KAMI PEWARTA DAMAI, belajar dari remaja anti kekerasan


“kami senang, diforum ini kami dapat bertemu dengan banyak teman baru”, pernyataan Elvi, pelajar SMU Talenta Singkawang dalam sesi terakhir pelatihan Dialog dan Komunikasi Remaja, diWisma PSE Pontianak, 1-3 Februari 2008 lalu. Cakur, pelajar SMA Gotong Royong Raba Kabupaten Landak, seorang pelajar lainnya mengaku baru kali ini ia bisa bertemu dengan begitu banyak teman baru dari berbagai etnik. Menurutnya, selama disekolah mereka hanya tahu tentang orang Dayak saja, karena memang tidak ada etnik lain di sekolahnya.

Haru, bahagia dan bersukacita dan berbagai perasaan lain menyelimuti para pelajar yang bertemu dalam event yang pertama kali diadakan ini. Menurut Surianata, Guru SMAN 1 Sei Ambawang, yang menjadi salah seorang mitra diskusi dalam pelatihan ini, dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia terjadi perubahan gaya kehidupan. Salah satu gaya kehidupan yang berkembang adalah gaya kehidupan instant. Orang cenderung untuk mempermudah kehidupannya atau mengupayakan kemudahan-kemudahan dalam kehidupannya. Tingkat kesulitan dalam berbagai dimensi dan strata kehidupan dicoba untuk diminimalkan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin memungkinkan hal itu terjadi. Sesungguhnya hal tersebut merupakan hal yang sah dan wajar. Namun, bagi remaja keadaan ini menjebak remaja (yang sering tidak disadari) untuk selalu berada dalam situasi atau pengalaman hidup yang biasa memanjakan dan mempermudah hidup mereka. “Mereka tidak berhadapan dengan realita kehidupan yang sesungguhnya. Mereka berhadapan dengan realita semu. Dari diri mereka sendiri, mereka tidak terbiasa untuk sulit (berhadapan dengan realita kehidupan yang sulit). Padahal senyatanya hidup tidak selalu mudah. Sebagian besar realita kehidupan menuntut perjuangan” ujarnya. Ditambahkan salah seorang pengurus YPPN ini, bahwa keterjebakan remaja dalam situasi yang seperti itu mengakibatkan remaja berada dalam situasi keterasingan dari realita kehidupannya yang sebenarnya. Mereka terbiasa, bahkan sangat terbiasa, dengan yang mudah, bukan yang sulit. Di sisi lain, keterasingan itu melumpuhkan kamampuan remaja untuk ambil sikap terhadap perkembangan situasi kehidupan yang terjadi. Cukup besar kecenderungan untuk “ikut saja” dalam perguliran realita kehidupan.
Yohanes Supriyadi, Direktur Program Pendidikan Anti Kekerasan YPPN, mengatakan bahwa situasi yang dialami oleh remaja sebagaimana di atas bukan pertama-tama karena kesalahan remaja sendiri. Remaja berada dalam situasi yang mengkondisikan mereka. Situasi – kondisi pertama adalah dari sudut sosio – ekonomis, yaitu situasi dimana uang menjadi penentu segala-galanya. Uang sungguh menjelma menjadi “Tuhan baru”. Realita kehidupan dinilai
atau dihargai dengan besaran uang yang dikeluarkan. Karena itu kehidupan menjadi sangat materialistis.Nilai-nilai kehidupan, termasuk di dalamnya nilai-nilai iman, menjadi terpuruk dan kehilangan pengaruhnya dalam setiap sendi kehidupan. Orang tidak lagi berpegang pada nilai-nilai itu, tetapi orang bertanya “berapa uang yang harus dia bayar?”. Dengan demikian menjadi tidak mengherankan ketika korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sangat jamak terjadi. “Uang membelenggu di mana-mana; menjadi dasar, sarana dan tujuan gerakan dalam kehidupan. Bukan berarti uang tidak perlu, tetapi uang hanya sebatas sarana saja. Kalau toh orang bicara tentang nilai-nilai kehidupan itu, tidak lebih dari sekedar isapan jempol saja” ujar pria asal Menjalin Kab. Landak ini.


Situasi – kondisi kedua, menurut aktivis pergerakan masyarakat adat di Kabupaten Landak ini adalah sudut Sosio – politis, yaitu situasi di mana komunalisme terjadi di mana-mana. Yang dimaksud dengan komunalisme adalah situasi dimana orang tidak lagi berpikir tentang kepentingan bersama, tetapi orang hanya berpikir tentang kelompoknya sendiri. Pola berpikir seperti ini menyuburkan dan menjebak orang dalam karakter individualistis. Kepentingan bersama bukan lagi menjadi harapan yang harus diperjuangkan, tetapi menjadi mimpi yang tak berkesudahan. Terserah orang lain mau mengalami situasi bagaimana, yang penting saya dan kelompok saya sejahtera; yang penting saya dan kelompok saya menang; yang penting saya dan kelompok saya bahagia. “emangnya gue pikirin” menjadi ungkapan yang lazim untuk cerminan sikap ini. Sedangkan situasi – kondidi ketiga adalah dari sudut sosio – budaya, yaitu dimana kekerasan semakin terstruktur. Situasi - kondisi ini merupakan ujung dari situasi – kondisi pertama dan kedua.Rasa hormat kepada orang lain dan realita kehidupan lain (alam dan lingkungan hidup) sirna. Jika hal itu terasa menghalangi maka hal itu akan disingkirkan dengan segala cara, bahkan kalau perlu dimusnahkan. Sebaliknya jika hal itu diinginkan maka lah itu akan diupayakan dengan segala cara, dengan tingkat ketidakpedualian yang sangat tinggi kepada yang lain. “Oleh karena itu, pembunuhan terhadap sesama manusia, pembabatan hutan maupun pengerukan hasil alam terjadi dengan dahsyat tujuan akhirnya adalah menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara kekerasan. Kekerasan menjadi pilihan yang dipilih tanpa alternatif, ketika berhadapan dengan siapa atau apapun” ujar mantan aktivis mahasiswa katolik ini.
Ditambahkannya bahwa remaja, termasuk remaja di Kabupaten Sambas, Singkawang, Bengkayang, Landak dan Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, berada dalam alur kehidupan dengan tiga situasi – kondisi yang menekan dan mempengaruhi tersebut. Secara mendasar sekali hal itu
yang mengakibatkan remaja mengalami keterasingan dari dirinya sendiri, dari agamanya, dari masyarakatnya, dan puncaknya, dari Tuhannya. “Atas dasar itu, pendidikan anti kekerasan menjadi sangat urgen untuk kondisi Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat saat ini. Namun demikian, konsep pendidikan ini haruslah dikontekstualisasikan kedalam cara pandang bahwa pertumbuhan fisik-intelektualitas anak merupakan bagian integral perkembangan social-emosional dan moralnya. Dengan kata lain, pendidikan model ini harus diformat dalam perspektif bahwa anak-anak dan remaja adalah makhluk yang utuh (whole child)” lanjutnya.

Dari informasi yang disebarkan YPPN berupa brosur, dijelaskan bahwa kegiatan ini diadakan sejalan dengan Visi dan misi dari sebuah Gerakan Anti Kekerasan yang dibangun oleh Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN), yakni sebuah gerakan sistematis yang sudah 4 tahun dipromosikan ini memiliki visi “Komunitas remaja multietnik, yang setia kepada agamanya, bersama-sama dengan Sekolah dan Masyarakat Plural mewujudkan Kalimantan Damai”. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari tiga misi utama Gerakan Anti Kekerasan yang dipromosikan, yaitu (1) meningkatkan pendidikan nilai-nilai iman sekaligus nilai-nilai sosial kemasyarakatan; (2) mengembangkan kesadaran akan pentingnya perwujudan nilai-nilai iman dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan tersebut melalui peningkatan kapasitas remaja; dan (3) menggerakkan pewujudan nilai-nilai itu dalam seluruh aspek kehidupan melalui event-event remaja. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, maka kegiatan ini secara umum bertujuan untuk: (a) Memotivasi Remaja, khususnya pada sekolah tingkat SMP dan SMA di wilayah pesisir Kalimantan Barat agar mampu meningkatkan keterlibatan mereka dalam kehidupan Sekolah dan masyarakat yang plural. (b) Mempertemukan Remaja yang berbeda secara agama dan etnik dalam sebuah event yang positif sekaligus mendekatkan sesama remaja agar mampu membangun jaringan kerja dan komunikasi yang baik sebagai wadah untuk saling meneguhkan. Dan (c) Membangun dan mengembangkan event dan model pendampingan Remaja di Kalimantan Barat untuk meningkatkan pendidikan, mengembangkan kesadaran, dan menggerakkan perwujudan nilai-nilai iman dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai peran serta dalam membangun Kalimantan baru. Sedangkan secara khusus, pelatihan dialog dan komunikasi ini bertujuan untuk: (1) Meningkatkan pemahaman remaja teknik-teknik tentang dialog dan komunikasi yang efektif sebagai salah satu teknik yang harus dikuasai dalam resolusi konflik dalam kerangkan membangun budaya baru, budaya damai. Dan (2) Meningkatkan interaksi antar remaja

Dalam pelatihan ini, telah hadir sebagai pembicara adalah DR.Herculanus Bahari Sindju (Akademisi UNTAN), Drs. Stevanus Buan (Akademisi UNTAN), Surianata, S.Pd.M.Si (Akademisi STKIP Melawi), H. Nur Iskandar,SP (Pemimpin Redaksi Harian Borneo Tribune), Yohanes Supriyadi, SE (Direktur Program YPPN), Magdalena (Aktivis Perempuan), Michael E.Lavis (CUSO Canada), Furbertus Ipur,SH (aktivis Elpagar). Pelatihan ini mendapat dukungan dari Cordaid, The Nederland, sebuah lembaga internasional yang berpusat di The Haque Belanda. (rilis).




0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons