MENYOAL TIMAWAKNG ORANG DAYAK, DULU DAN SEKARANG


Kalimantan dikenal sebagai penyangga hutan tropis paling besar didunia. Namun label ini, dalam prakteknya tidka pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia untuk memberdayakan hutan Kalimantan. Di Kalimantan Barat, sejak akhir tahun 1960-an, hutan-hutan mulai dibabat untuk mendapatkan kayunya. Kayu menjadi incaran eksportir yang paling utama. Alhasil, jutaan hektar hutan telah menjadi korban dari kebijakan negara yang eksploitatif itu. Dipertengahan tahun 1990-an, kayu mulai menyusut dan celakanya lahir kebijakan baru dengan memanfaatkan hutan-hutan bekas HPH sebagai lahan perkebunan. Dalam prakteknya, pemberian konsesi bekas hutan ini dibarengi dengan pembukaan hutan-hutan asli. Pembangunan perkebunan ternyata hanya dijadikan kedok untuk kembali mengambil kayu. Dan diawal tahu 2000-an, kayu telah benar-benar habis. Cerita kayu telah menjadi romantisme masa lalu, yang tak mungkin tergantikan selama paling tidak 30 tahun kedepan. Pembelajaran dari ekploitasi kayu (dan hutan) diatas tampaknya haruslah menjadi energi baru dari pihak yang selama ini menggeluti isu kehutanan. Bahwa selama ini telah terjadi “sesat pikir“ dalam tataran konsep maupun implementasi kebijakan kehutanan. Kita telah lupa bahwa jauh sebelum lahirnya konsep-konsep pengelolaan hutan modern, masyarakat lokal telah mempraktekan sebuah konsep dan sistem dalam pengelolaan hutan secara adil dan lestari. Bahwa konsep ini, tidak begitu dihargai pada masa-masa dialam modern ini.
Salah satu konsep dan sistem itu adalah konsep timawakng, pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Masyarakat Dayak Kanayatn telah mengembangkan sistem ini paling tidak sejak ratusan tahun lalu, dimana mereka mulai mengenal buah-buahan hutan yang dapat dikonsumsi. Pada masa kolonial, sistem dan konsep timawakng sangat dihargai, malahan dijadikan sebagai model bagi pemerintah kolonial untuk mengembangkan teori-teori kehutanan modern. Salah satu contohnya, adalah lahirnya konsep kebun raya bogor (KRB) yang terkenal itu. Kebun Raya Bogor (KRB) pada masyarakat Dayak Kanayatn adalah Timawakng. Pada tataran teoritis, Timawakng dapatlah dikatakan sebagai dapur kehutanan. Didapur inilah, lahir berbagai macam bahan makanan siap saji dan berkualitas. Namun agar dapur ini tidak rusak, maka orang-orang disekitarnya termasuk penggunanya harus mentaati aturan-aturan, yang tak lain adalah untuk keselamatan dan kenyamanan dalam menikmati hasil dari masakan dapur ini. Timawakng adalah bekas pemukiman suatu masyarakat “tempoe doloe”, yang kini dihuni oleh vegetasi tanaman tertentu. Timawakng seringkali mengingatkan generasi masa kini dengan romantisme masa lalu, dimana nenek moyang mereka hidup dalam suasana damai dan tenang.

Fungsi-fungsi timawakng
Karena berfungsi sebagai kebun raya, swalayan, maka timawakng memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi histories. Patut dicatata bahwa timawakng dapat pula dikatakan sebagai media pembentukan identitas kultural pada masyarakat Dayak. Timawakng dapat menunjukan peta sejarah perjalanan suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, Timawakng dapatlah dikatakan sebagai asal-usul suatu kampung oleh masyarakat Dayak. (2) Fungsi ekologis. Fungsi ekologis timawakng dapat dilihat dari vegetasi pohon yang hidup didalamnya, yang bila dikalkulasikan umumnya telah berdiameter diatas 2 meter. Jenis kayunya juga sangat beragam, namun umumnya jenis kayu buah-buahan keras seperti rambutan, asam kalimantan, durian, langsat, jambu, dll. Dengan dukungan kayu-kayu keras didalamnya, timawakng telah menjadi penyerap dan penahan air tanah. Ditimawakng, kita akan mudah menemukan sumber-sumber mata air, yang digunakan masyarakat untuk beragam keperluan. (3) Fungsi social.
Sebuah keluarga yang kini telah tinggal dikota, misalnya setiap tahun selalu “kembali” berkunjung ke timawakng, dimana dulunya orang tua mereka (dari nenek hingga bapak/ibu) tinggal. Ada semacam kerinduan untuk bertemu antar anggota keluarga, dan ditimawaknglah mereka dapat berkumpul, walaupun telah hidup berpencar dikota-kota dan didesa-desa. Ditimawakng, moment bertemu anggota keluarga juga digunakan untuk menikmati buah-buahan yang hidup subur didalam timawakng. (4) Fungsi ekonomi.Timawakng dapat pula berfungsi secara ekonomi. Pada musim buah, misalnya, pengelola dan pemilik timawakng dapat saja menjual hasil timawakng kekota. Dengan menjual hasil timawakng ini, mereka dapat menambah income keluarga. Ini berlangsung setiap tahun, jadi semacam tabungan tahunan. (5) Fungsi politik. Timawakng meningsyaratkan diri sebagai pemain politik, dimana melalui timawakng status tanah atau wilayah menjadi sangat jelas dan diakui oleh kelompok lain. Atas dasar ini, masyarakat kemudian membuat aturan-aturan (tepatnya pengaturan) yang mengikat setiap orang dalam suatu komunitas. Salah satu bentuk pengaturan itu adalah pengaturan atas kepemilikannya. Telah menjadi rahasi umum bahwa timawakng dimiliki secara kolektif oleh sebuah kelompok masyarakat yang mengikuti aliran keturunan (genealogis). Karena itu, timawakng diasosiasikan sebagai lambang kepemilikan suatu kelompok masyarakat atas wilayah tertentu (tanah dan air serta kekayaan hayati didalamnya).
Namun aneh, timawakng, diawal tahun 2000-an semakin hari semakin menyusut, bahkan dibeberapa kampung telah hilang, ditebang mesin kayu. Untuk alasan memenuhi “dapur modern”, pengelola dan penjaga timawakng rela menggadaikan timawakngnya kepada cukong-cukong dari kota dengan harga Rp. 600.000/timawakng, tanpa survei dan tanpa kesepakatan tertulis. Itulah realitas zaman ini, dan aneh, tak satupun pihak-pihak yang bekerja dengan isu kehutanan melihat ini sebagai ancaman serius, termasuk LSM-LSM Semoga dengan tulisan ini, menggugah kesadaran bersama, siapapun dan pihakmanapun yang bekerja dengan isu kehutanan untuk saling membantu, menyelamatkan hutan yang dikelola masyarakat lokal.





0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons