La Politica (8): Goncangan 3 Aktor

Oleh Yohanes Supriyadi

”Kalau anda masuk ke pedalaman, anda harus hati-hati, sebab bila ”salah”, anda akan di hukum adat !!!” demikian kira-kira pesan umum bagi pelancong dan atau orang luar bila hendak bepergian kepedalaman dimana hidup komunitas adat. Pesan ini menyiratkan bahwa apa yang dilakukan komunitas adat dalam mengelola kehidupannya ditanggapi ”miring” oleh komunitas modern. Banyak kata-kata cemoohan, anekdot yang menggambarkan hukum adat sebagai hukum yang ditakuti dan karenanya harus dihilangkan. Benarkah demikian ? apakah yang telah dilakukan oleh komunitas adat terhadap dirinya sendiri dan orang luar ? apa yang terjadi dengan mereka ? pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak dijawab melalui buku kecil ini. Telah menjadi rahasia umum bahwa, komunitas adat di Kalimantan Barat mulai mengalami apa yang oleh Francis Fukuyama sebut goncangan besar. Mereka digoncang, paling tidak oleh 3 aktor yang sama-sama ingin ”berkuasa” dalam rangka mengelola kehidupan sosial, ekonomi dan politik ditengah komunitas adat. Aktor-aktor tersebut adalah pertama, AGAMA Modern (islam, katolik, protestan, dll) yang diwakili oleh kelembagaan kedua agama tersebut ditingkat komunitas. Yang kedua adalah DESA, yang diwakili oleh birokrat-birokrat kecil dan kepanjangan tangan pemerintah daerah dan atau negara modern serta INVESTOR, yang diwakili oleh pengusaha-pengusaha kelas kakap yang kapitalistik. Dalam prakteknya, ketiga aktor ini sangat berpengaruh pada kehidupan komunitas adat secara umum, dan kadangkala menimbulkan”perang” urat syaraf yang dibeberapa tempat seringkali menimbulkan konflik terbuka yang tentu saja berdampak pada bangsa ini secara umum.
Dampak yang sangat terasa akibat pertaruangan tiga aktor tersebut adalah kebingungan yang luar biasa dari anggota komunitas. Mereka sedang berada diposisi antara maju terus dengan apa yang ada sekarang atau mundur beberapa langkah lagi kebelakang untuk memilih sistem hidup, antara memilih sistem hidup warisan pemerintah rezim Orde Baru atau kembali ke sistem peninggalan leluhur yang adati. Atau ikut arus keadaan saat ini atau malah diam ditempat menunggu dan terus menunggu perubahan hingga sang Raja Damai menetaskan kasihnya ?
Kebingungan memilih jalan ini sangat banyak dipengaruhi oleh sejarah perjalanan komunitas adat yang selalu diwarnai sebagai objek dan sarat dengan stigma yang pada akhirnya menghasilkan generasi yang berbeban berat secara psikologis. Komunitas adat di Kalimantan Barat seperti halnya komunitas adat lainnya di dunia selalu menjadi objek dari kekuatan supra adat yang tak mampu dibendung lagi. Selain objek penelitian dengan hasil yang sangat mencengangkan misalnya primitif, animis, bodoh dan pasrah pada nasib juga menjadi objek “perampasan“ hak kekayaan intelektualnya dan sumber daya alam sebagai tempat satu-satunya untuk bertahan hidup dimuka bumi ini. Dari perjalanan yang penuh objek ini, mereka untuk setara saja dengan orang lain harus berjuang ekstra keras. Karena perjuangan yang keras inipula, dibelakangan hari sikap ini menjadi salah satu objek baru didunia perpolitikan Kalimantan Barat. Komunitas adat distigmakan selalu memaksakan kehendak dalam memenuhi kepentingan politiknya, dan pemaksaan kehendak adalah sikap yang harus dihindari dan kalaupun tidak bisa dilawan!!!. tidaklah heran, konsep pemaksaan kehendak ini banyak diadobsi oleh elit politik daerah sebagai senjata, yang akhir-akhir ini menjadi sumber konflik baru diKalimantan Barat.
Perjalanan panjang komunitas adat diatas terus menerus menjadi polemik. Masalah ini telah menjadi perdebatan yang cukup lama dan masing-masing kelompok memberikan definisi berdasarkan kepentingannya masing-masing. Pemerintah Indonesia cenderung tidak mau mengakui ada kelompok komunitas yang secara khas disebut indigenous peoples. Sebaliknya, pemerintah malah berargumentasi bahwa semua orang Indonesia yang pribumi disebut indigenous peoples . Ia mengatakan bahwa isu indegenous peoples di negara ini merupakan sebuah isu yang romantis. "Jika ucapan mantan menteri itu mewakili dua rezim yang berbeda, ini bisa kita sepakati bersama sebagai sikap pemerintah sekarang, maka dapat dibayangkan betapa perjuangan komunitas adat agar diterima, dihargai, dan dilindungi keberadaannya masih sangat panjang," kata John Bamba .
Beberapa hasil riset menyebutkan, secara umum komunitas adat di Indonesia, terdiri dari dua macam bangunan atau bentuk yakni berdasarkan keturunan (genealogis) dan berdasarkan lingkungan daerah (teritorial). Demikian pula pada komunitas adat dayak yang susunan komunitasnya memiliki bentuk dan ciri sendiri, menunjuk pada identitas dan eksistensinya , susunan pola kekerabatan komunitas adat Dayak mengalami perubahan seiring dengan dinamika perkembangan komunitas adatnya. Dari keempat temenggung tersebut, dua di antaranya menyatakan bahwa struktur komunitas adat berdasarkan teritorial, sementara sebagian yang lain menyatakan keturunan serta gabungan antara teritorial dan geneologis.
Sebagai bagian dari upaya memahami makna sakral dan juga nilai-nilai estetik drai hukum adat yang bagi sebagian orang ”menakutkan” tersebut diatas, saya, atas dorongan kawan-kawan mencoba membedah dari sisi komunitas adat. Tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan rangkaian tulisan selama memfasilitasi ”transformasi sosial” berbasis komunitas adat, selama hampir 3 tahun. Data-data yang disajikan umumnya berasal dari hasil wawancara mendalam selama kunjungan lapangan kekomunitas adat, mengumpulkan kliping koran lokal sejak tahun 2002, prosiding seminar dan lokakarya tingkat komunitas serta beberapa buku-buku lainnya.

*************



0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons