Film ini diawali dengan perjuangan 9 orang Dayak, yang mudik sebuah sungai dengan tiga buah perahu besar dan sangat panjang, mungkin panjangnya sekitar 6-8 meter. Tubuh mereka kekar dan berotot. Rambutnya dipotong (mirip pendekar shaolin). Mereka berteriak-teriak, saling memberi semangat. Dengan beberapa batang tongkat bambu, mereka menerjang arus sungai yang sedemikian deras, berliku, terjal dan penuh bebatuan. Terkadang, air sungai masuk diperahu dan harus dibuang. Didalam perahu, tampak seorang nenek, yang mungkin menderita sakit. Perahu juga dipenuhi beragam peralatan; pakaian layak pakai, obat-obatan, senjata api larang panjang, peluru dan sejumlah roti. Disepanjang sungai, rombongan beberapa kali terhenti, karena harus turun dan menarik perahu. Saya menyaksikannya mirip dengan sebuah olahraga sungai; arung jeram, tetapi ini bukan permainan olahraga, ini kehidupan nyata Dayak.
Slide berikutnya menceritakan pemandangan sebuah kampung Dayak. Tampak seorang lelaki sedang membuat batangan sumpit (alat tradisional) untuk menembak. 2 anak kecil asyik bermain dibatang-batang kayu yang tumbang dan lapuk. Mereka tidak berpakaian, perut mereka buncit. Seorang ibu, sedang membakar babi hutan, ia bertelanjang dada. Sesekali suara monyet memekakan telinga. Setelah batangan sumpit hampir selesai, seseorang yang sudah agak tua membidik dan mencobanya. Mungkin saja ia ahli dalam pembuatan sumpit. Prosesi pembuatan sumpit ini diiringi dengan permainan alat musik “genggong”, dimainkan seorang bocah dan ayahnya. Alat musik ini juga tradisional, karena terbuat dari kayu dan irisan bambu.
Pada slide berikutnya, serombongan besar orang dewasa berjalan kaki mengangkut peralatan dari perahu tadi. Mereka menuju kampung, yang dikelilingi pohon-pohon kelapa dan terletak dipinggir sungai. Dikampung, ibu-ibu dan anak-anak sedang memainkan musik; ada gong, dau, dll. Mereka bersuka cita.
Slide berikutnya, warga kampung sedang melangsungkan prosesi upacara adat diperladangan. Mereka menggelar “baburukng”, yang bertujuan mohon petunjuk Jubata untuk membuka ladang dihutan terdekat. Seorang imam berdoa dengan melengking, beberapa orang menyiapkan peralatan. Di udara, seekor elang berputar-putar dengan gagahnya. Ia mendengar bunyi keras dari sebuah gong yang ditabuh warga. Yang unik, seekor anak ayam ditusuk hidup-hidup (mirip disate), ditempatkan disebuah pohon. Elang berputar-putar tepat dipohon ini. Sepulang dari lokasi upacara, mereka kembali menggelar tari-tarian diperkampungan. Lelaki dewasa menarikan tarian perang, dengan peralatan perang yang unik.alat musiknya hanyalah sebuah “sape’, yang dimainkan seorang pemuda, mirip shaolin kung fu. Malam harinya, mereka menggelar ritual lagi dirumah panjang. Mereka membersihkan tengkorak kepala hasil pengayauan (perburuan kepala/head hunter).
Pada slide berikutnya, tampak seorang gadis memberi makan ternak, utamanya ayam. Ia mengurung ayam disebuah “kurungan” keci dan dinaikan keatas (mirip memelihara burung). Di sungai, 6 orang anak bertelanjang bermain lanting. Dengan sebatang kayu lempung, mereka menerjang ombak, arus sungai yang deras. Mereka terjun dari bebatuan yang terjal dan besar. Mereka seakan tidak takut, bahaya.
Diseberang, serombongan lelaki baru pulang dari ladang dan perburuan. Seorang kakek sedang memanggul seekor babi hutan, hasil buruan. Mereka melintasi “jembatan” gantung, yang terbuat dari anyaman bambu dan rotan. Beberapa ekor anjing mengiringi perjalanan kakek ini. Tak jauh dari rumah, seorang nenek sedang makan sirih (ngampa’) dan menganyam caping(tarinak). Beberapa lainya sedang menganyam tikar dari rotan (bide). Disudut kiri, seorang kakek dengan menggunakan sebatang bambu mengiris tembakau hutan, sebagai bahan dasar rokok. Disampingnya, 2 anak berusia sekitar 5 tahun sedang merokok dengan santainya. Dikejauhan, kakek menjemur tembakau yang sudah diiris, ia diatas batu, tepian sebuah sungai besar.
Pada slide berikutnya, tampak warga kampung mengalami kesedihan. Seorang warga meninggal dunia. Lelaki dewasa menyiapkan segala keperluan upacara pemakaman. Anak-anak tak tampak, mereka dikurung diatas. Jenazah dipanggul dan dibawa disebuah sungai untuk dinaikan perahu. Jenazah sudah diberi pakaian lengkap, layaknya pendekar sakti. Setelah sampai disungai, jenazah ini dimasukan disebuah peti mati dan dinaikan disebuah perahu untuk diseberangkan. Tiba diseberang, peti mati dinaikan diatas para-para (pondok khusus) dan disimpan disitu. Beberapa lama kemudian, peti mati diturunkan. Tengkorak, dan tulang belulang dikumpulkan dan dimasukan di sebuah jare (pemanggul padi) untuk kemudian disemayamkan. Tulang-belulang ini kemudian dimasukan disebuah tempayan dan dipasang diatas ukiran kayu yang dibuat khusus untuk penyimpanan abu dan tulang belulang. Jadi, kuburan zaman dahulu tidak ditanam dalam tanah, tetapi dipohon kayu.
Pada slide berikutnya, warga kampung sedang menuba ikan disungai, dengan menggunakan tanaman tuba. Mereka mencari ikan sungai. Tua muda, lelaki perempuan semua bekerja. Sebagian kecil memasak nasi di dalam bambu, dan memasak ikan, juga didalam bambu. Tidak ada piring zaman itu, termasuk sendok yang hanya terbuat dari bambu yang diukir sedemikian rupa. Tak jauh dari arena masak, seorang bocah menggigit batangan tebu.