SISTEM PERLADANGAN SEBAGAI MODEL PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI, Studi Kasus Prakter Terbaik Pada Orang Salako di Kalimantan Barat


Oleh Yohanes Supriyadi
Orang Salako khususnya dan Masyarakat Dayak lainnya sering dianggap sebagai kumpulan orang yang bermukim didalam dan dipinggir hutan. Hidupnya berpindah-pindah untuk menebangi areal hutan yang satu kea real yang lainnya. System perpindahan inilah yang sering menjadi rancu, sehingga meminta perdebatan panjang antar komponen masyarakat yang tidak paham. Perpindahan lahan pertanian ini sebenarnya bisa menetap jika ketersediaan tanah mendukung. Orang Salako bisa menetap lebih 100 tahun karena mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan, mereka berladang. Saat itu jumlah penduduknya seimbang dengan ketersediaan lahan sehingga mereka mampu mempraktekan pola tradisional dengan kesuburan tanah yang terpelihara. Dilahan yang relative datar dan air cukup tersedia, mereka bersawah. Sawah mulai dikenal mereka sejak masuknya imigran Cina dari Tiongkok kewilayah mereka. System persawahan mereka pun masih semi permanen karena dikerjakan hanya setahun sekali yakni pada musim hujan saja. Untuk keperluan lain seperti membeli garam, minyak, peralatan, pakaian dan pendidikan mereka menorah karet alam/local serta mengandalkan hasil hutan berupa rotan, damar atau hasil buruan ditanah adat yang mereka pelihara kelestariannya.
Dalam berladang, orang Salako sangat tanggap terhadap situasi. Misalnya mereka akan memperluas sawah jika hasil ritual baburukng (mendengar rasi ) dalam upacara adat baburukng mengisyaratkan musim hujan agak lama serta mengurangi pembukaan lahan untuk lading. Demikian pula pemilihan lahan untuk lading, mereka lakukan dengan penuh perhitungan mengingat lading merupakan sumber pangan yang terpenting bagi kelangsungan hidup anggota keluarganya. Menurut budaya orang Salako, membuat ladang ada aturannya dan tidak setiap jenis hutan dapat dijadikan ladang. Dengan demikian, ladang bagi orang Salako bukan hanya menjadi sumber pangan, akan tetapi sebagai identitas. Hal ini tercermin dari beberapa hal, yakni :



Nilai-nilai Penyelamatan
Pernahkah kita menyadari bahwa ditangan petani Salako terkandung nilai pelestarian plasma nuftah padi ? dunia saat ini disibukkan dengan penyelamatan biodiversity atau keanekaragaman hayati dengan pokok perbincangan selalu berteknologi tinggi dan bio teknologi dengan peralatan yang canggih. Belum banyak orang mengerti, apalagi menyadari bahwa orang Salako yang dianggap primitif itu mempunyai budaya melestarikan plasma nutfah. Banyak prinsip hidup orang Salako yang sejalan dengan kiat mutakhir misalnya bagaimana menjaga keseimbangan dinamis lingkungan alamJarang sekali terlintas dalam benak kita bahwa budaya Orang Salako ternyata tidak kalah berperan dalam menyelamatkan keanekaragaman tumbuhan pangan.
Orang Salako mempunyai kekayaan jenis makanan yang tinggi. Jenis tumbuhan tersebut mereka tanam diladang atau mereka pelihara di pekarangan rumah. Bahkan ada yang dibiarkan tumbuh dilahan yang semi liar. Pemeliharaan ini terkait dengan prinsip keberlangsungan ( sustainability ) dan pengamanan ( security ) panen. Sebagai contoh di kampung Rees paling tidak memelihara sekitar 33 jenis padi local, yang terdiri dari 13 jenis padi lokal, 14 jenis padi sawah serta 6 jenis padi rawa-rawa/gambut.
Selain itu terdapat 21 jenis tanaman lainnya sebagai tumpang sari. Puluhan jenis varietas padi dan tanaman lain itu selalu ditanam dalam setiap musim tanam, walaupun tidak semuanya untuk tujuan produksi. Orang Salako di kampung Tahumatn menyebutnya Ngago’ Barakat Padi Tuha yang artinya kira-kira untuk mendapatkan berkat padi jaman dulu. Mereka percaya bahwa dengan menyimpan jenis padi tuha/local ada suatu berkat untuk hasil pertanian pada musim tanam saat itu. Lihat table 1.

Pengorganisasian berladang

Orang Salako mengenal ada 3 kekuatan besar yang saling mempengaruhi dalam kehidupan mereka, yakni Negara Indonesia, Para Pengusaha dan mereka sendiri. Sadar bahwa jika kekuatan (gabungan 3 elemen, organisasi, teknik dan informasi ) dari 3 aktor ini tidak seimbang, maka terjadi penumpukan dan pengumpulan kekuatan hanya pada beberapa local saja. Fakta bahwa kekuatan yang dimiliki local dan modal sangat besar, sementara mereka selalu dalam kondisi apa adanya. Pertemuan kekuatan antara negara dan modal menciptakan kompromi yang menghasilkan pengaturan atau kebijakan baru dalam pemanfaatan berbagai fasilitas kehidupan seperti pengelolaan hasil hutan, penguasaan tanah, laut dsb yang ternyata hanya mengutamakan kepentingan local dan modal saja. Sementara orang Salako tetap terpinggirkan dan hanya menjadi penonton serta korban dari ketimpangan perimbangan kekuatan ini. Dengan kata lain orang Salako hanya sebagai objek dari gagasan dan kebijakan yang dibuat kekuatan Negara dan modal tersebut. Praktek dan pola diatas jelas menghasilkan kerugian bagi mereka yakni kesenjangan sosial yang pada akhirnya diikuti proses pembodohan dan pemiskinan secara global.
Semenjak tumbangnya penguasa colonial, orde lama dan orde baru adalah fakta bahwa dalam komunitas yang disebut negara, banyak aktor yang bermain sendiri-sendiri. Begitu pula komunitas modal, mereka sudah sangat terbagi-bagi. Hubungan keduanya pun tidak harmonis seperti dulu. Mereka sudah mudah terbagi-bagi. Terkadang mereka bersaing untuk mendapatkan keuntungan. Akibatnya, pertikaian antar kepentingan negara dan modal tak dapat dihindari. Pertikaian ini membutuhkan arena dan manifestasinya secara nyata adalah orang Salako. Mengapa ? karena merekalah yang masih memiliki kekuatan nyata. Orang Salako dapat dijadikan pendukung politisi dan sebagai rantai produksi dan konsumsi oleh pemilik modal, karena sebelumnya mereka sudah dilemahkan secara struktural. Paling terasa adalah pada tingkat binua atau kampung yang bersinggungan langsung dengan keseharian masyarakat tradisional terutama sumber dayanya. Disana terasa betul dampak persaingan dan pertikaian negara dan modal.
Untuk itulah alam usaha mengelola dan mengembangkan sistim pertaniannya, masyarakat dayak telah mengenal organisasi, yang mereka namakan Aleatn. Setiap kampung orang Salako memiliki organisasi ini. Pemimpinnya bergelar Tuha Tahutn . dalam menjalankan roda organisasinya, Tuha Tahutn selalu berkoordinasi dengan Pejabat yang bergelar Pangarah Tahutn, yang terdiri dari Pangarah Laki untuk petani laki-laki dan Pangarah Bini untuk petani perempuan. Sedangkan yang menjadi pelaksana hariannya oleh pemimpin yang bergelar Tuha Aleatn. Tuha Aleatn bertugas mirip dengan ketua kelompok tani dewasa ini. Sedangkan anggota organisasi ini mereka namakan Anak Aleatn/ Batakng Aleatn. Seorang Tuha Aleatn memimpin 10-30 an anak aleatn. Pekerjaan sehari-hari organisasi ini dalam berbagai bidangnya disebut Balale’ yang artinya bergiliran.
Organsiasi ini telah ada sejak nenek moyang mereka, dan tetap lestari hingga kini. Sebagai pedoman umum bertani, mereka mengadakan berbagai ritual tertentu yang memungkinkan bagi mereka untuk bekerja yang baik dan berhasil. Lihat Struktur Organisasi Tani orang Salako berikut ini.
Singa

Tuha Tahutn
Pangarah

Tuha Aleatn

Batakng/Anak Aleatn

Selain mempunyai organisasi, orang Salako juga memiliki kepercayaan pada kondisi alam yang mereka percayai dapat mempengaruhi hasil tani dalam musim tanam itu. Salah satu dari kepercayaan itu adalah pada hari atau tanggal tertentu, mewajibkan mereka untuk berpantang aktivitas tertentu/istirahat kerja tani di local.
Dalam menjalankan aktivitas berladang pun tidak dilakukan sembarangan oleh mereka, harus dengan ritual-ritual tertentu. Itulah sebabnya dalam bidang pertanian mereka tidak akrab dengan pupuk kimia ataupun pestisida. Ini ditemukan pada orang Salako di kampung Rees. Lihat tabel 2

Pengetahuan tingkat kesuburan tanah

Dalam membuat ladang, orang Salako cenderung menggunakan Balubutatn daripada Udas. Alasan yang umum dikemukakan adalah segi kepraktisannya yaitu Balubutatn lebih mudah dikelola daripada Udas. Menebang pohon di balubutatn lebih mudah karena pohonnya relative kecil sedang di Udas lebih sulit karena pohonnya yang berdiameter lebih besar dan tinggi. Alasan lainnya adalah menyangkut kesuburan tanah. Pembedaan lading/tuatn, Udas, atau pararoatn berlaku umu dikalangan orang mampawah, walaupun jumlah tahapan suksesi vegetasi didalam kategori udas ataupun bawas bervariasi.
Kesuburan tanah didaerah Udas lebih tinggi daripada didaerah bawas. Orang Salako juga mempunyai pengetahuan tentang tanah. Bahkan orang Salako di kampung Nangka mengenal 8 jenis tanah ( lihat bagian 3 ).
UDAS ( hutan primer )


TUATN ( ladang )


BALUBUTATN ( bekas ladang tahun ke 1 )


PARAROATN ( bekas ladang tahun ke 2 )

GAGARATN SAMUT ( bekas ladang tahun ke 3-4 )

MAGOKNG ( bekas ladang tahun ke 4-10 )

UDAS TUATN

Pengetahuan tentang padi

Padi dikenal oleh orang dayak umumnya sejak ratusan tahun lalu (Krist, 2001 ). Menurut legenda, padi dibawa oleh Ne’ Baruakng Kulub dari negeri Sapangko yang diberikannya kepada 2 temannya Ne’ Engkokng dan Ne’ Buta sebanyak 7 biji. Jenis padi itu bernama Bonceng, yang artinya Dari Halaman.
Hingga kini, orang Salako Ohak masih menyimpan jenis padi ini karena dipercayai dapat membawa Tuah/Barakat, yang artinya kira-kira membawa berkah/rejeki bagi pertanian mereka. Adapun jenis padi lokal tersebut dapat dilihat pada table 4.

Pengetahuan tentang penyakit padi

Pengetahuan padi orang Salako tentang hubungan antara pemangsa dan yang dimangsa (predator dan hama), sebelum diperkenalkannya strategi pengamatan pengendalian hama terpadu, terutama memfokus pada hewan yang bertubuh relatif besar dan mudah teramati. Contoh adalah tikus dan pemangsanya seperti ular, burung elang atau alap-alap. Predator lain yang mudah teramati adalah pelbagai jenis burung, kemudian capung dan laba-laba, meski tidak seluruh petani memiliki pengetahuan yang sama tentang kedua serangga terakhir. ( Yohanes Supriyadi, 2002 )
Sedangkan wereng merupakan hama yang baru dikenal petani sejak menanam ‘padi pemerintah’ (benih unggul). Semula, upaya pengendalian wereng tidaklah merupakan hal yang teramat penting dalam wacana budaya mereka. Tidak demikian halnya setelah wereng merajalela dan menjadi hama endemik di beberapa daerah. Pengendalian hama wereng agar sekaligus ‘musnah’ dan tidak menimbulkan ‘kerugian’ bagi mereka merupakan strategi yang secara ‘budaya‘ kemudian dianggap merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan usahatani mereka.
Ketidaktahuan orang Salako tentang peran musuh alami serangga dalam memangsa hama wereng, misalnya merupakan contoh bahwa serangga itu secara budaya tidak disadari sebagai sesuatu yang penting dan tidak mudah pula untuk diamati. Laba-laba yang lebih mudah diamati dibandingkan dengan serangga yang lebih kecil, belum pula dianggap sebagai musuh yang alami yang bermanfaat. Hama wereng yang telah menjadi bagian integral dari pengetahuan petani sebagai hama yang ‘paling merusak’ dan karena itu paling penting untuk dikendalikan, ternyata tidak mudah diamati dalam hal reproduksinya. Karena itu, adanya tahapan-tahapan reproduksi berupa pergantian kulit pada imago (anak wereng ) tidak merupakan bagian dari pengetahuan mereka.
Fungsi pestisida yang mencegah berlangsungnya pergantian kulit ini tetap tidak terintegrasikan dalam pengetahuan mereka. Alhasil, mereka beranggapan bahwa pestisida untuk wereng berfungsi membunuh wereng atau ‘membusukkan telur wereng’. Inilah beberapa contoh ketidaktahuan orang Salako yang berkaitan dengan kedua prinsip diatas. Kedua prinsip serta kombinasi dari keduanya ini merupakan sarana yang bermanfaat dalam memahami dan menjelaskan mengapa orang Salako mengetahui sebagian entitas dan aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya tetapi tidah tahu untuk sebagian yang lain.
Upaya paradigma perubahan penggunaan pestisida, dan terutama perubahan paradigma pembangunan dari orientasi produksi ke orientasi peningkatan kualitas manusia dan petani, ketangguhan/keberlanjutan usaha tani, serta upaya ‘pemberdayaan ’ agar mampu untuk secara kritis menanggapi berbagai ‘rekomendasi’ dari atas, merupakan suatu kemajuan yang besar dalam konteks pembangunan di negara-negara berkembang. Peristiwa ini merupakan satu kasus istimewa dalam konteks pembangunan dewasa ini yang menunjukkan bahwa para intelektual dapat berperan positif dalam upaya mengoreksi wacana dan kebijakan pembangunan.( Krist. Atok, 2002 )

Teknologi Perladangan

1. Pasca Panen
Pada masyarakat Salako, luas lahan pertanian yang dibuka menyesuaikan dengan jumlah benih yang akan mereka tanam. Biasanya hal ini ditentukan melalui bahaupm saradakng dengan mengevaluasi hasil tani pada musim tanam sebelumnya, mempertimbangkan jumlah tenaga kerja dalam keluarga serta banyaknya anggota keluarga petani yang bersangkutan. Tingkat produktivitas benih padi lokal biasanya lebih tinggi dari jenis padi lainnya.
Hal ini karena kebiasaan sistim pertanian ini sudah lama dilakukan, lahan yang masih tersedia, jumlah tenaga kerja yang cukup serta terkait dengan kepercayaan mereka atas berbagai ritual-ritual tertentu sebagai acuan.

2. Pemberantasan Hama
Bentuk lainnya dari kearifan tradisional itu dengan mengelola sumber daya alam yang terkait dengan hama/penyakit padi. Orang Salako memiliki teknologi sendiri untuk memberantas hama/penyakit padi dengan menggunakan bahan-bahan yang didapat dari alam. Lihat table 5 .
Praktek-praktek ini masih dilakukan oleh orang Salako terutama dipedalaman yang jauh dari pembinaan pertanian oleh pemerintah (Petugas Penyuluh Lapangan/PPL Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang biasanya menawarkan beraneka jenis pestisida ) hingga kini.


3. Adat Istiadat Dalam Pekerjaan

Langkah-langkah dalam bekerja ladang dalam satu musim tanam adalah sebagai berikut :
a. Baburukng
Baburukng adalah suatu upacara Adat yang di laksanakan di tempat keramat (kadiaman) biasanya di Bukit. Tujuannya meminta sekaligus mendengar kata rasi untuk membuka ladang. Kata rasi ini bisa dalam bentuk suara burung keto. Sebagai contoh, misalnya suara burung keto ke arah utara, maka petani musim tanam itu membuka ladang ke arah utara.
b. Upacara di Hulu Sungai
Di bagian bawah, biasanya dihulu sungai juga sembayang untuk meminta kesuburan tanah untuk berladang. Setalah itu dilakukan hari puasa/ pantang kerja diladang bagi penduduk sekampung selama 3 hari.
c. Upacara Adat Sambayang basi
Sembayang besai ini untuk memberitahukan kepada leluhur bahwa penduduk akan memakai semua jenis besi untuk dipakai kerja diladang.
d. Ngawah
Ngawah adalah menyelidiki, memeriksa calon lahan yang akan digunakan sebagai lahan ladang selain itu tujuan dari ngawah ini adalah :
1. Saat berangkat ngawah kita mendengarkan kata rasi,
Misalnya :kata keto,buria dll.
2. Membuat tanda-tanda tebasan tiga sampai tujuh kumpulan
( nongkol ) atau dengan rentesan.
3. memberitahukan kepada Jubata penguasa air tanah, hutan serta kepada bulan dan matahari.
4. Memotong Kalakng ( tempat berhenti untuk ngasa iso’ ) kemudian mengambil tiga potong kauyu yang di sebut kalakng itu tadi,di simpan sekuat-kuatnya mungkin bisa di dalam tanah karena kalakng ini di maksut untuk berjanji dengan seluruh binatang pemakan padi, dan kata-kata nya adalah : ha.. nian kita sagala laok,aku nang bauma kadian bajanji ka kita ,kade ia tamu taporatn ku kita makatn lah padi ku ka dian,kade ia ina tamu kita’nakat kibakng pabanga,tono lobokng dinikng sabar.
e. Nugal ( Nanam padi ladang )
Bahan-bahan yang di gunakan adalah :
a) Benih padi ladang
b) Stek bunga salaseh
c) Umbi kunyit
 4 potong kayu ± 1 meter yang dibuat segiempat ketengah ladang yang ingin ditanami.
f. Ngamalo Lubakng Tugal
Tujuannya adalah : untuk menyuburkan dan merapatkan tanaman padi,supaya tambah subur sesuai dengan harapan.
g. Muang Panyakit Padi
Menurut adat membuang penyakit padi adalah suatu upacara adat yang dilaksanakan oleh masyrakat satu atau dua bahkan lebih, kampung yang di aliri satu sungai,tujuannya untuk memperoleh kesembuahan padi yang tidak mutlak di laksanakan setiap tahun, hal ini lebih dilihat dari keadaan padi apakah sedang sakit atau rusak kalu ternyata rusak.
h. Ngikat Padi
Ngikat padi adalah upacara adat yang di lakukan secara terus menerus setiap tahun dan terikat pada satu waktu dalam komonitas masyrakat yaitu pada saat padi sudah masak upacara ini biasanya di lakukan sebelum panen,baik itu padi ladang maupun padi sawah. Hakikat dari upacara ini adalah memohon kepada jubata air tanah, bulan matahari, roh leluhur, jubata padi, jubata babi, jubata ayam, dan jubata beras.
i. Mipit
Mipit adalah upacara adat menaikan padi baru. mipit bukanlah satu upacara adat yang secara serempak di lakukan oleh kelompok masyrakat.upacara adat ini dilaksanakan 1x setahun. Namun hal ini sangat penting dengan mengingat tujuannya antara lain :
a) Menjaga ke amponan/sumpanan,kebiasaan ini sudah turun temurun.
b) Kita tidak boleh di dahului oleh burung pipit dan jenis-jenis lain pemakan padi.
Prosesnya ketika padi ladang sudah masak di ujung dan kita ambil dua tiga tangkai di rendang di tumbuk di jadikan beras dan beras ini lah langsung di cicipi dalam keluarga dan dibagi-bagikan kepada tetangga dan orang se-kampung.


j. Ngarantuk
Ngarantuk adalah upacara adat yang di lakukan masyrakat adat satu kali se tahun. Memasukan padi baru kedalam rumah, di dipan/pene dengan cara memberi sedikit-sedikit potongan yang di masak atau di beri khusus satu kobet. Tujuannya memberitahukan kepada Jubata Ne’ Baruakng Kulup ( penemu padi ), kepada orang se-kampung serta kepada bulan dan matahari.
k. Matahatn
Matahatn adalah upacara adat yang di lakukan oleh masyrakat adat di mana prosesnya ini di lakukan satu kali satu tahun,pada saat padi ladang sudah di panen,hakikat dari upacara ini adalah untuk mengucapkan rasa syukur kepada jubata penguasa alam semesta/jupabata padi. selain itu membuat padi supaya tahan/awet di piring, dipanci, di kuali, ditempat penyimpanan beras/padarengan. Proses ini berlangsung dua hari. pertama batutuk dan memasak segala sesuatu yang di anggap perlu. Di samping itu pada sore harinya upacara matikatn cucur/tumpidan lemang/poe yang di sajikan pada sebuah pahar dengan di tata sedemikian rupa.
l. Gawe Padi / Naik Dango.

Naik dango adalah upacara adat pesta padi, yang biasanya di lakukan/laksanakan pada saat semua selsai panen baik itu padi ladang maupun padi sawah dalam satu kampung / binua dan acara adat ini berlangsung selama dua hari,hari pertama batutuk dan hari kedua makatn gawe. Hakiakt dari upacara adat ini adalah :
a) Mengucapkan rasa sukur kepada jubata alam semesta/jubata padi.
b) Membawa semangat/roh padi pulang kedalam rumah, ke penyimpanan padi/beras.
c) Mengucapkan rasa syukur kepada jubata tuha,bulan dan matahari.
m. Adat Tahutn
Adat tahutn ini di lakukan pada sore harinya setelah makan pesta/makatn gawe. setor adat tahutn satu sampai dua per keluarga dengan satu lonekng /paha ayam lengkap dengan organ tubuh lainnya, beras pulut, beras sunguh/beras biasa serta perlengkapan makan sirih kemudian di kumpulkan kerumah Tuha Tahutn.
4. Kesetaraan pria dan wanita dalam pekerjaan ladang

Dalam pekerjaan ladang, orang Salako tidak membedakan perempuan dan laki-laki. Perempuan dan lak-laki dianggap sama mempunyai kemampuan dan haknya dalam banyak pekerjaan ladang. Misalnya

Jenis Pekerjaan Ladang Peran Laki-Laki Peran Perempuan
Membuka Ladang Menebang pohon besar Menebas dan memotong ranting
Penanaman Menugal ( membuat lubang benih ) Menanam benih dilubang tugal
Perawatan/pemeliharaan Membuat bandong ( kotak ) disawah Mencabuti rumput
Menebas rumput sekitar ladang Mencabuti rumput diladang
Upacara Adat di ladang Memanggul alat dan bahan dari rumah ke ladang Memasak
Panen Memikul dan mengangkut padi dengan Mengetam padi
Pasca panen Melepas biji padi dari tangkai ( ngirik ) Menampi ( membuang sekam) dan membersihkan padi dari debu dan kotoran lainnya
Mendirikan langko/dango padi Mempersiapkan alat dan bahan serta memasak


5. Masuknya Modernisasi Pertanian dikalangan Orang Kaca’

Menurut orang Salako, pemerintah orde baru dan tetua adat pantas di gugat, sebab merekalah yang pada awal kekuasaan Orde Baru amat getol mengkampanyekan dan melaksanakan gagasan tentang penanaman padi varietas baru. Sebuah gerakan peningkatan produktivitas pertanian yang berawal dari penemuan benih-benih tanaman, khususnya padi, dengan kategori unggul. Langkah-langkah pemerintah dalam memasyarakatkan padi unggul ada kaitannya dengan penerapan kebijakan pemerintah orde baru, kepemimpinan Soeharto yang mengkooptasi pemikiran dan tindakan para tetua adat dengan cerita-cerita yang menyeramkan tentang tanaman padi lokal.
Caranya sungguh licik dengan mengkaitkan cerita lisan turun-temurun dengan kondisi pertanian dewasa ini. Lalu pemerintah menawarkan bibit-bibit padi unggul . Dengan bibit unggul, satu hektar sawah yang biasanya hanya menghasilkan satu ton padi, menghasilkan tiga ton padi. Tetua adat tentu tergiur. Maklum, di era 1960-1970 orang Salako merasakan kekurangan pangan yang cukup hebat. Dampak dari moedernisasi pertanian ini adalah :
a. Bibit Lokal yang dilupakan
Banyak jenis padi lokal yang enggan dikembangkan lagi oleh penduduk karena kepercayaan yang terlalu berlebihan. Saking taatnya dengan adat dan kepercayaannya, mereka rela untuk tidak menanam padi lokal tertentu untuk tujuan produksi. Hanya sedikit saja mereka yang terus menanam padi jenis lokal dengan alasan untuk mendapatkan tuah/rezeki dari padi itu saja. Lihat tabel 6.

b. Tingkat produktivitas padi rendah
Dari pengamatan sementara dan pengalaman beberapa responden dan informan, produksi pertanian lokal yang dikerjakan secara konvensional itu hanya cukup untuk makan beberapa bulan saja. Hanya ada beberapa keluarga petani saja yang cukup untuk makan setahun, itupun karena anggota keluarga yang sedikit dan besarnya penghasilan diluar ( dialami oleh PNS yang nyambi petani, atau pedagang )
c. Pemasaran hasil produk pertanian yang sulit
Petani dayak tidak cukup berpengalaman dalam berdagang. Budaya itu hanyalah diturunkan oleh orang cina yang masuk sampai kekampung-kampung. Ada anekdot dayak yang cukup populer, yang menggambarkan bagaimana pola berdagang dayak, ahe-ahe ja toke. Artinya terserah dengan tuan saja. Dengan sikap pasif ini, pemasaran produk pertanian menjadi terhambat. Ada beberapa alasan yang cukup rasional yang mendukung pola ini yakni tersumbatnya akses transportasi/perhubungan dikarenakan lokasi perkampungan yang jauh dari pusat pemasaran/pasar serta pertimbangan kemampuan tenaga pendukung/penunjang seperti alat-alat transportasi yang tidak ada.
d. Perubahan sikap dan pola pikir
Sikap apatis, rendah diri dan tergantung cukup menonjol dikalangan petani dipedalaman yang serba sulit. Sehingga mereka enggan untuk berkomentar dengan situasi diluar. Dan ketika kesadaran mereka akan alam sekitar meningkat, mereka saat ini mulai berteriak : “Mana alamku, alamku yang dulu permai?”. Kicau burung, gemericik air, nyiur daun melambai, harum dedaunan di persawahan. Semua berganti dengan hamparan pemandangan yang monoton, deru mesin-mesin, daun bau menyengat pestisida. Ikan-ikan di sungai digantikan sampah-sampah plastik, banjir dan kekeringan datang silih berganti begitu cepat, serangga tak takut lagi dengan, entah berapa macam merk dicampur, semprotan pestisida. Alam yang makin lemah atau manusia yang makin serakah ?.
Populasi orang Salako yang meningkat pesat meyababkan kebutuhan pangan yang meningkat pula. Tanaman sebagai sumber utama penghasil pangan manusia menjadi tumpuan harapan. Para ahli fisiologi, teknologi, dan pertanian lainnya bersatu berusaha memecahkan permasalahan. Revolusi Hijau, sebuah kata yang sangat populer di seluruh dunia. Ramalan Malthus akan kelaparan dipatahkan oleh Revolusi Hijau. Manusia sempat bergembira dengan penemuannya itu.
Tapi mereka juga lupa bahwa alam tidak pernah dilibatkan dalam diskusi... alam kini menggugat dalam kebisuannya. Contoh kasus di Menjalin dalam puluhan tahun terakhir, menjelang tahun 2003 tepatnya 13-16 Januari terjadi benjir besar yang menghancurkan ribuan hektar lahan pertanian. Padi sebagai salah satu hasil Revolusi Hijau menjadi bulan-bulanan. Penggunaan pestisida yang berlebihan menimbulkan permasalahan lingkungan yang mengganggu. “Belalang saja tidak mau makan butir padinya, apalagi manusia (tapi masih banyak yang mau, ya? )” .
Varietas padi ‘nenek moyang’ yang dulu dicerca karena produksinya lama dan rendah sekarang banyak dirindukan karena rasanya lebih lezat daripada varietas padi ’modern’ yang lebih unggul produksinya.



2 komentar:

diriku adanya mengatakan...

Malam...


O ia pelestarian plasma nutfah tu apa ya bg?
yang uniknya dalam sistem pekerjaan di perladangan ne orang selako,menerapkan kesetaraan antara laki2x dan perempuan...tapi kenapa ya di bidang lain kesetaraan ne susah sekali??kenapa ya??..Gbu

Unknown mengatakan...

Senang sekali baca artikelnya... kebetulan sedang perlu informasi keragaman jenis padi di dalam ladang...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons