Kisah Orang Kandang


Oleh Yohanes Supriyadi

“Bang, kami ari minggu mao makatn nasi’ barahu, ampus boh. Baba sakamenakatn, icakng ampahatn” begitu kira-kira pesan singkat yang masuk sore itu dihandphone saya. Sore itu masih hari Sabtu, ketika saya dan keluargg sedang santai dirumah. “aoklah, aku samenakatn ampus boh, siapatn maan manok panggang, he…he ”jawabku singkat. Yang aku tau, We’ Aldi, sepupuku itu ikut suaminya yang bekerja sebagai pekerja diperusahaan peternakan, pal VIII pontianak. Tentang kesehariannya, aku belum tahu banyak.

Hari minggu, selepas misa kudus, sekitar pukul 11.20 WIB, saya dan keluarga bersiap-siap. 2 sepeda motor telah siap untuk meluncur di Pal VIII, dimana We’ Aldi tinggal. Dijalan, Pal V, saya singgah disebuah warung untuk sekedar beli oleh-oleh untuk sang kemenakan yang lucu. Sayur kacang panjang, sawi dan lobak juga saya beli, maklum, kata We Aldi, rumah mereka jauh dari warung sayur. Sepanjang jalan, menuju Pal VIII, kiri-kanan, puluhan orang menjual buah durian, mungkin sekitar 40 orang, 10-an orang disebelah kiri dan sisanya disebelah kanan jalan. Ada juga yang menjual durian dibawah pohon yang rindang. Namun ada juga yang sengaja mendirikan pondok kecil, untuk menggantung durian. Saya menyempatkan diri untuk singgah disalah satu pondok, tak jauh dari stasiun radio Prominda Dirgantara. Menurut Nur Abid, 34 th, pedagang durian asal Kakap, ia menjual langsung durian ini sejak pagi sampai habis. “waktu pulang ndak jelas pak. Kadang-kadang baru jam 5 sore sudah habis, kadang juga jam 9 malam baru habis. Setelah habis, baru saya pulang” sahutnya ketika saya tanya kapan ia pulang kerumah. Saya membeli 4 buah durian, harganya sedikit murah dengan harga durian di kawasan Jalan Teuku Umar Pontianak, beda sekitar Rp.8.000/buah untuk ukuran yang besar. Buahnya juga masih terlihat segar. Tidak banyak lobang dan bersih.

Tak jauh dari penjual durian, ada gang kecil yang pagarnya tinggi dan besar. Itulah mulut gang menuju orang kandang, begitu saya sebut komplek perumahan We’ Aldi. Saya menyebut mereka orang kandang, sebab hidupnya memang dari kandang. Rumah-rumah mereka diapit oleh kandang-kandang ayam buras, yang dipelihara para suami. Hanya sekitar 150 meter dari jalan besar (jalan Sei Kakap), saya sudah mendapati komplek perumahan ”karyawan” peternakan ayam. Ada 17 bangunan dikomplek ini, 1 bangunan untuk karyawan yang masih bujangan, 1 bangunan untuk mesin air dan genzet, 1 bangunan untuk toko dan 6 bangunan untuk rumah karyawan yang sudah berkeluarga. Kandang ayam ada 8 buah, sangat mirip rumah panjang suku Dayak. Saya tertegun, heran dan sedikit marah dengan arsitektur kandang ini. Tinggi kandang sekitar 1,8 meter dengan lebar 10 meter dan panjang antara 40 meter – 100 meter. Menurut Pak Aldi, salah seorang karyawan, setiap karyawan dikomplek ini ”mengelola” 1 buah kandang, dengan ayam antara 4000 ekor-7000 ekor.

Setiap bulannya, Pak Aldi digaji Rp.400.000. Gaji ini untuk menutupi kebutuhan rumah sehari-hari. Untuk listrik, seluruh karyawan tidak bayar. Cukupkah gaji sebesar itu ? tanya saya. ”yah, cukup tak cukup bang. Untuk menutupinya, We’ Aldi membuka lahan sawah disekeliling kandang, jadi kami tak beli beras lagi” sahutnya dengan mata menerawang. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas, Aldi, anak tertuanya sudah sekolah, sekarang kelas 2 SD. Aldi tinggal dengan neneknya (mertua Pak Aldi) dikampung Bolat Kec. Mempawah Hulu Kab. Landak.”disini tidak ada gedung sekolah bang, ada gedung, cuman cukup jauh dari rumah, sekitar 1 jam perjalanan”, begitu alasan pak Aldi mengenai Aldi dititip dengan neneknya.

Dalam situasi normal, sehari, pak Aldi bekerja dari jam 6.00-jam 11.00 dan mulai lagi jam 13.00-17.00 WIB. Tetapi kalau ayamnya masih kecil, umur 2 minggu. ” karena perlu dirawat ekstra, selama 2 minggu pertama saya harus bermalam dikandang untuk menjaga anak ayam” ujar bapak asal Kampung Setaik Kec. Sebangki Kab. Landak ini. Asap rokoknya mengepul. Kegelisahan tampak diraut mukanya. Sambil menghidangkan kopi, We Aldi menimpali. ”itulah bang, syukur juga tanah disini cukup subur, jadi saya bisa menanam berbagai jenis sayur untuk dijual kepasar. Jadi, lumayan untuk nambah gaji Pak Aldi”. Saya merasakan nada suara ini, suara keprihatinan, ketegaran hidup dan keperkasaan seorang perempuan kampung, yang bertarung dikota.

Sambil menyantap basi barahu, plus ayam panggang, Pak Aldi bercerita bahwa sejak tahun 1999 ia sudah bekerja sebagai peternak ayam diperusahaan ini. “dulu, ketika bujangan, dengan gaji sebesar ini saya masih cukup bang, tapi sekarang sudah terasa juga hehehehe” sahutnya sambil tertawa. Berat nada tertawanya, menandakan rasa hidupnya yang pas-pasan. Apakah tidak naik ? apa ada tunjangan lain ? tanya saya. Menurut pria kurus hitam ini, setiap tahun gaji hanya naik sebesar Rp.50.000. ”tidak ada tunjangan lain bang, Cuma listrik untuk rumah ini saja yang gratis” ujarnya tertawa. Lagi lagi tertawanya datar. Saya semakin penasaran. Bagaimana mereka ini bisa survive ditengah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok belakangan ini. Selesai kerja, Pak Aldi menyiapkan pancing. Ia memancing ikan diparit-parit dan kolam-kolam yang banyak sekali disekitar kandang ditempat ia bekerja. ”ikan yang saya dapat selain untuk konsumsi juga seringkali oleh We’ Aldi dijual” sambungnya. Setiap kali memancing, ia dapat ikan antara 1-5 Kg, jenis ikannya adalah ikan lele, ikan gabus, ikan sepat siam, ikan betuk. 1 Kg ikan, ia dihargai Rp.9.000. kembali saya tertegun, bukankah ikan gabus kalau dipasar dahlia sei jawi pontianak Rp.18.000/Kg ? cukup besar untuk pedagang perantara ini, batin saya.


Sore itu, saya berkesempatan untuk berkeliling kandang. Hamparan padi yang telah selesai dipanen menunjukan bahwa keluarga dikomplek ini cukup kreatif untuk menyambung hidup. Diantara kandang, selalu saya temukan gundukan tanah, bekas menanam sayur. Cukup banyak sayur yang ditanam warga kandang, diantaranya kangkung, ubi kayu, timun, labu, pepaya, bawang cina, dan ketela. Tidak sengaja, saya bertemu seorang ibu muda yang menggendong anaknya sedang memanen bawang cina. ”kami menjual bawang cina seharga Rp.2500/Kg kepada agen ditepi jalan sana” ujar We’ Utoh, yang suaminya juga pekerja ternak sambil menunjuk jalan besar. Dalam hati saya, harga ini sangat murah, padahal di pasar dahlia, saya beli bawang ini Rp.6000/Kg. We’ Utoh sudah 6 tahun ikut suaminya dikomplek ini, ia berasal dari Kampung Emang Kec. Sompak Kab. Landak. Jadi selama 6 tahun ini, untuk membantu suami, ia menjual sayur yang ia tanam sendiri. ”karena tidak ada pengasuh, anak saya bawa kekebun pak” ujarnya. Ia menggendong anaknya yang masih 1 tahun, bersamanya juga anak tertuanya, Mio, 4 tahun. Mio sering main kekandang, ikut bapaknya. Tidak heran, kaki Mio tidak pernah sembuh dari penyakit ”koreng”. Kakinya berbau dan bernanah.

Tak jauh dari kandang, saya mendapati seseorang sedang ”mempreteli” bekas kabel listrik yang telah rusak/pecah. Ia duduk santai sambil menghisap rokok kretek. Saya melihat, dikandang-kandang itu memang sangat banyak kabel listrik, mungkin untuk berbagai keperluan pemeliharaan ayam. Untuk apa pak ? tanya saya kepada orang itu. Setengah tengadah, bapak yang sudah cukup berumur ini beringsut dari duduknya. ”yah, beginilah pak. Jadi orang susah. Daripada kabel ini percuma, lebih baik saya bongkar. Saya hanya ambil tembaganya didalam dan dijual seharga Rp.18.000/Kg pak” jawabnya singkat. Kembali saya tertegun, sungguh kreatif mereka.

Tidak lama disitu, saya kembali ke base camp (rumah) pak Aldi. Hari sudah mendekati petang, agak mendung. Azan maghrib memecah kesunyian dikomplek orang-orang kandang, saya berkemas. ”kami memang dituntut untuk kreatif bang, memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menambah hasil setiap bulan” sahut Pak Aldi, ketika saya tanya kenapa banyak orang dikomplek ini sangat kreatif. 1 karung berisi beras 10 Kg baras barahu (beras baru) hasil panen We Aldi tiba-tiba disisipkan disegitiga motor Vega R saya. Saya terperanjat. ”yak kamenakatn karumah bang” jawab Pak Aldi setengah berbisik. Reflek saya menolak, namun ada rasa tidak enak, takut menyinggung perasaan pekerja ulet ini. Saya masuk kembali kerumah, dan dengan cepat saya selipkan uang Rp.50.000 kepada tangan We Aldi. We Aldi terbelalak, marah. Tapi dengan senyum saya sampaikan bahwa, anggap saja 6 Kg saya beli dan 4 Kg sumbangan keluarga kecil ini untuk kemenakannya. Ia terenyuh, sedih. Saya tahu, tapi saya juga harus menghargai jerih payah mereka untuk bertahan hidup, yang lebih sulit lagi ketika 9 tahun lalu, ketika mereka hidup dikampung. Mereka memang kreatif, pekerja keras dan tahan goncangan hidup, inilah yang membedakan mereka dengan banyak warga yang hanya mampu mengeluh dalam kehidupannya. Terus terang, saya banyak belajar tentang hidup ini dengan orang-orang kandang, kumpulan pekerja ternak dari kampung, yang bertarung hidup dikota, keadaan yang sangat berbeda dengan kampung asal mereka.








0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons