Oleh Yohanes Supriyadi
LATAR BELAKANG
Ada 5 kelompok etnik utama di Kalbar: Dayak, Melayu, Cina, Madura dan Jawa. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk asli-mayoritas, sedangkan tiga kelompok etnik berikutnya merupakan pendatang-minoritas. Sejak masa kolonialisme hingga sekarang ini, seluruh kelompok etnik telah terlibat dalam persaingan tajam untuk merebut dominasi ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Dengan kata lain, hubungan mereka sejak awal memang cenderung konfliktual. Kehadiran negara moderen –mulai dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia— secara langsung atau tidak, cenderung membiarkan bahkan memanfaatkan hubungan inter-etnik yang konfliktual tersebut. Di masa kolonial, dari waktu ke waktu, semua kelompok etnik pernah berperang satu sama lain. Dan di era reformasi sekarang ini, mereka kembali terlibat dalam peperangan simbolik dalam bidang kultural, institusional, dan struktural.
Sebelum Islam masuk, Dayak dapat dikatakan merupakan penduduk asli dan merupakan mayoritas di daerah ini. Penduduknya menyebar mulai dari pesisir hingga bagian pedalaman. Mereka yang tinggal di pesisir mengembangkan beberapa kerajaan dan menganut Hindu, bekerja sebagai pedagang, nelayan, dan petani. Sedangkan sebagian lainnya yang tinggal di pedalaman menganut animisme, bekerja sebagai peladang berpindah dan pengumpul makanan. Islam masuk kedaerah ini melalui jalur perdagangan, dibawa pedagang Arab, Cina Selatan dan Makasar. Kontak dengan pedagang asing dan kedatangan migran, mendorong penduduk yang tinggal di pesisir untuk beralih agama menjadi Islam sedemikian sehingga mengembangkan kebudayaannya sendiri yang lebih berkembang dengan mendirikan kesultanan. Awalnya jumlah penduduk kelompok ini sangat sedikit, namun seiring dengan semakin banyaknya Dayak yang berkonversi menjadi Islam disamping migrasi orang Islam dari daerah lain yang melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai ”Melayu”. Sultan-sultan yang ahli berdagang ini kemudian mendatangkan kelompok Cina dari Brunei untuk bekerja sebagai penambang emas di wilayahnya. Migran Cina dari Brunei ini kemudian bertambah karena adapula migran Cina yang langsung datang dari negeri Cina. Mereka ini umumnya penganut Kong Hucu dan Budha. Mereka juga cenderung hidup dalam suatu pemukiman yang ekslusif di area pedalaman tertentu di sekitar pertambangan emas, utamanya di Monterado dan Mandor.
Madura dan Jawa datang paling akhir ke Kalbar, setelah konfigurasi sosial yang terdiri dari ketiga kelompok etnik tersebut relatif telah terbentuk. Sebagai Islam, mereka cenderung tinggal bersama Melayu, Bugis, dan Jawa. Migrasi yang terus terjadi, membuat jumlah penduduk Kalbar meningkat drastik. Dan pada akhir abad 21 ini, Cina menempati kedudukan ketiga terbesar setelah Dayak dan Melayu, sedangkan Madura kelima terbesar setelah Jawa.
Sejarah Singkat Otonomi Daerah di Kalbar
Bersamaan dengan proses migrasi etnik-bangsa dari luar yang begitu masif di Kalbar, proses demokratisasi di Indonesia juga mengalami peningkatan yang serius. Sejak awal abad 20, Pemerintah Belanda & misionaris Katolik memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak, Cina dan Melayu. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris dalam perkembangannya membuka kesempatan pendidikan yang paling besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor pada tahun 1944, membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama.
Sebagaimana catatan sejarah, di Kalbar, tidak pernah ada imperium kerajaan seperti Mataram, Majapahit atau Sriwijaya. Wilayah ini memiliki banyak kerajaan, masing-masing memiliki raja yang bergelar sultan dan wilayah sendiri. Kolonial Belanda ketika masuk di Kalbar, tidak berusaha mengambil alih kerajaan-kerajaan ini seperti yang dilakukannya di Jawa, sehingga setiap daerah relatif dapat mempertahankan otonominya sejak dulu. Mungkin, dengan semangat inilah kita dapat memahami bahwa sejak masa kemerdekaan, ada sebagian elit politik Kalbar mengharapkan daerah mereka memiliki otonomi khusus. Sebagaimana sejarah Indonesia, hanya ada 3 daerah yang memiliki status daerah istimewa; Aceh, Yogyakarta dan Kalbar. Dalam perkembangannya, pemerintah hanya mengakui Aceh dan Yogyakarta. Karena berbagai alasan, pemerintah menghapus status kesultanan-kesultanan di Kalbar dan menganggap wilayah itu tetap hanya sebagai keresidenan hingga tahun 1956 sebelum statusnya ditingkatkan sebagai propinsi tersendiri. Uniknya, pemerintah menetapkan pembagian wilayah kabupaten hampir mirip mengikuti teritori kesultanan yang sudah dihapuskannya. Dari 15 pemerintah swapraja ini, beberapa diantaranya disederhanakan dengan mengelompokannya menjadi satu seperti Kabupaten Sanggau (wilayahnya meliputi Meliau, Sekadau dan Tayan), Kabupaten Sintang (meliputi Tanah Pinoh), Kabupaten Pontianak (meliputi Mempawah, Landak dan Kubu) dan Kabupaten Ketapang (meliputi Matan, Sukadana dan Simpang). Sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu dilepaskan dari Sintang dan lainnya tetap seperti sedia kala; Kabupaten Sambas dan Kota Pontianak.
Pada masa Orde Lama, sejumlah elit Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.
Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Tiga kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu, Jawa dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Jawa dan Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu.
Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak dan dalam batas tertentu, Cina. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak, Cina dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Sejak tahun 1980-an, mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Secara khusus, ada 2 kelompok yang paling berpengaruh; Pancur Kasih (1981), dan Dewan Adat Dayak Kanayatn (1985). Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Pada tahun 1994, Dayak terus mengembangkan organisasi sosial kemasyarakatan (Majelis Adat Dayak) yang secara masif, asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat.
Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun, setelah peristiwa kekerasan Sanggau Ledo tahun 1997, yang menyebabkan Dayak masih asertif dan diatas angin, Melayu kemudian bereaksi. Pada tahun 1998, Melayu mendirikan sebuah organisasi sosial kemasyarakatan, Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM). Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002.
Pembagian wilayah Kalbar kedalam 6 kabupaten bertahan hingga akhir tahun 1990-an, walaupun gejala tuntutan untuk mendirikan kabupaten tersendiri telah ada sejak akhir tahun 1950-an dan semakin menguat pada tahun 1980-an. Gejolak sosial politik karena ekpresi kekecewaan para elit politik ini muncul tidaklah menyolok, akan tetapi ditampilkan dalam bentuk perlawanan-perlawanan dengan kekerasan antar kelompok etnik utama diatas; Dayak, Melayu, Cina dan Madura. Anehnya, area kekerasan juga hanya terjadi di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sambas, dua kabupaten yang dulunya merupakan kerajaan besar dan berpengaruh, Kerajaan Sambas dan Kerajaan Mempawah. Di teritori dua kerajaan ini, juga ada 4 federasi Cina yang amat berpengaruh, Federasi Fatsjoen di Monterado (wilayah Kerajaan Sambas) dan Federasi Lan Fang di Mandor (wilayah Kerajaan Mempawah).Untuk sementara waktu, tidak ditemukan kekerasan antar kelompok etnik yang melibatkan kelompok Jawa.
Pemerintah baru memenuhi tuntutan itu pada akhir tahun 1990-an, dan tahun 1999 baru direalisasikan. Ada dua kabupaten yang dimekarkan saat itu; Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak. Kabupaten Sambas dimekarkan menjadi dua, yakni Kabupaten Bengkayang selain Sambas itu sendiri. Kabupaten Pontianak dimekarkan menjadi dua, yakni Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak itu sendiri. Sehingga sejak saat itu, Kalbar memiliki 9 kabupaten dan 1 kotamadya; Pontianak, Kabupaten Pontianak, Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dan Ketapang. Hingga awal tahun 2003, jumlah kabupaten terus bertambah menjadi 10 karena Singkawang ditingkatkan statuisnya menjadi satu kota tersendiri. Pemekaran daerah ini menarik, disatu pihak pemerintah seakan semakin mengaku eksistensi teritori swapraja masa lalu.
Perkembangan politik nasional mengubah keadaan ditingkat lokal. Di Kalbar, era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsay dan liong. Mereka mendirikan Forum Komunikasi Etnis Tionghoa (FOKET). Lebih dari itu, ia juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi, mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil menjadi bupati di Sanggau. Tahun-tahun berikutnya, gerakan sosio-politik Cina semakin masif. Tahun 2006, mereka mendirikan Majelis Adat dan Budaya Tionghoa (MABT) sebuah organisasi dilevel propinsi. Meski mendapat tekanan dan tantangan dari sekelompok Melayu, organisasi ini tetap saja berkibar untuk menyatakan identitas etniknya. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas ketiga dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak, Cina dan Melayu adalah saudara.
Proses demokratisasi di Kalbar terus terjadi, sejak tumbangnya Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Presiden tahun 2004, pada tahun itu juga berhasil disahkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dimulailah babak baru dalam sistem politik Indonesia, melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Tahun 2005, di Kalimantan Barat ada 6 kabupaten yang menyelenggarakan PILKADA secara langsung; Bengkayang, Melawi, Sintang, Sekadau, Kapuas Hulu dan Ketapang. Secara geopolitik, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berhasil terpilih adalah, sbb:
Pilkada Tahun 2005
Kabupaten Nama Pasangan Calon terpilih Etnik Partai Pengusung
Bengkayang Yacobus Luna dan Suryadman Gidot Dayak-Dayak PDI Perjuangan
Melawi Suman Kurik dan Firman Muntaco Dayak-Melayu Partai Demokrat
Sekadau Simon Petrus dan Abun Ediyanto Dayak-Cina PKPI, PPDK, PDS, PPDI, PPD
Sintang Milton Crosby dan Jarot Winarno Dayak-Jawa PDS, Partai Pelopor
Kapuas Hulu Tambul Husin dan Yosef Alexander Melayu-Dayak Partai Golkar
Ketapang Morkes Efendy dan Henrikus Melayu-Dayak Partai Golkar
Pilkada Tahun 2006
Kabupaten Nama Pasangan Terpilih Etnik Partai Pengusung
Landak Cornelis dan Adrianus Asia Sidot Dayak-Dayak PDI Perjuangan
Sambas Burhanudin A Rasyid dan Juliarty Djuhardy Melayu-Melayu PAN, PBR, PPP, PBB, Partai Demokrat
Pilkada Tahun 2007
Kabupaten Nama Pasangan Terpilih Etnik Partai Pengusung
Kota Singkawang Hasan Karman-Edy R Yakoub Cina-Melayu PPP, PPIB
Propinsi Kalbar Cornelis-Christiandy Sanjaya Dayak-Cina PDI Perjuangan
Pilkada Tahun 2008
Kabupaten Nama Pasangan Terpilih Etnik Partai Pengusung
Kayong Utara Hildy Hamid-Said Tihi Melayu-Melayu PPD,PDK,PKS,PKB, PPNUI, PNI Marhaenisme
Kubu Raya Muda Mahendrawan-Andreas Melayu-Jawa Perseorangan
Sujiwo-Raja Sapta Jawa-Melayu PDI Perjuangan
Kota Pontianak Sutarmidji-Paryadi Melayu-Madura PPP,Pelopor,PKPI,PPD
Pontianak Ria Norsan-Rubiyanto Melayu-Melayu Partai Golkar
Sanggau Yansen Akun dan Abdullah Cina-Melayu PKPB, Demokrat, PDS
Setiman H.S dan Paolus Hadi Melayu-Dayak PNBK, PSI, PKS, PPP, PBB, PBR, Patriot, PPNUI
IDENTITAS KELOMPOK CINA, PERUBAHAN POLITIK DAN DINAMIKANYA DI KALIMANTAN BARAT
Yohanes Supriyadi
2 comments
2 komentar:
bagaimana pendapat anda tentang beberapa pendpat yg mengatakan bahwa madura dan china adalah korban dari konflik politik antara dayak dan madura?..ada sebuah analisis yang mengatakan demikian kl menurut saya pendapat itu salah karena konflik dayak-madura tidak ada hubungannya dengan konflik poltik dimaksud
mengapa tidak skalian diceritakan juga sejarah PGRS yang terjadi di kalbar??
Posting Komentar