Kisah Penting Dari Kampung (7): NANGKA, Pergulatan Kaum-kaum Agama


Oleh
Yohanes Supriyadi

A. PENDAHULUAN
Tulisan ini berupaya mengetengahkan informasi tentang perkembangan dan dinamika yang dialami masyarakat adat dalam perkembangan agama dikomunitasnya, selain itu tulisan ini juga berupaya untuk mengguggah kesadaran kita, utamanya pada evangelis protestan dan katolik, untuk senantiasa tetap menghargai dan menghormati adat-istiadat dan pandangan dasar hidup masyarakat, apapun namanya dan bagaimanapun bentuknya. Saya sependapat dengan beberapa ahli, utamanya Dr. Anis Mata bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain.
Menurut saya, keadaan sekarang ini mungkin saja akibat dari ”sesat pikir” sebuah rumusan tentang agama yang berangkat dari pendekatan substantif, dan mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial sebagaimana yang dirumuskan oleh John Hick (dalam Adian Husaini 2005;2). Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan “reduksi” pengertian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan “agama” itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehensif, tak reduksionistik.

B. MEMAHAMI DASAR-DASAR KEAGAMAAN ASLI ORANG DAYAK
Dasar-dasar keagamaan asli, menurut saya dapat diamati dari mitologi yang ada disuatu masyarakat. Memang, mitos dalam prakteknya seringkali dianggap sebagai sesuatu yang lucu oleh masyarakat modern. Selain irasional, ada anggapan bahwa mitos yang ada dalam masyarakat dianggap salah satu penghambat kemajuan dan ciri masyarakat primitif, kurang beradab, sehingga program evangelis atau program apapun, diupayakan untuk menekan mitos ini sedemikian rupa. Mitos selalu dianggap kuno, ketinggalan zaman dan muncullah anekdot; “hah, itu hanya cerita masa lalu, yang tidak bisa dipercaya lagi dialam modern sekarang ini”. Akan tetapi, baiklah, sebagai bagian dari bahan diskusi untuk melihat ada apa dengan mitos dan kemudian mencocokkannnya dengan kehidupan modern saat ini, saya akan coba paparkan beberapa mitos yang terkait dengan asal-usul kehidupan dan kehidupan sehari-hari Orang Dayak dialam semesta ini. Kisah ini, mudah-mudahan menjadi referensi bagi siapapun yang akan melakukan “sesuatu” dikomunitas masyarakat adat.


Kisah Penciptaan Alam Semesta
Siapakah yang menciptakan alam semesta ini ? pertanyaan ini sesungguhnya dapat dijawab dengan mudah apabila kita memahami dan mendalami cerita lama (tradisi lisan) suatu masyarakat tertentu maupun dengan membaca Kitab-Kitab Suci dalam berbagai agama modern. Pada agama apapun, dalam Kristen misalnya, terdapat bagian khusus yang menceritakan sejarah penciptaan alam semesta ini sekaligus penciptanya yaitu dalam Kitab Kejadian, di Kitab Perjanjian Lama. Disebutkan, pencipta alam semesta ini adalah Allah. Orang Dayak, sungguhpun berbentuk mitologi juga mengenal sang tertinggi yang bernama Allah itu, namun menurut mereka Allah itu bernama Jubata Nek Panitah. Jubata Nek Panitah inilah yang menciptakan alam semesta termasuk manusia. Dalam kisah penciptaan alam semesta versi Orang Dayak yang tinggal di Kampung Nangka, kita dapat menelusurinya dari doa nyangahatn yang dilakukan pada saat melakukan upacara-upacara atau ritual tertentu. Dalam doa tersebut, disebutkan bahwa Jubata Nek Panitah, menciptakan sebuah pusaran air (pusat ai’ pauh janggi), ditengah-tengah alam semesta ini. Inilah yang disebut-sebut sebagai pohon kehidupan, yang daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah semuanya akan kembali. Melalui pergerakan kosmis, di pusat ai’ pauh janggi kemudian tercipta kulikng langit dua putar tanah (kubah langit dan kubah bumi), yang kemudian bernama Sino Nyandong dan Sino Nyoba. Kubah langit dan kubah bumi ini juga melakukan perkawinan yang kemudian memperanakan Si Nyati Anak Balo Bulatn Tapancar Anak Mataari (Nyati Putri Bulan dan Putra Matahari). Keduanya juga melakukan perkawinan, dan memperanakan Iro-iro man angin-angin (Kacau Balau dan Badai), memperanakan uang-uang man gantong tali (udara mengawang dan embun menggantung), memperanakan tukang nange man malaekat (Pandai Besi dan Bidadari), memperanakan sumarakng ai’ man sumarakng sunge (segala air dan segala sungai) memperanakan tunggur batukng man mara puhutn (bambu dan pepohonan) memperanakan antuyut man marujut (akar-akaran dan umbi-umbian) memperanakan popo’ man rusuk (kesejukan lumpur dan tulang iga). Kesejukan lumpur adalah perempuan dan tulang iga adalah laki-laki. Memperanakan anteber dan guleber. Anteber dan guleber inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang Orang Dayak, yang kini menamakan dirinya Dayak Kanayatn. Setelah menjadi manusia, selanjutnya, anteber dan guleber melahirkan anak-anaknya dan kemudian dalam waktu cukup lama melahirkan anak-cucu, sehingga dengan demikian, semakin banyaklah anak manusia dibumi.
Bila mendalami rangkaian proses penciptaan dalam mitos diatas, kita dapat melihat bahwa Jubata Nek Panitah sedari awal menciptakan sesuatu secara berpasangan, sehingga boleh melakukan perkawinan agar memperoleh keturunan. Setiap pasangan yang diciptakan, diharapkan mampu eksis dan sinergis dalam dalam mengelola perkembangan kehidupannya. Dari mitos kisah penciptaan ini, kita dapat pula menjawab kenapa manusia dan alam saling memerlukan dan bersekutu satu sama lain untuk memperoleh kekuatan bertahan hidup. Mitos ini sekaligus juga menjawab kenapa manusia Dayak mati-matian mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memelihara dan melindungi alam semesta agar tidak musnah. Musnahnya alam semesta, dipercaya mereka juga akan mendatangkan kepunahan manusia dibumi ini.
Salah satu jawaban yang menarik dari mitos diatas adalah bahwasanya alam dan manusia adalah saudara kandung. Alam beserta isinya adalah ciptaan tertua (sulung) sedangkan manusia adalah ciptaan terakhir (bungsu), sekaligus yang paling sempurna. Sebagai anak paling bungsu, manusia dilahirkan dan diciptakan secara sengaja oleh Jubata Nek Panitah untuk memelihara dan melindungi alam beserta isinya. Atas dasar ini, manusia wajib untuk membangun relasi yang harmonis dan seimbang dengan segala sesuatu yang ada dialam semesta ini. Jika alam sakit, maka manusia juga akan merasakan sakit dan juga sebaliknya. Inilah filosofi kehidupan yang masih dipegang teguh oleh mereka hingga saat ini. Berbeda dengan hubungan diatas (manusia dan alam), manusia sangat menghormati Sang Tertinggi, pencipta alam semesta. Praktek atau perilaku manusia yang memegang teguh kepercayaan atau mitos tentang penciptaan alam semesta inilah, yang dikemudian hari dianggap oleh masyarakat “modern” sebagai praktek tak beradab, primitif, tak beragama, penyembah berhala dan ratusan streoptif lainnya yang bernada memojokkan. Praktek-praktek atas kepercayaan pada mitos inilah yang kemudian juga dinamakan sebagai adat, karena dilakukan berulang-ulang, dari generasi kegenerasi.
Bila kita mendalami lagi mitos penciptaan alam semesta diatas, kita juga akan menemukan bahwa alam semesta ini dihuni oleh berratus-ratus makhluk, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Makhluk-makhluk itu masing-masing menghuni berbagai lapisan dialam semesta ini, dari yang paling tinggi (diatas langit) maupun yang paling rendah (didasar bumi), baik yang paling besar hingga yang paling kecil. Menurut kepercayaan mereka, makhluk yang menghuni lapisan paling tinggi (diatas langit) adalah para Jubata. Jubatalah yang merupakan makhluk yang paling sempurna, karena memiliki kekuatan dahyat yang umumnya tidak dimiliki oleh manusia. Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung, hutan, bukit mempunyai jubata. Jubata juga disebut dewa penunggu. Jubata yang terpenting adalah jubata dari Bukit Bawakng. Mantoari adalah raja dari bukit bawakng. Untuk berhubungan dengan Sang Tertinggi, manusia menyampaikannya terlebih dahulu pada Jubata ini. Jubatalah yang dipercaya sebagai perantara antara manusia dengan Sang Tertinggi, yakni Jubata Nek Panitah. Jubata adalah makhluk yang tidak tampak. Selain Jubata, terdapat pula makhluk lain yang tak tampak secara kasat mata oleh manusia, namun diyakini ada. Hanya lingkungan dan cara hidup mereka yang berbeda. Makhluk ini disebut roh halus yang memiliki kekuatan gaib. Hanya orang tertentu saja yang dapat melihat makhluk yang tidak tampak ini. Selain dunia yang dihuni oleh roh halus, terdapat juga dunia lain yang terutama dihuni oleh Jubata dan negeri Subayatn, yang dihuni oleh para arwah yang telah meninggal dunia. Jika manusia meninggal, maka ia akan tinggal di negeri Subayatn ini.
Kehidupan didunia subayatn ini tidak jauh berbeda dengan kehidupan manusia didunia fana ini. Karena adanya persamaan antara bentuk kehidupan didunia fana ini dengan kehidupan di subayatn, maka seorang yang meninggal dunia fana biasanya diberi bekal yang disebut Panca, yang berbentuk piring, mangkuk, panci tempat memasak, pakaian serta segala peralatan lain yang merupakan miliknya semasa hidup didunia fana. Walaupun terdapat persamaan antara dunia orang hidup dan dunia orang mati, namun ada juga perbedaannya. Untuk menyatakan perbedaannya, maka panca orang yang telah meninggal tidak boleh dibiarkan dalam keadaan utuh. Panci dan segala peralatan lainnya harus dirusakkan.

Roh orang yang telah mati walaupun berada didunia subayatn tetap mempunyai hubungan erat dengan kehidupan manusia didunia fana ini, demikian pula dengan makhluk yang menghuni alam semesta ini, misalnya negeri diatas langit. Mereka mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan manusia. Karena itu, manusia perlu menjaga agar hubungannya dengan makhluk dari dunia lain ini tetap berjalan secara harmonis. Untuk menjaga hubungan yang harmonis ini, manusia wajib mempersembahkan kurban-kurban melalui uapacar-upacara serat mentaati aturan-aturan yang berlaku secara turun-temurun. Sedangkan dari pihak makhluk lain, menusia berhak mendapat perlindungan dan pertolongan bilamana diperlukan. Ada juga roh-roh jahat yang disebut hantu yang semata-mata inginmerugikan manusia. Terhadap hantu-hantu yang jahat ini, manusia wajib memberikan sesajian agar ia tidak mengganggu dan merugikan kehidupan manusia. Jadi, jelaslah bahwa manusia harus selalu menjaga terpeliharanya tata tertib yang ada dalam alam semesta ini, untuk keseimbangan. Setiap gangguan terhadap tata tertib itu, haruslah segera dipulihkan. Selanjutnya, kekuatan-kekuatan gaib yang ada dalam alam semesta ini bisa dikuasai dan dimiliki oleh manusia. Adapun cara untuk memperoleh kekuatan-kekuatan gaib itu misalnya dengan berpuasa, bertapa, bermantera, menuntut “ilmu”, dsb.
Jika secara sepintas lalu orang melhat kehidupan warga diKampung Nangka, kerapkali timbul kesan seolah-olah mereka ini tidak mengenal suatu bentuk kepercayaan tertentu, apalagi kalau kita membandingkannya dengan hidup orang beragama (dunia/modern) tentunya akan kita temukan perbedaan-perbedaan yang menyolok sekali. Orang beragama Kristen misalnya, setiap hari minggu secara teratur berdoa secara bersama-sama kepada Tuhan yang mereka sembah. Nyata sekali, agama sangat mempengaruhi tingkah laku mereka. Sebaliknya yang saya temukan pada Orang Nangka, mereka memberi sesajian kepada Tuhan mereka hanya pada waktu-waktu tertentu saja, yakni pada saat mengadakan upacara/ritual. Bagi seseorang yang hanya mengamat-ngamati kehidupan mereka sehari-hari diluar waktu untuk mengadakan upacara/ritual, timbul kesan seakan-akan perasaan keagamaan Orang Nangka tidak begitu mendalam. Namun jika diteliti secara dalam, apalagi jika kita hidup ditengah-tengah mereka, kesimpulan yang kita peroleh adalah sebaliknya. Semua tingkah laku mereka selalu dibimbing oleh perasaan takut akan tenaga-tenaga gaib yang ada dialam semesta ini. Mereka masih percaya bahwa alam semesta ini penuh dengan makhluk-makhluk yang serba tidak kelihatan, makhluk gaib yang sakti serta roh-roh leluhur yang telah berada dialam Subayatn. Pendeknya kepercayaan yang mereka miliki tidaklah sesederhana yang dilihat sepintas lalu.
Dikalangan Orang Nangka, terdapat anggapan bahwa benda-benda tertentu juga mempunyai kekuatan gaib, atau mempunyai apa yang dalam antropologi lazim disebut “mana”. Hal ini dapat kita lihat, bagaimana mereka memiliki kebiasaan untuk menyimpan benda-benda kuno seperti tempayan, guci, piring-piring kuno, gong-gong, senjata-senjata pusaka seperti tangkitn, mandau dan tombak. Benda-benda ini disimpan bukan hanya dijadikan barang koleksi saja seperti orang-orang modern sekarang, tetapi benda-benda ini disimpan karena dianggap mempunyai mana atau kekuatan gaib. Benda-benda pusaka itu dipelihara seolah-olah mereka memiliki nyawa. Diberi sesajian dan bahkan kadang-kadang dalam suatu upacara benda-benda itu diajak berbicara. Apabila karena suatu sebab benda-benda ini retak, pecah atau hilang, maka dengan cepat sipemilik benda itu mengadakan sesajian. Tujuan sesajian ini untuk mencegah jangan sampai mana yang hilang akibat keretakan yang terjadi pada benda itu mendatangkan malapetaka pada dirinya atau keluarganya. Selanjutnya, kekuatan-kekuatan gaib juga terdapat pada pohon-pohon, pada batu-batu yang aneh bentuknya, pada binatang-binatang aneh, pada manusia yang berwibawa dan pintar dan pada tempat-tempat tertentu. Seseorang dianggap mempunyai kekuatan gaib bila ia dapat atau setidak-tidaknya dianggap dapat melakukan hal-hal yang menakjubkan, yang sangat mengherankan. Dari sisi ini, mana dapat mempunyai pengaruh dualisme sifatnya. Disatu pihak ia dapat mendatangkan kebaikan, terutama untuk menambah daya hidup seseorang, dialin pihak ia juga dapat menyebabkan malapetaka, kesusahan dan bahkan kematian. Mana yang terdapat dalam tempayan dapat mendatangkan kesusahan apabila pemiliknya dapat memperlakukannya dengan kurang baik, tetapi bila pemeliharaannya cukup baik, iapun dapat mendatangkan kebahagiaan kepada pemiliknya.
Seluruh mitos dan kepercayaan diatas, seringkali disampaikan secara turun temurun, dari generasi kegenerasi, sehingga seolah-olah telah menjadi asas atau pandangan hidup. Ada 2 asas kehidupan yang harus mereka yakini dan harus menjadi pusat perhatian selama hidup, agar selalu damai bersama kekuatan-kekuatan dialam semesta ini. Dua asas kehidupan itu adalah (1) Pama. Pama artinya berkat, yaitu satu kekuatan yang membawa keuntungan. Pama hanya dimiliki oleh orang besar dan juga pengayau yang berhasil. Mereka mempunyai pama karena dianggap mereka mempunyai hubungan keatas, dengan jubata. Kalau orang yang mempunyai pama meninggal, pama pindah kepantak yang pada akhirnya ditempatkan dipadagi. Kata pama sendiri berasal dari bahasa sanskrit = umpama, berarti gambaran. Pantak adalah gambaran seseorang yang mempunyai pama pada waktu dia hidup. (2) Jiwa. Orang Nangka mengenal ada 7 jiwa. Yaitu : (1) Nyawa. Hanya manusia dan binatang yang mempunyai nyawa. Nyawa hilang waktu meninggal. (2) Sumangat. Bukan hanya manusia mempunyai sumangat, tetapi juga binatang, tanaman dan benda-benda. Ini dapat dilihat dari doa-doa persembahan yang selalu diakhir dengan memanggil kembali sumangat manusia, padi, babi, ayam, beras, emas, perak dan semua milik rumah. Sumangat dengan mudah keluar dari tempatnya. Kalau terkejut, sesudah suatu perbuatan yang berbahaya yang didampingi oleh ketakutan, sesudah memandikan anak kecil (bahaya sumangat anak hilang bersama dengan air). Sesudah melahirkan juga diadakan upacara nyaru’ sumangat. Cara sederhana untuk memanggil sumangat kembali : kurrr….a’ sumangat. Mimpi disebabkan oleh sumangat, karena itu sumangat berjalan. Kalau kita sebut nama seseorang, sumangatnya pasti datang dengan kita dan kita akan bertemu dengan semangat orang itu dalam mimpi. Tempat sumangat ada dalam badan. Sumangat dikembalikan dalam badan oleh dukun lewat telinga kiri. Sesudah manusia meninggal, sumangatnya tidak menjadi pidara, tetapi pergi ke subayatn. Sumangat dari orang yang dibuatkan pantak pergi ketempat pantak itu dan bergabung dengan kamang. (3) Ayu. Tempat ayu ada dibelakang badan. Kalau ayu pergi, ayu dikembalikan dipermulaan punggung (ka’ pungka’ balikakng), dibawah leher. Ayu melindungi manusia dari belakang. Penyakit yang disebabkan oleh kehilangan/kepergian ayu jauh lebih parah daripada penyakit yang disebabkan oleh kepergian sumangat. Dikatakan “lapas ayu“ atau rongko’ (sakit ayu). Sesudah orang meninggal, ayu menjadi pidara dan tetap tinggal bersama dengan badan. Ada hubungan erat antara ayu dengan hantu. Ayu juga disebut hantu. (4) Sukat. Dalam doa nyangahatn selalu dikatakan “sukat nang panyakng satingi diri’“ artinya sukat yang panjang setinggi kami sendiri. Sukat menunjuk kepada satu bagian dari badan manusia, mulai dari atas kepala lewat otak ke sumsum belakang. Penyakit bisa disebabkan oleh kekurangan sukat. (5) Bohol. Bohol bersifat anatomis yakni garis perut dari tulang dada ke pusat atau lebih khusus tempat dibawah tulang dada yang berdenyut. Kurang bohol atau bohol yang tidak lurus adalah salah satu sebab penyakit. “kakurangan sukat nang manyak, kakurangan bohol nang jarakng“ demikian dukun menyebutkan sebab penyakit pasiennya. Penyakit karena kekurangan bohol terutama dialami oleh anak kecil. Dari wanita yang sulit beranak dikatakan “mereng bohol anak“ artinya bohol anak bayi miring. Dukun pandai mencari bohol yang hilang. (6) Leo Bangkule. Leo Bangkule berarti jantung, hati, paru-paru atau semua organ dalam perut manusia. Dalam doa, leo bangkule sering diundang kembali. Bersama dengan leo bangkule selalu dikatakan : tali nyawa atau tali danatn atau tali dane. Untuk manusia, tali nyawa berarti saluran pencernaan. Dan (7) Nenet Sanjadi. Nenet Sanjadi disebut juga saluran pernafasan (tali sengat), permulaan dari tali mulai dari karukok (kerongkongan). Ketujuh jiwa dan nyawa ini, dapat dengan mudah kita lihat dari prosesi ritual dalam keagamaan mereka. Nyawa dan jiwa inilah, yang sangat diagungkan dan dihormati, karena merupakan dasar kehidupan manusia. Karena itu, nyawa dan jiwa, harus selalu diberi makan. Ini terlihat dari prosesi upacara adat, sebagai berikut: (1) setelah sesajian siap, maka imam (panyangahatn) terlebih dahulu menyapa stakeholders (jubata, roh-roh halus, roh nenek moyang,dsb). (2) selanjutnya, baru disampaikan sejumlah permohonan manusia yang menyelenggarakan ritual sesuai maksud dan tujuannya dan (3)makan bersama. Dengan makan bersama ini, diharapkan seluruh roh yang dipanggil dan diminta bantuannya dapat bersama-sama manusia menikmati makanan yang dibuat manusia untuknya. Dengan kata lain, dengan makan bersama, berarti manusia mengajak berdamai Jubata, penghuni alam alam semesta dan roh nenek moyang, serta sesama manusia.


C. PRAKTEK KEAGAMAAN ASLI PADA ORANG DAYAK
Timbul pertanyaan, apakah adat sama dengan agama ? untuk menjawab ini, mari kita ulas sedikit tentang adat. Orang Dayak, sejak lama telah hidup ditengah-tengah alam dan tidak punya buku lain daripada alam. Nenek moyang mereka sering bertanya pada diri sendiri, mengapa ? kemana semua ? dan semua jawaban atas pertanyaan itu menjadi pegangan untuk berbuat, karena sadar bahwa hidup dialam dengan segala kekuatan yang misterius dan berbahaya. Mereka selalu merasa sebagai orang yang dalam bahaya dan coba dengan bakat yang dimiliki untuk melindungi diri terhadap kekuatan-kekuatan itu. Percobaan-percobaan yang dia buat itu kemudian menghasilkan sejumlah perbuatan yang sering orang luar disebut animisme atau tahyul, karena tidak dipahami. Jawaban-jawaban itu sering diberi beberapa abad yang lalu, berdasarkan pengalaman nenek moyang. Itulah dianggap jawaban terbaik dan segala jawaban itu dimasukan dalam adat. Sering mereka sendiri kurang tahu lagi, apa sebab itu dan ini semua dan kalau ditanya, mereka menjawab; INI ADAT.
Bila disandingkan dengan definisi agama menurut para ahlinya, maka adat sangat mirip dengan agama yang ada sekarang ini. Menurut definisi itu, agama adalah suatu sistem tata keimanan atau keyakinan atas adanya sesuatu yang mutlak dialam dan suatu sistem tata peribadatan manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu (Hendraswati,2004;14). Karena itu, bila ditinjau dari definisi diatas, maka agama bagi Orang Dayak adalah adat. Adat ya agama, agama ya adat, begitu kata mereka. Mereka sangat tertarik dan taat dengan adat. Adat telah dianggap sebagai sesuatu yang suci, warisan nenek moyang yang tidak bisa dan tidak boleh diganggu atau dilanggar. Senada dengan itu, keagamaan asli mereka tampak dari mitos-mitos dan perilaku yang mengikutinya, boleh dikata sebagai ciri apa yang disebut magis-religius (Bahari S,2005;6). Dikatakannya bahwa corak ini, bertujuan untuk memulihkan hubungan manusia dengan kekuatan gaib, leluhur dan Jubata, dengan praktek seperti yang terlihat dalam berbagai upacara-upacara. Karena itu, kepercayaan asli ini, tidak dapat disetarakan dengan animisme (Evigo Yeremia,2005).

Tentang Sosok Tuhan
Tuhan dalam keagamaan mereka dinyatakan sebagai Jubata. Dalam tataran sosiologis, Jubata ini sama dengan konsep Tuhan. Benar, bahwa Orang Dayak diKampung Nangka meyakini dengan baik bahwa Tuhan itu ada. Namun demikian, bagi mereka Tuhan ini tidak begitu banyak ikut campur di dalam dunia ini. Semua urusan kehidupan didunia ini diserahkan oleh Tuhan sepenuhnya kepada manusia. Sifat Tuhan ini hanya mereka kenal melalui nalar dan pengamatan terhadap alam. Namun, ada juga yang berkeyakinan bahwa alam adalah bagian dari Tuhan, tapi Tuhan tidaklah identik dengan alam. Dipahami oleh mereka sebagai "Tuhan ada di dalam alam (berarti pula dimana-mana) sebagaimana jiwa berada di dalam tubuh. Sungguhpun menurut mereka Tuhan itu banyak, namun menurut keyakinan mereka, Tuhan yang banyak itu adalah perwujudan dari substansi yang satu yang ada di belakangnya, dan bahwa substansi yang ada di belakangnya itulah Allah.
Selain itu, mereka juga ada yang berpendapat bahwa ada banyak Tuhan. Dalam mitologi mereka, ada dua kekuatan ilahi atau prinsip-prinsip kekal yang independen, yang satu adalah Kebaikan, dan yang lainnya adalah kuasa jahat. Namun demikian, keyakinan akan tuhan yang banyak itu tidak berarti bahwa mereka menyembah banyak tuhan. Dari mitologi mereka mengenal Sang Tertinggi ini dengan nama Jubata Nek Panitah . Meski dalam seluruh konsep religiusitas suku, nama ini tidak begitu populer dibanding kekuatan lain, namun ia dipercaya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Secara historis, banyak diantara mereka percaya akan keberadaan banyak Tuhan, tetapi mereka hanya menyembah satu saja, yang dianggap oleh si pemeluk itu sebagai Tuhan yang Maha Tinggi. Praktek ini dalam tataran antropologi disebut henoteisme. Hal ini dapat dilihat dari teologi-teologi yang mengajarkan bahwa rupa-rupa Tuhan yang banyak itu, yaitu Nek Panitah, Nek Pangira, Nek Patampa’, Nek Pangedokng, Nek Pengorok, Nek Pajaji, atau Nek Pangingu, namun mereka semata-mata mewakili aspek-aspek dari kekuatan Ilahi yang ada di belakangnya atau Sang Tertinggi, yang kadangkala tidak boleh disebut namanya pada saat tertentu.

Pemimpin Agama
Dengan kepercayaan atas mitos-mitos sebagaimana yang saya sebutkan diatas, umumnya perilaku kehidupan orang Dayak di Nangka dikontrol oleh adat dan hukum adat. Untuk kelangsungan penyelanggaraan ini, mereka memilih pemimpin-pemimpin, yang bertugas mengelola keseimbangan antara sesama, alam semesta dan Tuhan. Secara struktural, pemimpin tertinggi dipegang oleh Kepala Adat yang bergelar Timanggong, Singa, Macan, dll. Nama ini berbeda-beda ditiap tempat, namun memiliki tugas dan fungsi yang sama. Perlu diingat bahwa Timanggong mempunyai jabatan rangkap, sebagai kepala adat, kepala dari beberapa kepala kampung/Tuha Kampokng, kepala agama , kepala dukun, kepala hukum dan apa saja yang ada sangkut paut dengan rakyatnya. Timanggong menjadi penanggung jawab dalam segala urusan dalam seluruh kampung-kampung yang ada diwilayah ketimanggongannya (Yohanes S;2004). Sedangkan secara fungsional, praktek agama asli ini dijalankan oleh imam-imam yang dikenal dengan nama panyangahatn, panyanakng Kalangkakng, kapala burukng. Nama ini juga berbeda-beda, namun secara fungsional sama. Tidak semua warga dapat menjadi imam ini. Untuk menjadi imam, seseorang harus telah memenui persyaratan khusus, seperti sudah “bagawe baulakng” (upacara peringatan perkawinan, setelah ia berhasil/sukses dalam hidupnya), ada pula yang harus mengikuti aliran darah nenek moyangnya yang berprofesi yang sama (genealogis), serta mengetahui secara pasti sejarah asal-usul, dan “palasar palaya’” (wilayah kelola masyarakat dikampung yang bersangkutan).



Tempat Pelaksanaan
Yang unik, tempat ibadah agama asli ini dapat berbeda-beda, diluar dan didalam rumah, sesuai kebutuhan warga. Bila ingin berdoa agar hasil pertanian melimpah, misalnya, warga harus berdoa disuatu tempat yang dinamakan paburungan, ulu ai’, dsb. Demikian juga jika berdoa untuk keselamatan dan keamanan seluruh warga kampung, maka doa dapat disampaikan pada tempat yang bernama Saka Maraga, Pantulak, Padagi, Pantak, dsb. Tempat-tempat itu umumnya terbuat secara alami, sesuai petunjuk tertentu, pada orang tertentu. Namun adapula beberapa diantaranya, dibuat khusus oleh keluarga untuk menghormati nenek moyangnya, tempat ini biasanya berbentuk patung. Tempat-tempat ibadah ini, umumnya sangat dihormati oleh semua warga kampung, walaupun dalam perkembangannya ia telah menganut agama modern (agama dunia). Lokasi (area) tempat ibadah ini dengan radius tertentu disepakati untuk tidak diganggu oleh siapapun, selain untuk sakralitasnya, juga untuk menjaga keutuhannya.

Waktu Pelaksanaan
Ditilik dari segi waktu, sebenarnya ibadah agama asli ini tidak mengenal waktu khusus, dalam artian sesuai kebutuhan pemeluknya. Sungguhpun demikian, perkiraan waktu beribadah ditempat itu umumnya telah ditentukan, pada setiap awal tahun. Sebagaimana di Nangka, menjelang tutup tahun (sekitar akhir bulan Mei), semua warga bermusyawarah dirumah seorang pemimpin yang bergelar Tuha Tahutn. Pada musyawarah, disepakati agenda-agenda warga kampung selama 1 tahun berikutnya secara umum. Namun, dalam situasi tertentu, warga kampung dengan informasi dari pemimpin yang bergelar Pangarah, diundang untuk mengadakan musyawarah dengan topik khusus. Misalnya, menjelang pesta adat ”Matahatn” (makan nasi baru/ladang) atau pesta adat Naik dango (makan nasi baru/sawah). Berbeda dengan agenda-agenda besar ini, bila salah satu warga akan mengadakan pesta keluarga (nikah, sunat,dll), waktu biasanya ditentukan sendiri oleh tuan rumah (ampu’ gawe) dan hanya melibatkan pihak keluarga dari sebelah bapak dan sebelah ibu.

Tokoh-tokoh
Ada banyak tokoh yang sering disebut-sebut berpengaruh pada kehidupan manusia Dayak, diantaranya adalah Nek Panitah, Nek Pangira, Nek Pangedokng, Nek Patampa’, Nek Pajaji, dan Nek Pangingu. Nama-nama ini adalah sebutan untuk Sang Tertinggi. Berdasarkan fungsi dan kewenangannya, Nek Pangira bertugas memperkirakan sesuatu ciptaan sesuai dengan perintah Nek Panitah. setelah tugasnya selesai, maka pekerjaan itu diserahkan kepada Nek Pangedokng, yang bertugas meneliti hasil rancangan Nek Pangira. Setelah hasil rancangan itu baik, maka tugas selanjutnya diserahkan kepada Nek Pangadu, yang bertugas membuat percobaan untuk mencocokan ciptaan satu sama lain. Setelah dirasa cocok, maka pekerjaan diserahkan Nek Pangadu kepada Nek Pajaji, yang bertugas menyelesaikan pekerjaan itu. Setelah jadi, ciptaan itu diserahkan kepada Nek Pangorok, yang bertugas memperbaiki dan membersihkan hasil ciptaan. Untuk selanjutnya, setelah ciptaan itu selesai seluruhnya, maka pekerjaan akan diserahkan kepada Nek Pangingu, yang bertugas melindungi, memelihara dan menjaga hasil ciptaan saudara-saudaranya itu. Ketujuh orang ini selalu disebut-sebut dalam doa seorang imam pada saat memulai upacara/ritual. Selain tokoh-tokoh diatas, dikenal juga berbagai Jubata. Jubata adalah roh-roh yang baik. Jumlah mereka banyak. Tiap sungai, gunung, hutan, bukit, hewan, pohon dan lain-lain mempunyai jubata. Jubata juga disebut dewa penunggu. Jubata yang terpenting adalah jubata dari bukit bawakng. Mantoari adalah raja dari bukit bawakng.
Selain Jubata, alam ini juga dihuni oleh beberapa orang sakti, yang dulunya dipercaya berasal dari manusia, karena sesuatu sebab, mereka kini tidak dapat dilihat lagi secara kasat mata oleh manusia biasa. Mereka dikenal dengan nama Kamang. Kamang adalah roh-roh leluhur, yang semasa hidupnya sakti dan disegani oleh kawan maupun lawan. Kamang berpakaian cawat dan kain kepala warna merah dan putih diputar bersama (tangkulas). Ini juga pakaian dari pengayau. Kamang pandai melihat, mencium bau manusia dan makanannya darah. Ini terlihat dari upacara-upacara adat. Darah untuk kamang dan beras kuning untuk jubata. Ada banyak kamang, yaitu Kamang Tariu dan kamang 7 bersaudara. Kamang tariu adalah Bujakng Nyangko, Kamang Nyado dan Kamang Lejak. Sedangkan kamang 7 bersaudara adalah Bujakng Nyangko (yang tertua) tinggal dibukit samabue, Bujakng Pabaras, Saikng Sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh, Buluh Layu’ dan Kamang Bungsu (dari Santulangan). Bujakng Nyangko adalah kamang yang baik. Sedangkan yang lain terkadang baik dan terkadang jahat. Saikng sampit, Sasak Barinas, Gagar Buluh dan Buluh Layu’ adalah kamang yang sering tidak senang dan menyebabkan pada waktu itu penyakit dan kematian. Kamang Tariu dengan 7 bersaudara itu adalah pelindung dari para pengayau.
Bersama dengan Kamang, ada pula mahkluk lainnya. Mereka dikenal sebagai Antu. Jumlah antu (hantu) banyak sekali. Dalam arti tertentu, mereka kurang lebih jiwa orang mati. Antu tinggal dimana saja, utamanya dipohon-pohon, dilobang-lobang tanah, dan hutan-hutan lebat. Antu selalu menyebabkan penyakit pada manusia, binatang maupun tumbuhan. Antayapm adalah hantu perempuan yang tinggal dipucuk pohon beringin (kayu ara), mawikng adalah hantu sakti yang tinggal dihutan-hutan tertentu (poporatn). Mawikng adalah guru dari para pesilat. Antu cacar menyebabkan penyakit pada manusia. Antu apat menyebabkan penyakit padi dan antu serah menyebabkan banyak tikus makan padi diladang serta banyak lagi jenis antu lainnya. Antu selalu lapar, oleh karenanya, manusia berkewajiban untuk memberinya makan agar mereka tidak mengganggu hidup manusia. Makanan antu adalah angkamoh, yang berisi darah segar, nasi, sedikit garam, sedikit hati, sedikit telur ayam, dan lain-lain. Semua bahan makanan ini dibungkus dengan daun kayu tertentu (layakng) kalau manusia akan melangsungkan doa-doa dalam upacara/ritual adat, secara umum. Antu juga tinggal dan hidup sebagaimana manusia biasa, tempat tinggal utama mereka dikenal sebagai ”bunyi’an”, suatu tempat tertentu yang seringkali terdengar bunyi sebagaimana aktivitas manusia biasa, tetapi tidak terlihat. Tempat-tempat ini dikenal juga dengan nama ”poporatn”. Manusia tidak mau mengganggu tempat ini, karena yakin bila diganggu, penghuni tempat ini akan menyerang manusia. Dan pada lapisan terakhir, dihuni oleh manusia biasa.

Tentang Mitos Asal-usul Adat
Diatas telah saya sebutkan beberapa hal tentang ”sejarah” adat. Pada bagian ini, saya akan coba ceritakan tentang mitos asal-usul adat, atau apapun namanya, yang di telusuri dari cerita lisan yang disampaikan oleh tetua-tetua kampung. Menurut tradisi lisan, setelah keturunan Nek Galeber dan Nek Anteber dari Bukit Bawakng, terjadi perkembangan adat istiadat. Di Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Pontianak, Bengkayang, Sambas dan Landak, pusat perkembangan adat ini adalah Bukit Bawakng, yang diyakini sebagai asal usul adat dan hukum adat Dayak “Kanayatn”. Ini terlihat dari kesamaan nama tokoh dan upacara-upacara adat, yang berbeda hanyalah karena bahasa dan menurut tata cara dan peralatan. Kenapa berbeda tata cara dan peralatannya ?. Dalam sebuah cerita lisan disebutkan Nek Panitah, setelah menciptakan alam semesta beserta isinya, memikirkan bagaimana agar seisi alam itu dikelola oleh manusia. Pada suatu hari, Nek Panitah hadir dalam mimpi seorang anak manusia bernama Nek Ramaga bersama istrinya Nek Dara Irakng. Dalam mimpinya, Nek Panitah mewahyukan kepada Nek Ramaga untuk menerima suatu aturan hidup yang dinamakannya “adat lima“ .
Nek Ramaga adalah salah seorang pemimpin komunitas yang hidup disebuah kampung bernama Pakana Bahana, tepi sungai karimawatn (sekarang salah satu kampong dalam wilayah Desa Pahokng Kecamatan Mempawah Hulu Kab. Landak). Ia hidup sebagai peramu hutan dan diangkat sebagai pemimpin oleh warga kampung itu. Dalam mimpinya itu, Nek Ramaga diperintahkan untuk mengundang 3 orang saudaranya yang juga menjadi pemimpin dinegerinya untuk menjelaskan wahyu Nek Panitah. Menerima wahyu itu, keesokan harinya Nek Ramaga mengirimkan pesan melalui salah seorang warganya kepada ketiga pemimpin dimaksud. Tersebutlah Nek Matas, pemimpin warga disepanjang aliran Sungai Karimawatn (Sungai Mempawah). Nek Taguh alias Pak Usutn, yang menjadi pemimpin warga yang hidup disepanjang aliran Sungai Sambas dan Nek Ria Sinir, seorang pemberani dan pemimpin warga yang hidup disepanjang aliran Sungai Landak. Memenuhi undangan Nek Ramaga, ketiga orang ini bergegas menuju Kampung Pakana Bahana. Berminggu-minggu ketiga orang ini menyusuri sungai dan lembah untuk mencapai Kampung Pakana Bahana dan beberapa lama kemudian ketiganya sampai dengan selamat.
Menyambut tamunya, Nek Ramaga telah mempersiapkan buis bantatn. Dalam pertemuan itu, Nek ramaga kemudian menceritakan bahwa beberapa waktu lalu ia berjumpa dengan Nek Panitah melalui sebuah mimpi. ”Nek Panitah memberikan sesuatu wahyu yang harus diikuti seluruh anak manusia dibumi” ujar Nek Ramaga mengawali pertemuan itu. Setelah mendengar penjelasan Nek Ramaga, Taguh alias Pak Usutn, Nek Matas dan Nek Ria Sinir kemudian menyanggupi akan melaksanakan wahyu yang diberikan Nek Panitah itu. Adat lima namanya, kata Nek Ramaga. Kelima adat itu adalah : (1) Penekng unyit mata baras (irisan buah kunyi dan beberapa butir beras). Asal penekng unyit mata baras ini dari Nek Unte’ Kalimantatn, Nek Bancina Tanyukng Bunga, Sali Dari Sabakal, Onton Dari Babao Dan Sarukng Dari Sampuro. Fungsi adat ini adalah sebagai pelindung, menjaga kesabaran dan untuk keselamatan manusia. (2) Baras Banyu Banyang (bulir beras yang diberi minyak). Yang diberikan oleh Nek Pangingu dan Nek Pangorok/Pangedokng. Fungsi adat ini adalah untuk meminta rejeki dan berkat. (3) Baras Ijo (bulir beras berwarna hijau). Asalnya dari Bujakng Nyangko dari Samabue, Kamang Muda dari Santulangan, dan Ngantapm Raja Jajawe. Fungsi adat ini adalah melindungi manusia dari serangan maut yang datangnya dari luar. (4) Baras Sasah (bulir beras yang diberi air sungai). Asalnya dari Gura’ Giro Sisi Langit, Beta’ Beto Raja Tanah, Raja Naga Pusat Ai’. Fungsi adat ini adalah untuk membersihkan hal-hal yang jahat dan kotor. (5) Langir Binyak (kulit buah langir yang diberi minyak). Asalnya dari Bunga Putih Oncok Bawakng Dan Nek Lopo Penguasa Kerajaan Bawakng, Sudu’ Nu’ Namput Ngalamputn Sengat, Pato’ Nu’ Alang Ngalalu’ Balah, Dayakng Nu’ Dandeng Bagao’ Jiba Sumangat, Bayu Rinsamang Harta Muda Dunia. Fungsi adat ini adalah untuk membersihkan noda dosa, mengobati manusia yang sakit dan mengursir penyakit dari tubuh manusia.
Sebelum pulang, ketiga orang ini kemudian mengadakan adat “totokng kanayatn “ untuk menerima lima adat yang diceritakan oleh Nek Ramaga. Untuk pelaksanaan adat ini, harus dengan 3 ekor ayam (buis bantatn) karena ketiga orang ini berasal dari tempat yang berlainan, maka diadakan musyawarah yang dipimpin oleh Nek Ramaga. Ini dilakukan agar dikemudian hari tidak terdapat perselisihan atas pelaksanaannya. Hasilnya adalah adat totokng kanayatn berupa buis bantatn yang diterima Nek Matas, rangkakng manoknya 2 telungkup dan 1 telentang yang terletak ditengah-tengah. Untuk Taguh Pak Usutn, buisnya berupa ayam telungkup semuanya dan untuk Ria Sinir ayamnya telentang semua. Nek Matas kemudian pulang kempungnya yang bernama Titi Antu, tepi sungai karimawatn. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Dale Nibukng dan tiga orang anaknya yaitu Nek Icap tinggal di Toho, Nek Rawa tinggal diSepang (siakng maradatn) dan Nek Raga. Nek Raga kemudian menikah dan memperanakan Nek Gawe, Singa Binua Ohak pertama dan Nek Ludatn Singa Binua Kaca’. Ria Sinir kemudian pulang kekampungnya bernama Jarikng, Kec. Menyuke sekarang. Ia hidup bersama istrinya Dara Itapm.

Tentang ”Aturan-Aturan Hidup” Yang Tak Tertulis
Mitos-mitos sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, kemudian berpengaruh pada perilaku manusia (Orang Dayak) dikampung ini. Ada sejumlah ”peraturan” tak tertulis, yang harus mereka patuhi dalam kehidupan sehari-hari, agar relasi dengan alam, sesama manusia dan Sang Tertinggi tetap harmonis dan seimbang. ”peraturan-peraturan” tak tertulis inilah, yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam kehidupan mereka, dimana sudah tidak homogen lagi, termasuk dialam masyarakat multikultur. Karena ”peraturan” tak tertulis inilah, beberapa diantaranya menyebabkan suasana tidak harmonis antara masyarakat penganutnya dengan masyarakat baru (multietnik, multiagama), karena masing-masing pihak tidak coba saling memahami. Untuk sekedar contoh, saya hanya menyebutkan 9 buah diantaranya, antara lain:

a. Rasi
Orang Dayak diKampung Nangka percaya pada pertanda alam yang disebut rasi. Dalam sebuah mitos, diceritakan bahwa perkawinan Nek Panitah dengan Nek Duniang melahirkan seorang anak yang bernama Baruakng. Mereka hidup dinegeri atas langit. Setelah dewasa, karena Baruakng melanggar perintah bapaknya untuk tidak memberikan nasi (padi) kepada manusia didunia (bumi), maka ia diusir dari negeri diatas langit (kapucuk). Sebelum berangkat ibunya berpesan kepada Baruakng, ”kade’ kamaraga nang locor, kao nabo’ subayatn, kade’ kakeba’ kao nabo’ talino”. Baruakng lupa pesan ibunya ini, dan ia terus jalan hingga sampai di negeri Subayatn. Dinegeri Subayatn, ia bertemu dan kemudian menikah dengan Sentor Batu Buntar Muha. Dari perkawinannya ini, istrinya melahirkan Dumun Buta, Bintianak, Mawikng Gila, Garagahasi, Pujut Simampare. Anak-anak Baruakng ini memiliki temperamen yang keras dan lekas marah kepada manusia. Oleh karena itu, Baruakng berpesan kepada manusia jikalau anak-anaknya marah, maka segeralah diadakan ritual Niruk, atau sekarang biasa dikenal dengan upacara Babuis. Bahan-bahan babuis ini adalah Labu’, Dako’, Buat 6 tahil tangah, dan mangkok.
Tidak puas dengan hasil perkawinannya ini, Baruakng, atas restu orang tuanya kemudian menikah lagi dengan gadis bernama Siputih, atau yang dikenal dengan gelar Bunga Putih Tukang Batik Panarah Subayatn. Hasil perkawinannya dengan Siputih ini, lahirlah 16 orang anak, yaitu Keto, Buria’, Jantek, Rooh, Bura’, Pongo’, Kijakng Ngaok, Asu’ Ngaringkuakng, Binaul Ngolek, Dunutn. Kesepuluh anaknya ini kini dikenal dengan nama Rasi Siang. Sedangkan Kunikng, Ilik-ilik, Rere’, Saringkadakng, Garikng dan Garot dikenal dengan nama Rasi Malam. Setelah sekian lama, Baruakng masih tidak puas menikah dengan orang subayatn. Ia turun kebumi dan kemudian menikah lagi dengan seorang anak manusia yang bernama Jamani. Perkawinan Baruakng dengan Jamani kemudian menghasilkan seorang anak manusia bernama Kulikng Langit. Kulikng Langit adalah manusia biasa, setelah besar ia suka bermain dan memanjat pohon buah. Suatu hari, ia memanjat pohon sarikatn (langsat), karena tertarik untuk makan buahnya. Melihat itu, Baruakng berpesan kepada Jamani; ”laian kao, Jamania. Aku mao’ pulaknga’ ka pucuk. Asa kao turutna’ ka tanah, ame dilanggar kata aka’nyu boh. Asa kao turutna’ ka tanah ato naika’, ahe kata keto, janetk, ame dilanggar. Ana kao namu naas”. Setelah berpesan dengan Jamani, Baruakng juga berpesan kepada istrinya, ”aku matakia’ kao, Jamania, ma’alomlah anak laki ina rabah dibai’atn, ina’ rabah dipasatn. Kade’ ia mao’ naika’ ato turutna’ tanah, asa bakata aka’nya ame nyalanggar, asa nya langgar namu susah. Sagala kohor, janetk, buria’, biang, rooh adalah aka’nya”. Kulikng Langit kemudian memanjat pohon itu, tiba-tiba keto lewat dihadapannya. Ingat pesan bapaknya, iapun pulang. Tidak puas, ia kembali lagi dan memanjat, tetapi tiba-tiba buria’ berkicau disebelah kirinya, namun karena nekad, ia melanggar pertanda dari buria’ ini. Ia terus saja memanjat, dan tiba-tiba ia terjatuh ketanah dan langsung mati karena tepat jatuh diatas batu. ”ha, kata keto, buria’. Ia telah kita ingatkan, karena itu mari kita antar ke pucuk untuk menyambung nyawanya”. Mayat Kulikng Langit kemudian digotong bersama-sama oleh kakak-kakaknya ke pucuk, dimana Baruakng tinggal. Setelah sampai di pucuk, Kulikng Langit dihidupkan lagi oleh Nek Panitah, kakeknya. Setelah hidup kembali, Kulikng Langit dilarang kembali kebumi dimana Talino (manusia) tinggal. Untuk mengingatkan manusia, Nek Panitah memerintahkan Baruakng untuk kembali ke bumi, dimana manusia hidup dan mengajari mereka “palangkahan” segala kata burung, yang adalah anak-anak Baruakng sendiri, kakak manusia. Inilah secara ringkas, sejarah asal-usul rasi. Keenam belas anak-anak Baruakng, yang dikenal dengan nama Rasi inilah yang kemudian disampaikan Baruakng kepada manusia sebagai pertanda dari alam yang dipercaya dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam hidup sehari-hari. Misalnya mereka percaya pada burung tertentu, percaya pada ular yang melintasi jalan atau pohon tumbang melintang dijalanan. Melanggar rasi berarti akan mendatangkan bencana atau malapetaka bagi seseorang yang sebelumnya melihat rasi. Rasi dipercayai sebagai kakak kandung nenek moyang manusia Dayak, yang kemudian berwujud sebagai binatang tertentu. Karena itu, rasi dipercayai sebagai penolong, karena ia bertugas memberi tanda kepada adik-adiknya yang manusia.

b. Lala’
Orang Nangka juga mengenal Lala’. Lala’ ialah suatu larangan untuk tidak mengkonsumsi sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Lala’ biasanya berlaku terhadap pribadi atau perorangan, dan lamanya biasanya telah ditentukan. Lala’ bersifat dapat diterima akal, misalnya pantang minum gula karena mengidap kencing manis. Sangsinya apabila pantangnya dilanggar: Penyakitnya akan kambuh. Selain lala’ ini, ada pula lala’ jenis lain, yaitu lala’ tuha, yakni lala’ yang diadakan untuk kepentingan seluruh warga kampung. Misalnya apabila akan memulai musim tanam diladang, setelah upacara baburukng akan diadakan lala’ sehari, yang dimulai jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Seluruh warga kampung dilarang keluar rumah, untuk suatu keperluan.
Apabila dalam keadaan darurat, misalnya ada warga yang meninggal, maka lala’ dinyatakan batal dan akan diulang dilain waktu yang ditentukan bersama. Selain lala’ tuha, ada juga lala’ panyakit, untuk menghindarkan warga kampung dari serangan penyakit tertentu yang sedang mewabah.



b. Janji/Niat
Satuhal yang sangat dipegang dalam kehidupan mereka adalah janji. Suatu janji harus ditepati. Janji dianggap sebagai hutang yang harus dibayar. Janji, walaupun bertahun-tahun lewat, janji tetap diingat dan diusahakan untuk menepatinya. Janji harus dipenuhi tidak hanya dalam pergaulan antara sesama manusia, tetapi juga janji manusia kepada Jubata. Misalnya sesorang membuka ladang baru, ia berjanji kepada Jubata jika ia berhasil mendapat padi banyak, maka ia akan mempersembahkan kepada Jubata babi dan ayam dalam jumlah tertentu yang dianggapnya layak. Demikian juga misalnya jika seseorang yang jatuh sakit, yang dianggap membahayakan nyawanya, maka kadang-kadang keluarganya berjanji kepada Jubata bahwa kalau anggota keluarganya sembuh kembali, mereka akan mengadakan persat dengan kurban babi dan atau ayam dalam jumlah tertentu. Jika apa yang mereka minta itu dikabulkan oleh Jubata, maka mereka merasa bahwa mereka harus memenuhi janji yang pernah diucapkan, pada waktu dan tempat tertentu. Melanggar atau tidak memenuhi janji yang tela dikabulkan oleh Jubata, dipercayai bisa mendatangkan bencana atau malapetaka atas keluarga atau kampung yang telah mengucapkan janji tersebut.
Demikian juga, bilamana tidak menepati janji yang pernah diucapkan kepada sesama duanggap sebagai penghinaan pada orang yang bersangkutan. Akibatnya kadang-kadang bukan hanya bahwa ia harus membayar hukum adat, ia juga dijauhi dalam pergaulan dimasyarakat dan kurang dipercayai lagi. Oleh sebab itu, bisa dikatakan unsur keadilan yaitu memberikan kepada sesama atau kepada Jubata apa yang menjadi haknya (dalam hal ini janji) dianggap sebagai suatu kewajiban dalam kehidupan sehari-hari.

c. Tungkal
Tungkal ialah suatu larangan untuk tidak melakukan atau mengkonsumsi sesuatu. Biasanya berlaku bagi satu kelompok atau keturunan hingga turun temurun. Tungkal lebih bersifat irasional atau kurang dapat diterima akal,dan biasanya tungkal itu berawal dari ikatan historis misalnya ada orang yang tungkal makan ular tertentu, karena nenek moyangnya dahulu dilahirkan bersama (kembar) dengan ular dsb. Sangsinya pun kadangkala tidak dapat diterima akal sehat seperti umurnya pendek, tidak mendapat keselamatan, kutukan, bencana dsb. Namun, tungkal masih kuat dipercayai oleh orang-orang tertentu dikampung ini.

d. Amali’
Amali’ ialah suatu larangan untuk tidak melakukan atau mengkonsumsi sesuatu yang disertai dengan sangsi pysikologis. Amali’ biasanya berlaku bagi pribadi seseorang, kapan saja dan dimana saja tampa dibatasi oleh tempat dan waktu. Amali’ lebih bersifat kurang dapat diterima akal. Amali’ menurut kepercayaan mereka, apabila dilanggar dapat mengakibatkan (babadi) : tulah, sangar, kisas atau karma, jukat, dan badi atau kabadiatn.
a. Tulah
Tulah ialah salah satu wujud sangsi pysikologis sebagai akibat atau badi dari suatu perbuatan yang melanggar kaamaliatn contoh: Orang yang kawin dengan mak muda atau pamannya akan mendapatkan tulah. Bentuk tulah itu bermacam-macam misalnya : anak-anaknya mengalami cacat jasmani, idiot, anaknya banyak yang mati, sakit-sakitan, kurang dapat mendapat rejeki, sering ditimpa mala petaka dsb. Tulah pada dasarnya lebih berorientasi kepad hal-hal perkawinan dan seksuallitas serta perlakuan sopan santun terhadap orang tua demikian tabunya orang untuk menyebut sesuatu yang dianggap tidak sopan, sehingga untuk menyebut nama alat kelamin laki-laki atau perempuan yang sudah berumur, mereka sebut sebagai “antu tulah”, tampa menyebutkan nama yang sebenarnya. Sangsi tulah hanya berlaku terhadap orang pribadi yang melakukan atau pelakunya sedang resiko dan akibatnya bisa terkena anak cucunya, seperti yang telah diurayaikan diatas.


b. Sangar :
Sebagaimana dengan tulah maka sangarpun adalah merupakan wujud sangsi psykologis sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melanggar pantangan. Sangarpun terfokus atau lebih berorientasi pada hal-hal perkawinan dan perbuatan-perbuatan lainya yaitu berupa kejahatan yang sangat mencolok dimasyarakat (pengurus adat yang dengan sengaja menjatuhkan hukuman yang berlebih-lebihan untuk memperkaya diri). Beberapa contoh perbuatan yang dapat mendatangkan sangar yaitu antara lain; kawin dengan keluarga yang masih dekat sekali (adik atau kakak kandung, paman, sepupu sekali, mertua dsb). Dan orang yang menghianati nyawa orang lain, penipu, perampok, dan perbuatan jahat lainnya.

c. Kicas atau Kisas :
Sebagiman tulah dan sangar, kicas juga merupakan sangsi psykologis sepertinya merupakan hukum yang setimpal didunia sebelum hukum akhirat. Banyak orng menyebutnya sebagai hukum karma. Sangsi kicas berlaku terhadap diri pribadi pelaku, tetapi resiko sangsinya berlaku terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap keluarganya dan anak cucunya.

h. Jukat :
Jukat adalah merupakan wujud resiko sangsi pelanggar pantangan yang langsung berhubungan dengan roh-roh halus. Karena perbuatannya yang dianggap salah ataupun menyakitkan bagi roh-roh halus itu, sehingga ia ditegur (keteguran) ataupun karena berat kesalahannya ia bisa dicencang, dipukul sbb. sehingga yang bersangkutan bisa langsung mati (jukat kamang lanya’).

Kesembilan elemen penting inilah yang kemudian dijadikan pegangan dasar dalam menjalani kehidupan sehari-hari orang Nangka. Untuk menjaga pandangan hidup inilah dalam kehidupan sehari-hari, mereka kemudian bersikap ramah terhadap siapa saja. Ingin bergaul dengan siapa saja. Sifat saling mempercayai sangat besar dalam kehidupan mereka. Orang yang suka menipu akan menjadi bahan pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari demikian juga orang yang suka menolong dan baik hati. Mereka senang berbicara secara berterus terang.
Dalam hal pengambilan keputusan tentang masalah-masalah yang menyangkut seluruh warga kampong, biasanya dilakukan secara musyawarah. Musyawarah dipimpin oleh Tuha Tahutn. Tuha Tahutn menjelaskan masalah yang mereka hadapi, kemudian para warga kampong memikirkan masalah tersbeut secara bersama-sama, merundingkan untuk kemudian mengambil keputusan yang bias diterima oleh semua orang. Musyawarah kampung biasanya diadakan 2 kali dalam setahun, yakni pada saat menentukan jadwal perladangan baru dan tutup tahutn (setelah panen padi diladang dan disawah, untuk memulai musim tanam berikutnya), tetapi kadang-kadang juga sesuai keperluan dan kepentingan tertentu.

D. KEAGAMAAN ASLI DITENGAH MASYARAKAT MULTIKULTUR
Mereka Yang Tegak Berdiri Dan Yang Kalah
Mitos-mitos diatas berpengaruh kuat dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat, yang kemudian secara terlembaga ikut masuk dalam kehidupan sosio-magis-politik. Kehidupan sosio-magis-politik inilah yang kemudian dikenal sekarang ini sebagai agama asli. Dalam perkembangannya, agama asli ini menemui kerikil-kerikil yang kadangkala mengganggu.
Kerikil pertama dimulai sejak tahun 1930-an, dimana agama Katolik mulai masuk dan dianut oleh warga. Mereka yang masuk katolik pertamakalinya adalah siswa-siswa yang sekolah di kampung Raba, khususnya pada sebuah sekolah dasar (sekolah rakyat) satu-satunya diwilayah Mempawah yang didirikan misionaris katolik tahun 1932. Tahun 1934, mereka mulai dibaptis sebagai katolik. Perkembangan selanjutnya, mereka ini kemudian menjadi pemimpin formal dikampung, dengan menjabat sebagai Kabayan (kepala kampung) dimasa kolonial. Karena pengaruh ini, hampir seluruh penduduk kemudian memeluk agama katolik.
Kerikil kedua dimulai pasca dipindahkannya pusat katolik (paroki) dari Kampung Raba ke kampung Tiang Tanjung (wilayah Mempawah Hulu) pada tahun 1970-an, yakni dengan masuknya evangelis protestan dikampung ini. Mereka awalnya sedikit jumlahnya, tetapi secara perlahan mampu ”mengajak” penduduk untuk menjadi umatnya. Puncaknya tahun 1980-an, dengan dukungan dana yang cukup besar, mereka membantu penyediaan sarana air bersih, beasiswa pelajar, dukungan sarana sekolah bagi anak-anak. Dengan berbagai kemudahan ini, terbukti mereka mampu memperlebar pengaruhnya dimasyarakat. Namun, kondisi ini tidak bertahan lama. Tahun 1980-an, dikampung ini mulai didirikan sekolah oleh sebuah yayasan yang berpusat di Pontianak. Pengurus yayasan kebetulan didominasi oleh katolik, umat katolik mulai mendapat ”darah” baru. Dengan dukungan ini, cukup banyak umat yang mampu mempertahankan ”iman”nya untuk tidak berpindah agama. Namun, kondisi ini juga tidak bertahan lama. Tahun 1990-an, kaum terdidik asal kampung ini mulai melakukan serangkaian langkah-langkah strategis untuk mengembalikan kepercayaan diri penduduk. Terlihat, dipertengahan tahun 1990-an, masyarakat mulai percaya diri lagi untuk menjaga eksistensi agama aslinya.
Untuk mengimbangi gerakan ini, akhir tahun 1990-an, para pendeta protestan mulai melancarkan ”serangan” baru, dengan menyekolahkan anak-anak asal kampung Nangka keluar daerah, utamanya di jakarta. Hasil dari gerakan ini baru terlihat diawal tahun 2002. beberapa alumni sekolah pendeta ini mulai mengkonsolidasikan diri bersama pengikutnya. Dengan dukungan dana yang cukup besar, tahun 2003, mereka berhasil mendirikan sebuah rumah ibadat permanen untuk mengakomodir perkembangan umat yang dari tahun-ketahun semakin bertambah besar. Berbeda dengan aktivis katolik (pengurus lembaga katolik tingkat kampung), aktivis adat (pengurus adat) mulai melakukan konsolidasi yang lebih sistematis dan terorganisir untuk mengimbangi kekuatan baru dari evangelis protestan. Beberapa kasus menunjukan bagaimana kedua kekuatan ini berkonfrontasi langsung yang melibatkan cukup banyak orang dan mampu menarik simpati pemuka katolik dilingkungan yang lebih luas. Konfrontasi terbuka tampaknya telah menjadi dasar pembenaran baru bahwa hanya dua kekuatan ini yang ’akan” mampu eksis dalam menjalankan misinya masing-masing. Situasi ini disatu pihak merugikan umat katolik, namun disisi lain, menguntungkan mereka, sebab orang-orang adat yang berkonfrontasi langsung juga adalah penganut katolik. Tampaknya mereka khawatir, bahwa katolik dan protestan terlibat perpecahan serius ditingkat komunitas dan bahkan secara lebih luas lagi. Terlihat bagaimana ketika mereka terus-menerus menggunakan simbol adat untuk berkonfrontasi langsung dengan evangelis protestan.
Sadar akan situasi ini, umat katolik mulai disimpang jalan. Disatu pihak mereka taat dengan otoritas gereja yang lebih tinggi (paroki) namun dipihak lain, mereka harus menjaga eksistensi agama asli mereka dari rongrongan evangelis protestan. Ini terjadi sejak awal tahun 2001, dimana beberapa aktivis kaum muda katolik mulai berkeluarga, melanjutkan studi kekota dan beberapa diantaranya menjalankan profesi baru sebagai pegawai pemerintah didaerah lain. Dampak dari situasi ini adalah umat katolik mulai jenuh untuk beribadat digereja yang tersedia, jenuh untuk merawat tempat ibadat . Rupanya evangelis protestan melihat situasi ini sebagai peluang untuk melebarkan sayap, kini beberapa penduduk mulai lagi berpindah agama. Sama dengan komunitas protestan, komunitas muslim juga tampaknya mulai ”melihat” situasi ini sebagai langkah awal untuk memulai gerakan. Harap dicatat bahwa kini, dikampung ini 13 penduduk dewasa telah menganut muslim, sebuah angka fantastis diera 2000-an.
Bersamaan dengan situasi yang dialami kaum muda katolik, kaum muda adat juga mengalami hal yang serupa. Mereka kehilangan identitas religio mereka, bersamaan dengan hilangnya sebagian besar tempat-tempat bersejarah (situs). Hal ini sebagai akibat penebangan kayu pada akhir tahun 1990-an, yang didanai cukong-cukong kayu dari kota. Para cukong telah berhasil memanfaatkan penduduk setempat untuk membabat habis kayu-kayu dihutan sekitar kampung. Setelah habis kayu dihutan-hutan alam, kayu dihutan buatanpun juga mulai dibabat. Hutan buatan ini dikenal dengan Timawakng, suatu hutan kayu bekas pemukiman nenek moyang. Tidak hanya timawakng, kebun buah juga mulai dirambah penduduk. Kebun buah ini dikenal dengan nama kompokng. Tampaknya, penduduk yang mulai bernafsu untuk kaya ini, juga telah merambah kayu-kayu dilokasi (area) tempat ibadat agama asli, yang dikenal sebagai tempat karamat. Pada akhir tahun 2002, timawakng dan kompokng, serta hutan karamat telah lenyap sama sekali dikampung ini. Namun, beberapa penduduk setempat telah mulai menanam kembali kayu-kayu hutan diareal bekas penebangan kayu beberapa tahun lalu.
Selain penebangan kayu dihutan-hutan sekitar kampung, benda-benda pusaka serta patung-patung nenek moyang juga mulai hilang sejak akhir tahun 1990. Pantulak Nek Danggol, dijalan Nyawan diketahui hilang, demikian pula Pantak didaerah Gonyel, yang hilang sejarah walaupun pantaknya sendiri masih berdiri tegak ditengah-tengah hutan itu. Berbeda dengan patung-patung nenek moyang yang hilang karena dicuri, benda-benda pusaka hilang karena dihancurkan umat evangelis protestan. Kasus-kasus perusakan benda pusaka ini semakin meningkat pada awal tahun 2000-an, seiring dengan bertambahnya tenaga evangelis baru, alumni sekolah evangelis di Jakarta, Pontianak, Menado dan beberapa kota besar di Indonesia. Umumnya mereka berasal dari kampung ini. Pertambahan penduduk yang cepat juga berpengaruh pada tatanan sosial dan wilayah kelola dikampung ini. Pada akhir tahun 1996/1997, wilayah kelola (dimiliki keluarga, satu rumah) sudah mulai terbatas. Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif, tahun 1996/1997, setiap jiwa dikampung ini hanya memiliki rata-rata 0,4 ha lahan/tanah. Puncak dari terbatasnya lahan kelola milik keluarga ini terlihat diakhir tahun 1999-an hingga awal tahun 2000-an, dimana meningkatnya konflik keluarga karena persoalan tanah dan lahan kelola. Hal ini kemudian berpengaruh pada relasi yang tidak sehat antar keluarga dikampung ini. Saat ini, masih cukup banyak keluarga yang tidak berkomunikasi dan membangun pertemanan sebagai akibat perseturuan soal tanah dan lahan kelola.
Komunitas adat (umat agama asli) berada dipersimpangan, disatu sisi ia bersikap dinamis dan toleran dengan melakukan serangkaian penyesuaian diri dari perubahan, tetapi disisi lain, ia bersikap “reaktif” atas situasi yang terjadi untuk menjaga eksistensinya. Bersamaan dengan umat katolik, kini, kaum muda katolik juga benar-benar kehilangan arah dan pegangan hidup. Mereka terdampar dalam perkembangan masyarakat yang semakin terbuka. Kumpul-kumpul dijalan pada malam hari sambil nyocok-nyocok, pergaulan bebas, telah menjadi kebiasaan, yang kadangkala menyebabkan ketegangan antar umat. Umat katolik benar-benar tenggelam dalam hiruk-pikuk terjangan evangelis protestan, dan tentu saja aktivis agama asli. Seorang pemimpin agama mengatakan bahwa sejarah katolik telah menorehkan catatan keberhasilan dan juga keburukan dalam komunitas sosial di Nangka. Selain mampu mencetak kader gereja secara imamat (1 orang Bruder dan 3 orang Suster), Katolik juga mencatatkan luka bagi seorang bapak, kebetulan seorang yang berprofesi sebagai dukun. Menurut ceritanya, Nek Camat sejak usia 12 tahun telah belajar katekumen (belajar ilmu agama katolik sebelum dibaptis), namun dalam suatu kesempatan pembaptisan, ia ditolak untuk dibaptis dengan alasan yang tidak jelas. Padahal ia yakin bahwa ia telah mulai pandai berdoa. Sikap ini kemudian menimbulkan kekecewaan yang dalam, hingga akhir hayatnya, dibulan agustus 2003, ia masih tidak ingin dibaptis dan didoakan secara katolik, bahkan kuburannyapun tidak menggunakan salib sebagaimana halnya penganut kristen umumnya. kegelisahan lainnya, adalah serangan evangelis kristen. Serangan ini begitu menyakitkan sebagaian besar umat agama asli dan katolik. Seiring dengan kemampuan mereka meracuni umat lainnya untuk terlibat dan menjadi anggotanya.
Fenomena diatas seakan berhasil membuktikan tesis bahwa agama asli sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi dan terancam setiap kali didampingi agama-agama baru yang mendunia. Namun menarik bahwa agama dunia yang kini dianut mayoritas warga negara tetap tidak berhasil mengubah keyakinan asli dikampung ini. Hebatnya pula, pola pikir asli itu sedikit demi sedikit merembes ke dalam ajaran agama baru itu.
Sebenarnya, menurut catatan sejarawan, pergumulan terberat untuk para penganut agama asli ini terjadi pada masa kolonial, Belanda. Pada masa itu para penganut agama asli sama sekali tidak dihargai (“a residual factor”) dan dianggap sebagai orang-orang kafir. Para penguasa kolonial itu hanya berhubungan dengan para pemimpin di Nusantara ini. Padahal seperti yang kita sudah lihat di atas mereka adalah para penganut agama dunia. Sedangkan mayoritas rakyat yang menganut agama asli diabaikan. Pemerintah kolonial pun melakukan penyederhanaan administrasi dengan hanya mengakui agama dunia. Memasuki masa kemerdekaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah Indonesia meneruskan kebijakan pemerintah kolonial yaitu secara formal hanya mengakui keberadaan agama dunia. Hal itu ternyata dalam kebijakan politik pemerintah sepanjang sejarah Indonesia. Para penganut agama asli dinilai sebagai orang-orang yang belum beragama dan perlu diberagamakan. Kebanyakan dari agama asli pun mengubah wujud menjadi berbagai aliran kebatinan. Inilah tahap regenerasi agama asli.
Namun sekalipun beregenerasi tantangan terhadap agama asli belum berhenti. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia antara tahun 1964-1971 pernah melarang, membekukan atau membubarkan sejumlah besar organisasi-organisasi aliran kebatinan. Pada tahun 1972 Jaksa Agung melaporkan bahwa pada 15 November 1971 sebanyak 167 aliran kebatinan telah dilarang. Namun pada April 1972 terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan sebanyak 664 aliran kebatinan pada tingkat pusat maupun cabang yang wilayah sebarannya meliputi Jawa, Sumatra dan Indonesia Timur (Subagya 1981:251). Para pemimpin aliran kebatinan ini melakukan penafsiran khas pasal 29 UUD 1945 untuk memperoleh dasar legalitas dari kehadirannya. Namun upaya memasukkan aliran kebatinan ini sebagai agama ke dalam GBHN selalu mendapat tantangan keras dari kaum agamawan. Sepanjang masa pemerintahan Presiden Suharto, aliran kebatinan atau saat itu lebih dikenal sebagai kelompok kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa ditempatkan di bawah “asuhan” Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kalimat lain aliran ini dianggap sebagai manifestasi kebudayaan bukan sebagai agama. Kini di masa reformasi kelompok ini memang telah berada di bawah payung Departemen Agama namun bukan diakui sebagai salah satu agama yang dianut penduduk Indonesia melainkan penganutnya dogolongkan sebagai kelompok yang harus “diberagamakan”.
Di lain pihak tidak bisa disangkali para penganut agama asli ini mendapat gempuran hebat dari pola hidup modern yang sekuler. Nilai-nilai tradisonalnya tergeser oleh paham modern-sekuler yang datang menggebu bersamaan perubahan jaman yang berlangsung terus-menerus seakan tidak akan berhenti. Pengaruh ini terutama melanda angkatan mudanya. Namun di saat kritis atau saat mereka memasuki tahapan hidup tertentu ketergantungan kepada agama asli masih tampak. Sekelumit pergumulan agama asli di atas menampilkan fenomena yang menarik. Betapa tidak, sepanjang perjumpaannya dengan agama dunia dalam sejarah Nusantara ini agama asli terdesak hebat namun tidak berhasil disingkirkan atau diganti sepenuhnya oleh agama dunia dari hati para pemrakteknya. Dasar legalitas memang tidak dimiliki oleh agama asli, namun kehadiran elemen-elemen agama asli masih tetap nyata bahkan terkadang masih sangat kuat, sekalipun tersembunyi di balik “jubah” agama dunia. Kini, bagi segenap penduduk Indonesiatidak ada keluangan untuk mencantumkan dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya: Agama asli. Sebab kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk Indonesia adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia. Maka secara statistik yang tercatat resmi adalah jumlah penganut agama dunia itu. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari masih jelas ternyata bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih memelihara kepercayaan dan melaksanakan ritual atau elemen-elemen ritual yang sebenarnya milik agama asli.

Praktek Keagamaan Asli dalam Agama Modern
Tidaklah sulit untuk menemukan praktek dan keyakinan agama asli ini di antara para penganut agama modern dikampung ini. Lihat saja siapa yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat. Siapa pula yang meminta pertolongan para dukun. Resminya para dukun itu pun mengaku penganut salah satu agama modern. Lihat pula begitu maraknya akhir-akhir ini penawaran jimat-jimat. Belum lagi bila kita mengamati ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup, ataupun ritual lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan kesulitan hidup. Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama modern dan para pemrakteknya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama. Ketercampuran praktek keagamaan yang masih dipelihara oleh kebanyakan penduduk Indonesia ini bisa digolongkan sebagai sinkretisme. Kadar kekentalan pengaruh agama asli dalam kehidupan beragama mayoritas penduduk memang sangat beragam. Hebatnya pula pemeliharaan elemen-elemen agama asli itu dijumpai pada para penganut agama modern mana pun. Hal ini bukan berarti tidak ada kalangan yang berupaya memurnikan hidup keagamaan dunianya, dan meninggalkan elemen-elemen agama asli itu. Uraian di bawah ini akan memaparkan pengaruh atau praktek agama asli di lingkungan Kristen saja. Pertimbangannya selain ruang yang membatasi, juga agama modern inilah yang memiliki penganut terbanyak di Kampung Nangka.
Fenomena seperti itu oleh para pelakunya tidak dinilai sebagai hal yang janggal, tidak pula terlalu dirisaukan bahwa praktek keagamaan seperti itu adalah praktek sinkretisme. Mungkin inilah daya akomodatif atau daya tahan dari agama asli, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Bila dilihat dari sudut pandang agama asli yang begitu toleran untuk mengadaptasi dan mengadopsi nilai-nilai agama dunia dan menjadikannya sebagai pemerkayanya. Tidak pelak lagi agama asli telah membuktikan bahwa mereka memiliki daya akomodasi yang hebat. Namun bila dilihat dari sudut pandang agama dunia, yang mengadopsi atau mengadaptasi atau dalam kasus tertentu tidak berdaya membuang pengaruh agama asli dari para penganutnya, maka hal itu membuktikan betapa hebatnya daya tahan agama asli tersebut. Namun dengan datangnya agama dunia serta tidak diakuinya keberadaan sistem kepercayaan asli ini secara legal ditambah lagi dengan pengaruh kehidupan modern-sekuler sistem kepercayaan ini mengalami pergumulan besar. Sekilas kita simak pergumulan agama asli ini dalam konteks Indonesia.
Sebagai agama asli dan bersifat non-misioner agama asli mendapat tantangan berat saat juru-juru siar atau para evangelis agama dunia datang. Terlebih saat para penguasa beralih agama menjadi penganut agama dunia atau para penguasa adalah orang-orang asing dengan agama yang dibawanya yang tentu saja asing dari sudut pandang orang setempat. Tidak jarang terjadilah proses akulturasi religi yang memakan waktu panjang. Dari sudut pandang agama asli inilah proses pergumulan yang terpaksa harus dijalani. Sebab tanpa kesediaan untuk melakukan proses akulturasi atau meresap agama asli ini akan habis “dilibas” agama baru yang datang dengan dukungan doktrin dan sistem yang lebih mantap serta terkadang didukung para penguasa dengan segala perangkatnya.
Pengakuan atau kesadaran atau instink merasakan dua hal itu secara seimbang, kemudian secara teoritik disebut teisme. Kerap juga perasaan seperti ini terasa samar-samar, mereka menjadi beranggapan Zat Gaib itu sebagai sesuatu yang tersembunyi, tak terjangkau, asing bahkan menjadi tak berani mengucapkan nama-Nya (deisme). Pada lingkup tertentu manusia bisa juga berkehendak untuk mendekat dengan cara mengibaratkan Zat Gaib itu sebagai badan alamiah seperti matahari, bulan atau bumi (mitologi alam). Bisa juga terjadi pengkhayalan bahwa Zat Gaib itu sebagai penghuni pohon (animisme, manisme). Manakala Zat Gaib itu dianggap bersemayam dalam benda alam seperti gunung, batu, dan api, kita kenal penteoriannya sebagai dinamisme.
Dapatlah dilihat oleh kita bahwa orang-per orang bahkan di kalangan Katolik, dikampung Nangka kepercayaan dan praktek agama asli masih cukup kental. Kekristenan telah bercampur dengan tradisi lama secara tidak kritis, akibatnya sinkretisme pun lahir. Fenomena seperti ini disebut sebagai christopaganism. Karena secara nominal 80 % dari total penduduknya menganut Katolik. Kita bisa menerjemahkannya terminology di atas menjadi: Katolik Rakyat. Di kampung ini, yang resminya menganut Katolik Roma mereka masih memelihara ritual warisan agama asli antara lain tari-tari persembahan dan upacara-upacara yang mengiringi prosesi pertanian. Elemen-elemen dalam ritual dan upacara itu sama sekali tidak bernuansa Katolik, melainkan teramat kuat terkait dengan kepercayaan agama asli yang mereka anut sebelum mereka menjadi Katolik.
Perdukunan di Kampung Nangka masih tergolong hal yang biasa. Dalam konteks orang Dayak para dukun itu kebanyakannya adalah orang Katolik, walau mereka jarang beribadah di gereja. Mayoritas dari para “client”-nya adalah orang Kristen pula. Dalam prakteknya para dukun itu tidak sedikit yang memakai Alkitab dan tanda salib. Alkitab dan tanda salib itu dijadikan media atau sejenis jimat demi keampuhan si dukun. Tentu saja dengan memakai Alkitab dan tanda salib mereka tidak merasa telah meninggalkan kekristenan. Tidak jarang Alkitab dibawa-bawa walau bukan untuk dibaca dan dipelajari melainkan diyakini sebagai penjaga diri dari gangguang roh-roh jahat. Ada pula yang meletakkan Alkitab di balik bantal saat tidur untuk menjauhkannya dari mimpi yang menakutkan. Nyata sekali Alkitab dalam hal ini telah bergeser menjadi sejenis jimat. Nyata sekali bahwa sikap keagamaan seperti ini adalah sikap keagamaan agama asli yang tetap dipelihara sekalipun pemrakteknya telah mengaku Kristen.
Tentu kita masih ingat film Drakula yang ditayangkan dalam banyak versi. Dalam ceritera aslinya yang datang dari daerah Balkan di Eropa itu sang Drakula itu takut kepada tanda salib. Apakah ceritera itu memuliakan kekristenan? Sama sekali tidak, bahkan menjadikan tanda salib menjadi sejenis jimat untuk mengusir Drakula. Sikap seperti itu sangat mirip dengan kepercayaan agama asli misalnya tindakan untuk memagari ibu-ibu yang sedang hamil atau para bayi dengan benda-benda kecil tajam seperti jarum, gunting kecil, pisau silet, atau pisau lipat kecil dari ganguan kuntilanak. Kunjungan ke makam leluhur untuk meminta berkat dan perlindungan yang merupakan ritual agama asli masih dipelihara oleh banyak orang Kristen. Adalah hal yang lumrah bila seorang Kristen dari Kalimantan yang berniat merantau terlebih dahulu dianjurkan untuk pergi ke makam leluhurnya untuk meminta berkat dan disarankan pula untuk mengambil segenggam tanah dari makam itu yang akan dibawanya ke perantauan. Tentu saja tanah itu berfungsi sebagai sejenis jimat. Lebih umum pula para perantau itu membekali dirinya dengan sejenis tepung dalam botol mini yang diperolehnya dari dukun sebagai penjaga diri. Jelas fungsinya sebagai jimat dalam keyakinan agama asli.
Demikian juga bagi orang-orang Dayak dikampung ini banyak yang mengenakan jimat dalam versi mereka berupa kain hitam atau merah yang dililitkan pada kedua lengan bagian atas yang tertutup baju atau dililitkan pada pinggangnya sebagai penjaga badan, bahkan diyakini jimat itu akan memberi kekebalan pada pemakainya. Hal di atas terjadi karena saat segolongan orang menjadi Kristen tetapi elemen-elemen dari kepercayaan agama aslinya tidak dibuang bisa pula diambil kembali karena pertimbangan tertentu maka lahirlah christopagan itu. Bisa pula sekalipun sudah menjadi Kristen namun pola pikirnya belum berubah. Pola pikir agama aslinya masih berpengaruh kuat. Banyak orang Kristen yang secara resmi melakukan tindakan tertentu dalam nama Kristen namun sebenarnya tindakan itu jiwanya adalah jiwa agama asli. Misalnya kepercayaan tentang adanya tempat tertentu yang mengalirkan air yang diyakini berkasiat, maka berbondong-bondonglah orang ke sana untuk mendapatkan berkat dari air itu. Praktek seperti ini adalah praktek kepercayaan yang diwariskan dari agama asli tentang air keramat.
Dalam agama asli banyak praktek keagamaan yang menggunakan sarana air, yang sangat umum misalnya, air bunga setaman yang dipakai sebagai sarana untuk penyembuhan orang yang sakit, ataupun untuk mandi pelaku ritual tertentu, misalnya pada ritual babore. Ada pula praktek pengusiran roh-roh jahat dengan mengunyah rempah-rempah tertentu lantas menyemprotkannya ke sekitar tempat yang akan dibebaskan dari pengaruh roh-roh jahat itu. Demikian juga dengan praktek penumbalan rumah atau bangunan demi kesejahteraan penghuninya. Dalam pola pikir agama asli itu banyak orang Kristen yang masih memelihara praktek agama asli tersebut. Misalnya saat membangun rumah bahkan kampus Kristen ada yang memulainya dengan penumbalan yaitu menanam kepala kerbau. Tentu saja dalam keyakinan agama asli penumbalan itu berfungsi untuk mengaktifkan kuasa baik dan meredam kuasa jahat. Ada pula ritual dengan dan atas nama kekristenan untuk membebaskan tempat, kendaran atau apa saja dari kuasa jahat dengan memakai minyak yang sudah diurapi. Perjamuan kudus juga dipercayai bila dipimpin orang tertentu bisa mendatangkan kuasa atau mukjizat. Praktek dan keyakinan seperti inipun merupakan harapan dalam jiwa agama asli. Ayat-ayat Alkitab pun ditafsirkan untuk mendukung konsep dan harapan di atas. Ritual atau praktek kepercayaan seperti itu menunjukkan kepada kita tentang pengaruh agama asli yang merembes ke dalam kekristenan. Kebergantungan kepada seseorang yang dinilai memiliki kuasa yang dalam agama asli disebut memiliki kesaktian dan bukan bergantung kepada Allah, telah menggelincirkan kekristenan ke alam agama asli.
Hal ini dapat dilihat dari prosesi tarian upacara dan berbicara dengan bahasa lidah serta perhubungan dengan roh yang lazim ketika dalam keadaan khayal, adalah praktik oleh para baliatn. Pamaliatn, atau imam boleh diisi sama ada dengan lelaki atau wanita, tetapi lelaki adalah keutamaan. Lagi mantera dan invokasi yang dilakukan di perayaan keagamaan disebut, gawe. Perayaan ini memakan waktu lama dan pada masa inilah pamaliatn akan menjadi sangat menyerupai seorang imam. Upacara ini seolah-olah berbentuk mantera dan mencadangkan pengaruh orang India ke atas orang Dayak, membuat pergerakan mereka semasa pembentukan negeri-negeri India di Malaya dan sebelum Islam. Banyak daripada perayaan keagamaan berpusat kepada pengolahan nasi dan melibatkan pemburuan kepala sebagai ciri-ciri tambahan kepada cara pemujaan.
Di lain pihak para pewarta agama modern itu melarang dengan keras para “petobat” barunya untuk berhubungan dengan segala hal yang terkait dengan tradisi lama termasuk di dalamnya unsur-unsur budaya lama. Tujuannya adalah sebaliknya dengan para pewarta di atas. Namun sayangnya pelarangan praktek yang bernuansa unsur-unsur lama itu tanpa pengertian yang memuaskan. Maka mereka secara diam-diam tetap memelihara kepercayaan lama itu. Di permukaannya mereka telah berkepercayaan agama dunia namun dalam lubuk hatinya mereka masih menyimpan kepercayaan asli. Misalnya di kalangan Kristen, pemberkatan nikah untuk pasangan pengantin telah dilakukan secara gerejani namun pihak keluarga merasa belum memadai bila tidak dilengkapi dengan unsur-unsur tradisi lama yang di antaranya sangat kental nuansa agama aslinya. Pihak gereja tidak dilibatkan lagi dalam bagian terakhir ini. Inilah yang menurut saya sebagai bentuk sinkretisme terselubung.
Bisa pula pola pikir lama atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah worldview belum tergantikan oleh pola pikir dengan nilai-nilai agama dunia atau menerima unsur asing (agama dunia) namun dalam pemahaman nilai lokal-asli maka terjadilah chritopaganisme. Kemungkinan lain tekanan hidup dan masalah yang dihadapi begitu berat menekan, sedangkan pemahaman teologis praktis dari agama dunianya belum memadai atau dirasakan tidak bisa menolong, maka mereka kembali menggali nilai agama asli. Mereka percaya nilai agama asli yang telah ditinggalkannya itu bisa menolongnya. Inilah tahap revitalisasi agama asli. Contoh menarik dari kasus ini adalah pengambilan kembali nilai lama oleh orang-orang Dayak di Kalimantan Barat saat mereka bentrok dengan para pendatang Madura. Atau mencari kesembuhan dari sakit yang berkepanjangan namun pengobatan modern dan doa para pemimpin agama dunianya belum mendatangkan hasil, berpalinglah mereka kepada cara agama asli. Bagi pelayanan Kristen fenomena agama asli ini membawa tantangan yang harus dijawab secara tepat dan akurat. Pada dasarnya pemraktek agama asli teramat membutuhkan solusi untuk segala masalahnya. Masalah itu bisa berupa kegagalan panen, sakit yang tidak sembuh-sembuh, gangguan roh-roh jahat, sulit mendapat pekerjaan, sulit naik pangkat, atau pun sulit mendapat jodoh serta aneka masalah lainnya. Tuhan Yesus Kristus sang pemilik segala kuasa (Mat 28:18) adalah jawab atas segala masalah itu. Inilah berita yang harus jadi inti pelayanan kita. Inilah pelayanan konfrontasi kuasa. Namun pelayanan yang bernuansa konfrontasi kuasa ini harus didasari pemahaman Alkitab, pengajaran yang benar secara kokoh. Inilah yang disebut konfrontasi kebenaran. Hal ini teramat dibutuhkan agar secara teologis-Alkitabiah orang-orang percaya itu diteguhkan saat menghadapi masalah bahkan siap dengan jawab dan sikap yang Alkitabiah. Sikap di atas yang senantiasa berpusatkan pada kebenaran yang diajarkan Tuhan Yesus akan membawa orang-orang percaya itu kepada satu keputusan untuk hidup dalam loyalitas sejati kepada Tuhan Yesus. Inilah konfrontasi loyalitas yang akan menghasilkan orang percaya yang siap untuk menjadi saksi dalam konteks keberadaannya.

F. PENUTUP
Akhirnya, saya ingin mengingatkan kita semua bahwa contoh-contoh di atas dipilih untuk memberi gambaran bahwa praktek keagamaan yang dilandasi kepercayaan agama asli di kalangan penganut agama-agama besar dunia dan diakui negara Indonesia masih marak. Sekalipun agama asli tidak memiliki hak legalitas tentang keberadaannya (secara hukum negara) namun elemen-elemen tertentu dari agama asli ini masih dipelihara dan dipraktekkan oleh penganut agama dunia ini.
Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang. Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu. Kasus inilah sinkretisme terang-terangan. Bahwa bagaimanapun, agama asli haruslah tetap dihargai sebagai bagian yang takterpisahkan dari peradaban dunia. Tulisan ini sekaligus juga menyanggah bahwa adat Orang Dayak adalah agama, yang dalam ilmu sosiologis dan antropologis digolongkan sebagai agama asli. Dengan demikian, saya boleh katakan bahwa praktek adat bukanlah praktek animisme, sebagaimana yang dikatakan orang luar seperti sekarang ini. Untuk itu, saya menyarankan kiranya diperlukan dialog-dialog antar peradaban, baik penganut agama asli, evangelis protestan maupun katolik pada level komunitas.
Untuk menghindari konflik dikomunitas, saran saya bagi penginjil atau apapun namanya, yang mau menyebarkan agama dikampung ini ada baiknya terlebih dahulu mempelajari dan mendalami mitos-mitos dan upacara-upacara adat serta keagamaan mereka. Kemudian mereka (peninjil,dll) juga harus sanggup merumuskan ajaran-ajaran agamanya sesuai dengan sikap dan pandangan hidup mereka tanpa perlu mengorbankan nilai-nilai hakiki agama yang disebarkannya itu. Dengan demikian agama betul-betul bisa berakar dalam kehidupan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
1. Barret, David dan Todd Johnson. 2003 “Annual Statistical Table on Global Mission: 2003” dalam International Bulletin of Missionary Research. Vol 27 No 1. Denville, New Jersey.
2. Subagya, Rachmat, 1981. Agama Asli Indonesia. Edisi II. Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka Caraka.
3. Dr. David Frawley, Prajna Journal April - June 1999 Volume 3 Number 2.
4. Alois A Nugroho, Kompas Jumat, 04 April 2003
5. Adian Husaini, www.hidayatullah.com, Senin, 12 September 2005,
6. Vedastus Riky 1980;” beberapa Pandangan dan Sikap Hidup Suku Daya, Mawi Jakarta.
7. Yohanes Supriyadi;2004;” Binua, Menguak Sejarah dan Sistem Pemerintahannya. YPB dan PAKAT.
8. Kristianus Atok,et all; 2003, Dayak Kanayatn Menggugat. YPB.
9. Simon Takdir,2003; Mengenal Dayak Salako Indonesia; makalah, tidak diterbitkan.
10. Kathy Mackinnon, et.al. 2000. Ekologi Kalimantan. Prehallindo, jakarta.
11. Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak: dahulu, sekarang, masa depan, Jakarta:PT.Gramedia.
12. Dove,R.Michael.1988. Sistem Perdagangan di Indonesia: Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
13. Fridolin Ukur.1992.” Kebudayaan Dayak:Suatu Tinjauan Umum tentang ciri-ciri pokok kebudayaan suku-suku asli di Kalimantan. Dalam prof.Dr.Mubyarto et.al “ perekonomian rakyat Kalimantan”.Yogyakarta, Aditya Media.
14. Tjilik Riwut.1958. Kalimantan Membangun. Jakarta. Endang.
15. Yekti Maunati.2004. Identitas Dayak. Yogyakarta. LKIS
16. Lahajir.2001. Etnoekologi perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang, etnografi Lingkungan Hidup di Dataran Tinggi Tunjung. Galang Press, Yogyakarta.
17. JU Lontaan, Adat Istiadat dan Hukum Adat Kalimantan Barat, 1971.
18. P. Donatus Dunselman OFM.Cap, 1941. Bijdrgae Tot De kennis Van De Taal En Adat Der Kendajan-Dajaks Van West-Borneo,.
19. Yohanes Supriyadi, 2003. Migrasi Lokal Orang Ohak, Studi Kasus Pertanian Berkelanjutan. YPPN, tidak diterbitkan.
20. YC Thambun Anyang, 2005. Kemajemukan Hukum Di Kalimantan Barat, Makalah dalam Workshop sosialisasi pendidikan multikultural yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak, 26-28 Juli 2005 di Pontianak.
21. Bahari S. 2005. Analisis Hukum Adat Dayak (Kanayatn) ditengah masyarakat multikultural Kalimantan Barat, makalah dalam seminar membangun budaya damai yang diselenggarakan Yayasan Pangingu Binua, 8-10 Desember 2005 di Singkawang.
22. Hendraswati,2004; Hukum adat dan penerapannya dalam masyarakat Dayak Kanayatn, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan, Edisi 05/2004.
23. Evigo Yeremia.2005. Agama Suku Dayak Kanayatn Sebagai Sarana Penginjilan Kontekstual. Skripsi (tidak dipublikasikan), Sekolah Tinggi Teologia “Abdi Tuhan Injil” STT “ATI”, Anjungan Kalimantan Barat.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons