KAUM MUDA, BERGERAKLAH


Oleh Yohanes Supriyadi

Situasi Umum Kaum Muda
Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia terjadi perubahan gaya kehidupan. Salah satu gaya kehidupan yang berkembang adalah gaya kehidupan instant. Orang cenderung untuk mempermudah kehidupannya atau mengupayakan kemudahan-kemudahan dalam kehidupannya. Tingkat kesulitan dalam berbagai dimensi dan strata kehidupan dicoba untuk diminimalkan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin memungkinkan hal itu terjadi. Sesungguhnya hal tersebut merupakan hal yang sah dan wajar. Namun, bagi orang muda keadaan ini menjebak orang muda (yang sering tidak disadari) untuk selalu berada dalam situasi atau pengalaman hidup yang biasa memanjakan dan mempermudah hidup mereka. Mereka tidak berhadapan dengan realita kehidupan yang sesungguhnya. Mereka berhadapan dengan realita semu. Dari diri mereka sendiri, mereka tidak terbiasa untuk sulit (berhadapan dengan realita kehidupan yang sulit). Padahal senyatanya hidup tidak selalu mudah. Sebagian besar realita kehidupan menuntut perjuangan.
Keterjebakan orang muda dalam situasi yang seperti itu mengakibatkan orang muda berada dalam situasi keterasingan dari realita kehidupannya yang sebenarnya. Mereka terbiasa, bahkan sangat terbiasa, dengan yang mudah, bukan yang sulit. Di sisi lain, keterasingan itu melumpuhkan kamampuan orang muda untuk ambil sikap terhadap perkembangan situasi kehidupan yang terjadi. Cukup besar kecenderungan untuk “ikut saja” dalam perguliran realita kehidupan.

Akar Masalah
Situasi yang dialami oleh orang muda sebagaimana di atas bukan pertama-tama karena kesalahan orang muda sendiri. Orang muda berada dalam situasi yang mengkondisikan mereka. Situasi – kondisi pertama adalah dari sudut sosio – ekonomis, yaitu situasi dimana uang menjadi penentu segala-galanya. Uang sungguh menjelma menjadi “Tuhan baru”. Realita kehidupan dinilai atau dihargai dengan besaran uang yang dikeluarkan. Karena itu kehidupan menjadi sangat materialistis.Nilai-nilai kehidupan, termasuk di dalamnya nilai-nilai iman, menjadi terpuruk dan kehilangan pengaruhnya dalam setiap sendi kehidupan. Orang tidak lagi berpegang pada nilai-nilai itu, tetapi orang bertanya “berapa uang yang harus dia bayar?”. Dengan demikian menjadi tidak mengherankan ketika korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sangat jamak terjadi. Uang membelenggu di mana-mana; menjadi dasar, sarana dan tujuan gerakan dalam kehidupan. Bukan berarti uang tidak perlu, tetapi uang hanya sebatas sarana saja. Kalau toh orang bicara tentang nilai-nilai kehidupan itu, tidak lebih dari sekedar isapan jempol saja.
Situasi – kondisi kedua adalah sudut Sosio – politis, yaitu situasi di mana komunalisme terjadi di mana-mana. Yang dimaksud dengan komunalisme adalah situasi dimana orang tidak lagi berpikir tentang kepentingan bersama, tetapi orang hanya berpikir tentang kelompoknya sendiri. Pola berpikir seperti ini menyuburkan dan menjebak orang dalam karakter individualistis. Kepentingan bersama bukan lagi menjadi harapan yang harus diperjuangkan, tetapi menjadi mimpi yang tak berkesudahan. Terserah orang lain mau mengalami situasi bagaimana, yang penting saya dan kelompok saya sejahtera; yang penting saya dan kelompok saya menang; yang penting saya dan kelompok saya bahagia. “emangnya gue pikirin” menjadi ungkapan yang lazim untuk cerminan sikap ini.
Situasi – kondidi ketiga adalah dari sudut sosio – budaya, yaitu dimana kekerasan semakin terstruktur. Situasi - kondisi ini merupakan ujung dari situasi – kondisi pertama dan kedua.Rasa hormat kepada orang lain dan realita kehidupan lain (alam dan lingkungan hidup) sirna. Jika hal itu terasa menghalangi maka hal itu akan disingkirkan dengan segala cara, bahkan kalau perlu dimusnahkan. Sebaliknya jika hal itu diinginkan maka lah itu akan diupayakan dengan segala cara, dengan tingkat ketidakpedualian yang sangat tinggi kepada yang lain. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap sesama manusia, pembabatan hutan maupun pengerukan hasil alam terjadi dengan dahsyat. Tujuan akhirnya adalah menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara kekerasan. Kekerasan menjadi pilihan yang dipilih tanpa alternatif, ketika berhadapan dengan siapa atau apapun.
Rangkaian konflik yang terus menerus terjadi berulangkali juga telah memperkuat stereotipe etnis dalam kepercayaan budaya masing-masing komunitas etnis sedangkan dilain sisi praktek-praktek sosial dan politik menyuburkan sikap kesukuan yang radikal dan ekslusif. Lebih jauh dampak konflik juga memunculkan fenomena sipral kekerasan yang akan terus menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Perubahan situasi politik dan ekonomi juga memberikan kontribusi baru terhadap munculnya konflik atas nama identitas etnik ini. Diantara fenomena baru yang muncul adalah premanisme yang semakin menguat di masing-masing kabupaten, ketidakperpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam, lemahnya kapasitas politisi lokal dalam mengelola konflik dan ketidakseriusan pengambil kebijakan terhadap fenomena konflik itu sendiri.
Dari pengalaman sejarah, konflik kekerasan antar komunitas etnis di Kalbar ini dapat dengan mudah meluas. Kejadian di satu wilayah (mulai desa sampai kabupaten) dapat dengan mudah meluas di wilayah-wilayah lainnya. Akar konflik yang belum selesai, rekonsiliasi yang masih macet, sterotype yang menguat, spiral kekerasan, pertarungan politik tingkat lokal, perebutan sumberdaya lokal merupakan diantara faktor utama yang akan dapat memicu konflik kekerasan dimasa depan. Sehingga dimasa mendatang, benturan-benturan kecil pun akan sangat mudah meluas menjadi konflik kekerasan dengan simbol etnis.
Orang muda, termasuk orang muda di Kalimantan Barat, berada dalam alur kehidupan dengan tiga situasi – kondisi yang menekan dan mempengaruhi tersebut. Secara mendasar sekali hal itu yang mengakibatkan orang muda mengalami keterasingan dari dirinya sendiri, dari masyrakatnya, dan puncaknya, dari Tuhannya.

Penting Pendidikan Alternative !
Pada dasarnya sinyal-sinyal dini akan terjadinya kekerasan dan konflik antar komunitas etnik sudah cukup jelas di Kalimantan Barat. Faktor-faktor diatas jelas menggambarkan kerentanan Kalimantan Barat dalam hubungan antar komunitas etniknya. Dan sampai saat belum ada satu pihak pun yang secara sistematis melakukan terobosan baru dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dan mengelola konflik di Kalimantan Barat. Jika faktor-faktor tersebut diatas tidak segera di tindaklanjuti maka konflik kekerasan antar komunitas etnik di Kalbar akan sangat mudah berulang kembali. Akibatnya konflik kekerasan ini tentu akan membawa dampak destuktif yang lebih luas di Kalimantan Barat karena faktor-faktor penyebabnya lebih bersifat akumulatif dari persoalan masa lalu yang tak terselesaikan.
Untuk itu perlu ada usaha yang sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyimpulkan akan terjadinya peluang konflik dilihat dari kecenderungan utama interaksi sosial masyarakat di Kalimantan Barat. Upaya ini perlu dilakukan untuk sedapat mungkin memberikan peringatan dini akan peluang terjadinya konflik kekerasan antar komunitas etnik. Sehingga lebih jauh dapat mencegah dan setidaknya mengurangi dampak konflik kekerasan tersebut.
Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi sangat urgen untuk kondisi Indonesia, khususnya di Kalimantan barat saat ini. namun demikian, pendidikan ini haruslah dikontekstualisasikan kedalam cara pandang bahwa pertumbuhan fisik-intelektualitas anak merupakan bagian integral perkembangan social-emosional dan moralnya. Dengan kata lain, pendidikan model ini harus diformat dalam perspektif bahwa anak-anak dan remaja adalah makhluk yang utuh ( whole child ).
Adapun penekanan pada model pendidikan alternative yang kami beri nama pendidikan karakter anti kekerasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan potensi pertumbuhan anak di Kalimantan Barat masih belum memadai, tetapi kinerja pembangunan social selama ini melahirkan kesenjangan antara aspek pertumbuhan anak ( fisik dan intelektual ) dan aspek perkembangannya ( social, emosional dan moral ). Kedua, penekanan pada aspek perkembanganya. Ini ditandai oleh beberapa fenomena social seperti maraknya kekerasan yang dilakukan anak-anak dan remaja yang secara fisik-intelektualitasnya sehat. Ketiga, tersedia cukup banyak potensi social-budaya masyarakat local yang dapat dimanfaatkan sebagai medium pendidikan moral atau karakter.
Dalam konteks ini, pendidikan karakter anti kekerasan bersasaran ganda, yakni penciptaan ruang atau lingkungan stimulasi perkembangan anak dan remaja sekaligus revitalisasi dan pengembangan kekayaan social budaya yang selama ini kurang mendapat apresiasi. Dengan strategi ini, maka pendidikan karakter anti kekerasan akan menjadi sebuah GERAKAN BUDAYA. Dan keempat, pergeseran-pergeseran nilai pergaulan hidup baik pada aras local, nasional maupun global menuntu penguasaan bukan saja ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga karakter seperti anti kekerasan, sensisitf gender, kejujuran, pluralisme dan solidaritas.



0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons