Kisah Penting Dari Kampung (8) RETOK: Potret Relasi Dua Suku



Yohanes Supriyadi

Retok, nama kampung itu. Menurut ceritanya, berasal dari kata batotok-totok (berkunjungi untuk berkumpul). Kampung ini sejak 2003 menjadi salah satu kampung yang didampingi Yayasan Pangingu Binua untuk program memperkuat relasi antar etnik yang harmonis sebagai upaya pencegahan kekerasan etnik di Kalimantan Barat.
Sebelumnya, saya sudah 2 kali mengunjungi Desa ini. Saya pernah mengunjungi Kampung Babante’, Kampung Retok Acin, dan Parit Tembawang tahun 2001 dan 2003 lalu. Tahun 2001, saya mendampingi tim dari Kostma Borneo Pontianak, sebuah lembaga studi konservasi hutan mangrove pesisir sungai di Kalimantan Barat dan tahun 2003 mendampingi tim assesment Common Ground Indonesia (CGI) untuk assesment program PeaceBuilding Yayasan Akar Pama.
Pagi itu, awan sedikit mendung. Jangan-jangan sebentar lagi hujan, pikir saya mulai khawatir. Saya hanya bawa tas ransel kecil. Didalamnya ada sebuah kamera digital merk Brica, 8 megapixel dan satu buah blocknote. Bersama saya, Yohanes Bosco, Paulus, dan Yulianus. Yohanes Bosco adalah Mahasiswa S2 Fisipol UNTAN yang sedang menulis Tesisnya, Paulus staff Jaringan Pertanian Kalbar dan Yulianus dari Yayasan Akar Pama, pernah menulis buku tentang Retok tahun 2003 lalu.
Tiba di pelataran pelabuhan Seng Hie, saya melihat deretan parkir perahu motor yang menunggu penumpang tujuan Retok. Ada 10 buah !. Yulianus menuturkan, rata-rata perahu motor ini bermesin 6 silinder dengan daya tampung 300 penumpang dan ± 8 ton barang. Sambil menunggu Paulus yang beli rokok, Yulianus yang beli sayur, saya berkeliling dermaga. Berikut ini perahu motor yang beroperasi di sungai Retok – Pontianak: Karya Indah, Akeng (milik pengusaha Tionghoa), Sinar Jaya, H.Umar (milik pengusaha Madura), Budi Jaya, Budi (milik pengusaha Tonghoa), Karena Budi, Akong (milik pengusaha Dayak), dan Dewi Murni, Aau (milik pengusaha Tionghoa).
Dengan sedikit perdebatan dari Bosco, saya memutuskan kami menumpang perahu motor ”Karena Budi”. Bosco memang pelanggan setia Budi Jaya kalau ke Retok. Hanya ada 20 orang penumpang diperahu motor ini, dari paras dan logat bicaranya, saya tahu mereka orang Madura. Penumpang juga terpencar-pencar, ada yang didalam perahu dan beberapa naik dek. Saya, dan tim keatas dek. Dari cerita Yulianus, duduk diatas dek selain menikmati udara diatas sungai yang segar, pemandangan juga indah. “yang paling penting, suara perahu motor tidak terlalu berisik dan keras disini” ujarnya terkekeh.
Empat jam “duduk” diatas air, saya menikmati indahnya panorama hutan mangrove dan tumbuhan sagu ditepi-tepi sungai. Sungai juga telah berubah, dulu sungai ini hitam pekat dan mengkilap, gumam saya dalam hati. Kini air sungai telah kekuning-kuningan. Dalam laporan perjalanannya, 2005 lalu, Bosco menulis bahwa sungai ini telah “tercemar mercuri” akibat pertambangan emas diperhuluan sungai Tumanse dan Sungai Ringin yang ada didaerah Kecamatan Mandor Kabupaten Landak. Saya terdiam. Saya memang menyaksikan sendiri perubahan warna disungai ini dari atap perahu motor yang saya tumpangi hari itu.
Yulianus, tahun 2003, juga pernah mencatat, sungai ini sangat kaya keanekaragaman hewan air dan tumbuhan sagu. Salah satu yang paling terkenal diantaranya ikan tapah. Ikan ini hanya ada diekosistem air hitam, seperti sungai Retok. Dalam bukunya, Yulianus mengatakan ”Sungai Retok juga menjadi batas antara wilayah Retok dengan Desa Sungai Sega, Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak. Sungai ini sangat penting bagi penduduk, untuk mandi, minum, cuci dan transportasi”. Di hulu sungai ini terdapat Sungai Tumanse dan Sungai Ringin yang bermata air di wilayah Kecamatan Mandor Kabupaten Landak. DAS (Daerah Aliran Sungai) Retok sendiri bermuara di Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Selain DAS Retok ada banyak anak sungai di wilayah ini di antaranya Sungai Sosor, Sungai Parompakng, Sungai Raso, Sungai Saga, dan Sungai Timawakng.
Awan sudah mulai gelap, ketika kami menginjakkan kaki di Steiger Retok Acin. Disteiger, Subaidi, Community Organizer Yayasan Akar Pama, salah satu warga Kampung Parit Tembawang sudah menunggu. Ia tersenyum ramah. Tas diangkatnya, anak-anak juga menyambut dan mengiringi sepanjang jalan parit, yang masih terlihat baru itu.
Berdasarkan Data Kantor Desa Retok tahun 2003, di desa ini hidup 617 Keluarga, dengan 2.995 jiwa. Warga terdiri dari etnis Madura (65%), Dayak (35%) dan lain-lain (5%). Terdapat 656 bangunan fisik yang terdiri dari perumahan warga, gedung sekolah dasar (4 buah), gedung SLTP (swasta, 1 buah), Madrasah Ibtidaiyah (5 buah), gereja Katolik (2 buah), mesjid 6 buah, Toa Pekong (1 buah), dan Puskesmas (1 buah). Juga ada dua lokasi pemakaman umum, muslim dan kristen. Desa Retok terdiri dari 4 dusun: (1) Dusun Retok Kuala terdiri dari Kampung-kampung Ampaning Seberang, Pinang Merah, Parit Pak Sutari, Kubu Padi Seberang, (2) Dusun Babante yang terdiri dari Kampung Pinang Merah Ujung, dan Kampung Babante, (3) Dusun Acin yang terdiri dari Kampung Acin, Sosor, Parit Tembawang, Parit Objek, Parit Pak Sela dan Takah serta (4) Dusun Memperigang, yang terdiri dari Kampung Karang Anyar, Bungaris, Parit H. Hasan, Parit Sampang, Memperigang dan Kampung Penepat. Pada tahun 1999 Desa Retok bersama-sama dengan Desa Kuala Mandor B, Desa Kuala Mandor A, Desa Sungai Enau dan Desa Kubu Padi membentuk Kecamatan baru, Kecamatan Kuala Mandor B. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Sungai Ambawang.
Bersama 4 Desa lainnya, Desa Retok termasuk dalam wilayah adat Binua Jalur Utara, yang dikepalai oleh seorang Timanggong. Timanggong ini adalah kepala adat tertinggi dalam wilayah yang bernama Binua. Binua Jalur Utara berpusat di kampung Babante yang di bentuk tahun 1997.
Sebagian besar warga Retok bermata pencaharian sebagai pamotong (penyadap karet). Setiap paginya, produksi karet petani rata-rata 4 - 5 kilogram lateks/keluarga. Hasil dari karet biasanya langsung dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako). Selain karet, warga juga menanam padi, jagung, nanas, keladi air, ubi kayu, ubi jalar, nangka, rambutan, jahe, dan lain sebagainya. Umumnya mereka bercocok tanam di kawasan-kawasan yang datarannya agak tinggi. Yang unik, seperti ada pembagian peran antar suku dalam bertani ini. Orang Madura biasanya membudidayakan tanaman jahe, nanas, ubi kayu, keladi air. Sedangkan orang Dayak umumnya hanya menanam padi. Sungguhpun demikian, ada juga warga yang bekerja sebagai penebang kayu dihutan-hutan mangrove. Untuk menampung kayu, beberapa pengusaha membuka sawmill. Ada 3 buah saw-mill mini di sepanjang aliran sungai Retok yang mengolah kayu hasil tebangan warga ini.
Menurut Pak Satir, 75 tahun, tinggal di Kampung Retok Sosor, ratusan tahun lalu, ada tiga orang bersaudara, Ne’ Said, Ne’ Nyabut dan Ne’ Molah, datang dari Menyuke Kabupaten Landak. Ketiganya membuka hutan untuk perladangan dan mendirikan rentetn, sejenis rumah panjang di Kampung Babante’ sekarang ini. Rumah rentetn tidak panjang. Bekas rumah Ne’ Said ini masih dapat disaksikan hingga saat ini dalam bentuk kadiaman. Orang Dayak dan juga Madura di Retok, sangat menghormati kadiaman. Kadiaman, sebagai tempat yang keramat dan sakral ini masih dijaga dan dipelihara anak cucunya. Rombongan lain yang kemudian menyusul dan bergabung membentuk kampung lain adalah rombongan yang dipimpin oleh Ne’ Jaya Lenang, dari Binua Talaga Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak. Keturunan mereka inilah yang sekarang menjadi warga Retok, tersebar di beberapa kampung.
Sejarah Retok juga dapat dipelajari dari sejarah terbentuknya Kesultanan Pontianak. Hasanuddin, yang meneliti tahun 2000, menyebutkan, pada awal berdirinya Kesultanan Pontianak, Sultan menetapkan kebijakan bahwa orang-orang Dayak diberi kebebasan mendirikan daerah pemukiman di sebelah utara keraton yang letaknya di daerah sepanjang Sungai Ambawang. Mereka kemudian menetap dan membuka hutan untuk perladangan di sekitar Sungai Ambawang seperti Kuala Ambawang, Pancaroba, Puguk, Retok, Lingga dan sebagainya. Kolonial Belanda, yang kemudian menguasai Kerajaan-Kerajaan Sukadana, Tayan, Sanggau, Mempawah dan Sambas, memperkenalkan tanaman karet. Selain karet, orang Dayak pada masa itu telah menjual Damar, sejenis getah dari kayu damar. Salah satu “penarik” kelompok-kelompok orang Dayak yang datang ke daerah Retok adalah untuk mengusahakan komoditas-komoditas ini. Hasanudin juga menulis, karena berada pada batas antara kawasan yang dikuasai Kesultanan Pontianak dan Kesultanan Landak, orang-orang Dayak dilarang membuka lahan dan bermukim di wilayah Kesultanan Landak. Akibatnya, lahan-lahan yang terlanjur mereka buka ditinggalkan. Lahan-lahan yang ditinggalkan inilah yang kemudian dikelola oleh orang-orang Madura yang sebelumnya bekerja dikebun-kebun karet milik Orang Dayak.
Sejak bermukim dibekas perladangan orang Dayak yang sudah ditinggalkan, Orang Madura membuka parit-parit sebagai batas milik tanah. Mereka juga mulai bercocok tanam. Menurut penuturan Subaidi, warga Kampung Parit Tembawang, Orang Madura yang pertamakali membuka parit dan bermukim di Retok adalah Pak Satir. Sebelumnya, ia bekerja di kebun karet Ne’ Said, orang Dayak. Pak Satir, asli Orang Madura dari Pulau Madura yang merantau ke Kalimantan Barat. Ia menumpang kapal barang dari Surabaya menuju Pontianak. Setelah Pak Satir, beberapa orang warga Madura lainnya menyusul dan menetap di Retok. Mereka yang datang belakangan ini umumnya migrasi dari daerah Sungai Ambawang, Teluk Pakedai dan sebagainya.
Orang Madura, memegang teguh kekerabatan. Ada istilah teretan, untuk menggambarkan pola kekerabatan mereka, yakni keluarga dekat, mesti dilindungi. Konsep teretan inilah yang kemudian mempercepat pertambahan jumlah anggota komunitas Madura di wilayah Retok. Sejak kedatangannya ratusan tahun lalu, orang Dayak mampu mengembangkan 4 kampung yakni Babante, Acin, Sosor, dan Memperigang. Sedangkan orang Madura yang datang pertama kali tahun 1920-an telah mampu mengembangkan 8 kampung yakni Pinang Merah, Parit Pak Sutari, Parit Objek, Parit Tembawang, Parit Pak Sela, Karang Anyar, Parit H.Hasan, dan Parit Sampang.
Sore itu, saya baru tiba di Kampung Parit Tembawang dari kunjungan saya ke Kampung Retok Acin. Tiba di steiger, saya terkejut, karena disapa dengan bahasa ba ahe, oleh seorang anak lelaki, Zeki namanya. Ia baru kelas 4 sekolah dasar. Baahe adalah bahasa yang sehari-hari kami gunakan sesama Dayak Kanayatn. Banyak teman-teman Zeki dan juga orang tua dikampung Madura ini mengerti dan mampu berbahasa Dayak ba’ahe. Menurut Subaidi, banyak juga orang Dayak yang mengerti dan mampu berbahasa Apar Pesan, bahasa yang sehari-hari digunakan warga Madura. Apar Pesan adalah bahasa asli dari pulau Madura yang dianggap paling halus, misalnya seperti kata ia kalau bahasa Madura biasa adalah iyeh tapi kalau apar pesan (aslinya) “engki”. Bahasa ini sering dipakai oleh tokoh ulama atau kiyai untuk mengajarkan agama islam, karena bahasa ini dapat menambah keserasian antara sesama orang Madura.
Bosco, dalam catatan perjalanannya tahun 2005 menulis, sebagian orang Madura belajar Bahasa Ba’ahe sewaktu mereka masih di sekolah dasar. “sekolah dasar telah berperan penting dalam upaya menciptakan relasi yang harmonis dua suku ini dimasa depan”, tulis Bosco dalam bukunya tesisnya. Sekolah merupakan tempat bertemunya anak-anak multietnis seperti di Retok. Umumnya mereka terdiri dari anak-anak dari komunitas Dayak maupun Madura. Anak-anak dari kedua komunitas ini belajar bahasa masing-masing dalam pergaulan mereka. Hal ini juga menular kepada guru. Unus, seorang guru mengatakan bahwa para guru dari kedua komunitas di kampung ini umumnya bisa berbicara bahasa daerah kedua suku. Misalnya, guru Dayak bisa berbahasa Madura dan guru Madura bisa berbahasa Dayak. Sama dengan para murid dan guru, kaum pedagang Madura juga belajar bahasa Dayak dalam interaksi langsung mereka dengan pembeli atau orang-orang Dayak di toko. Dibidang politik, semisal dalam pemilihan Kepala Desa, warga Madura umumnya tidak tertarik untuk menjadi calon. Walaupun secara kuantitas mereka lebih banyak dari Orang Dayak, dalam setiap pemilihan Kades, biasanya secara aklamasi, mereka akan meminta dan memilih Orang Dayak yang jadi Kepala Desa. Ini terjadi sejak pemilihan kepala desa pada tahun 1972.
Yulianus dalam bukunya ”Fenomena Retok” menemukan orang Madura juga sangat menghargai dan menghormati adat orang Dayak. Sedangkan Bambang Hendarta dalam bukunya ”Konflik Antar Komunitas Etnis di Sambas 1999” mencatat, setidaknya sejak 1950-1999 sudah 11 kali terjadi konflik kekerasan antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Ribuan warga Madura harus terusir dari kampungnya. Sebagian orang telah mati dari keduabelah pihak yang terlibat langsung. Konflik yang kadang meluas ini menyebabkan pandangan negatif antar suku bangsa yang terlibat pertikaian, utamanya antara orang Dayak dan Orang Madura.
Menjadi sangat unik, menurut saya, dalam 11 kali pertikaian itu, warga Madura dan Dayak di Retok tidak pernah terlibat langsung. Dalam setiap kerusuhan ditempat lain tersebut, warga Retok melaksanakan kegiatan ronda malam bersama. Pada tahun 1997 dan 1999, misalnya, warga melakukan ronda malam secara silang. Warga Kampung Sosor (Dayak) melakukan penjagaan di Kampung Retok-Parit Tembawang (Madura) dan sebaliknya warga Retok-Parit Tembawang menjaga Kampung Retok Sosor. Penjagaan kampung secara silang ini biasanya dikuatkan dengan upaya penjagaan yang dilakukan secara religio-magis. Orang Dayak, memasang tapayatn pamabakng, sebuah ritual untuk memohon kepada sang pencipta agar terhindar dari gangguan dari luar yang berniat jahat terhadap orang di kampung yang bersangkutan. Menurut cerita Pak Darus, sebagaimana ditulis Yulianus, pada tahun 1983, pada saat peristiwa terbunuhnya Guru Jaelani (Dayak) di Sungai Enau oleh oknum Madura, warga Retok, baik orang Dayak maupun orang Madura mengadakan upacara pemasangan tapayatn pamabakng, dengan harapan kelompok manapun yang ingin memanfaatkan situasi akan mengurungkan niatnya karena melihat simbol perdamaian ini.
Upaya lain warga Retok untuk mengelola konflik adalah dengan menyusun dan menetapkan kalender adat, yang wajib dilaksanakan oleh setiap kampung, baik kampung Dayak maupun kampung Madura. kalender adat ini, terdiri dari (1) Ritual adat tolak bala nyimah tanah. Ritual ini biasanya diadakan untuk mencegah / menolak segala musibah / bencana yang tidak di inginkan. Ritual di adakan terutama bila ada warga Dayak maupun Madura yang tertimpa kecelakaan hingga meninggal secara mendadak. Unus, warga Dayak di Kampung Parit Tembawang, menceritakan kalender adat ini awalnya dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober tahun 2002, dan dalam suatu kesepakatan rapat warga kampung yang diadakan tidak lama setelah itu, warga Dayak maupun Madura bersepakat bahwa ritual ini akan diadakan secara rutin setiap tahun, tiap tanggal 13 Oktober. (2) Ritual adat Lala’ Nagari. Sebagai petani peladang, warga Dayak telah mengenal adat jenis ini sejak nenek moyangnya. Ritual yang diadakan secara rutin setiap tahun ini bertujuan untuk memohon keselamatan seluruh warga, dengan cara berpantang keluar dari kampung, melakukan kegiatan kerja dan kegiatan yang dapat berimplikasi pada keluarnya darah (mis.menyembelih binatang, dsb). Ritual ini juga diikuti dengan sukarela oleh komunitas Madura.
Jam baru menunjukan pukul 09.00 pagi. Bosco, Yulianus dan Paulus sudah berkemas. Saya masih duduk diteras, sambil menikmati segarnya udara pagi, dinegeri yang sudah lama tak saya kunjungi. Segelas kopi panas disuguhkan Subaidi, saya makin kerasan. Seandainya masyarakat Kalbar yang beragam suku bisa hidup seperti warga Retok, Kalbar pasti maju dan sejahtera. Perbedaan suku dan agama, nyata, telah berhasil dikelola warga Retok. Batin saya. Klakson perahu motor yang keras membuyarkan lamunan saya. Ketiga teman terkekeh, entah apa yang mereka tertawakan. Saya berkemas dengan tergesa-gesa.hanya butuh waktu sepuluh menit saya berkemas, maklum tas ransel saya kecil.
”terima kasih atas kunjungannya pak, maaf, kami melayani apa adanya” ujar Subaidi, sambil menenteng tas ransel saya.
”wah...saya yang seharusnya berterima kasih pak”
”eehhmm...”
”sampai bertemu kembali pak, mudah-mudahan tidak merepotkan” sahut saya. Perahu motor telah menunggu di steiger. Dengan sigap, seorang kernet menenteng tas dan membawanya kedalam. Hanya sekitar 11 orang penumpang yang ada, 9 orang diatas dek. Kali ini, saya dan kawan-kawan duduk didalam. Tidur...., maklum, 4 hari dikampung ini, tidak cukup tidur.

+++++++++++




0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons