionaris Katolik asing, utamanya dari Belanda sendiri.
Implementasi strategi pertama misalnya, pemerintah Belanda segera memfasilitasi berkumpulnya pemuka adat Dayak dari seluruh Kalimantan di Tumbang Anoi, pada tanggal 22 Mei - 5 Juli 1894. Dari catatan majalah Kalimantan Review edisi No.41/VIII/Januari 1999, wakil dari Kalbar ada dua orang, yakni Singa Jarum dan Temenggung Habiring dari Ambaloh, Kapuas Hulu. Isi perjanjian Tumbang Anoi ini sebagai berikut:
1. Menghentikan permusuhan dengan pemerintah Belanda
2. Menghentikan kebiasaan perang antar suku
3. Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga
4. Menghentikan kebiasaan adat mengayau
5. Menghentikan kebiasaan adat perbudakan
6. Mematuhi ketentuan batas berlakunya hokum adat, disamping hokum pidana, perdata dari pemerintah
7. Melakukan penyeragaman hokum adat antar suku
8. Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap disuatu pemukiman tertentu dan
9. Melakukan penyelesaian sengketa antar pribumi maupun antar kelompok oleh rapat adat besar yang khusus diselenggarakan selama pertemuan adat ini berlaku
Dalam tempo sepuluh tahun, seluruh isi perjanjian ini tersebar luas di seluruh pelosok Kalimantan. Praktek-praktek pengayauan, hokum adat, permusuhan, dan kebiasaan hidup yang berpindah-pindah dikalangan Orang Dayak berhasil dikurangi, walaupun masih dalam kualitas yang meragukan. Akan tetapi, setidaknya, pemerintah Belanda mulai mengenal dengan cukup baik Orang Dayak yang ganas itu.
Sukses “menjinakan” kelompok Dayak dengan strategi pertama, pemerintah colonial menggunakan strategi kedua, yakni dengan mengkristenkan orang Dayak. Dengan cara ini, pemerintah mungkin berharap Dayak dapat berperan sebagai pengimbang alamiah gerakan pan islamis yang dikembangkan Melayu.
Misionaris asing, terutama dari Belanda di dorong untuk menyebarkan agama Kristen dan mendirikan gereja-gereja dipusat pemukiman Dayak. Namun, terlepas dari kesamaan maksud antara pemerintah dengan misionaris dan gereja, keduanya tidak selalu berjalan seiring dalam merealisasikan maksud tersebut. Salah satu bentuk pertikaian diantara misionaris dnegan pemerintah misalnya dapat dilihat, secara tidak langsung, pada keluhan para misionaris yang mengatakan bahwa kendala yang menghambat Dayak menjadi Kristen justru datang dari pemerintah yang membutuhkan dan merekrut mereka sebagai prajurit untuk berperang dan memenggal kepala (Saunder;1992;115).
Gerakan kristenisasi ini dimulai pada tahun 1890, dimana sebuah misionaris Katolik telah membuka pangkalan tetap di Semitau yang diikuti dengan membuka sekolah dan gereja di Sejiram.
Dan setelah mendapatkan bantuan besar dari Gereja Katolik di Rma, misioanris kemudian membuka sekolah lima tahun di Nyarumkop, wilayah Kesultanan Sambas. Dalam perkembangannya, misionaris di sini juga membuka sekolah guru (Cursus Normaal) yang kemudian berubah menjadi sekolah pendidikan guru (Cursus Volksschool Onderwijner). Lulusan sekolah guru ini dapat melanjutkan pendidikannya ke sekolah seminari tingkat pertama di Pontianak atau sekolah guru katolik (Normaal School) di Tomohon, Sulawesi Utara.
Di sekolah, misionaris adalah guru, mengajarkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan dasar pada murid-muridnya. Di gereja dan dalam kehidupan sehari-hari, misionaris adalah penyebar agama, pemimpin spiritual dan teladan bagi umatnya. Dengan cara inilah, orang-orang Dayak secara berangsur-angsur menganut agama Katolik dan meyakini nilai-nilai yang secara inheren ada pada metode sosialisasinya. Selain itu, dengan masuk Kristen atau Katolik, orang Dayak tetap merasa diriya Orang Dayak. Beberapa doktrin tergambarkan bahwa adat atau tradisi Dayak, masih boleh dipraktekan walaupun mereka sudah menganut Kristen. Kran yang terbuka inilah, yang kemudian menyebabkan agama Kristen lebih mudah diterima dikalangan Dayak daripada agama Islam, yang berkembang sebelumnya. Pada umumnya, nilai-nilai itu merujuk pada idealism Barat; humanism, demokrasi, egalitarian dan emansipasi. Namun, dalam praktek, langsung atau tidak, semuanya mengarah pada formasi kesadaran etnik (Iqbal:2003).
Upaya-upaya kristenisasi dikalangan Dayak ini dalam kenyataannya semakin mengkontraskan perbedaan kelompok yang sebelumnya telah mengental pada dua kutub; Dayak dan Melayu, Kristen dan Islam. Praktikum politik pemerintah kolonial Belanda misalnya ini, tentu saja sesuai dengan kepentingan mereka sebelumnya. Dalam hal ini, Mohamad Iqbal mencatat:
”dalam prakteknya, kolonial melakukan pengelompokan etnis berdasarkan paham religius. Oleh kolonial, suku-suku yang beragama islam disebutnya Melayu sedangkan yang non Islam disebutnya Dayak” (Iqbal:2003)
Walaupun praktikum politik identitas melalui kristenisasi ini terus terjadi, pemerintah Belanda tetap menerapkan sebuah sistem pajak yang secara langsung memberikan para pemuka Melayu-Islam untuk memperoleh keuntungan dan menjalankan penegakan hukum yang di buat.
”selanjutnya, aturan ini berlanjut dengan menjadikan masyarakat Non Melayu sebagai subyek dari pajak yang berganda dan kerja paksa. Kondisi ini memaksa non Melayu pindah Islam agar disebut Melayu sehingga terhindar dari pajak berganda dan tanam paksa” (Jamie;2004).
Dalam bidang birokrasi, Belanda tetap saja menerapkan konsep pemerintahan swapraja, Melayu menjadi pegawai birokrat kerajaan dan sejak 1912, mereka sebagian besar menjadi pegawai birokrasi pemerintahan Belanda dengan puncak jabatan sebagai demang, setara dengan wedana di Jawa atau Camat sekarang ini.
Sungguhpun demikian, sebagian besar Melayu tentu saja menjadi rakyat jelata biasa namun memiliki hak istimewa, seperti hak memperoleh pendidikan dan kekebasan untuk tidak membayar pajak (balasteng). Mungkin karena adanya keharusan untuk membayar pajak, dan juga kesediaan untuk ikut berpeang dipihak kerajaan membuat adanya kesan bahwa Dayak seakan merupakan rakyat jelata yang tidak memiliki hak, kecuali menghambakan diri kepada Melayu.
Di tengah upaya-upaya mengkristenkan Dayak, dua Sultan Melayu mendatangkan Cina dalam jumlah besar abad 18 untuk bekerja dipertambangan emas milik mereka, tepatnya di Monterado (Kesultanan Sambas) dan Mandor (Kesultanan Mempawah). Awalnya didatangkan hanya berjumlah sepuluh orang, namun keberhasilan pertambangan membuat mereka harus menarik keluarganya untuk datang dilokasi pertambangan.
Sebagaimana Dayak dan Melayu, kelompok Cina di pertambangan ini juga beraneka ragam anak suku. Umumnya mereka berasal dari suku Hakka yang tinggal di Singkawang, sebagian kecil Tio Chiu (Hoklo) dan lebih kecil lagi, Hokien. Tio Chiu dan Hokien. Awalnya, para pekerja Cina ini menundukan diri sepenuhnya kepada para sultan. Mereka membayar pajak, retribusi dan mematuhi berbagai peraturan yang ditetapkan baik kesultanan maupun pemerintah Belanda.
Populasi yang kian besar dan kuat serta keuntungan hasil tambang yang semakin besar, kelompok Cina di pertambangan ini menggabungkan diri dalam kongsi (perusahaan dagang). Dengan pembentukan kongsi, mereka memiliki posisi tawar yang kuat dengan Sultan dan pemerintah Belanda. Dikemudian hari, mereka hanya membayar retribusi tahunan kepada sultan. Cadangan deposit tambang emas sangat menggiurkan untuk berbagi, karena itulah, kongsi Fatjoen di Monterado dan kongsi Lan Fang di Mandor, mengangkat senjata secara frontal melawan kesultanan dan dalam batas tertentu melawan Belanda dan sekelompok Dayak. Peperangan demi peperangan terjadi, hampir selama 100 tahun. Hasilnya, kematian, penaklukan, penundukan dan perdamaian dipihak-pihak yang bertikai dan menjadi spiral kekerasan di Kalimantan Barat dimasa-masa mendatang.
3. Periode Kesadaran Etnisitas
Kesadaran etnisitas pada Orang Dayak tidak terlepas dari hasil pendidikan yang dikembangkan misionaris Katolik. Diatas sudah saya jelaskan bahwa setelah mendirikan pusat misionaris Katolik di Semitau dan Sejiram, pada tahun 1905, misionaris katolik mendirikan pusat pendidikan bagi kaum Dayak di Nyarumkop, Kesultanan Sambas. Alumni dari persekolahan inilah yang kemudian meningkatkan kesadaran etnis bagi pemuda-pemuda Dayak, yang secara cerdas memanfaatkan dan mengembangkan kesadaran etnis ini pada seluruh kaum Dayak melalui pendidikan, termasuk politik. Para guru yang berhasil lulus dari persekolahan ini kemudian kembali ke kampong masing-masing dan mengajarkan baca tulis bagi anak-anak Dayak, dan bahkan para orang tua.
Dengan jaringan misionaris di seluruh Indonesia, di Kalimantan Barat, berbagai organisasi politik nasional maupun kedaerahan lahir, dan segera merekrut banyak intelektual Dayak untuk bergabung, melanjutkan perjuangan politik pendahulunya diberbagai daerah di Kalimantan, antara lain Serikat Dayak (1919), Pakat Dayak (1923) serta Dayak In Action (1945).
Tiga organisasi politik ini secara signifikan sudah sanggup mengemban keinginan mereka dalam programnya dan mencoba mewujudkannya bersama. Pada tahun 1932, Serikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak, dengan konsentrasi pada kegiatan sosial, ekonomi dan pendidikan. Tujuannya adalah untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak melalui kegiatan social dan pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah dan usaha semacam koperasi.
Pergolakan politik nasional di Jawa, memaksa Pakat Dayak untuk beralih strategi. Pada tahun 1938, Pakat Dayak memperluas konsepnya tidak hanya meliputi kegiatan social, ekonomi dan pendidikan, tetapi juga politik.
Menurut AD/ART Pakat Dayak, perhimpunan yang berkedudukan di Banjarmasin ini dibentuk berdasarkan asas persatuan bangsa Dayak dengan mengindahkan persamaan hak dan kewajiban. Sebagai wadah bergabungnya seluruh warga Dayak menjadi satu golongan yang besar dan teratur, organisasi ini bertujuan untuk mengejar ketinggian derajat bangsa, baik dalam soal politik, social, ekonomi dan persatuan seluruh suku Dayak; mengejar segala hak-hak yang diakui oleh hukum Negara; dan mempertinggi adat leluhur serta kebudayaan bangsa.
Oleh karena itu, usaha untuk mencapai tujuan tersebut antara lain: memperkuat rasa semangat persatuan orang Dayak, mendirikan badan perguruan yang berhubungan langsung dengan sekolah-sekolah yang ada di Indonesia, mendirikan badan penerangan khususnya persoalan ekonomi dan pendidikan, mendirikan badan yang mengumpulkan segala tulisan yang menyangkut tanah Dayak dan kalau dapat menghimpun segala riwayat tanah Dayak dari adat sampai kebudayaannya, mendirikan Dajaksche Studiefonds, menerbitkan majalah atau brosur sebagai media penerangan bagi masyarakat umum supaya dunia luar dapat mengetahui keadaan bangsa dan dengan jalan itu perhubungan dengan dunia luar akan bertambah sempurna .
Pergerakan politik bangsa Dayak di Kalimantan juga terjadi di Kalimantan Barat. Empat tahun berikutnya, pada sebuah retret guru di Sanggau, dideklarasikan perubahan perjuangan orang Dayak, dari pendidikan ke perjuangan politik. Organisasi politik ini didirikan di Putusibau, Kapuas Hulu pada tahun 1941. Organisasi ini di ketuai oleh FC Palaoensoeka, seorang guru alumni persekolahan Nyarumkop dengan di dukung oleh seorang Pastor Jawa, Adikarjana, SJ. Organisasi ini dikenal dengan nama Dayak In Action (DIA).
Perubahan politik nasional, dengan di proklamasikannya Republik Indonesia, memaksa elit local di daerah untuk terlibat. Beberapa daerah segera bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun beberapa daerah yang masih di kooptasi oleh Belanda terus berupaya mendirikan Republik Indonesia Serikat. Karena perkembangan situasi politik saat itu, pada tanggal 1 Nopember 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD) dengan ketua umum pertamanya FC Palaoensoeka. Disetiap kampung dibentuk Komisariat yang sejajar dengan Dewan Pimpinan Cabang.
Masifnya berbagai gerakan politik Dayak, diawal tahun 1948 Belanda kemudian meningkatkan misi-misinya untuk memajukan penduduk Dayak dengan cara mengkooptasi elit-elit baru Dayak.
Seiring dengan berlakunya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berdampak pada diubahnya karesidenan Kalbar menjadi Daerah Istimewa Kalbar (DIKB) pada tanggal 12 Mei 1947, para pengurus PD; J.C. Oevaang Oeray, AF Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun, dan H.M Sauk diangkat menjadi anggota Badan Pemerintah Harian (Dagelijhk Bertuur) DIKB.
Masuknya para pejabat PD di BPH juga menjadi pintu baru bagi sejumlah orang Dayak untuk ditempatkan di pos-pos dinas sipil, ketentaraan dan kepolisian dan Kantor Urusan Dayak, yang dikepalai oleh Oeray . Pemimpin-pemimpin Partai Persatuan Daya (PD) kemudian diangkat menjadi Dewan Kalimantan Barat. Sebanyak delapan orang dari empat puluh anggota Dewan adalah orang Dayak. Terlebih lagi, pada tahun 1948 dua orang Dayak, A.F. Korak dan Oeray, diangkat menjadi anggota Badan Pelaksana Daerah (BPD)-nya DIKB yang berjumlah enam orang.
Walaupun PD menempatkan dirinya dalam kubu federal, PD juga memanfaatkan situasi dirinya sebagai korban Belanda. Serangan partai terhadap kolonialisme Belanda juga semakin keras. PD berpendirian bahwa Belanda bertanggungjawab atas penderitaan Dayak di bawah tekanan kerajaan-kerajaan kecil Melayu yang menindas.
Belanda dan Melayu dituduh bekerja bersama-sama seperti “suami-istri” untuk menekan hak-hak dan martabat Dayak. Berikut ini adalah ungkapan bombastis yang ditulis Oeray pada tahun 1947 yang ditujukan kepada Residen Belanda di Kalimantan Barat sebagai gaung sentiment tersebut:
“Daya adalah penduduk asli Kalimantan tetapi dalam kehidupan sehari-harinya diperlakukan sebagai orang asing, pendatang baru..[.] Daya telah menjadi kerbau yang harus bekerja dan berkurban bagi Raja dan Pemerintah ((Belanda))..[.] Selama beratus-ratus tahun Daya memenuhi kewajibannya kepada Raja dan Pemerintah dengan membayar pajak atas hasil bumi dan perjalanan, melaksanakan kerja rodi, tetapi apa yang didapatnya?..[.] Jelas keburukan dan kemunduran Daya bukan hanya akibat dari kebodohannya, tetapi juga akibat dari politik Feodalisme yang kejam, yang didukung oleh pemerintah Belanda demi kepentingan mereka. [garis bawah sesuai aslinya]
Makna kata “penjajahan berlapis-lapis” ini merasuki komunikasi aktivis PD . Namun disisi lain PD juga tahu bahwa tidak akan ada banyak hal yang dapat dicapai tanpa dukungan NICA, dan karena itu mesti meyakinkan bahwa kerjasama dengan NICA harus jelas terlebih dahulu.
Harga diri dan kemajuan Dayak mensyaratkan sedikitnya penghentian otoritas swapraja. Dalam upayanya untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kolonial, PD mencanangkan program pemberdayaan diri: “nasibmu terletak pada usahamu” (di usahamu letak nasibmu).
Namun demikian, pada akhirnya, kalkulasi politik dan kecilnya sumber-sumber untuk mendukung pesan pemberdayaan diri memaksa ketergantungan PD kepada NICA dan Gereja.
Pendidikan sebagai kunci kemajuan Dayak terbukti memberikan contoh yang efektif bagi masa depan Dayak sendiri. Hingga akhir tahun 1950, PD membuka banyak sekolah-sekolah dasar tiga tahun sejumlah 40 sekolah dengan sekitar 2.400 murid. PD juga mendirikan program enam tahun. Namun, masalah kekurangan guru yang berkualitas muncul. PD khawatir, guru-guru Indonesia akan tetap mendatangkan pandangan rendah terhadap Dayak, oleh karena itu, PD kemudian merekrut guru-guru misionaris, yang lebih mengerti Dayak.
Pemilu 1955, dimasa Orde Lama mengangkat PD kepermukaan. Segera saja, PD mendaftarkan diri dan bersiap untuk bertarung secara politik dengan berbagai partai local dan nasional di Kalimantan Barat. Masalah keuangan partai, mendesak PD untuk mengandalkan jaringan akar rumput para guru, figure tritunggal PD; Oeray-Palaunsoeka-Djelani dan nama “Daya” yang dikenal baik. Hasilnya, PD menempatkan enam perwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRD peralihan) Kalbar. Hanya partai modern Islam, Masyumi, memenangkan lebih dari sepuluh kursi..
Kemudian, dalam pemilihan dewan daerah lanjutan pada 1958, PD mengungguli Masyumi dengan dua belas kursi berbanding enam. PD menguasai empat pejabat eksekutif daerah dan kemudian beraliansi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), PD berhasil mengantarkan Oeray terpilih sebagai gubernur pada tahun 1960.
Dimenanginya pemilu 1955 dan pemilu 1958 oleh PD, orang Dayak mulai ada di pemerintahan, yakni anggota konstituante JC Oevang, A Djelani, dan Wilibrodus Hitam yang meninggal dan digantikan Daniel, wedana Bengkayang. Serta angota DPR-RI dijabat oleh F.C. Palaunsoeka. Gubernur dan empat Bupati juga dimenangkan oleh PD dalam pemilihan. Gubernur Kalbar J.C. Oevang Oeray, dan Bupati (MTH Djaman/Sanggau, GP Djaoeng/Sintang, Amastasius Syahdan/Kapuas Hulu dan Agustinus Djelani/Pontianak).
4. Periode Kontemplasi dan Konsolidasi
Kesadaran etnisitas Dayak yang meningkat hampir duapuluh tahun, nyaris terhenti ketika peralihan kekuasaan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Di Kalbar, peralihan kekuasaan ini menjadi menyedihkan bagi kelompok Dayak. Pada tahun 1966, Gubernur J.C. Oevaang Oeray di ganti dan ditempatkan di Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Setahun sesudahnya, empat Bupati Dayak juga di ganti. Militer berkuasa penuh, dengan dukungan Golkar.
Perpecahan elit Dayak menyulut kemunduran politik. Berkuasanya Orde Baru, menjadi sesuatu yang paling menyakitkan bagi Dayak. Di awal pemerintahan Orde Baru, beberapa elit Dayak memang berusaha melakukan kooptasi, namun gagal. Namun, secara sistematis, kesadaran etnisitas semakin mengental.
Dalam masa panjang ini, Dayak berusaha semakin menguatkan identitas etniknya dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Dayak mengidentifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Tekanan militer yang kuat, mengeliminir kontraksi perbedaan etnisitas ini. Beberapa kejadian tragis terjadi, Dayak mau tidak mau harus terlibat. Ethnic cleansing dengan terpaksa dilakukan untuk mempertahankan identitas sebagai kelompok yang terpinggirkan. Tentu saja, gerakan ini telah memakan korban jiwa, dan lain-lain yang tidak sedikit.
Identifikasi yang mengental dan menguntungkan Melayu dan Islam, para elit Dayak melakukan strategi adaptif dengan menjadi pengurus Golkar, partai politik pendukung pemerintah. Beberapa elit Dayak di Golkar diberikan tempat dalam berbagai upacara-upacara kenegaraan, dan daerah. Beberapa diantaranya menduduki posisi dalam bidang pemerintahan, namun tidak ada lebih dari pada pemerintah kecamatan.
Bagi pemerintah Orde Baru yang memerintah, elit-elit Dayak di Golkar ini berfungsi untuk mengamankan suara Golkar dalam pemilu yang telah diatur. Penghapusan system pemerintahan local menjadi pemerintahan Desa terjadi di akhir tahun 1970-an, yang memaksa elit local Dayak kehilangan wibawa dan jabatan. Pengkapling-kaplingan tanah adat juga terus terjadi, seiring masuknya perusahaan kayu; HPH, HTI, PIR Trans. Ekspansi perkebunan kelapa sawit mulai terjadi di tahun 1980-an, yang memaksa orang Dayak dikampung-kampung melepaskan tanahnya dengan harga yang sangat murah.
Kematian J.C. Oevaang Oeray tahun 1986, menyebabkan Golkar harus merekrut kembali kader-kadernya dari kelompok Dayak. Beberapa dosen Dayak dipilih. Beberapa kelompok elit Dayak juga “menyeberang ke PDI, hasil fusi beberapa partai Kristen yang dimotori oleh FC. Palaoensoeka sebelumnya. Perubahan strategi ini membuat para elit Dayak menjadi terpecah-pecah.
Kegamangan orang Dayak diberbagai bidang pada masa Orde Baru, memaksa elit Dayak mencari alternatif. Beberapa pertemuan reguler dilakukan, dihadiri berbagai kalangan Dayak di Kota Pontianak. Hasilnya, beberapa LSM dibentuk, dan bekerjasama dengan Gereja. Dari berbagai refleksi, perjuangan Dayak dimulai pada titik nol, yakni melalui pendidikan. Dengan dukungan penuh Gereja, beberapa LSM mendirikan sekolah-sekolah, baik di Kota Pontianak, maupun di desa-desa yang umumnya berpenduduk Dayak. Program beasiswa bagi orang muda Dayak yang prestasi di lakukan.
Seiring dengan gencarnya pemerintah Orde Baru melakukan praktek Jawanisasi melalui proyek transmigrasi, perkebunan dan HPH, dogma-dogma tentang Dayak juga ditonjolkan. Dayak dikatakan sebagai primitive, suku terasing dan kurang berbudaya.
Gerakan Orde Baru berupaya dibendung elit Dayak dengan melakukan penyadaran kritis kepada masyarakat Dayak diberbagai pelosok Kalbar, melalui LSM dan organisasi social kemasyarakatan. Terlepas dari tujuannya semula, pada tahun 1985, di Kabupaten Pontianak, berdiri sebuah organisasi; Dewan Adat Dayak Kanayatn (DAD). Hanya dalam tempo enam tahun, organisasi ini berhasil melebarkan sayap hingga diseluruh propinsi. Bersamaan dengan gerakan DAD, beberapa elit intelektual Dayak juga mendirikan LSM.
Gerakan DAD dan LSM ini kemudian menjadi alternative perjuangan orang Dayak untuk merebut kemandirian dan kedaulatannya dimasa depan.
Tanpa di prediksi oleh pemimpin-pemimpin LSM dan elit DAD, gerakan yang mereka kelola menjadi tempat pembibitan sebuah pergerakan pemberdayaan Dayak yang akan tumbuh yang melebihi harapan yang menjadi tempat bagi aspirasi masyarakat Dayak ‘yang terbelakang’.
Salah satu karya yang penulis anggap fenomenal dari karya LSM Dayak tersebut adalah berhasilnya menyeragamkan penulisan kata ”Dayak”. Jika sebelumnya di berbagai literatur penulisannya berbeda-beda (Dyak, Dajak, Daya, Daya’ dll) maka setelah Kongres Nasional Kebudayaan Dayak tahun 1992, di Pontianak, literatur-literatur telah seragam menggunakan kata Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan.
Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam.
Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan ”politik” ini. Namun akhir tahun 1994, Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat Dayak.
Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Idiom mengenai tuntutan hampir ’sekejap’ bagi identitas Melayu pada tahun 1999 dipinjam dari orang Dayak, bukan perlahan-lahan diciptakan di dalam masyarakat Melayu. Motivasi untuk meminjam tidak sulit dicari. Kegigihan orang Dayak pada tahun 1999 sudah menghasilkan sukses bagi orang Dayak dalam melawan perusahan-perusahan kayu. Lebih penting lagi, protes orang Dayak menghasilkan pengangkatan orang Dayak ke tiga buah jabatan bupati yang paling diperebutkan Layang di Kapuas Hulu, 1997; Andjioe di Sanggau, 1998; dan Cornelius Kimha di Pontianak,1999.
’Bagi elite Melayu’, tulis Davidson (hlm.320), ’kebangkitan ”Melayu” sendiri akan merupakan jawaban bagi kemajuan-kamajuan yang dicapai orang Dayak. Menggunakan kekerasan melawan musuh yang lemah adalah metode yang efektif untuk mengendalikan mobilisasi energi dan untuk memperkokoh identitas Melayu’.
Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu. Akhir tahun 1998, mereka mendirikan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), sebagai wadah persatuan kaum Melayu.
Dua bukti menunjukan bahwa serangan-serangan orang Melayu atas orang Madura di Sambas pada tahun 1999 adalah bagian dari repertoire politik identitas ’terpisah’. Pertama, para perantara yang dimiliki hak istimewa tampak jelas sekali. Kontrol atas kabupaten yang baru saja dibentuk Sambas sisa wilayah dari kabupaten Sambas yang asli setelah Bengkayang di pecah pada tahun 1999 adalah piala yang diinginkan elit Melayu. Ini tidak hanya berarti kebutuhan akan bupati Melayu tetapi juga kontrol atas kejahatan jalanan yang merebak.
5. Periode mulai bangga menjadi orang Dayak
Berakhirnya kekuasaan pemerintah Orde Baru pada tahun 1997, memaksa perubahan politik di berbagai daerah di Indonesia. Di Kalbar, momen ini menjadi kristalisasi dari kontemplasi dan konsolidasinya di sepanjang Orde Baru. Pemberlakuan otonomi daerah yang ditandai dengan meluasnya gerakan pemekaran daerah di Kalbar, sedikit banyak mempengaruhi konstelasi politik identitas di Kalbar.
Pada tahun 1998, misalnya, orang Dayak Islam, yang dikenal sebagai senganan oleh Dayak Kristen, mendeklarasikan berdirinya organisasi Ikatan Keluarga Dayak Islam Kalimantan Barat (IKDI). Tentu saja, gerakan kembali ke Dayak ini bagian dari pengaruh banyak aktor yang telah memainkan perannya bagi Orang Dayak, baik positif maupun negatif di penghujung Orde Baru.
Sejak tumbangnya Orde Baru, puluhan daerah bekas swapraja dimasa pemerintahan Belanda menyuarakan pemekaran daerah. Ada 2 kabupaten yang dimekarkan pertama, yaitu Sambas dan Kabupaten Pontianak. Kabupaten Sambas dimekarkan menjadi dua bagian, Sambas dan Bengkayang sedangkan Kabupaten Pontianak dimekarkan menjadi Kabupaten Landak yang beribukota di Ngabang, bekas pusat pemerintahan Kerajaan Landak.
Pada pemekaran Sambas, dimasa lalu Bengkayang sebenarnya merupakan teritori Kesultanan Sambas sedangkan Singkawang pada dasarnya relatif otonom, kendati harus tetap mengakui kesultanan Sambas. Kecendrungan eksistensi teritori swapraja masa lalu jelas terlihat dengan upaya pemerintah pada tahun 2003 dengan memekarkan Kabupaten Sanggau menjadi Sekadau dan Sanggau dan Kabupaten Sintang menjadi Sintang dan Melawi yang beribukota Nanga Pinoh.
Dalam pemekaran ini, secara umum terlihat kesan bahwa pemerintah secara implisit melegitimasi adanya semacam teritori menurut etnik. Sejak pemekaran, Kabupaten Pontianak yang beribukota di Mempawah seakan berubah menjadi teritori Melayu dan Kabupaten Landak yang berbukota di Ngabang berubah menjadi teritori Dayak, artinya baik Melayu maupun Dayak menjadi etnik mayoritas.
Dalam perkembangannya, tahun 2000, Singkawang juga dimekarkan dari Bengkayang dan seakan menjadi teritori Cina. Berbeda dengan kawasan utara, pemekaran dipedalaman (Sintang dan Sanggau), tidak akan membawa efek yang sama, karena baik sebelum dan sesudah pemekaran, Dayak tetap akan menjadi mayorits disemua wilayah ini.
Perubahan signifikan terjadi di era ini. Kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Sejak tahun 2005, enam kepala daerah sudah terpilih langsung oleh rakyat, hasilnya; kombinasi antar etnik; Dayak-Jawa, Dayak-Melayu, Dayak-Dayak, Dayak-Cina, dan Melayu-Dayak. Pemilihan berlanjut tahun 2006 yang menghasilkan pemimpin: Dayak-Dayak dan Melayu-Melayu. Demikian juga ditahun 2007, pemimpin yang dihasilkan pemilihan ini adalah kombinasi antara Dayak-Cina dan Cina-Melayu.
Praktek-praktek politik identitas yang berlangsung sejak tahun 2005 diatas jelas menggambarkan bahwa, kesadaran identitas banyak etnik di Kalbar berada para taraf maksimal.
Ditengah berlangsungnya drama politik lokal melalui pemilhan kepada daerah secara langsung ini, beberapa aktivis LSM Dayak yang bergelut dengan pendidikan kritis pada masyarakat Dayak sepanjang Orde Baru muncul kepermukaan. Mereka mencalonkan diri sebagai calon Bupati, bahkan menjadi Calon Wakil Gubernur Kalbar.
Namun, sejarah mencatat, budaya kritis yang dikembangkan banyak LSM sepanjang Orde Baru ini tenggelam ditengah kerinduan Dayak pada tokoh-tokoh formal di pemerintahan pada drama politik di Pilkada langsung. Pada era inilah, gerakan LSM semakin mengecil.
Pergumulan-pergumulan kehidupan ditengah-tengah Orang Dayak sepanjang era otonomi daerah terus terjadi, terakhir, mereka berupaya untuk terus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Orang Dayak difasilitasi oleh LSM dan beberapa pemerintah daerah yang pemimpinnya orang Dayak untuk bisa sekolah tinggi. Banyak pemerintah daerah, misalnya menyelenggarakan program beasiswa.
Perubahan yang mencolok pada era ini adalah sejak tahun 2000, banyak juga LSM yang didirikan Dayak mulai tidak ekslusif Dayak. LSM mulai melihat Dayak dalam konteks etnosentrisme tetapi Dayak dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme.
Dengan berkembangluasnya kesempatan belajar diperguruan tinggi, sekarang mulai tampak bahwa di berbagai sektor telah ada orang Dayak yang ahli. Tetapi mereka tidak terakomodir dalam bidang pemerintahan. Saat ini misalnya ada orang Dayak dari Landak yang menjadi Rektor di Universitas Katolik di Nairobi Kenya, ada juga yang bekerja di Toronto Kanada, di Roma Italia (semua mereka tak terekspos) ada pula yang menjadi dokter di Amerika Serikat.
Keberhasilan mereka telah menjadi pendorong orang Muda Dayak untuk terus meningkatkan kapasitas SDM. Walaupun jumlah orang Dayak yang terdidik masih sangat sedikit (kira-kira baru 1% dari total populasi Dayak), tetapi hal ini telah melahirkan sikap “mulai bangga menjadi orang Dayak”. (bersambung...)
PASANG SURUT IDENTITAS DAYAK
Yohanes Supriyadi
No comments
0 komentar:
Posting Komentar