KONFLIK SOSIAL, HARUSKAH KITA LALUI ?

Oleh Yohanes Supriyadi
Dalam suatu pertemuan, seorang pembicara dari kalangan TNI mengingatkan kerentanan sosial yang sewaktu-waktu dapat memicu konflik antar warga, antar komunitas etnik dan antar komunitas agama. Masalah sepelepun bisa memanaskan iklim hidup sosial.

Kekacauan sosial sebagai salah satu dampak konflik telah menimpa banyak wilayah, seperti dilingkungan pendidikan formal ( tawuran pelajar, tawuran mahasiswa ), masyarakat ( perkelahian antar kampung, antar etni dan antar agama ), keamanan sosial ( antar TNI, antar Polisi ). Konflik biasanya dipicu oleh sikap permusuahn dan balas dendam yang mengabaikan akal sehat. Otot mengalahkan otak. Hasutan perancang konflik cepat sekali memanaskan massa kelas sosial paling bawah. Kelicikan orang pintar biasanya menyerat kaum kecil dalam kancah konflik yang berkepanjangan. Kesetiakawanan dalam kejahatan telah membentuk sekat-sekat sosial ditengah-tengah masyarakat, yang jika tak disadar akan menyuburkan benih fragmentasi sosial.

Dalama analisisnya tentang frustasi dan agresi, Dollard, dkk ( 1939) berpendaoat bahwa frustasi seseorang bisa menimbulkan sikap-sikap agresif. Keadaan frustasi ini umumnya membual dari telaga ketidakadilan dalam bidang hukum positif, politik, ekonomi, etnisitas, agama, distribusi kursi pemerintahan, sistem perwakilan rakyat, kebudayaan dan pendidikan formal. Ketidakadilan sosial ini terutama ditunggangi oleh disktriminatif fundamental opini. Selain memperlebar jurang pemisah antar warga sipil, ketidakadilan sosial turut menyuburkan kecemburuan sosial dalam wujud diskriminasi, iri hati, dan kebencian sosial terselubung. Benih kejahatan manusia tampak dalam untaian tindak kekerasan yang menimbulkan chaos sosial. Kelompok elit politik, agama, ekonomi dan kebudayaan cenderung memanfaatkan keadaan tidak adil ini sebagai pemicu konflik sosial.

Sejarah mengingatkan kita, kekerasan dan konflik selalu berdampingan dengan keberadaan manusia. Kekerasan telah termasuk bagian sejarah manusia. “ pernahkah ada suatu jaman dalam sejarah manusia yang luptu dari konflik dan tindak kekerasan ? “ tanya Ralph L Holloway, 1967. Kekerasan politik, mulai dari pelemparan batu dijalan, perkelahian massa, terorisme, revolusi hingga perang sipil lazim digunakan dalam pencapaia tujuan politik golongan tertentu. Gejala ini muncul antara lain karena unsur instiktif dan agresif masih mendominasi hidup manusia. Selain itu, rentetan frustasi bisa juga menggiring manusia dalam konflik dan kekerasan.

Nasalahnya, apakah konflik dan kekerasam harus menjadi jalan keluar ? didunia ini menurut Donald O’ Mahony, masih tersedia 200-an jalan-jalan alternatif damai sebagai pengganti tindak kekerasan. Betapapun, kekerasan pada dasarnya tidak snaggup mengalahkan keputusan hati nurani yang benar, lurus dan sungguh diyakini, walaupun kekerasan dalam lingkup yang amat terbatas dan dengan syarat yang ketat bisa diterapkan dalam menghadapi kekerasan yang tak adil. Jika kekerasan seringkali menjadi jalan keluar, akan kemanakah masa depan negeri kita ?
Bangsa kita telah banyak sekai menghabiskan waktu, pikirna, tenaga dan bahkan uang untuk menangani masalah konflik. Bukankah energi itu lebih baik dimanfaatkan untukmengubah dan memperbaiki keadaan sosial bangsa yang masih dilanda krisis multidimensi ?




0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons