La Politica ( 3 ): Melacak Jejak Perlawanan

Oleh Yohanes Supriyadi

Sejak awal bulan lalu, Gagas mulai jenuh juga dikota ini. Nyaris tak ada tempat, utamanya warung kopi dan warung makan khas Dayak yang pengunjungnya bukan tim sukses YB Cambang. Dimana-mana ketemu teman, semuanya mengaku marah, kecewa, dongkol, dan lain-lain. Padahal mereka tim sukses yang sukses !! bagaimana tim sukses yang nggak sukses jagonya ? pikir saya.
”jo...gimana kalo besok kamu ikut saya ke kampung”
Gagas terkejut, soalnya mengenal betul suara ini.
”Lo...kamu Gas”. Gagas tersenyum. Saya mengajaknya duduk melantai. Sore itu, saya lagi ngopi di sebuah cafe dijalan Tanjungpura.
”kampung apa ? jauh nggak ? untuk apa ?, saya lagi nggak ada duit nih”
”wah..yang itu nggak usah kamu pikirin, ikut aja. Mau nggak ?”
Gagas mengambil kursi dan merapat. Gagas memahami keprihatinan saya mendengar kisah beberapa temannya tempo hari. karena itu, ia berinisiatif mengajak saya melihat langsung perkembangan dibasis pengorganisasian rakyat, yang ditekuninya selama ini.
”kalo gitu, mau dong. Berangkat pake apa kita”
”pake motor aja, biar irit”
”oke”
”tapi begini yad, maksud saya bukan ingin pamer kekuatan politik saya. Takutnya kamu mengekspos dan mati deh saya....”
”ah. masa’ kamu nggak percaya saya...”
”percaya sih, cuman tolong jangan diberitahu YB Cambang ya...nggak enak, seolah-olah saya minta sesuatu dengan dia”
Ditangan kirinya, sebatang rokok GF masih menyala. Beberapa kali ia menghisap dalam rokok kegemarannya ini.
”Tapi Gas, menurut saya, semua orang layak tahu apa yang sudah kamu buat selama ini. Kamu patut dihargai, malahan dibeberapa tempat di Indonesia, orang seperti kamu ini pasti sudah kaya. Bukan datang sendiri, tapi karena usahamu yang profesional”
Saya terus meyakinkan Gagas, agar ia muncul kepermukaan dan mendapatkan hasil dari perjuangan politiknya selama ini. Tapi, sore itu Gagas tampaknya belum terpengaruh. Saya memang penasaran mendengar cerita heroik Gagas tempo hari. Dengan kepiawaiannya, 600 anggota front siap untuk digunakan sebagai apa saja, kapan saja dan dimana saja. Mumpung ada kesempatan, dan gratis gumam saya.
++++++

Hari masih pagi, kampung itu tampak sepi. Tidak ada warga yang lalu lalang dengan aktivitasnya, hanya beberapa ekor babi mendulang tanah dipekarangan rumah. Beberapa orang juga tampak berkumpul disebuah warung kecil. Didepannya, beberapa orang anak asyik bermain guli. Mereka main dihalaman rumah-rumah yang sejajar, rapi !
Saya menghentikan motor tepat dimuka sebuah warung. Gagas turun dan menyapa sang pemilik warung.
”kopi dua pak uda’..”
”au..tunggu boh”
Saya duduk dibangku panjang itu, sambil membetulkan jaket. Tas tetap distang motor, demikian juga Gagas. Ia duduk dan mendekati seorang pemuda yang sibuk ”minum arak putih”. Hanya berselang lima menitan, kopi sudah terhidang diatas meja papan itu.
”nyian kopi ahe pak uda’..nyaman sidi ua.”
”kopi layang, aku malinya ka’ pinyuh. Kao dari mae ge’”
”dari Tangket, ayukngku nyian dari Samantakitn”
”oo..au’lah. ngahea’ ampus kadian ?, ampus ka sae ?”
”basaroh, ngago’ curita ka urakng dian”
”gajah..ada ahe ua ?”
”ina’..mao nanya sae-sae kadian nang tim sukses Mr Cambang dee ba”
”oo...manyak sidi kadian kade ampakoa”
Pak Uda melambaikan tangannya kepada seorang anak kecil. Si anak merapat, beberapa nama disebutkannya, untuk diajak bertemu diwarungnya. Si anak berlari...segera menuju beberapa rumah.
”kadian dee ia manang ampir saratus persen, calon lain ada nang hanya namu sete’ suara, paling manyak namu ampat ha ha ha, luar biasa warga kadian”
Pak Uda’ tertawa kecil...sambil membetulkan susunan beberapa kaleng ikan sarden ia menceritakan, begitu bangganya warga kampung memenangkan pertarungan politik di propinsi yang memiliki 14 kabupaten/kota ini beberapa waktu lalu.
”urakng didian repo gubernur dah urakng diri’. Ampat puluh tahutn kami nunggu bakahatn jarami’ nyian, sukurlah dah mulakng agik jukut koa ka karamigi”
Saya menyimak dengan santai cerita ini. Beberapa kali saya teguk langsung kopi yang mulai dingin itu.
”Pak Cambang paranah me ampus didian ?”
”ina paranah si, cuman nele posternya jak. Kami ugak masih namu sete’ kaset CD lagu-lagu Dayak, dimagiatn tim suksesnya. Waktu ia kampanye, kami nak sampat ampus, jukut masih bauma. Tapi pilihan kami ina barubah, kami pasti milih ia”
Beberapa pemuda tiba-tiba masuk warung. Beberapa diantaranya sudah cukup tua, mungkin sudah berusia diatas 60 tahunan. Pak Uda’ berbasa-basi sedikit dan menjelaskan maksud kedatangan kami. Mereka mengangguk dan tertawa.
”cilaka...Gagas rupanya, jatiku sae tadi..hehehe...”
Pemuda mengulurkan tangannya dan merangkul Gagas. Akrab sekali, mungkin mereka sudah lama kenal, pikirku. Gagas hanya tertawa dan memeluk pemuda itu, erat.
”Saya Anto, dulu sebagai Ketua Tim Sukses Cambang dikampung ini. Ini teman-teman saya, mereka juga tim sukses yang direkrut Gagas bulan Maret 2007 lalu”
”yadi”
Saya mengulurkan tangan, berjabat erat. Beberapa pemuda lain juga mendekat dan mengulurkan tangannya. Anto adalah tamatan perguruan tinggi di Pontianak, namun beberapa lama menganggur dikota, ia memilih pulang kampung. Ia sudah menikah dan mempunyai 2 orang anak. Badannya kekar dan tampak sangat atletis. Selama tinggal dikampung, katanya ia menghabiskan waktunya untuk motong dan bauma.
”dulu saya susah sekali mendapat kerja dikota. Di beberapa perusahaan dan instansi swasta pernah saya mengajukan lamaran kerja, namun ditolak”
Anto meneguk segelas kopi panas. Saya hanya diam.
”mungkin karena nama saya Antonius ya...? soalnya beberapa teman juga mengalami hal yang sama, ditolak !. hanya tersedia lowongan PNS, tapi hanya mampu sampai tahapan lolos administrasi dan testing, hasilnya....tidak lulus. 5 tahun saya terus mencoba daftar PNS, tapi tak juga lulus. Jadi, mungkin bukan rejekiku”
Anto mengaduk-ngaduk kopi digelasnya yang sudah dingin. Entah apa yang dipikirkannya. Saya hanya diam, tak berkutik........
”To, kan dulu sudah saya bilang kekamu. Sistem...yang korup, diskriminatiflah yang membuat kaum kita jadinya begini. Masih ingat ?”
tiba-tiba Gagas menyela dan ikut bagian diskusi. Anto menatapku, tangannya mulai diam. Mulutnya terkunci, matanya menerawang jauh. Tampak kegetiran dihatinya....
”ya..saya masih ingat bang, justru karena itulah saya mau jadi pejuang politik saat itu. Ingin merubah nasib. Demikian juga kawan-kawan ini, mereka senasib denganku, kaum intelektual kampung”
”itu biasa to, jangan berkecil hati. Nanti pasti ada kesempatan untuk kamu merubah nasib, apalagi pendidikanmu tinggi”
”kalau itu sih sudah lama kudengar bang, tapi faktanya sekarang ? ”
Anto mulai sengit. Giginya gemeretak. Mungkin ia tersinggung. Gagas mendekat dan membisikan sesuatu ketelinganya. Anto mengangguk kecil.
”bang...kita pulang dulu ya...mandi, makan dan nanti malam diskusi lagi”
”oke”
”jeh”
”aok”
Saya berpamitan dengan Pak Uda’. Ia mengangguk, senyum menghiasi bibirnya. Bertiga, saya Gagas dan Anto menuju pondok kecil milik Anto yang tepat dipinggir bukit kecil. Beberapa pemuda lain mengikuti. Sepanjang jalan, rombongan kecil ini penuh tawa canda. Gagas memang pandai berseloroh dan memecah kebekuan pikir saya tersenyum sendiri. Pondok itu diatas kolam ikam. Ada enam kolam, yang isinya ikan lele, mas, mujair, sepat siam, gabus dan betuk. Pondok ini dibangun Anto dan teman-temannya setahun lalu. Selama membangun, mereka didukung dan didampingi Gagas. Anto dan teman-temannya menyiapkan lokasi, membangun pondok dan menggali kolam, Gagas mencari donatur untuk membeli beberapa peralatan hingga bibit ikan mas. Ikan lainnya dicari sendiri oleh Anto.
++++

Kampung ini tidak begitu luas, tanahnya berpasir. Disekeliling kampung, bukit-bukit menjulang tinggi. Hamparan sawah membentang dari utara ke selatan. Mata pencaharian warga umumnya motong dan bauma batahutn. Kampung ini hanya dihuni oleh 329 keluarga dengan 600-an jiwa. Sehari-harinya, mereka berbahasa baahe. Kampung ini juga tak jauh dari kecamatan, mungkin hanya sekitar 5 kilometer. Jalannya sudah beraspal, dan sudah ada listrik negara. Tak ada satupun rumah ibadat, tak ada gedung sekolah dasar, juga tak ada saluran air bersih. Untuk sekolah, anak-anak harus berjalan kaki menuju gedung di pusat kecamatan. Menurut Anto, adat istiadat masih sangat kuat dikampung ini. ”hampir semua kegiatan warga diawali dengan upacara adat”. Katanya suatu kali. Umumnya mereka beragama katolik, hanya beberapa yang beragama protestan. Dari 600-an jiwa ini, hanya ada 2 sarjana, yakni Anto dan Kakura’. Pemuda yang lainnya, hanya mampu hingga tamat SMP. Karena itulah, Anto dan Kakura’ sangat disegani oleh warga kampung. (bersambung)
++++




0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons