Oleh Yohanes Supriyadi
Kampung Taradu
Hujan gerimis tidak menyurutkan langkah tim community organizer YPB. Tanpa baju hujan, dengan tiga buah motor yang berbeda merk, Yamaha Vega R, Suzuki Arazhi, dan Honda Supra X, berlima kami berangkat dari posko menjalin, tepatnya dirumah pak aris. Saya, owat, sanding dan p aris ditambah pak ulo, mertua saya yang kebetulan sedang menuju kampung yang sama untuk suatu urusan. Dikarangan (simpang dano), berhenti disebuah bengkel untuk sekedar mengecek keadaan motor. Maklum saja, perjalanan cukup jauh dengan medan yang cukup berat pula. Hujan masih mengguyur karangan dan sekitarnya, namun siang semakin pendek saja waktunya. Perlahan gas motor ditarik, perjalanan hari itu ditemani sang hujan yang terus membasahi bumi. 2 jam diguyur hujan cukup membuat kami kedinginan. Dikampung Sarenek, kebetulan ada bengkel. Rupanya satu motor dalam rombongan kami bocor ban depan disekitar kampung bawat, 6 km dari kampung Sarenekng. Hujan masih deras, dua orang tim mulai diserang penyakit ”menggigil”. Disarenekng, kami beristirahat sejenak. Kopi panas dipesan, ditemani roti rasa gado-gado cap macan. Disebut gado-gado karena rasanya bercampur, ada asin, manis dan sedikit asam. Pak Ima, pemilik bengkel itu. Seorang guru sekolah dasar. Ia mengembangkan pembibitan karet alam. Hampir 10 ribu batang karet telah ditanamnya dilahan sekitar rumah. Katanya ia ingin membendung ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan perusahaan besar asal Malaysia. Obsesi pak ima bukan tidak beralasan. Katanya, ia dan beberapa warga hanya bisa memelihara karet. Sejak kecil ia telah mengenal karet dan sangat paham mengembangkannya untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Hujan mulai reda, walaupun dibeberapa tempat masih gelap. Kabut asap bercampur kabut hujan. Kami menstarter motor dan terus berjalan menyusuri jalan aspal rusak dan banyak lobang sepanjang 6 km. Disebuah kampung, 1 km dari perbatasan Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang, kami berhenti untuk sekedar menghilangkan penat dan kedinginan. Kilawit nama kampung itu. Mereka berbahasa Bajare, sehingga nama ini berubah menjadi kiawit. Kampung ini memanjang ditepi jalan. Penduduk kelihatannya cukup ramai. Teriakan anak-anak bermain menambah suasana gaduh dikampung itu. Kondisi geografis jalan yang terjal dan berlobang-lobang, membuat kami harus menarik gas secara pelan. ”biar lambat asal selamat” teriak p aris, motor kedua dari rombongan kami. Rupanya pepatah tua ini digunakan sebagai senjata p aris untuk mengelabui kami. ”ia menutupi keadaan ban motornya yang sudah tipis dan sempat bocor tadi. Ia takut ban bocor terulang lagi” sahut owat ditelingaku setengah berbisik. Owat bermotor sendiri. Dimotornya kebetulan ada pompa angin, yang siap digunakan bila ban bocor. 4 km berjalan, kami sampau disimpang tiga jalan. Kalau anda kekiri anda akan sampai di Monterado, kota pertambangan dan dihuni warga cina dimasa lalu. Dan bila anda kekanan, tidak jauh dari gereja protestan, anda akan menjumpai deretan ruko-ruko lama. Inilah yang dikenal dengan nama pasar Samalantan. Pasar ini tidak terlalu besar dan ramai, namun selalu digunakan warga pedalaman untuk beristirahat selepas dari kota. Kecamatan yang dikenal sebagai bumi ”pangalumpat basi” ini dihuni oleh warga multietnis. Dibelakang pasar, berdiri dengan gagah sebuah rumah panjang, rumah adat suku Dayak. Rumah panjang ini digunakan warga untuk ”bahaupm” (bermusyawarah adat) dan menyelenggarakan pesta adat Naik Dango yang digelar setiap tahun pada bulan April atau Mei. Tidak jauh dari jalan masuk rumah panjang, dari kejauhan tampak tugu peringatan tragedi kerusuhan antar etnik dayak dengan madura tahun 1979. 7 pilar besar dan ditempeli patung garuda pancasila. Monumen ini tampak tidak terurus. Catnya sudah mulai mengelupas dan dibanjiri lumut-lumut liar. Pagarnya juga sudah rusak dan beberapa pagar hilang tak ada bekas. Bila mengikuti arah monumen ini, anda akan sampai di Kota Singkawang, kota persinggahan dan peistirahatan para penambang emas masa lalu. Kota ini dikenal sebagai kota amoi, karena 80% penduduknya warga Cina. Dan bila anda mengarahkan kendaraan kekanan, anda akan terus hingga ke Kota Bengkayang, ibukota kabupaten. Dipasar Samalantan, dua motor diparkir. Sebuah motor lagi diparkir dibengkel untuk ganti ban yang tadi sempat bocor. Dengan senyum ramah, sang pemilik rumah makan khas Dayak menyambut. Sengaja saya pesan menu khas Dayak, maklum di Kota Pontianak, cukup sulit untuk mencari rumah makan khas Dayak ini. Dua pelayan rumah makan menyodorkan minuman dan tampak sangat sibuk meramu menu sayur dan lauk, maklum bukan rumah makan cepat saji. Dideretan rumah makan ini, ada 3 rumah makan lainnya dengan menu khas Dayak semua. ”benar-benar pasar Dayak” gumamku. Tidak jauh dari rumah makan ini, juga ada pedagang kaki lima yang menjual makanan lainnya. Terutama bakso. Yang aneh, baksonya terbuat dari daging babi. Bakso ini oleh warga setempat dikenal dengan bakso babi dan dijual oleh orang Dayak. Amin nama pedagang itu. Katanya, ia 3 tahun pernah bekerja dengan seorang Jawa di kota pontianak dan menjual bakso sapi. Pengalaman membuat dan menjual bakso sapi inilah yang dimodifikasinya ketika ia pulang kampung. ”dikecamatan ini, hidup mayoritas orang Dayak. Jadi saya menyesuaikan dengan pangsa pasar pak” jawabnya ketika saya tanya kenapa membuat dan menjual bakso babi. Hasilnyapun cukup untuk menghidupi keluarga besar saya, lanjut pria asal kampung pasuk kayu ini. Kini, sudah hampir 2 tahun ia membuat dan menjual bakso babi. Tidak jauh dari PKL bakso babi, ada 2 rumah makan yang menyediakan menu umum. Ada ikan, ayam, sapi, dll. Rumah makan ini biasanya diserbu warga non muslim. Sekali lagi saya gelengkan kepala, beragam rasa tertumpuk. Pluralitas, toleransi, dan lain-lain sangat tampak dipasar ini. ”pasar ini lebih cocok dijadikan pasar makanan multikultur” ujar sanding dibelakangku. Saya menganggukan kepala, seakan membenarkan ide ini.
Hujan sudah reda, namun diatas masih saja mendung tanda hujan sudah siap turun lagi dibumi. Kami meluncur kearah Bengkayang. Jalan aspalnya sangat mulus dan rapi lagi bersih. Dikiri kanan jalan, puluhan hektar hamparan padi sawah yang mulai menguning. Beberapa kelompok petani tampak sedang ”bahanyi” (memetik padi), terlihat dari ”tarinak” (caping) yang dipakainya. Sebelas menit kemudian kami tiba disebuah kampung kecil, mungkin hanya 7 rumah saja. Diantara rumah-rumah ini, ada jalan setapak. Jalan tanah yang rusak parah. ”jalan tanah inilah jalan yang menuju kampung Taradu, sekitar 1,3 Km dari sini” kata Anton, seorang warga. Memasuki jalan ”setapak” ini, kiri kanan jalan dipenuhi kebun karet. Tidak ada ruang sedikitpun untuk tanaman lain tumbuh, selain pohon karet yang sudah lama ditoreh pemiliknya. Ini tampak dari jumlah bekas torehan, sekitar 12 Cm. Torehan itu hanya setengah dari diameter pohon yang turun kebawah, melingkar rapi. Disebuah pondok, seorang nenek duduk dengan santai menganyam ”pasira’”. Pasira’ ini adalah semacam keranjang untuk tempat buah atau untuk berbelanja dipasar. Bahannya terbuat dari kulit bambu, yang tajam. Mirip sembilu. Umur yang sudah tua tidak menyurutkan semangat nenek ini untuk tetap bekerja. Ladang itu diperbukitan kecil, luasnya kira-kira 1 hektar. Padinya juga sudah menguning, tampaknya sang nenek sedang memetik padi. ”cucu mau kemana ?” sapa nenek ramah setengah berteriak. Kami mau kekampung Taradu nek, sahutku dari atas motor yang melaju sambil melambaikan tangan. Saya gembira, warga disini sangat ramah. Beberapa ratus meter dari ladang nenek, kami mulai memasuki kampung. Ada sungai kecil dan diatasnya jembatan kayu yang sudah rusak. Papan kayunya juga mulai jarang dan beberapa batang sudah terjatuh dipinggir sungai. Tidak heran, untuk melewati jembatan ini p aris turun dari motor dan menyeretnya hingga diujung jembatan. Kami tertawa, dengan aktivitas menyeret motor ini. Maklum tubuhnya ABG, kependekan dari Aya’, Babah, Gamok. (aya’=besar, babah=pendek dan gamok=gemuk).
Pemukiman
Ketika memasuki kampung, dikejauhan tampak sebuah bukit. Oncet nama bukit itu, pohonnya didominasi pohon durian dan langsat. Dibukit inilah, mengalir anak sungai Samaroa’, sungai yang digunakan sebagai MCK warga sehari-hari. Sungai ini tidak terlalu lebar, mungkin sekitar 5 meter. Airnya juga masih sangat jernih, karena banyak bebatuan. Sungai ini juga yang membelah kampung, sehingga rumah-rumah terpisahkan oleh sungai.
Memasuki kampung ini, kita terasa masuk ditengah hutan belantara. ”Sangat asli kampung ini”, ujar Sanding, salah seorang tim kami. Ya, pengamatan saya juga demikian. Pohon yang besar dan tinggi menandakan umurnya sudah sangat tua.
Ada 11 rumah saja dikampung ini. Rumah-rumah didirikan tidak teratur, malahan terkesan asal-asalan. Mungkin berdasarkan lahan yang dimiliki. Rumah juga sudah termasuk rumah semi permanen. Lantai papan, atap seng dan dinding semen. Tiang rumah umumnya dari kayu kelas 1, dikenal dengan kayu ”buliatn” (kayu belian/kayu ulin). Anehnya, untuk dapur rata-rata rumah masih beratapkan daun sagu. ”biar asap dapur mudah keluar dan tidak sesak didalam rumah” ujar Pak Ilok, sang pemilik rumah. Sekilas, jarak antara rumah yang satu dengan rumah lainnya jauh dan dibatasi oleh tanaman-tanaman keras. Umumnya didominasi pohon durian yang besar dan tinggi.
Menurut Antonius Tongkol, Kepala Dusun Martopa, kampung Taradu dihuni suku Dayak yang berbahasa Bajare dan sedikit berbahasa Damea. Secara keseluruhan, jumlah warganya ada 51 jiwa. 36 jiwa diantaranya laki-laki dan sedikit kaum perempuan, yakni 15 jiwa saja. Itupun umumnya masih remaja dan anak-anak. Itulah sebabnya kampung ini masuk dalam wilayah RT 10 Dusun Taradu Desa Marunsu Kecamatan Samalantan Kabupaten Bengkayang. Desa Marunsu terdiri dari 4 Dusun yakni Dusun Martopa (Pato’), Dusun Taradu, Dusun Pasuk Kayu dan Dusun Malabae.
Menurut Pak Ilok, kampung ini dulunya merupakan kampung induk. Dari kampung inilah sekitar 6 kampung yang sekarang tersebar berasal, diantaranya kampung Pato, Taradu luar, pasuk kayu, dll. ”kampung ini ”timawakng” (tembawang) dari beberapa kampung, dikampung inilah nenek moyang kami pernah hidup dan berkembang” lanjut nya sambil menyerubut kopi panas disore itu. Pak Ilok berasal dari Kecamatan Sompak Kab. Landak, tepatnya dikampung Sei Laki. Sudah 23 tahun ia tinggal dikampung ini. Istrinya warga asli kampung. Ia tinggal dirumah ”pangkalatn” (rumah induk) dari orang tua istrinya. Saudara-saudara sekandung istrinya tidak ada lagi yang tinggal dikampung ini, semuanya tinggal dikampung lain. Keluarga Pak Ilok tidak terlalu besar, 6 anggota saja. Empat diantaranya laki-laki. Ada 2 anaknya yang masih sekolah, yang satunya di SMA Harapan Bangsa Samalantan dan satunya lagi masih di SMP Nek Bare Sibale. Yang tertua tidak melanjutkan sekolah, ia hanya sampai kelas 2 SMA dan berhenti. Yang bungsu masih berusia 6 tahun dan belum sekolah. Di kampung ini tidak ada gedung sekolah. Untuk kesekolah, anak-anak harus berjalan kaki sejauh 1,3 -2 Km dari kampung melewati hutan lebat dan kebun karet. Karena itulah, orang tua lebih mengizinkan anaknya untuk sekolah bila usianya sudah sekitar 9 tahunan. ”kalau masih kecil (usia 6 tahunan), kami masih ragu dan khawatir mereka dijalan. Untuk mengantar, tidak ada yang sempat pagi hari, semua yang anggota keluarga yang sudah dewasa berangkat motong (menoreh karet)” ujarnya seraya menyodot rokok Gudang Garam Merah dibibirnya yang hitam. Sore itu, Pak Ilok ditemani Antogong, yang biasanya dikenal sebagai Pak Jewel. Pak Jewel tinggal tak jauh dari rumah Pak Ilok, mungkin sekitar 5 meter saja. Pak Jewel asal Kampung Palanyo, Mempawah Hulu Kab. Landak. Menikah dan menetap dikampung ini sekitar 15 tahun silam. Ia dikaruniai 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Abang ipar Pak Jewel, pernah menjadi Camat Samalantan dimasa Gubernur Aspar Aswin (1993).
Sudah ada listrik negara dikampung ini, masuknya sekitar tahun 1996. ”Semua rumah sudah menjadi pelanggan listrik” lanjutnya seraya menunjuk rumah-rumah warga. Namun dikampung ini, WC (kakus) tidak ada satu keluargapun yang buat. ”WC alam” ujarnya kemudian sambil tertawa ringan. Menurut pria yang brewokan ini, untuk buang air besar, warga harus pergi dulu dihutan belakang rumah. ”orang dayak berak dibatang” sahut p aris tertawa. Ia memaklumi keadaan ini.
Mata Pencaharian
Pak Ilok dan anak-anaknya menoreh karet. Pekerjaan ini juga dilakoni oleh warga umumnya. Dalam sepagi (dari jam 5.00 s/d jam 11.00 siang), Pak Ilok dan keluarganya berhasil memperoleh sekitar 9-10 Kg lateks. Lateks ini dibekukan berbentuk papan besar. Ukuran 50 cm X 150 cm dengan ketebalan sekitar 2 cm. Karet ini dijual dipasar Samalantan, sekitar 15 Km dan kadang-kadang dijual langsung di Kota Singkawang dengan jarak tempuh 35 Km. Harganya juga bervariasi, tergantung kualitas karet. ”kalau yang tebal Rp.15.000/Kg kalau yang tipis biasanya hingga Rp.19.000-21.000/Kg” ujarnya. Dengan karet inilah, Pak Ilok menghidupi keluarganya termasuk membayar keperluan sekolah anak-anaknya. Istrinya lebih banyak bekerja diladang dan sawah, walau kadang-kadang sang suami juga membantu dan juga sebaliknya. Untuk urusan rumah (masak,dll), anak-anak sudah bisa. Tampak ada pembagian peran yang seimbang dikeluarga ini.
Lahan untuk membuka ladang masih sangat luas. Rata-rata satu keluarga mampu membuka ladang 3-6 hektar setiap tahunnya dan selalu berpindah. Padi yang ditanam juga masih padi lokal, malahan masih ada warga yang menanam padi tuha (padi lama yang sudah melegenda, yakni padi jenis Antamu’ Sakayapm). Jenis padi ini dikenal juga sebagai padi adat, yang wajib dilestarikan keluarga. ”padi ini harus selalu ada didalam rumah, walaupun sedikit” ujarnya. Pak Ilok menceritakan bahwa padi ini merupakan peninggalan leluhur Dayak, dan sebagai penerus Dayak mereka wajib melestarikannya. ”padi ini adalah kehidupan kami” lanjutnya. Ditambahkan Pak Jewel, diladang, warga menanam jenis padi lokal, tergantung keinginan dan minat. Padi-padi lokal yang masih dilestarikan mereka setiap musim tanam ladang diantaranya jenis padi Palawakng (dikampung ini dikenal sebagai padi Malawi), Padi Monceng, Padi Manjang, dan Padi Manyuke. Warga juga masih sangat taat dengan adat istiadat. Hampir seluruh siklus perladangan dilakukan setiap tahunnya. Diantaranya dimulai dari Baburukng, Sambayang Basi, Ngawah, Nabas, Nabakngi’, Ngarangke Raba’, Nataki’/Ngarentes, Nunu, Ngarantak/ngalaet, Nugal, Ngarumput, Mipit, Bahanyi, dan Matahatn. (akan diceritakan kemudian). Karena taat dengan siklus perladangan secara adat inilah, dikampung ini tidak pernah terjadi kebakaran hutan dan lahan sebagaimana banyak terjadi dikampung lainnya diKalimantan Barat. Namun, sejak akhir tahun 2000 lalu, hasil panen warga sudah mulai turun dan terus hampir gagal ditahun-tahun belakangan ini. ”sudah banyak ladang yang diserang hama buntak (belalang), limpango (hama wereng sangit), dan lain-lain. Padinya juga banyak yang kalape’ (kosong)” ujarnya lirih. Kesedihan tampak diraut mukanya yang kekar. Sambil mengisap rokoknya yang mulai pendek, ia menambahkan bahwa cukup banyak warga yang mengeluhkan keadaan ini namun sulit untuk mengatasinya. Berbagai upacara adat juga sudah pernah digelar warga, namun tidak menampakkan hasil. Karena musim yang selalu berubah-ubah setiap tahun, berpengaruh pada siklus perladangan adat yang seringkali terputus. ”contohnya bulan yang dulunya selalu musim hujan, sekarang ini tidak jelas. Juga terbalik, kalau musim hujan kami mengalami kekeringan dan kalau musim kemarau sering juga ada banjir dan longsor”. Perubahan iklim global tampaknya sangat berpengaruh terhadap keberadaan para peladang. Perhatian pemerintah terhadap peladang juga tidak ada, malah terkesan dianak tirikan. ”pemerintah mengutamakan warga yang menanam padi disawah-sawah, walaupun irigasi juga tidak dibangun. Masih setengah-setengah jak” sambung Pak Jewel.
Menelurusi Jejak-Jejak Kampung ( 1 )
Yohanes Supriyadi
No comments
0 komentar:
Posting Komentar