La Politica (10): Upi Pendaki Gunung


Oleh Yohanes Supriyadi

Di perkampungan besar itu, Gagas, Kandi, Lanak, dan Juli sepakat untuk mendaki puncak gunung yang ada. Mereka ingin merasakan hidup di puncak, lima tahun kedepan. Keempat sahabat ini mempersiapkan berbagai keperluan untuk mendaki,diantaranya parang, tali, sepatu, ransel besar, topi, korek api, hingga bekal. Dua minggu sebelum keberangkatan, secara tidak sengaja, Gagas bertemu Upi, sahabat lamanya disebuah warung kopi Jl Tanjungpura.
“hallo, apa kabar”
“baik”
Gagas mengulurkan tangan, mereka berjabat erat. Kepada pramusaji, Gagas memesan segelas kopi lagi untuk Upi. Upi hanya mengangguk kecil.
“begini Pi, kami berempat rencananya mau kepuncak. Peralatan sudah disiapkan. Bagaimana jalan menuju kesana ?”
“wah…baguslah kalau kalian mau kesana. Di Puncak, kalian akan menemukan keindahan, kemewahan, kedamaian, bersama hembusan angin pegunungan. Dipuncak, kalian akan bisa melihat kebawah dan berbuat sesuatu untuk mereka”
“oooo”
Upi pernah mencapai puncak tahun 1999 lalu. Upi sekarang telah berusia 48 tahun. Selama hidupnya, Upi pernah 2 kali mencapai puncak yakni sebagai mantan Wakil Ketua pendakian. Selama 5 tahun ia berhasil berputar-putar diarea puncak, dan tidak mampu bertahan lalu, tahun April 2004 turun !! kini ia pengacara, profesi baru bagi banyak mantan puncakor, yakni pengangguran banyak acara….
“untuk menuju puncak itu, jalannnya sangat terjal dan berliku-liku. Jalannya hanya jalan setapak dari tanah” ujarnya. Ketika akan naik, si pendaki juga harus menyiapkan parang tajam. Dijalanan banyak sekali daun jalatakng. jurang juga menganga, siap menyambut si pendaki, bilamana lengah. Sepanjang jalan, lipan, kala jengking, ular kaninawakng, kalimebe, semut juga menyambut kedatangan si pendaki, mereka menjadi pengawal setia”
“wah, kalau begitu, ini akan saya sampaikan kepada teman-teman. Boleh ?”
“ya..”
“Si pendaki, tidak sendiri. Ia berkelompok-kelompok. Semua ingin menuju puncak. Ada banyak jalan menuju puncak gunung itu, masing-masing jalan sudah diisi oleh kelompok masing-masing. Dan hebatnya, peralatan setiap kelompok ini nyaris sama. Yang membedakannya hanyalah cara menggunakan alat. Salah satu contoh, misalnya, ada yang parangnya untuk menebas daun jalatakng sampai putus, namun ada yang hanya mematahkan tangkai jalatakng dan ada juga yang menghiraukan jalatakng, tidak diganggunya sama sekali”.
Upi terlihat muram. Tangannya tidak banyak bergerak, matanya menerawang jauh. Bibirnya bergerak kecil. Ia menyerubut kopinya sekali lagi.
“Sungguhpun banyak kelompok yang bersamaan menuju puncak, ada yang hanya mampu sampai di pertengahan, setelah itu mereka istirahat dan kembali turun. Beberapa waktu kemudian, menyatakan untuk naik lagi dengan cara yang berbeda. Ada juga kelompok yang belum apa-apa, sudah menyatakan untuk turun. Ada kelompok lain yang meneruskan, walaupun mereka harus membabat habis jalan setapak itu, agar pengganggu tidak mendekatinya. Namun ada juga yang dengan santai, melanjutkan perjalanan hingga sampai dengan selamat dipuncak”
Gagas tampak sangat serius mendengar penuturan dan pengalaman Upi dalam mendaki dan disekitar area puncak.
“trus, apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok itu ?”
“hanya ada 3 kelompok yang dinyatakan menjadi pemenang oleh dewan juri, yakni katakanlah ada Kelompok A sebagai juara pertama. Mereka dengan santai saja melewati semua rintangan sepanjang perjalanan hingga sampai dipuncak dengan selamat dan bahagia. Kelompok B dinyatakan sebagai pemenang kedua. Disepanjang jalan, kelompok ini membabat habis kiri kanan jalan setapak itu. Tidak ada satupun pengganggu yang berani mendekat, akhirnya mereka sampai dipuncak dengan senyum sinis dan bangga. Sedangkan pemenang ketiga ditetapkan kelompok C, yakni kelompok yang beberapa kali sudah mendekati puncak, namun menyatakan harus turun lagi karena kelelahan. Namun, kelompok ini tidak menyerah, sekian lama beristirahat, mereka menyatakan untuk kembali mendaki hingga sampai dengan selamat ke puncak. Kelompok D, yang melihat teman-temannya berhasil sampai ke puncak hanya bisa meratapi diri. Maklumlah, anggota kelompok mereka ini ada yang penyakitan, cacat fisik, dll. Mereka menyadari, namun tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Yang bisa dilakukan hanya; pertama, mendekati anggota kelompok lain yang juga berusaha untuk mendaki, kedua, menciptakan anggota baru dan ketiga; menghancurkan 3 kelompok yang sudah berhasil naik ke puncak”
Upi terlihat mulai bersemangat lagi untuk cerita. Tidak terasa sudah satu jam kami mengobrol di warung itu.
“coba kamu telpon kawan-kawanmu itu, saya akan beri bekal kepada mereka juga”
“iya bang”
Gagas menelpon Lanak, Kandi dan Juli. Semuanya akan datang dalam 15 menit.
“sementara nunggu mereka, saya mau tanya nih bagaimanakah kondisi di puncak bang ?”
“ha..ha…ha, di pucak gunung itu sungguh nikmat Gas. Ada kebahagiaan, ketenangan, kebanggaan, ketentraman, dll bersatu padu. Udaranya juga sangat sejuk dan segar”
Upi menyedot rokoknya dalam.
“Namun dipuncak, masing-masing kelompok juga masih berlomba-lomba untuk mempertahankan dirinya. Mereka seolah-olah ingin menyatakan bahwa kelompoknyalah yang paling hebat, paling pintar, paling kaya, paling….ada ribuan paling. Pokoknya paling…dari kelompok yang lain”
“wah..repot juga ya kalau begitu”
“sebenarnya tidak juga, perlu ketrampilan khusus bagi seseorang. Bagi kelompok yang tidak mampu berkompetisi dengan kelompok lainnya dipuncak, mereka akan terus menciptakan teknik, strategi, dll, yang intinya untuk mengalahkan kelompok lainnya. Bagi yang berhasil menyingkirkan kelompok lainnya, mereka akan menguasai seluruh area puncak. Bagi yang tidak berhasil, mereka akan turun kebawah untuk selama-lamanya. Dan ada satu kelompok yang tetap berambisi menguasai seluruh area puncak, namun belum berhasil sebab masih ada kelompok lain yang juga berambisi yang sama. Kelompok ini mengutus beberapa orang anggotanya untuk turun kebawah (turba) dan mengajak orang yang telah gagal menuju puncak sebelumnya untuk menjadi anggota barunya. Selain itu, kelompok ini juga mengutus beberapa anggotanya menyelidiki kelompok lain yang sama-sama dipuncak. mencuri ilmu dan strategi mereka”
Tiba-tiba tak jauh dari warung itu, suara gaduh terdengar. Rupanya, Lanak dan Juli sudah memarkirkan motornya. Ditempat parker, Kandi juga menunggu. Mereka berteriak-teriak senang.
“inilah repotnya ada teman yang tidak pandai mengendarai motor, harus dijemput”
Lanak senang mengganggu Juli, ia memang tidak pandai mengendarai motor. Tadi, Landak menjemputnya.
“apa kabar pak”
“baik”
Ketiga sahabat ini menyalami pak Upi. Upi hanya tersenyum.
“begini kawan-kawan, tadi saya mengobrol dengan Pak Upi, soal pengalamannya dipuncak. Jadi, alangkah baiknya kalo saya mengundang kawan-kawan semua untuk mendengar juga”
“baguslah”
“keren”
Upi memperbaiki duduknya. Mungkin ia sudah penat. Kandi memesan 3 gelas minuman segar. Tak lama, Upi mulai melanjutkan ceritanya, yang tadi sempat terputus.
“Suatu ketika, hanya tinggal satu kelompok yang menjadi penguasa area puncak. Kelompok lain sudah menyatakan menyerah dan turun. Untuk turun, mereka menjumpai situasi yang berbeda ketika mereka naik dulu. Disepanjang jalan, jurang yang sangat lebar dan dalam menganga, menunggu mangsa. Dikanan kirinya juga tanaman berduri, yang dililit ular-ular berbisa yang sangat besar dan panjang. Kala jengking, lipan juga ukurannya sangat besar. Alhasil, untuk turun situasi sudah berubah 180 derajat. Kelompok ini merasakan ketakutan yang amat sangat. Benar-benar takut dan khawatir, nyawa sudha menjadi taruhan. Disepanjang perjalanan, mereka juga berpapasan dengan banyak kelompok yang mendaki menuju puncak. Tidak banyak pembicaraan, masing-masing dalam pikirannya sendiri. Semua ingin pengalaman baru. Ada yang berusaha naik, dan ada yang terpaksa harus turun. Setelah dibawah, kelompok ini juga mendapati cibiran kelompok yang benar-benar gagal naik kepuncak beberapa waktu lalu. Mereka dicap sebagai kelompok yang kalah, kelompok yang gagal.
“ah kalian kan pernah dipuncak, kenapa harus turun ?”
“bagaimana keadaan dipuncak?”
Rasa marah, kecewa, sedih bercampur aduk dihati kelompok ini. Beberapa hari kemudian, pecahlah kelompok ini. Masing-masing anggota mencari jalan sendiri. Ada yang menjadi warga bawah, ada yang bergabung dengan kelompok lain dan berusaha menuju puncak lagi dan ada yang mati meninggalkan kekecewaan !!”
Upi terdiam, tak disadarinya, air matanya menetes. Beberapa tetes sampai dibibirnya. Matanya memerah. Ia mungkin bersedih. Gagas mengambil kertas tisu disalah satu meja. Upi menyatakan diri untuk pulang dulu, istrinya tadi sempat menelponnya. Keempat sahabat itu larut dalam kesedihan Upi, tak banyak kata-kata yang keluar. Semuanya diam.
***
Ketika tiba dirumah, Gagas tidak langsung masuk. Ia duduk diteras rumahnya. Ia merenung. Topic diskusi dengan Upi tadi menjadi pembelajaran hidupku sebagai makhluk social dimuka bumi ini. Bahwa aku memang tidak bisa hidup sendiri. Aku perlu orang lain. Untuk naik kepuncak, misalnya, dukungan dari orang lain sangat diperlukan. Tidak ada orang yang berhasil dipuncak sendiri. Hanya, kadangkala ketika aku sampai dipuncak, aku melupakan peran orang lain.
“ah..kalau tidak kau dukung dulu itupun, sebenarnya aku bisa sendiri ke puncak”
“aku kan memaksimalkan kekuatanku sendiri, tidak dengan bantuan orang lain”
“ini retak tanganku yang berhasil naik kepuncak”
“ini bukti, bahwa aku lebih hebat, lebih kuat dari kamu”
“untuk apa aku berteman dengan orang gagal ?, aku berhasil dipuncak nih”
Sore harinya, Gagas didatangi Lanak. Lanak juga merasa, cerita Upi tadi mulai mempengarhui alur pikirannya.
“begini hasil renunganku Gas, suatu hari, seorang anggota yang tidka pernah berusaha menuju puncak bertanya kepada seseorang mantan anggota kelompok yang pernah berhasil mendaki sampai kepuncak.
“apa resepnya kamu dulu berhasil mendaki ke puncak”
“ha..ha..ha, memangnya makanan”
“#$$#@$%%%”
Seorang yang pernah mencoba mendaki namun gagal juga bertanya;
“apa strateginya kamu dulu berhasil ke puncak”
“saya bawa parang yang tumpul, menghunusnya dengan maksud menakuti-nakuti anggota kelompok lain. Dan kalau ada pengganggu, saya tebas saja ! Saya bersihkan jalan-jalan menuju puncak dengan parang itu, agar tidak ada satupun mengganggu saya diperjalanan. Pokoknya, apapun saya lakukan….target saya hanya satu; berhasil sampai kepuncak dan menikmati segalanya. Tidak peduli dengan orang-orang yang gagal naik..apalagi yang terindikasi akan membebani saya !”
“ah sialan kamu Nak”
(bersambung)


0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons