PENINDASAN DISEKOLAH

Selama bekerja dengan target group anak-anak dan remaja pada 41 sekolah tingkat SMP dan SMU di 5 Kabupaten/Kota se-Kalbar sejak 2005 lalu, saya mendapatkan beberapa hal menarik untuk dianalisis. Misalnya, beberapa waktu yang lalu diberitakan seorang anak harus dibawa ke rumah sakit, dalam perjalanan menemui ajalnya akibat sebuah penindasan oleh temannya sendiri. Sebagaimana di kutif oleh DR Aswandi, di Manchester Inggris, Marie Bentham berusia 8 tahun menggantung diri di kamar tidurnya karena merasa tak mampu lagi menghadapi dan mengalami penindasan demi penindasan di sekolahnya. Di Belfast Irlandia, Maria McGovarn tewas setelah mengalami penindasan yang dilakukan oleh rekan-rekannya di sekolah.

Di Columbia, Nanaimo, seorang siswa kelas empat menikamkan pisau ke siswa lain yang mengolok-oloknya. Menurut ibunya, anak laki-laki penikam itu telah disiksa oleh rekan sekolahnya lebih dari satu tahu lamanya, dan pihak sekolah cuek saja. Sama sekali tidak mengambil langkah pendisiplinan terhadap anak yang telah menindasnya. Di Selandia Baru, Matt Ruddenklau, berusia 15 tahun, laporan koroner menyatakan, “penindasan demi penindasan di sekolah telah menjadi penyebab aksi bunuh dirinya.” Reena Virk di Victoria, berusia 14 tahun tewas setelah dijadikan bulan-bulanan penindasan oleh rekan-rekan sekolahnya hanya karena sebab yang dibawanya sejak lahir dan mewarisi orang tuanya, yakni memiliki bobot tubuh yang berat dan warna kulit kecoklatan.

Di Colorado Eric dan Dylan menggunakan senjata tempur dan bom rakitannya sendiri untuk mengepung sekolah mereka. Keduanya telah membunuh 12 orang teman sekelasnya dan seorang guru, melukai 18 remaja lainnya, dan kemudian membunuh dirinya sendiri. Temannya mengatakan kedua siswa pembunuh berdarah dingin ini terus menerus diejek, diolok-olok di sekolahnya. Dalam surat yang ditinggalkannya, mereka menuliskan perasaan tertindas dan terasingkan mereka. Dan berfikir inilah saatnya membalas dendam.

Dawn Merie Wesley berusia 14 tahun menggantung diri di kamar tidurnya. Dalam surat yang ditinggalkannya menyebutkan bahwa tiga gadis di sekolahnya adalah orang yang telah membunuhnya karena penindasan mereka. “Ketika kucoba mengadu atau meminta pertolongan ke pihak sekolah, justru keadaanku semakin buruk,” demikian Barbara Coloroso (2007) menunjukkan bukti siswa korban penindasan di sekolah. Barbara Coloroso (2007) dalam bukunya berjudul “The Bully, The Bullied, and The Bystander” mengatakan; “Penindasan adalah sebuah isu hidup dan mati yang kita abaikan resikonya pada anak-anak kita. Anak yang tertindas menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan cara guna menghindari trauma dan hanya memiliki sedikit energi untuk belajar. Yang menderita akibat adanya penindasan ini tidak hanya anak yang tertindas. Anak-anak penindas banyak yang terus memiliki perilaku selaku penindas hingga dewasa, sehingga kemungkinan besar mereka kelak akan menindas anak-anak mereka sendiri, gagal dalam hubungan antar pribadi, kehilangan pekerjaan, dan berakhir di penjara.

Para penonton juga terpengaruh oleh penindasan. Mereka yang menyaksikan, mengamati penindasan, menyingkir pergi, ikut-ikutan bersekongkol atau terus campur tangan dan menolong anak-anak yang tertindas, semuanya ada resikonya.” Willem Standaert, senior Programme Coordinator Unicef Indonesia mengatakan; "penindasan pada anak, apapun alasannya, memiliki implikasi serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Penindasan kelak dapat merusak kepercayaan diri anak. Anak merasa terasing, kesepian, kehilangan harga diri, dan lebih jauh menurunkan kemampuan mereka untuk menjadi orang tua yang baik di masa mendatang.

Banyak pelaku penindasan adalah orang yang merupakan korban penindasan pada masa anak-anak. Grainger (2003) dalam bukunya berjudul "Children's Behaviour, Attention and Reading Problem" dari sejumlah penelitiannya memperkuat asumsi diatas, bahwa guru, iklim sekolah dan lingkungan bermain sebagai faktor utama menjadi penyebab problem perilaku anak." Barbara Coloroso (2007) menegaskan bahwa, “Penindasan sedang terjadi di sekolah, 86% anak berusia 12-15 tahun merasa diejek dan ditindas di sekolahnya. Penindasan menjadi aktivitas yang lebih sering terjadi dari pada kasus siswa merokok dan narkoba.

Satu dari tujuh atau 14,3% siswa di sekolah adalah penindas atau menjadi target tertindas. Anehnya, para guru sangat meremehkan frekuensi penindasan tersebut.” Tidak banyak disadari bahwa kekerasan kemanusiaan dimulai dari ruang kelas, dan 30% - 80% waktu dihabiskan guru untuk mengatasi permasalahan disiplin, dan 25% ketidakmampuan belajar disebabkan adanya rasa takut siswa terhadap siswa lain di kelas, demikian Levin dan Nelon (1996) menjelaskan dalam bukunya; "The Principles of Classroom Management". Pertanyaannya adalah mengapa “Siswa menjadi Korban Penindasan di sekolah?”

Berdasarkan uraian diatas, maka dikemukakan sebuah jawaban singkat atas pertanyaan tersebut, yakni penindasan adalah tentang penghinaan. Sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang dianggap tidak berharga, lemah, atau tidak layak mendapatkan penghargaan. Anak-anak korban penindasan ini telah ditindas tanpa ampun. Dan dalam sebagian besar kasus, penindasan berlanjut tanpa ada protes yang nyata, kepedulian dan kegusaran, campur tangan yang memadai atau kemarahan dari orang-orang yang semestinya bertanggung jawab dalam pertumbuhan dan perkembangan siswa. Fenomena yang tidak menyenangkan ini, Insya Allah dapat diselidiki dan diubah atau diperbaiki, tergantung kepada kesungguhan dan kepedulian kita semua. Karena sesungguhnya penindasan itu sendiri adalah perilaku yang dipelajari dan dapat diperbaiki. Poulo Fraire bersama pengikutnya dan para penganut ideologi “Pendidikan Anti Kekerasan” telah melakukan kajian mendalam dan mengaplikasikannya ke dalam praktek pendidikan/pembelajaran yang berintikan “Membangun Kesadaran” dan “Memutus Siklus Kekerasan”.

Sehubungan hal tersebut Barbara Coloroso (2007) mengatakan hal senada bahwa, “Pemutusan siklus tidak hanya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi dan menghentikan penindasan, melainkan kita harus menyelidiki penyebab dan cara seorang anak menjadi penindas atau menjadi target penindasan. Demikian pula peran yang dimainkan oleh para penonton dalam mengekalkan siklus tersebut. Kombinasi segi tiga tercipta ketika seorang penindas mendapat sesuatu yang diinginkannya dari targetnya; anak yang tertindas ketakutan untuk mengungkapkan hal yang dialaminya; para penonton menyaksikan, berpartisipasi dalam penindasan, atau menyingkir; dan orang-orang dewasa tidak peduli terhadap penindasan, menganggap penindasan sebagai hal biasa bukan penyiksaan, diyakini bukan sebagai penghalang menuju kedewasaan, sebagai hal yang wajar atau perilaku abnormal biasa, bukan agresi yang memakan korban”.

Mengakhiri uraian ini, penulis sampaikan bahwa tragedi penindasan (bullying) siswa melibatkan tiga aktor, yakni pelaku yang menindas, korban tertindas yang takut melapor, dan penonton yang berperan serta atau cuek. Namun sadarkan kita bahwa ketika aktor atau karakter tersebut juga dimainkan dan dipelajari oleh siswa dan anak-anak kita pada umumnya dalam kesehariannya, baik di rumah, di sekolah, di tempat bermain, dan di lingkungannya. **




1 komentar:

diriku adanya mengatakan...

Kasus penindasan, bukan hanya terjadi sekali,dua kali,malah seringkali. Hal inilah juga menjadi PR bagi sekolah2, khususnya di KAL-BAR untuk meng-evaluasi mengapa? oh mengapa?
Aplagi ini terjadi pada peserta didik dan peserta didik lainya, mau tidak mau sekolah juga terlibat bertanggung jawab karena kasus ini terjadi di sekolah, adapun pemicunya banyak faktor baik itu bersifat internal maupun eksternal. Internal ada pada pribadi siswa tersebut, kita perhatikan tumbuh kembangnya, baik itu pada saat di janin ibu, sehingga lahir menjadi bayi, balita,kanak2,remaja dini,awal,akhir, antara 10-14th. apalagi peran orang tua dalam mendidik tumbuh kembang anak, bisa belajar dari pola2 pengasuhan, dan karena anak pada usia tersebut rentan dan tumbuh pada masa transisis/peralihan, jadi anak cenderung meniru terhadap pola asuh yang diberikan orang tua maupun anak.dimana lebih mengfokuskan cara peserta didik atau anak meniru model yang ada dan diterimanya melalui alam pikiran dan perasaanya, terlihat mudah karena pada waktu itu anak belum mampu berpikir jauh atau kritis.
Sedangkan Eksternal anak, terdapat meniru gaya pergaulan teman2 diluar pola asuh dari rumah, baik itu kelompok bermainya, geng, termasuk di sekolah.jelas saja peranan sekolah juga penting, dalam pembentukan karakter anak jika kelak si anak menjadi "Penindas" dan "tertindas", jadi dalam hal tersebut janganlah saling lempar masalah, akan tetapi pihak sekolah bisa berkerjasama dengan pihak keluarga selaku orang tua peserta didik. karena yang terjadi pada anak pada masa itu, tahap dimana anak mencari-cari identitas dirinya, selalu mencoba-coba.Hal tersebut harus disikapi dengan 'Arif' tanpa merugikan kedua belah pihak...peran guru juga dalam memberikan pengetahuan pada peserta didik juga perlu di telaah...mungkin ini bisa di jadikan PR bagi para Sekolah2 sekaligus tantangan bagi sekolah bagaimana mengatasi hal tersebut. dan bagi orang tua sepatutnyalah memberikan didikkan dengan penuh kehati-hatian, dari sejak ia di dalam janin,lahir, kanak2 dst..karena dampak pengasuhan anak yang salah ataupun benar akan nampak pada saat anak sudah beranjak besar. maka itu peran sebagai orang tua bukanlah tugas yang gampang...he..he...jadi, kesimpulanya sangat penting mengetahui pola pengasuhan anak dirumah,bhakan mungkin mengorek kembali history kisah orang tuanya...sejak ia dalam kandungan,lahir dst.memantau lingkungan pergaulan anak, karena sedikit banyak anak cenderung meniru model, o ya hati2 juga dengan peran media masa baik cetak maupun audiovisual, penting juga. Nah baru itu dari sekolah baik itu teman belajar, teman bermain nya disekolah.Bukankah dari pihak sekolah mesti malkukan home visit/kunjungan rumah nah ini penting..home visit sangat penting dilakukan berkaitan dengan proses belajar dan hasil belajar siswa/peserta didik OK. Gbu

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons