Adat Perkawinan Suku Madura di Rantau Panjang


Oleh Umar Noyo


I. PENDAHULUAN
Berawal dari adanya lokakarya tentang menulis adat Damai, maka timbul dalam benak hati saya untuk ikut serta mencoba menulis tentang adat budaya damai. Walaupun dengan susah payah dan dengan berbekal pendidikan yang sangat rendah, namun saya sangat optimis bahwa hasil tulisan ini bisa dibaca di kalangan masyarakat adat nantinya. Sebelumnya saya sangat tertarik dengan Adat perkawinan yang ada pada suku saya, untuk itu dengan adanya kesempatan ini saya dapat menuangkannya melalui tulisan saya ini. Salah satu alasan saya mengangkat tulisan ini dikarenakan setiap suku mempunyai adat perkawinan yang berbeda-beda, begitu juga suku Madura di Rantau Panjang. Seperti salah satu pribahasa yang sering kita dengar yaitu “lain lubuk lain pula ikannya, lain ladang lain belalang”.
Dengan berbekal pengetahuan yang diperoleh dari beberapa kali pelatihan yang didikuti, maka tulisan ini dapat dibuat dan dilengkapi dengan hasil penelitian di lapangan serta wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat setempat, maka tulisan ini dapat dibaca sesuai dengan harapan dan keinginan dari para pembaca. Adanya tulisan ini berarti mayarakat dapat mengetahui lebih jauh tentang suku Madura. Selain itu dapat kita ketahui bahwa pada masa-masa yang lalu suku Madura sering membuat konflik antar etnis, baik itu dengan etnis Dayak dan etnis Melayu sehingga adanya timbul rasa curiga dari kedua etnis tersebut. Untuk itu melalui tulisan ini, setiap etnis atau siapa saja dapat mengenal lebih dekat lagi siapa itu Madura dan bagaimana suku Madura itu sebenarnya ? dengan demikian, supaya tidak lagi ada kesalah pahaman yang dapat menimbulkan konflik antar etnik.

a. Perkawinan Menurut Suku Madura Rantau Panjang
Berawal dari hasil penelitian dan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat bahwa perkawinan suku Madura terjadi karena didukung oleh kedua faktor yang berbeda namun, ada keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kedua faktor itu yaitu :
1. Faktor Agama
Harus diakui bahwa masyarakat Desa Rantau Panjang mayoritas beragama Islam, maka perkawinan suku Madura sangat identik dengan agama. Misalnya dalam pelaksanaan perkawinan (pernikahan) biasanya dilakukan berdasarkan aturan-aturan/syarat-syarat sampai pada tata cara pelaksanaannya. Apabila mereka melanggar aturan-aturan ini maka perkawinannya dianggap tidak sah atau dengan kata lain tidak dianggap telah menikah, mengapa demikian ? karena mereka (orang Madura) melaksanakan perkawinannya diluar aturan Islam dianggap telah melanggar ajaran agamanya. Selain itu dianggap melakukan dosa besar dan telah berbuat zinah.

2. Faktor Adat (kebiasaan)
Adat ini pada mulanya dibawa oleh nenek moyang mereka dari pulau Madura, kemudian mereka menetap di Rantau Panjang sampai saat ini, sehingga adat perkawinan ini menjadi kebiasaan turun-temurun sampai anak cucu mereka saat ini. Yang dimaksud dengan adat/kebiasaan ini berkaitan dengan waktu pelaksanaan perkawinan dan alat-alat perkawinannya.

Didalam ajaran Islam sendiri tidak dianjurkan harus memilih waktu dan harus ada alat-alatnya, namun mereka merasa ini sudah menjadi kebiasaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka sejak dulu, sehingga mereka tetap melestarikan dan mempertahankan tradisi/kebiasaan itu selain itu juga untuk menghormati tradisi nenek moyang mereka. Sebagaiman telah diuraikan diatas bahwa perkawinan suku Madura didukung oleh dua faktor yang berbeda namun saling berkaitan, maksudnya bahwa perkawinan dikarenakan faktor agama, sedangkan waktu dan alat-alat perkawinan.di karenakan faKtor adat (kebiasaan) Yang mana didalamnya terkadang terkait dengan ajaran agama misalnya, Mas Kawin (Mahar) itu diharuskan oleh seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. (Sumber : ustadz. Syaiful M, 11 Maret 2005)

b. Makna Perkawinan Orang Madura
Makna dari sebuah perkawinan adalah suatu cara atau tradisi untuk seseorang yang sudah beranjak kepada jenjang lebih dewasa. agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif, seorang remaja yang sudah cukup umur, siap/merasa mampu dan mempunyai keinginan terhadap sesorang maka ia telah siap untuk menikah. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi hal-hal yang buruk yang bertentangan dengan moral agama dan adat-istiadat, Salah satu contohnya adalah perzinahan(kumpul kebo) atau hubungan seks di luar nikah. Berkaitan dengan adat perkawinan, didalam agama Islam juga ada beberapa hukum yang mengaturnya diantaranya :

1. Wajib
Seseorang merasa dirinya telah mampu untuk melaksanakan perkawinan dan khawatir akan terjerumus kedalam perbuatan zinah, maka dia di wajibkan kawin. Apabila dia enggan untuk kawin dan terjerumus pada perbuatan yang dilarang agama maka dia dianggap berdosa besar. Dari pernyataan diatas, muncullah hukum wajib kawin.
2. Sunnah
Apabila seseorang telah mampu melaksanakan perkawinan dan dia tidak khwatir akan terjerumus dalam perzinahan (mampu menahan hawa nafsunya) maka, kawin menjadi sunnah hukumnya.
3. Makruh
Seseorang sebelum kawin sering berbuat atau mengerjakan sunnah nabi, seperti pusa senin-kamis dll. akan tetapi setelah dia menikah perbuatan sunnah itu ditinggalkan, maka kawinnya adalah makruh hukumnya.
4. Haram
Apabila seseorang di khwatirkan meninggalkan pekerjaan yang wajib seperti sholat, puasa dll setelah dia kawin, maka perkawinannya itu menjadi haram.

Dari keempat hukum yang telah disebut diatas, apabila seseorang mempunyai keinginan untuk kawin, ia dapat memilih kira-kira posisinya berada di posisi yang mana, apakah wajib atau sunnah dan lain sebagainya.
C. Latar belakang Perkawinan
Latar belakang terjadinya adat perkawinan suku Madura di Rantau panjang adalah berasal dari datangnya suku Madura di Rantau Panjang sebagai perantau. Mereka yang datang itu, berasal dari kampung yang masyarakatnya sudah turun temurun melaksanakan adat perkawinan. Setelah menetap dan mempunyai keturunan dan dengan berjalannya waktu, apabila anak cucu mereka ingin menikah maka orang tuanyalah akan mengadakan adat perkawinan mereka sebagaimana di lakukan di pulau Madura. Menurut sumber yang didapat dari tokoh masyarakat, perkawinan ini dilakukan secara sederhana yaitu dengan menyiapkan alat-alat yang hanya beberapa macam. misalnya : alat pinangan berupa sapu tangan dan minyak wangi, sedangkan alat hantaran berupa pakaian jadi seperti sarung, baju, kerudung dan bedak. Bahan-bahan ini disiapkan dan dibawah pada waktu akad pernikahan dilaksanakan.
Dengan berjalannya waktu, banyak suku Madura yang sudah mulai berdatangan atau merantau ke Rantau Panjang,mereka berasal dari kampung yang berbeda di pulau Madura. Dengan demikian sedikit demisedikit adat perkawinan ini berubah, misalnya alat hantaran dilakukan setelah seorang wanita dan pria resmi bertunangan. Ditambah lagi oleh mereka yang baru datang dari Madura yaitu dengan alat yang disebut Teket Petton. Kemudian sekitar tahun delapan puluhan, adat ini bertambah lagi dengan namanya Lamaran. Lamaran yaitu berupa makanan khas madura yang disebut Tutul (dodol) dan Kocor (cucur), makanan ini biasanya dibawa pada saat resepsi perkawinan. Selain itu sekitar tahun 2001 yang lalu alat Lamaran ini ditambah dengan Spring bad (tempat tidur), hal ini terjadi ketika seorang laki-laki dari kota Mempawah kawin di Rantau Panjang, maka oleh masyarakat setempat hal ini terus diikuti sampai sekarang ini.
Adapun pada saat ini adat perkawinan suku Madura di Rantau Panjang sudah banyak yang mengikuti adat-adat orang kota. Dimana orang Madura yang tinggal di kota, mengikuti adat perkawinan suku Melayu. Akhir dari itu semua adat perkawinan suku Madura di Rantau Panjang dapat berubah-ubah tergantung pada perubahan waktu dan zaman, apalagi di era globalisasi ini suku Madura sudah dapat beradaptasi (menyesuauikan diri) dengan suku atau orang lain. (Sumber : pak sadineh, 9 Maret 2005)

D. Kaitan Adat Perkawinan Dengan Budaya Carok
Harus diakui bahwa suku Madura mempunyai pikiran yang keras dan mudah tersinggung, apabila ada masalah/hal-hal yang kecil dapat menjadi masalah yang besar, dengan demikian muncullah budaya Carok. Mengapa sampai terjadi demikian ? karena budaya ini diwariskan dari zaman nenek moyang mereka, sehingga perlu dipertahankan. Selain itu budaya carok juga mempunyai semboyan yang berbunyi : “daripada pada putih mata lebih baik putih tulang”, maksudnya dari pada menanggung malu lebih baik mati. Oleh sebab itu budaya carok tidak bisa terlepas dari ingatan orang Madura.
Adapun kaitan antara budaya carok dengan perkawinan suku Madura, yang sering terjadi disebabkan oleh masalah perempuan. Dimana, apabila seorang perempuan telah resmi bertunangan dengan seorang laki-laki , kemudian perempuan tersebut selingkuh atau berjalan dengan laki-laki lain, maka tunangannya merasa bahwa dirinya telah dihianati dan timbullah rasa marah dan emosi. Yang ada dalam pikiran tunangannya bahwa dia telah dipermalukan oleh selingkuhan tunangannya, akhirnya muncullah keputusan yang ada di pikirannya untuk bercarok seakan-akan tidak ada cara lain kecuali hanya dengan cara carok. Keputusan yang diambil ini tanpa sepengetahuan seorang ketua yang telah dipercayakan untuk meresmikan mereka bertunangan. Sedangkan kalau dilihat ada cara lain yang lebih baik dalam permasalahan ini yaitu dengan cara : menyuruh ketua tersebut datang kepada orang tua perempuan secara baik-baik dan menanyakan perihal pertunangan, apakah anaknya sudah tidak ingin melanjutkan tunangannya ke jenjang perkawinan ? atau memang sengaja dia berselingkuh agar tunangannya menjadi marah dan tidak menjadi kawin dengan dia ? apabila jawaban dari pihak perempuan ada unsur kesengajaan maka, maka pihak laki-laki akan mengambil keputusan yaitu dengan cara membatalkan tunangannya atau dengan cara bercarok dengan selingkuhan perempuan itu.

E. Perbedaan Perkawinan Suku Madura di Kalimantan barat dengan di Pulau Madura
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang yang pernah tinggal di Madura, bahwa perkawinan suku Madura di tempat asalnya (Pulau Madura) dengan suku Madura yang berada di Kal-bar khususnya di Rantau Panjang tidak terlalu berbeda, hanya dalam beberapa hal tertentu saja. Letak perbedaanya yaitu :

1. Suku madura di Rantau Panjang dengan Suku Madura di Pulau Madura.
Suku Madura di Rantau Panjang melaksanakan perkawinan yaitu, pengantin perempuan tidak diperbolehkan berada di luar kamar atau duduk bersebelahan dengan pengantin pria, ia harus tatap berada di dalam kamar selama akad nikah berlansung. Hal tersebut sudah menjadi tradisi bagi mereka, dalam hal ini pengantin perempuan harus mentaati atau mematuhi perintah orang tuanya. Tradisi ini dipandang baik di kalangan suku Madura khususnya daerah Rantau Panjang. Untuk segala sesuatu, baik dalam penentuan jodoh dan yang perlu dipersiapkan dalam perkawinan diputuskan orang tuanya (walinya) misal dalam hal menentukan jumlah mahar atau mas kawin. Belajar dari zaman nenek moyang dahulu, ketika anak perempuan ingin kawin dengan dengan seorang laki-laki, maka yang menentukan antara ya dan tidaknya tergantung pada orang tua. Sedangkan untuk perekawinan suku Madura di pulau Madura dalam melaksanakan perkawinan, pengantin perempuan duduk bersebelahan dengan pengantin laki-laki di hadapan penghulu dan para saksi-saksi yang ada. Hal ini sudah menjadi perubahan yang sangat jauh berbeda sekali dengan orang-orang Madura yang berada di pedesaan, ini diakibatkan pengaruh budaya luar yaitu budaya jawa.

2. Perbedaan terjadi ketika perkawinan di kalangan Ulama atau Kiyai.
Biasanya pelaksanaan perkawinan dimulai dari pihak perempuan, yaitu dengan mengadakan persetujuan antara kedua belah pihak orang tua, tanpa sepengetahuan kedua anak mereka.hal tersebut terjadi dengan alasan bahwa perempuan yang mempunyai hak untuk memilih pasangannya untuk menjadi suaminya. Sedangkan di Rantau Panjang perkawinan dimulai dari pihak laki-laki. yaitu dengan mengadakan pertunangan terlebih dahulu, yang ditandai dengan sebuah sapu tangan dan minyak wangi serta sejumlah uang sebagai tanda pengikat. Apabila dibandingkan dengan suku-suku lain perkawinan semacam ini hampir dianut oleh semua suku, dimana terlebih dahulu pihak laki-laki yang meminang pihak perempuan sebagai isterinya. (sumber : M Syaiful, 12 maret 2005)



F. Kedudukan Perempuan Dalam masyarakat Madura
Seorang wanita yang sudah menikah, bila dipandang dari sudut masyarakat Madura adalah sebagai ibu rumah tangga, sekaligus pengasuh dan pembimbing bagi anak-anaknya. Namun didalam lingkungan mereka (masyarakat Madura) pihak laki-lakidan perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu dalam menanggung beban agama, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa dan kewajiban yang lainnya. Dalam kehidupan keluarga seorang isteri dan suami mempunyai hak yang sama baik dalam hormat-menghormati dan harga-menghargai antara satu dengan yang lainnya, dengan jalan memberikan kesempatan untuk masing-masing menyampaikan pendapatnya dalam mengatur urusan rumah tangga, baik itu mendidik anak. Selain itu sebagai seorang suami dan kepala keluarga, maka ia mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab mencari nafkah guna menghidupi isteri dan anak-anaknya.
Sebagaimana kebanyakan laki-laki di seluruh dunia berpendapat bahwa perempuan itu tidak mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan mereka, misalnya dalam pengambilan keputusan baik itu dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan pemerintahan. Tetapi dengan berjalannya waktu paradigma itu mulai berubah, dimana perempuan diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya baik dalam lingkungan keluarga maupun pemerintahan. Selain itu sekarang ini dapat kita lihat bukan saja pihak laki-laki yang dapat memimpin/memerintah, namun perempuan juga diberikan kesempatan untuk bersekolah/berkarir, memimpin, berpolitik dan dapat mengeluarkan pendapat. Tetapi sebaliknya didalam masyarakat Madura ada suatu perbedaan yang sangat besar antara laki-laki dan perempuan, perbedaan-perbedaan itu antara lain :

1. Dalam maslah warisan
Seorang perempuan dalam menerima warisan dari orang tuanya adalah separuh atau 50 % dari harta warisan yang diterima, dibanding dengan saudara laki-lakinya. Dengan alasan anak perempuan tidak ikut serta dalam pekerjaan yang berat, seperti : menebang hutan,menanam dan membuat lahan pertanian.

2. Seorang laki-laki dapat beristri sampai empat
Di dalam masyarakat madura seorang laki-laki dapat beristri sampai empat orang, dengan syarat pembagian harus adli. Sedangkan perempuan tidak boleh bersuami lebih dari satu, alasannya karena apabila perempuan bersuami lebih darei satu, ketika mempunyai anak akan menjadi bingung. Apakah anak tersebut dari suami pertama atau yang lainnya, maka dari itu perempuan tidak boleh bersuami lebih dari satu. Dasar perbedaan tersebut berdasarkan aturan agama Islam dan di dalam masyarakat Madura aturan ini sudah menjadi adat / kebiasaan kehidupan sehari-hari. (sumber : Sarimin, 25 Maret 2005)

G. Hubungan Kekerabatan Dalam Masyarakat Madura
Hubungan kekerabatan yang dijalankan oleh masyarakat madura tidak terlepas dari hukum-hukum Islam, misalnya : boleh tidaknya seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan. Di dalam hukum Islam tidak diperbolehkan seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan, mengapa demikian ? ada tiga hal yang dapat kita lihat yaitu :
• Kerabat
a. Ibu Kandung
b. Nenek (baik dari ayah atau ibu)
c. Anak perempuan sampai ke cucu-cucunya
d. Saudara perempuan (baik seayah / seibu atau seayah-ibu)
e. Bibi (baik dari ayah atau ibu)
f. Keponakan (baik dari saudara seayah-seibu)
g. Keponakan yaitu anak saudara perempuan (baik dari saudara ayah atau ibu)

• Ada tali pernikahan yaitu :
a. Mertua
b. Anak tiri
c. Mantan isteri ayah atau kakek
d. Menantu (baik menantu dari anak atau cucu)

• Pernah menyusu, dengan syarat lima kali menyusu yaitu :
a. saudara perempuan satu susu
b. ibu yang menyusui

H. Undang-undang Perkawinan
Di dalam melaksanakan perkawinan umat Islam mempunyai aturan-aturan yang sama dalam melaksanakan perkawinan, selain itu juga ada aturan-aturan yang berasal dari setiap suku dimana ia berasal. Misalnya yang akan kita uraikan ini yaitu undang-undang perkawinan di luar garis agama dari mayarakat Madura di Rantau Panjang, undang-undang itu antara lain :
• Ketika seorang laki-laki mempunyai keinginan untuk menikah dengan seorang wanita pilihannya, maka ia harus menyampaikan keinginannya ini kepada seorang tokoh masyarakat (seorang ketua) yang biasanya mengurus perkawinan. Berlanjut dari penyampaian keinginan itu dan dilanjutkan dengan kesempatan, maka ketua tersebut mewakili pihak laki-laki untuk datang kepada pihak perempuan dan mengatakan maksudnya untuk melamar anak perempuan mereka. Tinggal bagaimana jawaban dari pihak perempuan, apakah menyetujuinya ataukah tidak.
• Jika jawabannya ya, maka pihak laki-laki harus mempunyai tanggung jawab atas tunangannya, yaitu berupa :
1. Tidak boleh menerlantarkan tunangannya, misalnya hari-hari besar (Idul Fitri atau Idul Adha) dengan cara mencukupi segala kebutuhan tunangannya, yaitu dengan berupa pakaian, makanan dll.
2. Selama bertunangan, wanita tersebut ketika ingin pergi jauh seperti ke pasar atau berkunjung ke rumah keluarganya, maka harus ditemani oleh tunangannya. Hal ini dengan maksud menjaga supaya tidak terjadi hal-hal yang yang tidak diinginkan yang menyebabkan terjadinya konflik kekerasa. (Sumber : Madsudi, 13 Maret 2005)

Peran Tokoh Masyarakat Dalam Adat Perkawinan
Dalam pelaksanaan perkawinan suku Madura, peran tokoh masyarakat sangat dibutuhkan. Karena tanpa peran serta mereka, perkawinan tidak akan dapat terlaksana. Adapun tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan perkawinan ini adalah :
a. Ketua
Yang dimaksud dengan ketua disini adalah : orang pertama kali mewakili pihak laki-laki untuk melamar wanita pilihannya, selanjutnya sampai kepada pelaksanaan perkawinan. apabila selama pertunangan ada permasalahan yang terjadi baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, maka ia yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut sampai selesai.
b. Penghulu
Sebagaimana di dalam perkawinan agama Islam harus ada yang namanya penghulu. Beliau inilah berfungsi untuk menikakhkan kedua pasangan tersebut.
c. Kedua Saksi
Selain itu yang harus ada juga dalam pernikahan ini adalah saksi dari pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Saksi-saksi ini bertugas untuk melihat dan mendengarkan akad nikah yang berlansung. Antara sah dan tidaknya akad nikah tersebut, penghulu menyerahkan sepenuhnya kepada para saksi.
d. Kedua belah pihak mempelai
Yang dimaksud dengan kedua belah pihak mempelai disini adalah keluarga dari mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, yang mana sebelumnya tidak ada ikatan suatu apapun (keluarga). Dengan adanya tali perkawinan maka terjadilah ikatan keluarga yang sangat erat antara kedua belah pihak.
e. Masyarakat umum
Dalam pelaksanaan perkawinan masyarakat umum hanya berperan sebagai undangan. Selain sebagai undangan resmi, mereka juga ikut memebawa alat-alat hantaran pada pelaksanaan perkawinan, misalnya : Kue-kue dan alat-alat hantaran lainnya.
Selain peran tokoh diatas, perlu kita ketahui juga bahwa perkawinan suku Madura di Rantau Panjang juga tidak terlepas dari peran pemerintah. Dalam hal ini peran seorang Kepala Desa juga memegang peranan penting. Ketika seorang laki-laki bermaksud melaksanakan pernikahannya, maka pihak orang tua dari laki-laki tersebut memberitahukan kepada kepala desa mengenai rencana pernikahan itu, dengan membawa uang sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah). Guna dari uang ini untuk urusan surat-menyurat dan keperluan lainnya, kemudian dari kepala desa, uang ini diserahkan kepada petugas pembantu pencatat nikah (P3n), dalam masyarakat setempat uang ini disebut “Bereket”.
Perlu diketahui sedikit, pada masa Bapak P. Tiap/Yusuf menjadi Kepala Desa, P3n tersebut sempat ditiadakan, namun pada awal tahun 2004 yang lalu, P3n ini kembali dibentuk. Terbentuknya P3n ini pada waktu Bapak Supandi diangkat menjadi Kepala Desa, dan beliau mempercayakan tugas ini kepada seorang Ustadz yang bernama Syaiful (Kepala Madrasah Mis miftahul Huda Dusun Sungai Pogok). Dengan adanya P3n ini, maka perkawinan suku Madura resmi dan terdaftar di kantor urusan Agama (KUA) dan tidak lagi kawin di bawah tangan, seperti yang biasa dilakukan.

Alat-Alat Perkawinan Madura Rantau Panjang

A. Alat lamaran (Peminta)
Sebelum perkawinan dilaksanakan, terlebih dahulu pihak laki-laki mengadakan lamaran (peminta). Alat-alat yang dipersiapkan untuk lamaran antara lain : Sapu Tangan, Minyak Wangi dan Uang Sekedarnya. Ketiga alat tersebut dihantarkan oleh ketua dari pihak laki-laki. alat-alat tersebut adalah sebagai bukti bahwa seorang perempuan telah resmi bertunangan dengan seorang laki-laki.

B. Alat Pinangan (Teket Petton)
Dengan berjalannya waktu, tiba saatnya pihak laki-laki untuk mengantarkan alat-alat pinangannya (teket petton). Alat-alat yang diantarkan antara lain :
a. Kocor (cucur)
b. Polot (Ketan) yang sudah dimasak
c. Sirih dan pinang
d. Pakaian lengkap seorang wanita, seperti sarung, kerudung, baju dll
e. Alat-alat perhiasan (Make Up)
Apabila yang bertunangan ini seorang adik dari kakak perempuan yang belum bersuami / menikah, maka pakaian-pakaian itu harus digandakan , dengan alasan agar sang kakak cepat mendapat jodoh. Ini adalah suatu tradisi yang sudah dipegang oleh masyarakat Madura di Rantau Panjang dan hal ini tidak dapat disangkal lagi.
Pada awalnya adat pinangan tidak ada / tidak dilakukan oleh masyarakat kami, dan dengan berjalannya waktu saudara-saudara kami datang dari pulau Madura ke Rantau Panjang, maka muncullah adat pinangan ini. Adat ini diberi nama oleh mereka “Cirancir”, yang mana alat-alatnya hanya berupa Polot (ketan) dan kocor (cucur). menjelang beberapa tahun kemudian adat pinangan ini diganti nama menjadi “Tiket Petton”, yang namanya dipakai sampai sekarang ini. (Sumber : Madsudi 13 Maret 2005)

C. Alat Hantaran (Uang Asap)
Berbicara mengenai alat hantaran, pada awalnya hanya berupa makanan mentah misalnya : ayam, beras, beberapa alat dapur lainnya, baju dan sarung. Setelah bebrapa tahun kemudian, alat hantaran ini di ganti dengan menggunakan uang, sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pihak perempuan. Biasanya yang menghantarkan uang asap ini adalah seorang ketua dari pihak laki-laki, sekaligus menentukan waktu pelaksanaan resepsi pernikahan.

D. Waktu dan Alat Pelaksanaan Resepsi Pernikahan
Pada umumnya suku Madura melaksanakan pernikahan pada bulan Robi’Ulawal (bulan Rasol) tahun Hijriyah atau sekitar bulan mei dan juli tahun masehi, dengan alasan karena pada bulan itu adalah bulan yang terbaik untuk melaksanakan perkawinan.
Selain itu ada juga ada bulan yang tidak diperbolehkan melaksanakan perkawinan menurut suku Madura itu ada tiga (3) yaitu :
1. Bulan “Puasa Ramadhan”
Alasannya karena pada waktu itu semua masyarakat Madura sedang kosentrasi untuk beribadah.

2. Bulan “Muharam”
Alasannya karena bulan itu sering terjadi musibah (bulan angker).
3. Bulan “Dzul Qo’dah
Alasannya karena bulan ini oleh suku Madura adalah bulan sukar (Takape), maka apabila perkawinan / pernikahan dilaksanakan, setiap orang akan sulit mencari Rizki. (Sumber : P Umar , 11 Maret 2005)

selain waktu ada juga alat-alat yang perlu dipersiapkan dalam pelaksanaan resepsi perkawinan. Biasanya yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki untuk dibawa pada saat penikahan berlansung antara lain :
1. Dodol
2. Cucur
3. Tetel dan bermacam kue yang lain
4. Beberapa helai pakaian
5. Seperangkat alat-alat Make Up
6. Sepasang Bantal dan sebuah tikar

E. Alat Hantara hari ke Tujuh
Setelah perkawinan berjalan tujuh hari, maka pihak perempuan mengadakan hantaran kepada pihak laki-laki, yang dibawah oleh kedua mempelai, kerabat dekat dari pihak perempuan dan para tetangganya. Adapun alat hantaran itu berupa makanan yang sudah dimasak, misalnya : cucur, kue baolu dan apem, kue-kue ini dibawah dalam jumlah yang sedikit. Setelah kedua mempelai ingin pulang, maka dari keluarga atau kerabat dekatnya pihak laki-laki memberikan oleh-oleh, dalam hal ini dapat berupa uang atau pakaian jadi.

Syarat-Syarat Menjadi Pengantin

A. Syarat-syarat Pengantin Laki-laki :
1. tidak sedang menjalankan ibadah Haji atau Umroh
2. keinginannya sendiri (tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun)
3. Menentukan pilihannya sendiri
4. Mengetahui nama dari calon isteri
5. mengetahui secara betul bahwa calon isterinya halal bagi dia
6. optimis (yakin) bahwa dirinya benar-benar seorang laki-laki
7. tidak ada hubungan kekerabatan antara laki-laki antar laki-laki dan perempuan (hubungan keluarga)

B. Syarat-syarat PengantinPerempuan
1. Tidak sedang menjalankan haji atau Umroh
2. Menentukan pilihannya
3. Suci dari ikatan perbikahan / tidak mempunyai suami
4. Yakin bahwa dia benar-benar perempuan

Penulis adalah warga kampong Rantau Panjang, Kec. Sebangki Kab. Landak



0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons