KETIKA PENDIDIKAN HANYA MENGHASILKAN KERINGAT !!!


Oleh Yohanes Supriyadi

Judul tulisan kesaksian ini dipinjam dari judul artikel Sindhunata di Majalah Basis edisi Juli- Agustus 2000 lewat kolom Tanda-tanda Zaman, “ warisan” Dick Hartono ia menegaskan bahwa “ Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata “. Andrias Harefa, 2001 juga membuat kesaksian bahwa “ Kepahitan yang sekarang adalah buah dari akar-akar pendidikan palsu yang telah kita taburkan dimasa lalu “.
Untuk menghibur dan menguatkan hati, Aristoteles berkata bahwa “ Akar-akar ( pohon ) pendidikan itu pahit, tetapi buahnya manis “. dengan demikinan kita harus mencoba menerima kenyataan bahwa kepahitan yang sekarang ada merupakan suatu keharusan dalam arti tak terhindarkan.
Sebenarnya banyak hal yang diwakili oleh air mata. Terkadang air mata itu menetes karena rasa bahagia. Namun ada air mata yang meleleh karena penderitaan, yang sulit terucapkan melalui kata-kata. Inilah yang terjadi dcen gan generasi kita. Air mata yang telah jatuh karena kebanyakan warga negara telah mengorbankan segala sesuatu untuk menyekolahkan anak-anak mereka dengan harapan akan meningkatkan harkat dan martabat hidup mereka sebagai anak manusia, namun akhirnya justru menyaksikan anak-anak itu menjadi durhakan seperti Malin Kundang di Teluk Bayur, Sumatera Barat.
Bagi saya, air mata itu mewakili kesesakana jiwa yang penat menatap arah reformasi yang masih sangat kurang menyentuh bidang pendidikan ditanah air ( Harefa, 2001 ). Air mata itu juga mewakili keprihatinan yang mendalam melihat perilaku elite politik yang kekanak-kanakan dan tidak mencerminkan ada hasil bdari proses pendidikan yang mereka nikmati dimasa sebelumnya. Elite politik itu secara tidak langu8sng adalah produk dari sistem pendidikan yang secara refresif diubah menjadi sistem persekolahan ( Sindhunata, 2000 ).
Hasil-hasil sistem persekolahan itu tidak lain adalah manusia-manusia munafik yang kata dan p[erbuatannya saling berbantahan dengan dirinya ( Harefa, 2001 ). Ibarat rumah yang dibangun diatas pasir, demikiannlah orang-orang munafik membangun “integritas” diatas kebihongan dan ketidakjujuran yang “tulus”. Terjadi begitu banyak kekacauan dalam cara kita berbahasa, karena apapun yang kita katakan lebih banyak berusqha menutup-nutupi kebenaran untuk menyenangkan ( Koenjaraningrat, 1986 ).
Kita belajar terlalu lamban, terlalu sedikit dan terlalu terlambat. Semua itu terjadi karena kita menerima begitu saja ketika pendidikan dipersamakan dengan pengajaran dan dengan demikian belajar dipersamakan dengan sekolah ( Harefa, 2001 ). Kita juga menerima saja ketika pendidikan dianggap sepenuhnya menjadi urusan Dinas Pendidikan nasional ( baca : pemerintah ) dan kurang memahami bahwa pendidikan terlalu besar dan terlallu penting untuk diserahkan begitu saja kepada pemerintah apalagi kepada birokrat departemen terkait itu.
Kita menerima begitu saja ketika upaya pemerataan pendidikan dipersamakan dengan membangun SD-SD Inpres yang menjadi salah satu saluran KORUPSI tanpa henti. Kita juga menerima begitu saja segala alat dan perlenbgkapan sekolah diseragamkan dan proyeknya dibagi-bagikan kepada keluarga dan kroni ‘ Raja “. Kita menerima begitu saja ketika gaji pengajar persekolahan yang sudah tidak manusiawi itu disunat lagi untuk segala macam keperluan yang menbuat para pengajar itu tidak lagi makan nasi tetapi makan hati. Bukankah itu semua hanya sekedar menunjukan kebenaran bahwa manusia seperti beberapa ayat dalam kitab suci “ agama-agama langit” adalah pembuat kesalahan dan pendosa ?•




0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons