Tiga Puluh Enam Jam Bersama Orang Parit


Oleh Yohanes Supriyadi


Pagi yang panas di Pontianak, dengan sepeda motor merk Yamaha Vega R saya dan Paulus Dani menelusuri jalan tanjungpura yang padat. Disebuah warung kopi,saya memarkirkan motor untuk sekedar santai barang sejenak. Martiyem nama pemilik warung ini. Orang Madura dia, bisik Paulus Dani ditelinga mungilku. Ya, Martiyem memang orang Madura, asalnya dari Sumenep Pulau Madura dan telah tinggal di Kalbar sejak 23 tahun lalu. Bersama suaminya yang Orang Melayu Pontianak, ia mengelola warung. Warung yang berukuran 2 x 3 meter itu terletak dipinggiran jalan yang ramai warga hilir mudik. Jalan sempit yang nyaris sulit dilalui mobil, apalagi sepeda motor. Kopi Layang ya, pintaku kepada sang nenek. Lima belas menit kami menyerumput kopi bubuk yang wangi. Bagi Paulus dan sebagian besar orang Dayak Kanayatn, kopi layang memang terkenal. Kopi ini diproduksi di Sei Pinyuh.
Tidak jauh dari warung kopi itu, terlihat gedung tua yang masih megah. Tertulis disana:”Pusat Perbelanjaan Kapuas Indah”. Tiba-tiba terdengar gemuruh motor air didermaga. Bergegas saya dan Paulus masuk kegedung besar itu, menelusuri lorong berukuran sekitar dua meter. Diujung lorong, sebuah pelabuhan sandar motor air menanti kami. Seng Hie, nama pelabuhan motor air ini. Pelabuhan yang sudah sangat terkenal di Pontianak. Menurut cerita Nek Martiyem, Seng Hie adalah nama seorang Cina pemilik pelabuhan yang kini diabadikan masyarakat Pontianak itu. Dipelabuhan ini hampir 20 motor air berpangkalan. Masyarakat Retok, Sei Ambawang, Rantau Panjang, dll yang umumnya dari etnis Madura dan Dayak adalah pengguna utama pelabuhan ini. Tidak heran, pelabuhan Seng Hie menjadi sangat penting untuk lalu lintas ekonomi ”orang sungai”, julukan masyarakat di Sei Ambawang, Retok, dll.

Sekilas Kecamatan ”Samih” Sebangki
Ombak kecil memuncah. Gemuruh mesin motor nyaring melengking, tersebar disepanjang pesisir sungai Landak. Mungkin penghuni sungai juga kaget dan terpencar biar. Diatas dek motor air, beberapa pemuda duduk santai. Saya dan Paulus ikut serta, menikmati pemandangan aliran sungai yang sangat indah. Tidak terasa empat puluh lima menit berlalu. Saya mengeluarkan buku catatan kecil dan mencoba mendekati salah seorang penumpang. Saya memperkenalkan diri dan disambut ramah sang penumpang. Tiga menit berbasa-basi, saya mulai masuk keinti pembicaraan. Edy, penumpang itu. Asal Dusun Kuala Samih. Ia dan beberapa rekannya dari menjual keladi air dipasar Flamboyan Pontianak. Ia Orang Dayak dan 2 dari temannya orang Bugis dan Madura. Kelimanya sangat akrab, sebuah keadaan sosial yang sulit dibeberapa tempat di Kalbar. Saat rokok disulut, dengan santai ia bercerita. Menurutnya Orang Madura dan Orang Dayak sama-sama terluka dalam sejarah Kalbar. ”contoh kecil saja, misalnya sejarah asal-usul kecamatan. Dulu ada Kecamatan Penghubung Samih ketika kami masih bergabung dengan Kecamatan Sengah Temila, namun ketika terbentuk Kabupaten Landak, nama itu berubah menjadi Kecamatan Sebangki” ujarnya lirih. Rokok dihisap dalam, raut kekecewaan tampak dimuka yang kokoh. Tapi sudahlah, katanya. Bagaimana untuk menuju kecamatan anda ? tanya saya. Sambil beringsut kecild ari duduknya, Edy bercerita. Untuk pergi kekecamatan ini kita dapat melalui dua jalur yakni jalur sungai dan jalan darat. Jalur air dari Pontianak dapat ditempuh dengan menggunakan motor air (kelotok) kurang lebih 7 jam perjalanan, namun dapat juga dengan speedboat yaitu sekitar 1,5 jam perjalanan. Sedangkan dengan jalur darat ditempuh melalui Aur Sampuk Desa Senakin Kec. Sengah Temila. Dari Pontianak ke Simpang Aur Sampuk dapat mempergunakan kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum dengan menempuh sekitar 3 jam perjalanan. Jalan darat dari Simpang Aur ke Sebangki sekitar 2 jam dengan menempuh jarak sekitar 40 Km. ”Namun jalan darat ini baru saja dibuka masih dalam tahap pengerjaan. Itulah sebabnya mengapa hanya dapat ditempuh dengan kendaraan roda 2 baik pribadi maupun ojek” lanjutnya. Dari data yang ada, hasil studi YPPN tahun 2004 misalnya, secara umum wilayah kecamatan ini terdiri atas dataran rendah dan berbukit-bukit (pegunungan). Bukit yang terkenal di kecamatan ini adalah Bukit Cempaka. Di puncak bukit ini tinggal orang-orang Bolokng yang terkenal itu. Dataran rendah sering kali terendam air ketika datang banjir. Sebagian permukiman masyarakat kecamatan ini terletak di dataran rendah seperti Desa Sungai Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan Desa Agak, Desa Sebangki dan Desa Kumpang Tengah umumnya terletak didataran tinggi. Penduduk Kecamatan Sebangki berjumlah 14.603 jiwa dengan luas wilayah kecamatan 885,60 Km2. secara administratif kecamatan ini terdiri dari 5 buah desa dengan 27 Dusun. Penyebaran penduduk tidak merata. Penduduk terbesar ada di 3 desa, yaitu: Desa Kumpang Tengah, Desa Sei.Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan 2 desa lainnya yakni Desa Agak dan Desa Sebangki relatif sedikit penduduknya.
Menariknya, desa-desa yang ada di Kecamatan Sebangki juga tersegregasi oleh etnik. ”Sepertinya ada pembagian kelompok etnik berdasarkan desa” sambung Paulus. Menurut pemuda Agak ini, Desa Sebangki terdiri dari 5 Dusun. 3 Dusun umumnya didominasi oleh etnik Dayak dan 2 dusun lainnya didominasi oleh etnik Melayu. Di Desa Agak, dari 8 dusun seluruhnya didominasi oleh etnik Dayak. Demikian pula halnya dengan Desa Kumpang Tengah, dari 5 buah dusun semuanya didominasi oleh etnik Dayak. Berbeda dengan 3 desa di atas, Desa Rantau Panjang dan Desa Sei Segak, seluruh dusun (9 dusun) didominasi oleh etnik Madura. Komposisi jumlah penduduk di desa-desa dalam kecamatan ini sebagai berikut: Desa Sebangki = 765 orang, Desa Agak = 286 orang, Sungai Segak = 4.154 orang, Rantau Panjang = 2.248 orang, dan desa Kumpang Tengah = 703 orang. Jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Sebangki adalah 8.156 jiwa sampai akhir tahun 2006 lalu.

Tiga Puluh Enam Jam Bersama Orang “Parit”
Begini tampaknya kehidupan Orang Parit, gumam saya ketika menjejak kaki di kampung besar ini. Hampir empat jam duduk diatas motor air ”Bintang” cukup membuat pantat ini penat. Tetapi, ketika kaki menginjak bumi yang terasa sejuk dan tampak hitam legam ini membuat kepenatan itu seakan-akan hilang. Ada perasaan takut, cemas, haru, bangga dan lain-lain bercampur aduk ketika menjumpai warga Madura yang berangkat kerja. Dari jauh mereka tampak sangar dan tidak bersahabat. Satu meter kemudian, senyum ramah menyambut kedatangan kami. Ah, hanya perasaanku saja rupanya. Mungkin perasaan ini pula yang hinggap disebagian besar warga Dayak ataupun Melayu di Kalbar ketika bersua dengan warga Madura dimanapun berada, yang kemudian menciptakan stereoptif negatif tentang suku dengan warna kulit coklat ini.
Dua sepeda motor menjemput kami, rupanya kedatangan kami sudah diketahui warga. Paulus dengan sengaja meng SMS pak Supandi, kenalannya sejak tahun 2004 lalu. Berboncengan dengan pemuda kulit coklat cukup membuat senang juga. ”ini Parit Pak Nazarius” ujar pemuda yang motornya saya duduki itu. Hm, gumam saya. Rupanya benar juga apa yang diceriterakan teman saya ketika berkunjung 2 tahun lalu. ”Sejak tahun 2005, warga sepakat untuk memberi nama Parit yang baru dibikin itu Parit H Nazarius. Beliau sangat kami hormati, walaupun beliau sendiri belum pernah berkunjung kekampung kami.” lanjut pemuda berambut cepak itu. Pak Nazarius, adalah tokoh warga Dayak Kanayatn dari Kampung Raba Kabupaten Landak. Seorang aktivis yang sangat disegani karena kedekatannya dengan warga dan komitmennya untuk membangun upaya-upaya perdamaian antar suku di Kalimantan Barat. Beliau pensiunan guru dan sejak 1996 aktiv di NGO. Ia adalah Ketua Yayasan Pangingu Binua, yang berkantor pusat di Kampung Raba. Kantor cabang yayasan ini ada juga di Kota Pontianak.
Hampir sepuluh menit kemudian, motor terhenti. Saya dan Paulus turun. Dipintu rumah, seseorang dengan senyum menyambut. Kami disambut ramah tuan rumah. Pak Supandi, tuan rumah itu tak lain adalah Kepala Desa Rantau Panjang. Beliau masih sangat muda, berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Diteras rumahnya yang asri dan sederhana, kami berhenti sejenak untuk melepas penat. Air putih disuguhkan, sungguh lega dan segar. Tepat dipersimpangan jalan menuju Kampung Sei Pogok, tampak sebuah parit besar memanjang dan sangat lurus. Anehnya, parit ini bernama Parit Kristianus ”Atok”. Menurut istri Supandi, parit ini dibuat tahun 2005 dengan cara gotong royong warga. Parit ini dapat dilalui dengan perahu, untuk belanja ditepi sungai dan alat transportasi warga. ”warga disini sangat mengagumi Pak Krist. Beliau dicintai warga karena baik dan rendah hati. Bila datang dikampung kami, beliau sangat perhatian dengan anak-anak” sahut Supandi. Kristianus Atok adalah Ketua Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara Pontianak, sebuah NGO pembangun perdamaian antar suku di Kalbar. Sejak tahun 2003, aktiv mendampingi kampung ini dalam upaya membangun budaya perdamaian. Konsistensi lembaga ini dengan figur Pak Krist mengundang simpati warga. ”karena itulah kami menghargai beliau dengan menamakan Parit baru itu Parit Kristianus Atok” ujar Supandi sambil tersenyum. Keceriaan tampak diraut mukanya yang awet muda.

Pola Pemukiman
Bila dilihat sepintas, pola-pola pemukiman orang Madura dikampung ini masih mengikuti pola pemukiman tradisional mereka dipulau Madura. Umumnya pola pemukiman mereka masih terwujud dalam taneyan lanjang (halaman panjang). ”Deretan halaman rumah yang terbangun dalam kesatuan permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan” ujar Khotifah, perempuan kampung itu. Saya juga menemukan masing-masing penghuninya masih sangat terikat oleh hubungan kekerabatan. “Jika anak-anak perempuan itu menikah, suami akan menetap di rumah yang telah disediakan oleh orang tua perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah setelah mereka menikah dan menetap dirumah yang telah disediakan oleh orang tua istrinya” ujar perempuan yang berjilbab hitam ini. Dalam hal ini, menurutnya anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga mereka atau keluarga intinya. Demikian juga struktur pemukiman tradisional ini tampaknya lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan dalam keluarganya.
Pola pemukiman yang berupa tanean lajang, sebagaimana dikampung ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tanah dan kekerabatan. Bukan sembarangan orang yang tinggal didalam tanean lajang. Penghuni tanean lajang adalah anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya. Wiyata, menjelaskan bahwa pola permukiman semacam itu masih tampak jelas di Pulau Madura, terutama didaerah pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai dengan pola berjajar ideal sebagaimana digambarkan dalam permukiman tanean lajang (Wiyata, 1989). Yang jelas, pengelompokkan rumah tangga yang membentuk keluarga besar masih tampak sekali dikampung ini. Sebagai contoh, letak rumah dikampung ini tidak sejajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak lagi memanjang. Pola pemukiman tanean lajang yang masih itu memberikan gambaran bahwa system pewarisan tanah orang Madura dirantau masih sesuai dengan aturan adat yang berlaku dinegeri asalnya. Dalam pembagian warisan misalnya, Khotifah menjelaskan dalam adat Madura terdapat perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sesuai dengan adat, setelah kawin, seorang suami mengikuti istrinya dan keluar dari keluarga besarnya. ”Oleh karena itu, hanya anak perempuan yang memperoleh bagian dari tanah pekarangan. Kemudian, karena anak perempuan itu nantinya juga akan menerima suami dari luar setelah ia kawin, maka konsekuensinya ia juga harus menyediakan rumah untuk tempat tinggal suaminya” lanjut guru di Madrasah Ibtidaiyah ini. Pola pemukiman seperti itu menunjukkan bahwa ikatan hubungan kekerabatan diMadura lebih kuat pada kaum perempuan.

Lahan Pekarangan
Sepintas kampung ini memang besar. Diantara 10 rumah, umumnya dibatasi sebuah parit kecil. Air paritnya juga berwarna coklat, malah terkesan kehitam-hitaman. Dipekarangan tidak terlalu banyak yang ditanam warga. ”kampung kami setiap minggu selalu terkena banjir pasang sungai” ujar Khotifah membuka cerita. Pengamatan saya, keadaan muka bumi dikampung ini sangat rata, tidak ada pegunungan atau perbukitan yang tampak, lebih 90% lahan gambut. Di kampung ini, terdapat beberapa sungai, antara lain, sungai Landak, sungai Mandor dan sungai Sambih. Keadaan jalan tanah juga sangat rata, dikiri kanan jalan terbuat parit berukuran 1-1,5 m, tanaman yang terlihat, kebanyakan karet, asam, pinang, pisang sedangkan tumbuhan semaknya kebanyakan rerumputan yang menjalar. Selain itu, tanah di desa ini umumnya adalah tanah hitam, sungguhpun demikian, terdapat banyak tumbuhan yang hidup ditanah ini yang menjadi sumber penghidupan warga diantaranya karet, tanaman semusim, rumput. Tanah cukup subur, untuk tanaman ubi dapat tumbuh dengan baik tanpa pengolahan lahan yang berlebihan. Kondisi tanah didaerah ini adalah lahan pasang surut, apabila musim pasang air akan merandam lahan sehingga petani tidak efektif menggunakan lahan. Kurangnya pemanfaatan lahan pekarangan rumah.

Dua Sungai Besar dan Fasilitas Umum
Sore yang cerah, kami menyempatkan diri untuk berperahu disekitar kampung. Lebih dari sepuluh anak mengikuti kami. Dengan perahu, kami menyusuri Parit H Nazarius menuju muara parit, sungai Landak. Rantau Panjang dikelilingi oleh 2 sungai, yaitu Sungai Landak dan Sungai Mandor. Dua sungai ini mempunyai beberapa anak sungai, seperti : sungai gatal, sungai jawi, sungai pogok dan sungai sambeh. Maka dari itu, kampung dimana sungai itu berada oleh masyarakat setempat dijadikan nama kampung. Adapun sungai yang terbesar diantara anak-anak sungai ini adalah sungai sambeh. Sungai Sambeh ini menjadi satu-satunya jalan transportasi ke ibukota Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak. Sungai-sungai umumnya berair hitam. ”banyak ikan tapah disungai ini” ujar Aris, bocah kecil yang sore itu menjadi guide kami. Menurut siswa kelas 4 sekolah dasar ini, warga menggunakan sungai sebagai mata pencaharian. Mereka memancing dan memasang perangkap untuk mendapatkan ikan. Ikan yang berhasil diperoleh kemudian digunakan untuk konsumsi sehari-hari dan ada juga yang dijual kepada warga kampung.
Umar Noyo, warga setempat yang menyusul perjalanan kami menceritakan beberapa tahun ini sungai sudah tidak sehat lagi. Ikan-ikan sudah sulit didapat. Air sungai juga sudah keruh. ”tampaknya akibat penambangan emas dihulu Sungai Mandor” sahutnya lirih. Kegelisahan tampak diwajah aktivis pemuda ini. Gelisah oleh masa depan anak-anak mereka. Tidak lama mengganggu pemikiran Umar Noyo dan bocah-bocah itu, kami merapat diatas parit dan berjalan kaki. Kami menuju rumah Pak Supandi. Umar Noyo, seorang penyiar radio komunitas yang didukung oleh NGO ini menceritakan bahwa di kampung ini sebelum dibangunnya jalan utama seperti sekarang, dulunya hanya berupa jalan setapak yang kira-kira 200 meter dari tepi sungai. ”Jalan inilah yang menjadi jalan utama masyarakat Rantau panjang, dengan memakan waktu tempuh sekitar 2 jam berjalan kaki” ujarnya mengawali cerita tentang fasilitas umum warga. Setelah datang beberapa orang yang menjadi tokoh pembangunan, lanjutnya, maka kampung Rantau Panjang jalan utamanya berhasil dirubah, yaitu sekitar 400 meter dari tepi sungai. Diantara tokoh pembangunan tersebut antara lain Pak Tiyap, yang pertama kali datang sekitar tahun 1964. tokoh yang satu ini sempat menjadi Kepala Desa Rantau Panjang, dengan masa jabatan 1989 sampai 2001. Selain Pak Tiyap, juga ada yang bernama Pak Sumari dan Ustadz Maksudi yang datang pada tahun 1965. ”Dengan datangnya 2 orang tokoh masyarakat tesebut, mereka lansung membangun jalan yang sekarang menjadi jalan jalan raya (jalan utama) desa rantau panjang” lanjut pria keturunan Bugis ini.

Kampung-kampung Sekitar
Lima belas menit berjalan kaki, kami singgah disebuah pondok tepi parit. Dipondok ini ada warung kopi milik seorang warga. Sekali lagi Umar Noyo bercerita bahwa Rantau Panjang adalah Desa dengan jumlah kampung terbanyak di Kecamatan Sebangki. Sambil menyerubut kopi panas, lelaki berusia sekitar 32 tahun ini melanjutkan cerita. Nama-nama kampung yang ada di Desa Rantau Panjang, sebagai berikut: Kuala Mandor, Rantau Panjang Kecil, Sungai Gatal, Sungai Jawi, Sungai Pogok, Parit Baru, Kampung Tengah, Tanjung Kepala Dua, Setoket, Kuala Sambeh, Teluk Bakong, Menanik, Teluk Biong dan kampung Krueng. Berdasarkan wilayah administrative pemerintahan desa, ke empat belas (14) kampung tersebut diatas, terbagi menjadi empat (4) dusun, yaitu : Dusun Kuala Mandor (Kuala Mandor I dan Kuala Mandor II), Dusun Rantau Panjang (Rantau Panjang dan Sungai Gatal), Dusun Sungai Pogok (Sungai Jawi, Sungai Pogok, Parit Baru, Kampung Tengah Dan Tanjung Kepala Dua), dan Dusun Kuala Sambeh (Stoket, Kuala Sambeh, Teluk Bakong, Menanik, Teluk Biong Dan Krueng). Jarak satu kampung ke kampung lainnya saling berjauhan.
Menurut Supandi, Kepala Desa Rantau Panjang, diperkirakan jarak antara kampung serbagai berikut: Dari Dusun Pogok ke Dusun Rantau Panjang berjarak ± 3 km, Dari Dusun Pogok ke Dusun Kuala Sambih berjarak ± 4 km dan Dari Dusun Pogok ke Dusun Kuala Mandor berjarak ± 6 km. Tidak terasa kopi sudah hampir habis dicawan plastik. Badan sudah terasa gatal, meminta mandi. ”kopinya nikmat sekali, tampaknya tidak dicampur jagung ya ?” tanya saya kepada penjaga warung. ”iya pak, kopi disini kebanyakan dibeli dari pasar Flamboyan Pontianak” jawabnya sambil tersenyum. Pasar flamboyan memang akrab di masyarakat Rantau Panjang. Disanalah mereka menjual hasil bumi dari kampung, yakni Keladi.


Makanan
Sekitar jam tujuh malam itu, hidangan malam sudah tersedia rapi disuguhkan tuan rumah. Berempat, kami duduk melingkari suguhan. Sayur keladi, ikan libis, sambal ikan teri dan telur dadar goreng siap disantap. ”maaf pak, ndak ada lauk dan sayur yang biasa bapak makan di kota. Dikampung ini, kami sulit dapat sayur dan lauk” sahut Supandi mengawali acara makan malam itu. Dengan letak geografis yang sulit, alat transportasi yang terbatas serta kondisi tanah yang tingkat keasamannya yang tinggi sangat memungkinkan alasan Supandi. Untuk sekedar membeli sayur sawi, kacang, dll dikota, kami harus menyediakan uang sekitar 100 ribu. ”uang sebesar itu lebih banyak untuk bayar ”tambang” motor air pak, jadi sisanya untuk beli sayur” lanjutnya.
Kemurungan terpancar diwajah Kepala Desa ini. Tampaknya tanpa sadar ia telah membuka betapa sulitnya mereka hidup diantara parit-parit yang dikelilingi sungai besar dan tanah gambut. Tidak ada alasan yang lebih serius bagi mereka untuk merubah hidup yang lebih baik dimasa depan. Kondisi alam Rantau Panjang sangat mendukung kesulitan mereka.

Mata Pencaharian
Sejak awalnya suku Madura masuk ke Rantau Panjang sampai sekarang ini mata pencaharian asli adalah petani karet, padi, jagung, ubi kayu, petani sayur dan beberapa pekerjaan yang lain. Sekitar tahun 1984 para pemuda mulai enggan untuk bertani, karena tergiur oleh pekerjaan yang lebih besar hasilnya, seperti pekerja kayu. Menurut pemikiran mereka pekerjaan kayu menghasilkan uang yang sangat banyak dalam hal ini dapat menghidupi kebutuhan keluarga, misalnya menabung untuk masa depan anak sekolah selain itu waktu untuk istirahat sangat banyak, dari pada mereka bertani di kampung.
Masyarakat rata-rata bekerja sebagai pemotong karet alam (menoreh), hampir semua wilayah ditanami karet. Pada tahun 1989 penduduk pernah mendapat bantuan bibit karet unggul dari pemerintah, namun masyarakat tidak dapat mengetahui cara menanamnya dengan baik dan hasilnya gagal. Untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya ada yang menanam padi dan jagung yang hasilnya mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Taraf hidup masyarakat rata-rata diatas 70 % sebagai orang yang berpenghasilan rendah, tetapi ada sebagian yang cukup baik penghasilannya, seperti para pembeli (toke) karet, mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa mendapatkan hasil yang cukup besar. Selain bertani, masyarakat ada juga sebagian yang menjadi peternak ayam, yaitu diantara empat dusun. Disetiap dusun ada sekitar satu atau dua orang yang beternak ayam, yang hasilnya untuk kebutuhan penduduk sekitar. Hasil kebutuhan itu digunakan / dimanfaatkan untuk kebutuhan saat menghadapi hari-hari besar keagamaan (hari raya idul fitri, idul adha, mauled nabi dan kebutuhan-kebutuhan yang lainnya). Mereka (peternak ayam) merasa membantu meringankan beban masyarakat, karena ayam-ayam tersebut dijual secara murah dan kadang-kadang dapat memberi hutang (kemudahan) untuk masyarakat.

Sejarah Asal-Usul
Jarum jam baru menunjukan pukul delapan malam. Belasan warga, kebanyakan laki-laki dewasa berkumpul dan duduk melingkar. Kami seakan terkepung dan sulit keluar. Remaja lelaki memenuhi pelataran rumah sederhana itu. Mereka menikmati alunan musik dangdut distudio radio komunitas “Suara Madayu” 2 meter dari ruang tamu rumah itu. Radio komunitas memang satu-satunya hiburan bagi mereka. Radio ini terbangun tahun 2005 berkat dukungan YPPN yang dibantu Yayasan Tifa Jakarta. Radio itu sedang on air, setiap hari 5 jam dari pukul enam hingga pukul sebelas malam. Seorang operator dan seorang penyiar tampak duduk dibangku masing-masing. Mereka tampak sibuk melayani warga yang berkerumun disekitar studio. Mereka siap menerima surat pendengar yang ingin berbagi kisah dan mengirim lagu. Para wanita dewasa berkumpul disebuah ruang tambu belakang dan tidak berani untuk berkumpul bersama diruangan itu dengan kaum lelaki. “budaya kami memang begini pak” ujar Musyafa’ Arifin, pemuda kampung itu.
Mengawali pertemuan itu, saya dan Paulus menjelaskan alasan kedatangan. Belum genap lima menit menjelaskan, cerita mulai mengalir dari mulut ke mulut peserta pertemuan. Dengan mengutip Wiyata, H.Zamachsyari, intelektual Madura di Rantau Panjang, migrasi orang Madura ke Kalimantan Barat, bisa di bagi dalam tiga gelombang: Gelombang pertama, di perkirakan tahun 1900an – sebelum kemerdekan, yang dapat di pandang sebagai masa perintisan awal. Inilah masa-masa kepahitan dan penderitaan, sebagai mana lazimnya di alami oleh para pionir. ”Tidak sedikit mereka di jual dalam tenaga kerja dengan gaji sangat murah. Melalui jalur garam, sapi dan kambing para juragan perahu layar membujuk orang-orang Madura dari kampung-kampung di sekitar Sumenep, Bangkalan, Sampit, dan daerah lainnya untuk bekerja membuka hutan bakal perkebunan” ujarnya membuka cerita. Menurut aktivis pendidikan ini, dalam periode inilah mulai adanya sekelompok orang-orang Madura yang memasuki wilayah Ambawang, Retok dan sebagian Sebangki dan sekitarnya, mereka pada umumnya di pekerjakan oleh orang-orang Bugis untuk membuka lahan-lahan untuk kebun karet, sebagai ganti tenaga biasanya mereka dengan mekanisme bagi hasil. Lambat laun orang-orang Madura ini selain tetap di jadikan kuli oleh orang-orang Bugis di kebun, mereka juga (suku Madura) membuka lahan sendiri yang saat ini berkembang menjadi perkampungan tersendiri terpisah dengan suku-suku yang lain. Karena itupula, umumnya perkampungan mereka memotong arah DAS dan untuk menghubungkannya dengan sungai mereka menggali parit-parit. Setiap parit, ditunjuk warga seorang yang bergelar Kepala Parit. Dari nama Kepala Parit inilah kemudian muncul nama-nama kampung seperti Parit Pak Satari, Parit Mariana, Parit Adam, dll.
Gelombang kedua, migrasi Madura terjadi setelah kemerdekaan yakni sekitar tahun 1942-1950. Ekonomi tidak menentu sehingga orang-orang Madura cenderung mengikuti jejak awal para pionernya untuk mengadu nasib dan mau bekerja apa saja tergantung wilayah yang di tuju dengan istilah mereka “teretan”. Masa ini juga pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya dengan peluncuran program transmigrasi yang lebih bersemangat dan menjanjikan, di lain pihak pulau Madura yang semakin padat rasanya tak akan mampu menampung semua orang-orang Madura. Gelombang ketiga dan selanjutnya adalah tidak hanya didasari oleh motif mencari pekerjaan, tetapi lebih pada harapan pencarian kehidupan baru yang lebih manusiawi, sehingga Rantau Panjang dan sekitarnya adalah dunia baru dengan segala pengharapan. ”kakek saya dulunya sangat bersemangat bekerja untuk merubah nasib” cerita H.Tiyap, 68 tahun. Walaupun hidup dengan keras dikawasan sungai yang berbahaya, mereka berusaha untuk tetap hidup dan berkembang dengan wajar, sebagaimana cita-cita imigran umumnya, jelasnya dengan mata berkaca-kaca. Mungkin saja Pak Tiyap sedang mengenang masa lalu yang sangat pahit.
Musyafa’, seorang intelektual muda yang masih kuliah di STAIN Pontianak. hingga hari ini belum ada catatan sejarah, sejak kapan orang Madura datang dan menetap di Rantau Panjang. H. Tiyap, mantan Kades menambahkan kira-kira tahun 1920-an ada lima orang Madura dari Sumenep yang merantau dengan menumpang kapal laut ke Pontianak. ”mereka adalah: Mbah Mahat, Mbah Uyar, Mbah Punadin, Mbah Tarsima dan Mbah Longgik” ujarnya seraya beringsut kecil dari duduknya. Mungkin ia mulai penat. Kelima bersaudara ini, karena niatnya hanya untuk ”survey” usaha dan untuk beberapa waktu saja, kemudian mereka ingin kembali kedaerah asalnya. Namun pada saat itu Belanda melakukan penyerangan dan pemboman dimana-mana maka pemerintah atau raja yang berkuas keetika itu melarang mereka untuk pulang kedaerahnya, Sultan Pontianak ketika itu memberi jaminan akan melindungi setiap orang yang datang ke pontianak, baik penduduk asli maupun pendatang. ”Akhirnya para perantau suku Madura tidak dapat pulang kedaearah asal karena keamanan tidak menjamin keselamatan mereaka ditambah keadaan semakin sulit terkendali, kemudian melihat kondisi tersebut para perantau ini memetap di pontianak dan, meninggalkan keluarganya di Madura” lanjutnya. Beberapa waktu kemudian, lanjutnya, mbah Mahat dan yang lainnya bertemu dengan seorang berdarah Bugis. Mereka kemudian diajak untuk bekerjasama yaitu membuka lahan atau membuka tanah sebagai tempat tinggal. Orang-orang bugis cenderung tinggal di pinggiran sungai, maka untuk memperluas area pemukiman yang masih hutan rimba orang-orang Madura akhirnya meminta izin pada Sultan Pontianak untuk memperluas atau membuka tanah di suatu daerah dipinggir sungai yang ketika itu masih banyak buaya. ”Orang-orang Bugis kemudian mengajak orang Madura itu untuk membantunya membuka lahan dengan kesepakatan bahwa jika luas tanah yang ditebang atau dibuka 100 m, maka 25 m untuk pekerja dan selebihnya (75 m) untuk orang bugis, selain berupa bagi tanah biasanya ada upah berupa uang” sambung Supandi.
Supandi yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Rantau Panjang menjelaskan bahwa nenek moyang mereka kemudian sambil membuka lahan merekapun tinggal di daerah itu sedangkan orang Bugis tetap tinggal di pinggir sungai dan pulang pergi ke Pontianak untuk berbelanja. Semakin luas lahan di buka, maka semangkin banyak tanah yang di jadikan pemukiman, karena orang Bugis saat itu lebih berpendidikan dari pada orang Madura, maka lahan tersebut di buat surat tanah dan menjadi hak milik orang Bugis itu. Semakin lama orang Madura yang tinggal di daerah yang di bukanya, maka merekapun tidak lagi kembali kedaerah asal walau keadaan sudah pulih dan aman. Mereka menetap di daerah tersebut dan kemudian banyak keluarga dan bukan keluarga datang ke Pontianak dan menemui mereka. Akhirnya merekapun menikah dengan pendatang dari suku Madura pula dan membangun rumah dan tinggal di kawasan lahan yang mereka buka kemudian daerah tersebut di beri nama sesuai dengan luas dan panjang kawasan tersebut, yaitu sekitar 12 km, maka kawasan yang mereka buka ini kemudian di beri nama Rantau Panjang. “Hampir duapuluh tahun kemudian, wilayah Rantau Panjang ini semakin meluas karena semakin ramai penghuni, akhirnya sesuai dengan tempat dan kawasannya maka namanyapun bermacam-macam yaitu : Kuala Mandor, Sui-Pogok, Sui Jawi, Kuala Sambih dan lain-lain, tetapi semua desa ini berada di satu kawasan berbentuk pulau memanjang dan di kelilingi sungai” ujarnya kemudian. Menurut catatan Supandi, penghuni awal Rantau Panjang ada 19 keluarga yang hamper semuanya bersaudara kandung dan sepupu, diantaranya: Wak Lumpak, Wak Tepok, Wak Bampe’ dan Wak Bece’, mereka semua adalah saudara sekandung. Selain itu ada juga ada beberapa orang warga yang ikut bersama mereka, diantaranya Wak Remang, Wak Kunduk dan adiknya, Mbah Mahad, Mbah Uyar, Mbah Punadin, Mbah Tarsimah, Mbah Longgik, Pak Pacer, Pak Kejeng, Madin, Mayar, Nawar, Pak Sukarti dan pak Munanti.. sedangkan Wak Budre dan seorang adiknya adalah penduduk asli yang datang dari tanah Bugis. Pada saat mereka membuka (menebang) hutan , mereka tidak pernah menemukan bekas rumah kampung lain, selain di tanah Bugis sendiri.
Awalnya, tambah H. Tiyap, mereka semua masuk dengan cara mengambil upah menebang hutan pada suku Bugis yang masuk terlebih dahulu. Suku Bugis pada waktu itu disebut “toke”, sedangkan suku Madura disebut kuli. Adapun cara orang-orang Bugis memepekerjakan suku Madura derngan memberi upah atau terlebih dahulu suku Madura dibuatkan rumah asal jadi atau pondok kecil dengan hasil penebangan hutan yang mereka kerjakan. Bagi mereka yang menetap di Rantau Panjang, mereka juga membawa keluarganya atau sanak familinya untuk melanjutkan pekerjaannya di rantau Panjang, sekaligus mengambil upah serta diberi lokasi oleh toke untuk membangun rumah dan masing-masing membangun rumahnya sendiri. Merasa pekerjaannya membawa hasil atau keuntungan, maka mereka mengajak keluarganya yang lain untuk datang ke Rantau Panjang untuk berkerja bersama-sama dengan mereka. Sesampainya keluarga mereka disana, mereka langsung memberitahukan kepada toke untuk memperkerjakan keluarga mereka.

Penduduk
Menurut data dari Kantor Kepala Desa Rantau Panjang, jumlah kepala keluarga di kampung ini ada 151 keluarga. Secara umum, penduduk Desa Rantau Panjang yang terdiri dari 4 dusun berjumlah 552 keluarga dengan jumlah penduduk 2.407 jiwa. Berikut rinciannya:
Nama Dusun Jumlah KK Laki-laki Perempuan Jumlah jiwa
Kuala sambih 106 256 246 502
Sei Pogok 156 312 343 655
R. Panjang 151 311 343 654
Kuala Mandor 139 300 296 596
Total 2.407
(sumber: Kantor Kepala Desa, 2004)
Kehidupan penduduk yang di dominasi oleh orang Madura dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan social cukup baik. Bisa dikatakan diatas 60 % penduduknya akrab dan ramah dengan lingkungan. Dikampung ini, selain Madura ternyata masih ada juga penduduk dari etnik lain. Umumnya Cina dan sedikit Bugis. Sungguhpun demikian, tidak menjadi penghalang bagi warga untuk saling mengerti dan memahami perbedaan antar etnis. “Dalam melaksanakan gotong royong membuat jalan umum, membangun tempat-tempat ibadah, kami masih saling tolong-menolong, bantu-membantu antara satu sama lain. Baik itu berupa harta maupun tenaga” ujar H.Tiyap. Dalam perjalanan hidup disini, kami tidak lagi membedakan suku, ras dan agama, yang penting hal tersebut tidak menyalahi aturan-aturan (ketetapan), karena menurut kami apabila kegiatan-kegiatan itu bersifat umum (bukan kegiatan keagamaan) kami merasa punya tanggung jawab masing-masing individu, lanjutnya.

Kesehatan
Dari penelusuran Paulus, kampung ini tampaknya tidak pernah menikmati fasilitas kesehatan pemerintah baik berupa gedung puskesmas maupun tenaga medis. Sungguhpun demikian, tingkat kesehatan penduduk dalam rentang waktu yang cukup panjang sudah cukup baik, walaupun dari awal berdirinya kampung tidak pernah ada petugas medis pemerintah yang ditugaskan. Pak Tiyap, menceriterakan, tahun 1994-1997 pernah ada petugas bidan desa yang ditugaskan ke Rantau Panjang, namun tidak aktif. “ia datang satu minggu satu kali, bahkan terkiadang satu bulan tidak pernah datang” ujarnya sambil mengisap rokok dalam-dalam. Kegetiran terasa dibibirnya yang hitam. Menurutnya, bidan desa itu pernah mengeluh kepadanya yang pada saat itu masih menjabat sebagai Kepala Desa bahwa ia sangat merasa kesukaran / kesulitan transportasi untuk menempuh jarak dari Pontianak ke Rantau Panjang yang cukup jauh. Bidan itu tinggal di Kota Pontianak. Dilanjutkan kakek dari enam belas cucu ini, bahwa pada tahun 1999-2001 kembali ditugaskan tenaga kesehatan yaitu masih berupa bidan desa yang masih bertugas tidak tetap (PTT), namun sama halnya dengan petugas pertama. Bidan ini tidak aktif di tempat, kalau ditanya alasannya sulitnya tranportasi, dikarenakan ia tinggal di Kota Pontianak. Penduduk rantau panjang, apabila mengalami sakit ringan seperti demam, filek dan penyakit ringan lainnya, maka cara berobat mereka memakai obat trdisional, seperti mendatangi dukun kampung. Hal ini dikarenakan sulitnya bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah misalnya bidan desa.

Pagi itu sangat cerah. Kedamaian sebuah kampung yang sulit dijangkau orang luar juga terasa. Anak-anak dengan berjalan kaki diatas parit dan sebagian lainnya mengayuh perahu menyusuri parit-parit yang kecil berseragam sekolah. Mereka tanpa alas kaki. Dipemukiman, tidak ada warga yang beraktivitas. Lelaki dan perempuan dewasa kembali menunaikan tugas rutinnya, mereka menyadap karet. Sebagian perempuan juga membawa ”jarai” untuk mengangkut keladi air, yang banyak sekali tersebar disepanjang parit dan sungai. Keladi air memang menjadi mata pencaharian penduduk selain menyadap karet. Sambil menenteng kamera digital yang sudah hampir usang dan notes yang sudah mulai kotor, saya dan Paulus berjalan kaki menuju sebuah sekolah dasar. Sekolah yang dikelola oleh 3 orang guru dengan 180 murid. Lima belas menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai digedung sekolah yang sudah tidak layak ini. Kami menemui Khotifah, seorang guru perempuan disekolah itu.

Pendidikan
Sebagaimana orang Madura pada umumnya, warga Madura di kampung ini masih mengembangkan model-model pendidikan pesantren. Mereka juga memperdalam agama Islam. Penduduk yang berkecukupan menyekolahkan anaknya di Pondok Pesantren di Kota Pontianak. Setelah tamat sekolah, banyak sekali santri ini yang mengembangkan agama Islam dengan membuka Pondok Pesantren di Sei Ambawang dan Kuala Mandor B. Menurut Khotifah, berbeda dengan warga Madura di Rantau Panjang, warga Madura yang bermukim di Ambawang dan Kuala Mandor B mempunyai kebiasaan menitipkan anak-anak mereka di Pondok-pondok Pesantren yang ada di wilayah Madura. ”Setelah dalam kurun waktu tertentu anak tersebut akan kembali ke orang tuanya (di kampung) apa bila anak tersebut telah berkeluarga serta memiliki anak maka mereka juga akan mengikuti jejak orang tuanya dulu terhadap anak mereka, demikianlah kebiasaan ini menjadi turun temurun” ujarnya. Sikap sosial suku Madura yang ada Rantau Panjang juga masih sangat tinggi. ” seseorang yang telah berhasil di tanah seberang akan senang hati mengirimkan uang ke tempat asalnya” lanjutnya. Ibu muda ini menjelaskan bahwa mereka juga akan memberi tumpangan/penampungan sementara pada saudaranya hingga mereka bisa mandiri di tanah rantau.
Ditambahkan Musyafa’ Arifin, sekitar tahun 1962, ada seorang ustad yang datang dari Pontianak dan membantu mengajar anak-anak Rantau Panjang, yaitu tentang ilmu agama, beliau bernama Ustad Maksudi. Sekitar 4 tahun ustad ini mengabdi. Pada tahun 1968 ustad ini kembali ke Pontianak. Karya ustad ini dilanjutkan oleh M. Zamachsyari sekitar tahun 1968. Beliau dari pulau jawa dan berasal dari suku Jawa. Beliau kemudian menikah dengan anak Mbah Mahat, tokoh dikampung itu dan menetap di Rantau Panjang sampai sekarang. Sekitar tahun 1980-an, beliau M. Zamachsyari mendirikan yayasan yang mengelola sebuah madrasah yang khusus mengajarkan pendidikan agama islam. Setelah beberapa tahun berjalan sekitar tahun 1984 madrasah tersebut tidak hanya untuk belajar agama tetapi juga pendidikan umum yang setara dengan SD dan di beri nama “Madrasah Ibtidaiyah Tabiyatul Islamiyah” yang di bina langsung oleh Bp. M. Zamachsyari. MIS yang tadinya swasta kini berubah menjadi MIN dan merupakan satu-satunya Madrasyah Ibtidaiyah Negeri di Kabupaten Landak.

Kepemimpinan
Sejak tahun 1930, kampung ini telah dipimpin oleh sembilan (9) kepala desa. Mereka adalah Abdur Rahman (Wak Remang), Wakji Seman, Wakji Lolo, Wak Longgeng, H. M. Yunus (Wak Nusuk), Wak Kitta, Rusli Buana, Rahman, Pak Tiyap, dan Supandi, Kepala Desa sekarang ini. Pada masa kepemimpinan Wak Longgeng satu desa sempat terjadi dua pemimpin, karena di masa itu ada yang disebut kepala kampung yaitu: Pak Margena (suku Madura) beliau adalah kepala kampung tradisional suku Madura, bukan kepala kampung bentukan pemerintah ketika itu.
Dalam menjalankan pemerintahannya, seorang Kepala Kampung juga tetap menjaga nilai-nilai islam ditengah-tengah warganya. Islam telah merasuk dalam pola-pola kepemimpinan suku ini, yang tentunya disertai dengan adat-istiadat lama. Citra Madura sebagai “masyarakat santri” masih sangat kuat. Seseorang yang sudah Haji misalnya, dianggap telah memperoleh kesempurnaan hidup. Seorang Haji bisa memerintahkan warganya untuk melakukan pembangunan tertentu. ”Hampir setiap rumah orang Madura memiliki bangunan langgar atau surau sebagai tempat keluarga melakukan ibadah sholat” ujar Supandi. Menurutnya, lokasi surau selalu berada di ujung timur halaman bagian barat sebagai simbolisasi lokasi Ka’bah yang merupakan kiblat orang islam ketika melaksanakan ibadah sholat.

Tokoh-tokoh kunci
Sebagaimana suku-suku lainnya di Kalimantan Barat, orang Parit ”Madura” dikampung ini juga memiliki tokoh-tokoh kunci yang sangat berpengaruh dimasyarakat. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi panutan dan sekaligus ”pengaman” warga bila menemui kesulitan dalam menjalani kehidupannya. Tokoh-tokoh kunci itu adalah sebagai berikut:

1. Keyae/Ulama
Bagi orang Madura di Rantau Panjang, sebutan untuk ulama adalah Keyae. Seorang Keyae adalah orang yang tinggi pengetahuan agamanya. ”Biasanya seorang Keyae, memiliki atau memimpin sebuah pondok pesantren. Tetapi, dapat juga karena ia memiliki darah keturunan dari seorang Keyae” ujar H. Tiyap. Sampai saat ini, menurutnya, unsure keturunan itu merupakan factor penentu penyebutan seseorang sebagai Keyae. Apalagi factor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang Keyae yang karismatik, maka anak-anaknya, secara otomatis, juga akan digelari masyarakat sebagai Keyae. Ia akan mudah mempengaruhi dan mengerakkan masyarakatnya. Ulama juga memiliki tempat yang khusus dalam kehidupan masyarakat.
Keyae tidak hanya karena proses histories seperti di atas, tetapi juga didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (tegal) dan struktur pemukiman penduduk yang ada. Kondisi-kondisi demikian, kemudian melahirkan organisasi sosial yang bertumpu pada agama dan otoritas ulama. Ulama merupakan perekat solidaritas dan kegiatan ritual keagamaan, pembangun sentiment kolektif keagamaan, dan sekaligus penyatu elemen-elemen sosial yang tersebar karena factor-faktor ekologis dan struktur pemukiman tersebut. Oleh karena itu, bukan hal yang berlebihan jika ulama atau Keyae sebagai pemegang otoritas keagamaan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan orang Madura dikampung ini.
“Dalam masyarakat kami, Keyae paling dihormati dibandingkan dengan golongan sosial yang lain. Keyae memiliki harta dan penghormatan sosial dari masyarakatnya. Keyaea kan lebih dihormati kalau ia memiliki charisma dan keramat (memiliki ilmu gaib) karena kelebihan ilmu agamanya itu” ujar Supandi. Menurut bapak dua putri ini, apa yang dikatakan Keyae akan dituruti dan di laksanakan umatnya (orang Madura). Pejabat dan orang kaya di sini, masih hormat kepada Keyae. ”Setelah Keyae, pejabatlah yang dihormati masyarakat Madura. Mereka symbol keberhasilan sukses duniawi bagi seseorang dan memiliki status sosial yang baik, karena kedudukannya sebagai pejabat atau pegawai pemerintah” lanjut aktivis ini. Orang kaya, menurutnya kalau hormat akan mencium tangan Keyae. Orang kaya dihormati kalau ia baik. Artinya, kekayaan yang diperolehnya itu dengan jalan baik dan perbuatan sosialnya juga baik. Harta yang baik (halal) akan menjaga martabat pemiliknya. Kalau tidak, di kurang dihargai masyarakat. Jadi, di Madura, dasar penghormatan terhadap seseorang berturut-turut adalah kemampuan agamanya, ilmunya (ilmu dunia), dan baru hartanya.”
H. Tiyap menceritakan, hubungan Keyae dan umatnya sangat dekat, dan Keyae memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Apa yang dikatakan oleh seorang Keyae niscaya akan diikuti oleh umatnya, bahkan kadang-kadang tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau tidak. ”Masuknya Keyae dalam kegiatan politik praktis yang cukup meningkat di Kalimantan Barat pada masa reformasi ini sering memanfaatkan mobilitas umat untuk kepentingan politik praktis mereka” ujarnya sambil tersenyum. Apa yang dikatakan H.Tiyap ini memang beralasan. Sebab menurutnya, dalam hal moralitas, umat melihat Keyae secara konservatif. Pandangan ini, biasanya, berbeda dengan pandangan umum masyarakat di luar pesantren atau di luar orang Madura. “Rata-rata istri Keyae di Madura adalah 4 orang. Jarang ada perempuan yang menolak lamaran Keyae, tetapi jumlah yang demikian jarang sekali. Dikawini oleh Keyae, besar barokahnya bagi orang perempuan” lanjutnya tertawa. Ditambahkannya, bagaimana orang perempuan tidak mau? Keyae itu kan memiliki harta benda atau kekayaan yang cukup, dihormati orang, dan apa lagi jika Keyae baik dari segi fisik (tampan) dan psikis? Bagi keluarga perempuan, menikah dengan Keyae juga untuk mengangkat status sosial keluarganya dimata masyarakat. Banyak istri seorang Keyae, tidak mengubah persepsi masyarakat terhadap dirinya.
Seorang Ulama menjadi panutan masyarakat, disamping karena dianggap menguasai masalah keagamaan, juga dianggap memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan, yakni kesaktian. Para ulama umumnya dianggap mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu berupa kajunela atau kasektean, terutama ketika yang bersangkutan hendak membuka “daerah baru” yang masih belum santri. Dalam kehidupan sosial, warga lebih berorientasi kepada ulama daripada kepada birokrasi. Namun, ulama diMadura, seperti juga di jawa, selalu tumbuh dikalangan elite ekonomi dan sekaligus politik setempat. Posisi ulama yang begitu sentral itu sejajar dengan kemampuan ekonomi mereka yang ham-pir pasti bersifat elitis. Akibat berbagai posisi yang dimiliki ulama tersebut tercipta pola hubungan yang bersifat paternalitis, yang menempatkan ulama sebagai patron dan maasyarakat sebagai klien. Kondisi hubungan dengan paternalitik inilah yang membuat ulama sebagai panutan atau acuan sikap masyarakat, terutama dalam urusan sosial politik

2. Blater
Selain Keyae, blater merupakan kelompok sosial yang cukup berpengaruh di kalangan masyarakat. Dalam pengertian local, blater adalah orang yang memiliki kecenderungan berperilaku kriminal, seperti mencuri, berjudi, main perempuan, membunuh, dan mabuk-mabukkan. Mereka ditakuti masyarakat karena keberingasan sosialnya. Kelompok inilah yang biasanya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan politik. Hubungan antara Keyae dengan kelompok blater cenderung bersifat simbiosis, saling membutuhkan, walaupun fungsi dan peranan sosial mereka antagonistic.
Tidak sedikit, seorang Keyae atau haji memiliki latar belakang sosial sebagai blater sehingga kadang-kadang perangai blater-nya tetap muncul, sekalipun mereka sudah menyandang symbol-simbol keagamaan Islam tersebut.

3. Dukun
Keberadaan seorang dukun juga masih kuat dikalangan masyarakat. Contoh yang paling mungkin dapat menjelaskan hal ini adalah dilihat dari kegiatan pelayanan kesehatan di Puskesmas belum secara optimal di manfaatkan oleh masyarakat. Mereka umumnya masih sangat kuat menggunakan system pengobatan medis tradisional yang dilakukan oleh dukun atau oleh seorang Keyae.
Dukun dan Keyae memiliki peranan utama dalam usaha penyembuhan dan kesehatan masyarakat. Akan tetapi, kegagalan fungsi kelembagaan kesehatan modern itu, secara antropologi, disebabkan para petugas kesehatan kurang memiliki pemahaman yang baik terhadap struktur sosial masyarakat Madura sehingga mereka kurang mendayagunakan potensi sosial (budaya) local untuk mencapai keberhasilan program-program pembangunan di bidang kesehatan masyarakat.

Sistem Religi
Orang Madura umumnya menganut agama islam. Ini masih sangat jelas di Desa Rantau Panjang. Didesa ini, hampir 98% penduduknya menganut agama islam, sisanya non islam, itupun karena mereka orang Cina. Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari masyarakat sangat menerapkan tata krama atau aturan agama yang telah dianut dari zaman nenek moyang mereka. Tata krama itu berupa perintah ataupun larangan agama yang tertera di dalam Al-Quran yang harus dilakukan atau dihindari, hal ini dikarenakan penerapan agama yang sudah melekat dan menjadi pedoman hidup pada orang Madura yang ada di rantau panjang.
Namun, selain kepercayaan yang teguh akan agama oleh orang Madura, ada sebagian kecil warga juga masih ada yang menyimpang dari jalan agama. Mereka ada juga yang bermain judi, mabuk-mabukan, sabung ayam, main togel dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dilarang oleh agama.

1. Akuru
Sebagaimana suku-suku lainnya di Kalimantan Barat, dalam kehidupan sehari-harinya, warga Rantau Panjang sebagian kecil masih ada yang mempercayai akan adanya mendapatkan harta secara akuruh (pesugian) atau lebih dikenal dengan sebutan memelihara tuyul (akuruh). Menurut pandangan mereka memelihara tuyul adalah jalan pintas untuk mendapatkan harta secara mudah walaupun itu sangat bertentangan dengan agama. Kepercayaan mucul karena ada sebagian orang bisa cepat mendapatkan harta yang banyak, dibandingkan dengan kebanyakan orang walau sudah berusaha sebanyak mungkin namun masih selalu kekurangan. Dan kekurangan tersebut diakibatkan oleh adanya pemeliharaan tuyul.
Menurut cerita, Tuyul yang dipelihara warga mengakibatkan kurangnya penghasilan pada orang yang tidak memelihara tuyul. Cerita-cerita tersebut mengatakan bahwa kekuatan kekuatan orang yang memelihara tuyul dapat mengambil harta orang lain secara samar, sampai mencapai empat puluh (40) rumah dari empat penjuru angin. Hal tersebut memang bersifat tuyul, namun tidak dapat dipungkiri kejadian tersebut memang benar adanya, akan tetapi tidak terbukti secara jelas.

2. Hantu Jaring
Kepercayaan orang Madura tehadap adanya hujan panas dan hantu jarring masig ada di dalam masyarakat rantau panjang. Dan juga mereka masih percaya dan mengatakan bahwa saat hujan panas turun ada makluk halus yang mengganggu manusia dan dapat menyebabkan orang sakit. Jarang ada orang yang dapat bertahan hidup jika sudah sakit akibat gangguan hantu jarring tersebut. Apabila diganggu hantu jarring bisa bertahan sampai tiga hari maka orang tersebut bisa selamat.

3. Buju’
Sebagai suku yang memiliki peradaban tinggi, Orang Madura pada dasarnya juga masih berorientasi pada dua alam, yaitu alam semesta (makrokosmos) dan alam diri sendiri (mikrokosmos). Demikian halnya dengan dunia yang terbagi dua, yang bersifat berlawanan, yaitu dunia nyata (alam nyata) dan dunia gaib (alam transcendental). Dunia nyata adalah dunia manusia beserta makhluk hidup lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk halus, termasuk roh leluhur dan tuhan sang pencipta alam. Walaupun alam kehidupan manusia berada didunia nyata, keberadaannya tidak terpisah dari dunia gaib. Keseimbangan hubungan antara kedua alam beserta segala isinya itu harus selalu dijaga supaya selalu tercapai kehidupan yang teratur dan harmonis. Masyarakat Madura memandang bahwa antara ketaatan dalam melaksanakan ajaran agama islam dan melestarikan kepercayaan asli dapat berjalan secara bersama. Mereka percaya bahwa roh orang yang meninggal tidak langsung hilang, tetapi dapat mempengaruhi anak cucu dan lingkungannya.
Menurut H. Tiyap, roh leluhur dapat dihubungi untuk maksud tertentu, seperti membuka lahan baru untuk areal pertanian ataupun mendirikan rumah baru. Bahkan, orang yang akan pergi keluar daerah, baik mencari pekerjaan ataupun belajar, biasanya terlebih dahulu, mendatangi makam leluhurnya untuk memohon doa restu dan perlindungan. Makam dan kuburan keramat mempunyai persamaan, yakni ditempat teasebut terdapat jenazah yang dikubur. Namun, ujarnya, secara spesifik, diantara keduanya terdapat perbedaan, yakni dalam hal jenazah siapa yang tertaman disitu. Untuk makam biasa, jenazah yang dikubur adalah angora keluarga biasa. Meskipun makamnya setiap malam jumat dikunjungi ahli warisnya untuk kirim doa dan mohon berkah, tapi semasa hidupnya dia tidak memiliki kelebihan dalam ilmu kanuragan atau bidang lain yang bermanfaat bagi hajad hidup orang banyak. Adapun kuburan kemamat, arwah (roh) yang bersemayam disitu dipercayai semasa hidupnya merupakan orang yang sakti. Kesaktiannya itu tidak hanya bermanfaat bagi ahli rawisnya, tetapi juga diperlukan untuk melindungi orang banyak (warga masyarakat). Kuburan keramat seperti itu disebut buju’ yang “kesaktiannya” sangat diperlukan bagi kepentingan public (public funcation).
Kepercayaan orang Madura terhadap buju’ cukup tinggi. Hamper di setiap kampung (dusun) di Desa Rantau Panjang terdapat buju’, yang sangat fungsional (sebagai axis powers) untuk menjaga keseimbangan kehidupan seluruh warga masyarakat setempat. Mengenai kesaktian buju’ di masing-masing tempat terdapat perbedaan atau keragaman, yang disosialisasikan melalhi legenda atau cerita rakyat (folklore). Isi legenda selalu menceritakan kebesaran tokoh saat masih hidup. Tokoh tersebut merupakan pengembara yang datang dari suatu kerajaan yang kemudian menjadi cikal bakal atau pembabat desa, atau dapat pula sebagai orang yang sakti ketika hidup, arwah yang bersemayam di makam itu bukanlah arwah orang sembarangan.
Roh penjaga buju’ dipercaya oleh masyarakat Madura sebagai arwah orang mati secara suci, yang dipanggil oleh tihan untuk melawan kekuasaan jahat. Dengan demikian, roh tersebut diharapkan melindungi manusia dari pengaruh roh-roh jahat. Kuburan orang seperti tiu, biasanya sering dikunjungi oleh ahli warisnya untuk dimintai pertolongan dan perlindungan dalam kehidupannya. Jika roh didalam kubur itu diyakini memiliki kekuatan yang besar, maka roh itu juga menjadi milik masyarakat luas, meskipun bukan keluarganya sehingga fungsinya pun lebih luas, yakni diyakini dapat melindungi penduduk setempat. Roh leluhur seperti itu disebut bangotowa, yaitu roh leluhur yang melindungi sebuah wilayah. Ada pun kuburannya disebut buju’, yaitu kuburan yang dikeramatkan oleh warga suatu wilayah yarena diyakini dapat memberikan perlindungan kepada sekluruh warga di wilayah itu. Bangotowa ini di Jawa sering disebut punen (kuburan leluhur) dan keberadaannya disana sering menjadi satu dengan danyang (penunggu gaib). Roh leluhur penghuni buju’ biasanya merupakan tokoh masyarakat yang pada masa hidupnya dipandang mempunyai kesaktian dan banyak berjasa bagi kehidupan masyarakat. Kebesaran tokoh itu, kemudian dilegitimasi melalui cerita legenda atau folklore secara turun-temurun sehingga pada generasi berikutnya difigurkan sebagai tokoh yang karismatik dan kesaktian yang ia miliki dipercayai masih menyatu dengan kuburannya.
Terdapat bermacam-macam bentuk legitimaasi tentang kuburan keramat yang terdapat di Madura. Semuanya tergantung kepada spesfikasi ketokohan arwah yang dikeramatkan atau respons masyarakat terhadap lingkungannya dalam mempertahankan hidupnya. Misalnya, kuburan itu dikeramatkan karena suatu ketika mengeluarkan cahaya terang pada malam hari. Cahaya itu sering diartikan dengan pulung yang identik dengan wahyu, yakni sebagai tanda-tanda alam yang dapat membawa berkah dari tuhan berupa kesejahteraan hidup bagi suatu warga, tempat cahaya itu berada. Namun, ada pula makam yang dikeramatkan karena terdapat salah seorang warga yang ditemui oleh roh penunggu buju’ melalui peristiwa mimpi (wangst).

Kebudayaan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kalimantan Barat memiliki catatan hitam tentang konflik kekerasan antar etnik. Hampir sepanjang republik ini, telah terjadi belasan kali konflik kekerasan antara etnik Dayak dengan Madura dan etnik Melayu dengan Madura. Bagaimana ”orang Parit” dikampung ini bersikap ?. Umar Noyo, mencatat, ketika konflik terjadi antara Dayak dengan Madura tahun 1996 dan 1997 lalu, warga Madura di Rantau Panjang tidak pernah merasa ketakutan akan serangan. Bukan karena mereka ”pemberani”, tetapi mereka amat yakin bahwa tidak mungkin saudaranya Suku Dayak menyerang mereka. H.Tiyap menceritakan, mereka sudah sangat lama berteman dengan orang-orang Dayak. Mereka bergaul dan sudah merasa saudara sekandung. ”itu terjadi karena kami saling bantu dalam banyak hal dan kami sangat menghargai adat istiadat mereka” lanjutnya. Diceritakannya, ketika terjadi kemalangan dikampung-kampung Dayak sekitar Rantau Panjang, ia mengerahkan warga Madura untuk berpartisipasi sosial. ”kami mengumpulkan uang dari rumah ke rumah unruk disumbangkan kepada saudara kami Dayak yang ditimpa kemalangan” ujarnya. Namun, kami juga tidak memungkiri bahwa kami juga seirng konflik disini. Adapun masalah konflik social antara penduduk kampung yang sering terjadi itu biasanya disebabkan oleh masuknya orang luar yang bukan asli penduduk Rantau Panjang lanjutnya.
Ditambahkan penyiar radio komunitas ”Madayu” ini, selain ada Budaya Damai sebagaimana diceritakan pak Tiyap, dikampung ini, hampir setiap tahun masih digelar pagelaran musik tradisional Madura. Sandur, nama kesenian itu. Kesenian ini sangat diminati oleh penduduk karena menurut menurut mereka, kesenian ini merupakan ciri khas budaya suku Madura. Di dalam kesenian Sandur tersebut terdapat atraksi pencak silat, dimana para penonton/ orang yang hadir dari luar daerah rantau panjang dapat menyumbangkan keahliannya dalam atraksi tersebut. Hal tesebut dapat mempererat hubungan kekerabatan dan rasa persatuan antar masyarakat.

1. Tanah dan Tata Nilainya
Orang Madura akan mempertahankan sejengkal tanahnya dengan taruhan nyawa. Tanah memang mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan mereka, terutama pengalaman hidup mereka ditanah leluhurnya di Pulau Madura. Secara umum tanah dikampung ini tidak memiliki produktivitas tinggi. Akibat sumber daya alam yang terbatas itu, sebagaimana telah dideskripsikan diatas, kehidupan mereka juga seadanya. Sangat sulit untuk berkembang dan maju. Menyadari itu, sejak pendampingan NGO seperti YPB dan YPPN, banyak pemuda Madura yang terdidik dikampung ini memilih melakukan migrasi dan bertempat tinggal di Kota Pontianak. Akibat arus urbanisasi yang cukup deras tersebut, timbul spekulasi pendapat disebagian orang luar Madura bahwa mereka tidak mementingkan tanah. Orang Madura memiliki pandangan yang dalam terhadap tanah. Terlihat dalam kehidupan orang Madura, tanah mempunyai dimensi yang amat luas, sesuai dengan nilai budaya yang berkembang dalam kehidupannya. Tanah tidak hanya dilihat dari nilai ekonomi, tetapi juga dilihat dari nilai-nilai lain yang menyertainya seperti nilai religius dan nilai kekerabatan yang terkait satu sama lain. Gambaran keseluruhan mengenai pandangan orang Madura terhadap tanah, pada dasarnya, merupakan gambaran kosmologi yang terkait dengan segala aspek kehidupan yang lebih luas.
Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang Madura dikampung ini masih mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur itu mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan dalam kehidupan manusia. Hanya karena berbeda alam, kontak antara keduanya terbatas. Gejala seperti itu tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacaya selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sajian makanan dan minuman kepada leluhur yang sebelumnya di beri doa oleh Keyae, dan kebiasaan masyarakat mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya.
Menurut kepercayaan orang Madura, roh nenek moyang datang pada setiap malam jumat untuk melihat keadaan rumah, tanah pekarangan, tanah tegalan. Roh itu datang tiga kali dalam satu malam, yaitu pada saat menjelang magrib, pukul satu, dan pukul tiga dinihari. Saat pergantian siang dan malam (sorop are atau para’ cumpet are) segala roh halus keluar, termasuk yang jahat. Oleh karena itu, anak-anak tidak boleh keluar rumah, terutama bagi giginya belum tanggal, karena dianggap sangat berbahaya. Melalui permohonan kepada roh nenek moyang diharapkan segala ganguan gaib itu dapat ditangkal. Untuk menyambut kedatangan roh leluhur mereka, dupa dibakar menjelang magrib, boleh dilakukan oleh orang laki-laki ataupun perempuan. Pembakaran dupa dapat dilakukan dihalaman rumah (taneam) dan didalam rumah, yang penting asap pembakaran dupa itu merata di seluruh bagian tersebut. Didalam rumah pembakaran dupa dilakukan di salah satu tiang (sesaka) yang terletak ditimur laut (mordhaja). Biasanya, diatasnya diletakkan pusaka atau kitab suci Al-Qur’an. Tujuan dari pembakaran dupa pada temapt-tempat tersebut, pertama adalah untuk memohon berkah daro roh leluhur yang menjaga tanah yang mereka tempati. Kedua, berkah diharapkan dari orang yang membuat pusaka yang diletakkan disalah satu tiang rumah, karena pembuatannya pasti yang sakti. Ketiga, Agar dapat berkah dari kanjeng nabi Muhammad SAW. Doa yang disampaikan adalah doa selamat agar seluruh keluarganya senantiasa mendapat perlindungan dari-Nya. Pada dasarnya, secara gaib tanah yang dimiliki oleh seseorang juga masih dikuasai oleh roh nenek noyang yang dulu memiliki tanah itu. Orang Madura sangat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah. Oleh karena itu, orang yang menguasai tanah harus mengetahui asal-usul tanah itu, karena hal itu berkaitan pengiriman doa dan permohonan berkah. Secara nyata tanah itu dimiliki oleh seseorang, tetapi secara gaib roh nenek moyang menyatu di dalam tanah itu dan sekaligus mempunyai hak kekuasaan atas tanah tersebut.
Hubungan tanah dengan roh leluhur juga terlihat dalam kebiasaan orang Madura mengubur jenazah. Setiap keluarga luas (extended family) pada umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Kuburan itu biasanya, terletak pada bagian timur tanah pekarangan. Menurut cerita, pada zaman dahulu biasanya orang menguburkan jenazah di dalam rumah. Kemudian, dalam perkembangannya jenazah dikubur di pekarangan dan, sekarang pada umumnya dibagian dari tanah tegalnya. Namun, semua itu tidak menutup kemungkinan untuk mengubur orang yang telah meninggal di tanah kuuran orang lain, tentunya setelah memohon izin kepada pemilik tanah. Karena hubungan tanah dengan roh leluhur yang begitu erat, penjualan tanah pada dasarnya dianggap sama halnya dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu, pantang bagi mereka untuk menjual tanah pekarangan maupun tanah tegalan kepada orang luar (bukan saudara). Selain malu terhadap tetangga, penjualan tanah tersebut dapat mengakibatkan ecapok tola atau kenning tola (tidak selamat atau sial). Jika salah seorang anggota keluarga ingin menjual tanahnya, sebagai pembeli biasanya adalah salah seorang anggota keluarga batihnya. Seandainya tidak ada, saudara sepupu atau dua sepupu juga boleh, yang penting pembeli tersebut masih ada hubungan darah. Di dalam melakukan transaksi tidak menggunakan istilah membeli tetapi mengganti. Semua itu untuk menetralisasi keadaan, baik terhadap tetangga maupun yang lebih penting terhadap nenek moyang. Aturan penjualan tanah tegalan lebih lunak bila dibandingkan dengan tanah pekarangan. Hal itu dikarenakan, tanah pekarangan dipandang mempunyai ikatan hubungan emosional yang lebih kuat, mengingat ditempat itu didirikan rumah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, secara rasional, adanya bagian kuburan pada tanah tegalan atau pekarangan akan mengakibatkan penjualan tanah, yang menurut adat, pantang untuk dilakukan. Mereka biasanya, menjual tanah untuk menambah biaya naik haji.
Hubungan antara tanah dan roh leluhur tampak pada upacara ritual pembuatan sumur. Perlengkapan yang diperlukan untuk upacara tersebut adalah tajin (bubur) tiga warna, yaitu putih, hijau, dan hitam, serta air kopi dan dupa. Tajin putih melambangkan kesucian niat orang yang membuat sumur, tajin hijau adalah lambing wana air itu ditujukan kepada Nabi Qidlir (juga Khidlir atau Khaidir) sebagai penguasa air, dan tajin warna hitam diartikan sebagai penolak bala. Adapun air kopi dan dupa dipersembahkan kepada roh nenek moyang yang menjaga tanah yang akan digali agar mendapat perlindungan. Hubungan antara tanah dan leluhur tampak lagi dalam upacara pembuatan rumah. Sebelum pondasi dipasang, sebuah upacara selamatan diselenggarakan yang dipimpin oleh seorang Keyae atau pemika agama. Selamatan diikuti oleh para tukang beserta tetangga yang turut membantu bekerja. Doa yang diucapkan Keyae selaku pemimpin upacara ditujukan kepada tuhan, Nabi Muhammad, dan para leluhur mereka agar mendapatkan berkah dan tidak mendapatkan gangguan apa pun terhadap rumah yang sedang dibangun.

2. Hubungan Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Madura menganut garis keturunan bapak. Pola hubungan kekerabatan ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip keturunan yang dianut baik secara vertical maupun horizontal. Namun, jika dilihat dari system pewarisan, terutama yang berupa tanah pekarangan dan rumah, terjadi ketidakkonsistenan. Berdasarkan adat yang berlaku, yang berhak mendapatkan rumah dan tanah pekarangan adalah anak perempuan. Itu berarti, pola pemukiman berdasarkan adat Madura adalah matrilokal genealogis. Hal itu tampak pada pola pemukiman ideal yang berlaku di Madura, yang disebut tanean lanjang (berarti ‘halaman panjang’). Jadi, yang dimaksud pola pemukiman tanean lajang adalah susunan rumah berjajar dari barat ke timur sesuai dengan jumlah anak perempuannya dan didepan rumah tersebut terdapat halaman memanjang yang dijadikan tempat untuk kegiatan bersama. Adapun, dibagian ujung paling barat terdapat surau, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersembahyang, tetapi juga dijadikan tempat berkumpul bersama atau untuk menerima tamu yang belum dikenal. Hubungan kekerabatan yang dijalankan oleh masyarakat Madura tidak terlepas dari hukum-hukum Islam, misalnya: boleh tidaknya seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang masih keluarga dekat atau saudara kandung. Ada tiga hal yang dapat kita lihat yaitu :
• Kerabat
a. Ibu Kandung
b. Nenek (baik dari ayah atau ibu)
c. Anak perempuan sampai ke cucu-cucunya
d. Saudara perempuan (baik seayah / seibu atau seayah-ibu)
e. Bibi (baik dari ayah atau ibu)
f. Keponakan (baik dari saudara seayah-seibu)
g. Keponakan yaitu anak saudara perempuan (baik dari saudara ayah atau ibu)

• Ada tali pernikahan yaitu :
a. Mertua
b. Anak tiri
c. Mantan isteri ayah atau kakek
d. Menantu (baik menantu dari anak atau cucu)

• Pernah menyusu, dengan syarat lima kali menyusu yaitu :
a. saudara perempuan satu susu
b. ibu yang menyusui

3. Kedudukan Perempuan
Seorang wanita yang sudah menikah, bila dipandang dari sudut masyarakat Madura adalah sebagai ibu rumah tangga, sekaligus pengasuh dan pembimbing bagi anak-anaknya. Namun didalam lingkungan mereka (masyarakat Madura) pihak laki-lakidan perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu dalam menanggung beban agama, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa dan kewajiban yang lainnya. Dalam kehidupan keluarga seorang isteri dan suami mempunyai hak yang sama baik dalam hormat-menghormati dan harga-menghargai antara satu dengan yang lainnya, dengan jalan memberikan kesempatan untuk masing-masing menyampaikan pendapatnya dalam mengatur urusan rumah tangga, baik itu mendidik anak. Selain itu sebagai seorang suami dan kepala keluarga, maka ia mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab mencari nafkah guna menghidupi isteri dan anak-anaknya.
Sebagaimana kebanyakan laki-laki di seluruh dunia berpendapat bahwa perempuan itu tidak mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan mereka, misalnya dalam pengambilan keputusan baik itu dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan pemerintahan. Tetapi dengan berjalannya waktu paradigma itu mulai berubah, dimana perempuan diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya baik dalam lingkungan keluarga maupun pemerintahan. Selain itu sekarang ini dapat kita lihat bukan saja pihak laki-laki yang dapat memimpin/memerintah, namun perempuan juga diberikan kesempatan untuk bersekolah/berkarir, memimpin, berpolitik dan dapat mengeluarkan pendapat. Tetapi sebaliknya didalam masyarakat Madura ada suatu perbedaan yang sangat besar antara laki-laki dan perempuan.

4. Sistem Pembagian Warisan
Sistem pembagian warisan yang berupa tanah pekarangan secara sepintas tidak seimbang, karena anak laki-laki tidak memperoleh bagian dan harus keluar dari keluarga batihnya setelah ia menikah. Keadaan itu, ternyata, berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak laki-laki di Madura pada usia menjelang akhil baliq. Mereka tidak betah tinggal di rumah dan lebih cenderung bergabung dengan anak laki-laki lain yang sebaya kalau tidak mondok di pesantren. Keadaan itu, hamper sama dengan yang terjadi pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Cara pembagian warisan tanah telagan tidak sama dengan tanah pekarangan. Dalam pembagian tanah telagan antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama. Hubungan kekerabatan yang terbentuk ikatan pewaris yang berupa tanah tegal itu, tampaknya, tidak sekuat ikatan pewaris tanah pekarangan. Apa lagi jika tanah tegal yang diwariskan itu letaknya jauh dari tempat tinggalnya, maka pengaruhnya terhadap ikatan kekerabatan juga bertambah lemah.
Dalam membagi warisan kepada anak-anaknya, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, tampak orang tua cukup kompromis. Maksudnya, walaupun pembagiannya tidak seratus persen sama, anak-anak tetap menerimanya jika hal itu sudah menjadi kehendak orang tua. Mereka pantang sekali berselisih gara-gara masalah tanah warisan dan, cekcok semacam itu, membuat mereka malu terhadap tetangga. Sikap kompromis ini, dipengaruhi beberapa hal, yaitu pertama, mungkin, ada kaitannya dengan masih tebalnya mitos masyarakat bahwa tanah adalah sama dengan nenek moyang (leluhur). Sementara itu, roh nenek moyang sendiri dianggap selalu mengawasi keadaan rumah dan ranah. Kedua, karena besarnya wibawa orang tua terhadap anak-anaknya, dan sebaliknya, besarnya sikap hormat terhadap orang tua karena besarnya tanggung jawab dalam membina anak, mulai membesarkan, sampai mencarikan jodoh, dan bahkan, sampai dapat hidup mandiri, masih menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, ada perasaan takut dan segan anak terhadap orang tua, bahkan orang tua pula pihak yang kali pertama harus dihormati dalam falsafah buppa’-bhabhu’, ghuru, rato.
Persoalan keluarga akan muncul jika secara kebetulan sebuah rumah tangga tidak memiliki anak perempuan. Jika demikian, pembagian warisan, baik yang berupa tanah pekarangan maupun tanah tegalan, dibagi rata sesuai jumlah anaknya. Jika menerapkan system matrilokal secara konsekuen, akibatnya rumah induk akan kosong karena semua anak-anaknya mengikuti istri masing-masing. Dalam hal ini, biasanya, orang tua menghendaki salah satu anaknya tinggal bersamanya. Mengenai siapa yang harus tinggal bersama orang tua memang tidak ada ketentuan. Pada dasarnya, semua itu, dipertimbangkan beberapa hal menurut ketentuan. Pada dasarnya, semua itu, dipertimbangkan menurut beberapa hal, antara lain siata yang paling dicocoki, keluarga istri dari anak yang mana yang sekiranya dianggap kurang mampu sehingga tidak dapat disediakan fasilitas rumah seperti diharapkan, dan yang lebih penting lagi siapa yang sanggup merawat orangtuanya nantinya.
Caranya menurut Sarimin, tokoh pemuda di Rantau Panjang yakni dimusyawarahkan sedemikian rupa sehingga ditemukan pilihan yang terbaik. Yang penting, rumah induk itu tidak boleh dikosongkan dan harus ada yang menempati. Mengosongkan rumah induk dianggap menelontarkan roh leluhur penjaga rumah dan tanah. Secara umum, tanah merupakan pengikat utama hubungan kekerabatan. Tanah pekarangan (tanean) berdiri beberapa rumah tinggal keluarga matrilokal yang berfungsi sebgai pengikat hubungan kerumahtanggaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kebersamaan antar rumah tangga tampak sekali, mulai dari bercakap-cakap, masak-memasak, sampai membicarakan masalah keluarga dari masing-masing rumah tangga. Lain halnya dengan tanah tegalan. Sesuai dengan fungsinya, tanah tegalan mempunyai kekuatan mengikat dalam budaya pertanianh, terutama kebersamaan dalam bekerja mengolah tanah yang pada umumnya dikerjakan secara bergotong royong.. bentuk ikatan gotong royong, biasanya, berdasarkan kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang berdekatan itu, biasanya masih satu keluarga sataretan (saudara kandung), hasil dari pembagian warisan (sangkolan).
Fenomena diatas dapat diartikan bahwa tanah pekarangan mempunyai ikatan yang lebih kuat dan mempunyai pengaruh hubungan keluarga lebih intensif jika dibandingkan dengan tanah tegalan yang hanya sebatas hubungan kerja. Perdesaan yang lain, tanah pekarangan mengikat hubungan keluarga matrilokal, sedangkan tanah tegalan lebih luas lagi, yakni termasuk juga keluarga dari saudara laki-laki.
1. Dalam masalah warisan. Seorang perempuan dalam menerima warisan dari orang tuanya adalah separuh atau 50 % dari harta warisan yang diterima, dibanding dengan saudara laki-lakinya. Dengan alasan anak perempuan tidak ikut serta dalam pekerjaan yang berat, seperti : menebang hutan,menanam dan membuat lahan pertanian.
2. Seorang laki-laki dapat beristri sampai empat. Di dalam masyarakat Madura seorang laki-laki dapat beristri sampai empat orang, dengan syarat pembagian harus adli. Sedangkan perempuan tidak boleh bersuami lebih dari satu, alasannya karena apabila perempuan bersuami lebih darei satu, ketika mempunyai anak akan menjadi bingung. Apakah anak tersebut dari suami pertama atau yang lainnya, maka dari itu perempuan tidak boleh bersuami lebih dari satu. Dasar perbedaan tersebut berdasarkan aturan agama Islam dan di dalam masyarakat Madura aturan ini sudah menjadi adat / kebiasaan kehidupan sehari-hari.
Oleh karena tanah mempunyai daya pengikat hubungan keluarga yang kuat, maka ada pantanganb bagi masyarakat untuk menjual tanah dengan dibumbui mitos-mitos yang berupa resiko yang dapat berakibat fatal bagi yang melanggarnya. Terutama yang berupa tanah pekarangan karena telah membentuk kelompok primodial keluarga dalam tanean lajang, jelas sangat tertutup untuk dimasuki oleh orang dari luar keluarga luasnya.

Bahasa Sehari-hari
Dalam berkomunikasi sehari-hari sudah tentu bahasa asli Madura, namun ada sebagian orang yang tidak berbahasa Madura asli. Dikarenakan mereka dibesarkan di Rantau Panjang. Perlu diketahui bahwa bahasa Madura terbagi atas dua bagian yaitu :
1. Apar Pesan. Apar Pesan adalah bahasa asli dari pulau Madura yang dianggap paling halus , misalnya seperti kata ia kalau bahasa Madura biasa adalah iyeh tapi kalau apar pesan (aslinya) “engki”. Dan bahasa asli (apar pesan) ini sering dipakai oleh tokoh ulama atau kiyai, karena menganggap bahwa komunikasi dengan bahasa tersebut lebih halus dan baik, serta dapat menambah keserasian antara sesama masyarakat Madura.
2. Apesah. Bahasa Madura apesah ini lebih mirip dengan bahasa Madura biasa, hanya dengan mengatakannya lebih mudah masyarakat bagi masyarakat awam (orang yang bukan tokoh agama) karena apabila berbahasa Madura dengan apesah tersebut lebih banyak suku Madura yang paham. Adapun letak perbedaan antara apesah ini dengan bahasa Madura biasa sangat sedikit. Lain halnya dengan apar pesan, karena apar pesan tersebut lebih banyak perbedaan dengan yang biasa dan lebih sulit untuk di pahami.

Jarum jam baru menunjukan pukul 4.00 WIB. Azan subuh menggema diSurau Rantau Panjang, tak jauh dari kami menginap. Dengan sedikit tergesa, saya dan Paulus berkemas. Motor air “Bintang” menunggu di pangkalan. Supandi, tuan rumah sudah menyiapkan teh panas. Sembari minum teh panas yang sangat wangi ini, kami berpamitan. Saat mata beradu, tampak ketulusan pak Supandi. Ada harapan tertumpuk dihatinya, semoga persahabatan ini tetap terjalin. Kami memang berbeda dalam hal apapun, namun persahabatan adalah sesuatu yang utama. Kami ingin tetap membangun budaya toleransi, pluralisme ditengah-tengah masyarakat Kalbar. 2 buah sepeda motor mengantar kami hingga di pangkalan. Dan dimotor air, kami terlelap, menunggu sang fajar muncul di Pontianak.



0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons