Artikel ini bagian ketiga dari buku saya; GALAU KANAYATN; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAGAIMANA DAYAK KANAYATN MEMANDANG HIDUP, KEHIDUPAN DIRINYA DAN ORANG LAIN.
Perjalanan Menuju Kampung Nangka
Untuk mencapai kampung Nangka, dari ibukota kecamatan di Menjalin, kita dapat memakai kendaraan roda empat maupun roda dua melalui jalan darat beraspal. Kampung ini dapat ditempuh sekitar 30 menit dari Simpang Raba di Menjalin. Disepanjang jalan, dikanan kiri kita menikmati pemandangan yang indah, sungai-sungai kecil, kebun-kebun karet serta lahan sawah dapat dengan mudah kita lihat. Selain itu, kita juga akan menjumpai kampung-kampung, dimana penduduknya mayoritas etnik dayak, yang pemukimannya terpencar-pencar. Kampung pertama yang dilalui adalah Sebunga. Kampung ini dihuni sekitar 18 KK, dan sedikit sekali rumah penduduk yang ditepi jalan. Setelah Sebunga, kita akan sampai di kampung Raba. Kampung ini tergolong maju diantara kampung-kampung lainnya. Dikampung ini dulunya pernah dijadikan pusat Paroki pada tahun 1932, dengan pastor Marsellus sebagai pastor parokinya. Pusat paroki ini dilengkapi dengan sebuah sekolah rakyat enam kelas, yang kelak menghasilkan tokoh-tokoh intelektual, politisi dan akademisi Dayak terkemuka di Kalimantan Barat. Sejak tahun 1971, pusat paroki ini dipindahkan ke Menjalin. Disana sejak tahun 1995 telah ada sebuah koperasi yang bernama Koperasi Kredit Pancur Kasih, TP Raba. Sejak tahun 2003, kantor koperasi ini pindah ke Menjalin. Setelah melewati kampung Raba, sekitar 1 Km, kita akan sampai di kampung Peladis Kaca’, walaupun rumah penduduk terlihat sedikit dipinggir jalan besar, namun cukup banyak rumah di pusat kampung. Dikampung ini ada pabrik penggilingan padi milik Pak Boni. Sekitar 2 Km, kita akan sampai dikampung Konyo. Kampung Konyo terbagi dua, yakni disebelah kanan dan sebelah kiri. Bila kita menuju sebelah kiri, kita akan sampai di kampung Duling, masih dalam wilayah Desa Nangka. Dan bila kita terus jalan kearah kanan, kita akan sampai di kampung Nangka. Jarak kampung Konyo dengan kampung Nangka sekitar 3 Km. Sebelum sampai dikampung Nangka, kita akan melewati bukit kecil yang bernama Bukit Rampayo. Dulunya, bukit ini terkenal sangat angker, karena disana terdapar banyak sekali patunuan atau pekuburan penduduk. Dari Bukit Rampayo, sekitar 10 menit kemudian kita akan sampai di Kampung Nangka.
Kampung Nangka merupakan salah satu kampung diwilayah
Desa Nangka Binua Kaca’ Ilir Kecamatan Menjalin Kabupaten Landak. Geografis kampung ini terletak pada interval 025” - 0 40” Lintang Utara dan 10915” - 10920” Bujur Timur. Topografis kampung ini terdiri dari sebagian besar dataran rendah. Dataran tinggi hanya dataran Bukit Sapatutn dengan ketinggian 460 meter diatas permukaan laut. Oleh karena itu, memungkinkan penduduk dikampung ini untuk mengembangkan budidaya pertanian pangan serta perikanan darat. Ada sekitar 3 sungai utama di kampung ini, yakni sungai Nyawan yang berhulu di Bukit Kape’dan bermuara di Sungai Mempawah, sungai Nek Pasakng yang berhulu di Bukit Kanyet dan bermuara di sungai Nyawan serta sungai Pahui, yang berhulu di Bukit Sabah bermuara di Sungai Paku’. Ketiga sungai inilah yang digunakan sehari-hari oleh penduduk untuk mandi, mencuci dan sumber air bersih serta membuat irigasi untuk pengairan lahan pertanian basah.
Penduduk menyebut dirinya orang Kaca’, yang sejak tahun 1980-an beralih menjadi suku Dayak Kanayatn. Pada tahun 2004, penduduk dikampung Nangka terdiri dari 51 KK dengan 341 Jiwa. Walaupun KK banyak, namun ada sebagian KK tersebut masih ada yang tinggal dalam satu rumah ( rumah tuha/pangkalatn). Dalam sehari-harinya komunikasi penduduk menggunakan bahasa ba ahe/ba nana’. Bahasa Indonesia hanya digunakan ditempat-tempat resmi seperti disekolah, dalam rapat umum atau bila berkomunikasi dengan orang luar yang tidak bisa berbahasa ba ahe/ba nana’. Pola pemukiman dikampung ini mash terpencar-pencar, sebagian masih berdasarkan sejarah asal-usulnya. Berbagai nama tempat dimana rumah dibangun menjadi pertanda bahwa mereka telah mendiami tempat itu sejak lama. Paling tidak terdapat 9 nama bagi pemukiman itu, yakni Pahui ( 4 rumah ), imperes ( berasal dari inpres/SD inpres ) 7 rumah, Sempang ( simpang kampung Nyawan ) 6 rumah, Talidi 17 buah rumah, timawakng 17 rumah, Tapiatn 6 rumah, Baroh 5 rumah, Parento’ 1 rumah dan Bula’ 1 rumah. Jarak antar rumah yang satu dengan lainnya cukup berjauhan, palinng dekat sekitar 3 meter saja. Tidak ada rumah yang berbentuk rumah toko ( ruko ) dikampung ini. seluruh rumah terlihat individual sekali. Namun demikian, hubungan antar penduduk cukup baik. Penduduk kampung Nangka sebagian besar petani dilahan kering dan lahan basah. Berdagang hanya dilakukan beberapa warga saja dengan membuka toko/warung yang menyediakan keperluan sehari-hari. Sampai akhir tahun 2004, dikampung ini terdapat 8 buah toko/warung. Sungguhpun membuka toko/warung, mereka tetap juga berladang ataupun bersawah. Menurut mereka, hanya untuk melengkapi adat tahun, yakni seperangkat adat yang diserahkan kepada pengurus adat satu kali setahun setelah pelaksanaan pesta padi. Selain itu, alasan lainnya adalah untuk menyelamatkan benih “ ngidupatn banih “, agar benih padinya tidak punah. Untuk mengerjakan sawah atau ladang, penduduk membentuk kelompok kerja yang bernama Aleatn. Diketuai oleh kapala aleatn dengan anggota mulai dari 10 orang hingga 40 orang. pada akhir tahun 2004, tercatat 5 kelompok aleatn dikampung ini. kapala-kapala aleatn dikoordinir oleh seseorang yang bergelar Tuha Tahutn. Tuha Tahutn dipilih secara demokratis oleh penduduk melalui musyawarah ( Bahaupm ) kampung.
Untuk menutupi keperluan sehari-hari, mereka menyadap karet. Sebagian mereka telah menanam karet unggul melalui proyek PPKR tahun 1980-an dan ada diantaranya yang masih menyadap karet alam. Karet ini dijual oleh penyadap ketoko/warung yang ada serta sebagian yang langsung dijual ke pasar Menjalin dan pasar Takong-Toho. Pendapatan mereka dari hasil karet ini cukup tinggi, walaupun demikian karena perubahan pola hidup yang konsumtif, pendapatan itu masih dirasakan kurang oleh mereka. Selain menyadap karet, cukup banyak usaha lain yang dijalankan oleh sebagian penduduk, khususnya yang muda-muda. Mereka menebang kayu lengade dan dijualnya ke kota melalui pedagang kayu. Sejak tahun 1998, mereka juga ada yang memulai usaha batu. Disepanjang jalan menuju kampung Nyawan dan di sekitar Bukit Rampayo, beberapa pemuda memecahkan batu dan menjualnya kepada pedagang yang telah menyiapkan truk-truk sisepanjang arela batu yang dikerjakan. Pada musim durian, penduduk juga memperoleh penghasilan yakni dengan penjualan buah durian. Mereka mendirikan dangau di Tumiang (bekas kampung lama) dan menunggu buah durian jatuh. Bila jatuh, para pedagang durian segera saja memilih buah yang besar dan membelinya dengan harga yang cukup baik. Durian kemudian dijual kekota-kota oleh pedagang itu.
Pada musim kemarau, penduduk perempuan juga mengadakan nyamah, yakni mencari ikan disungai dengan menggunakan Jala alat penangkap ikan tradisional. Pada musim hujan, penduduk laki-laki memasang berbagai alat penangkap ikan, diantaranya bubu, sukatn, pinoho’, sabar, pukat dan lain-lain. Ikan dikampung ini cukup memenuhi kebutuhan penduduk akan protein. Namun semenjak penduduk menggunakan berbagai bahan kimia dalam bekerja disawah, ikan-ikan disungai mulai kurang. Sulit lagi mendapatkan ikan dalam jumlah banyak. Demikian juga, perubahan iklim global, dirasakan mereka sangat mengganggu pekerjaan diladang dan disawah. Beberapa tahun lalu, mereka mengalami kekurangan padi karena lahan Puso atau terserang hama tikus dan wereng. Akibatnya, penduduk mengalami masa paceklik yang cukup hebat. Sejak tahun 1990-an, hewan peliharaan penduduk juga mulai diserang penyakit sampar. Ratusan ekor babi dan ayam mati seketika. Anehnya, penyakit ini sangat ganas, yakni dengan hitungan menit setelah terserang, ternak itu langsung mati. Menurut Udot, ciri-ciri babi terserang penyakit ini adalah mata merah berair, batuk, berliur dan kakinya mengais-ngasi tanah. Tidak lama setelah itu, langsung mati. Hingga kini, penyakit ini selalu menyerang ternak penduduk dan belum ditemukan obat yang mampu menanggulangi penyakit ini. akibatnya, penduduk mulai trauma untuk memelihara ternak, khususnya babi dan ayam. Padahal, dua jenis t5ernak ini sangat mereka perlukan untuk ritual adat dan pesta-pesta.
Pada tahun 1981, didirikan sebuah SD Negeri 16 dikampung ini untuk menampung anak-anak usia 7 tahun, melaksanakan program pendidikan dasar. SDN ini tetap eksis hingga saat ini. 6 orang guru negeri mengajar disekolah ini dengan murid sejumlah 123 orang, dari enam kelas yang ada. Pada tahun 1987, dikampung ini berdiri sebuah SLTP swasta yang bernama SLTP Batu Diri Nangka ( BDN ). Ratusan siswa menuntu ilmu di sekolah ini yang berasal dari 9 buah kampung disekitar Nangka. Pada tahun 1992, telah berdiri gedung megah SLTP ini, dengan dukungan masyarakat Nangka. Namun, sejak didirikannya SLTPN 2 Menjalin di Nangka tahun 2002, seluruh siswa SLTP Batu Diri Nangka kemudian dipindahkan ke sekolah negeri ini. Akibatnya, BDN kosong dan oleh pengurus sekolah, BDN dipindah dikampung Apo, Desa Bengkawe Kec. Menjalin. Hingga saat ini, belum ada SMU dikampung Nangka. Untuk melanjutkan sekolah ke SMU, para alumni SLTPN 2 Menjalin di Nangka harus mendaftar di SMU-SMU yang cukup banyak di ibukota kecamatan, yakni di Menjalin. Bagi yang orang tuanya cukup mampu, anak-anak sekolah ini bertempat tinggal di asrama sedangkan bagi yang masih membantu orang tuanya, mereka bersekolah pulang-pergi dari kampung dengan menggunakan kendaraan umum atau kendaraan pribadi. Pada tahun 1987, disediakan sarana air bersih di Kampung Nangka oleh sebuah Yayasan milik Kristen Protestan bernama Yayasan Karya Kasih ( YKK ). Selain menyediakan sarana air bersih, mereka juga memberikan beasiswa kepada anak-anak berprestasi hingga ditingkat SLTP. Namun, sejak tahun 1990, yayasan ini berhenti beroperasi. Akibatnya, sarana air bersih tak terkontrol dan hingga kin hanya sekitar 10 KK saja penduduk di kampung Nangka yang masih menikmati air bersih, yang bersumber dari Bukit Sabah (Galengokng) ini. Pada tahun 2000, penduduk kampung Nangka sudah menikmati aliran listrik negara ( PLN ). Tercatat 46 KK sudah dialiri listrik dirumahnya. Dengan listrik yang tersedia ini, penduduk mulai berlomba-lomba memakai alat-alat elektronik. Mulai dari TV parabola, VCD, hingga berbagai peralatan masak. Para tukang bangunan juga mulai memakai bor listrik, hingga ketam listrik untuk mempermudah pekerjaannya. Masyarakat juga berlomba-lomba membangun rumah permanen. Hingga akhir tahun 2004, tercatat 49 rumah sudah permanen, yakni terbuat dari semen dan batako. Berbagai peralatan elektronik sudah mengisi ruang-ruang tamu dan dapur dihampir setiap rumah.
Di kampung Nangka, terdapat dua buah tempat ibadah, yakni Kapel Umat Katolik dan gereja Protestan. Umat Katolik dikampung ini sekitar 44 KK dan 11 KK beragama Protestan. Setiap minggu selalu diadakan peribadatan oleh umat Kristen yang dipimpin oleh Pendeta atau kadang-kadang oleh Penginjil yang ditugaskan olehnya, namun tidak demikian halnya dengan umat Katolik. Mereka malas beribadah karena daya tampung dan kondisi Kapel yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk beribadah secara khusuk. Petugas paroki dan Pastor/frater sangat jarang berkunjung dikampung ini. Menurut Anyim, umat setempat, itulah sebabnya mereka malas untuk sembayang ke Kapel. Selain tidak ada penggerak umat yang bisa diandalkan, juga kurangnya kunjungan pastoral. Sungguhpun demikian, dikampung ini terdapat pula umat yang beragama islam, yakni 1 orang. Dalam segi etnik, dikampung ini terdapat 4 etnik yakni Dayak,Cina, Flores dan Jawa. Etnik Cina, Flores dan Jawa ini telah menikah dengan perempuan Dayak dari kampung setempat. Profesi mereka pun beragam, selain berdagang juga sebagai pegawai/guru. Karena telah menikah dengan warga disana, mereka mampu beradaptasi dan menjaga hubungan yang sangat baik. Beberapa perempuan dikampung ini juga cukup banyak yang menikah dengan etnik lain yang beragama islam, namun mereka tidak tinggal dikampung. Kebanyakan mereka tinggal di Pontianak, Sungai Pinyuh, Sambas dan Singkawang. Dalam aspek kehidupan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan pencipta, penduduk Nangka sangat kuat berpegang pada adat istiadat. Hal ini dapat dilihat dengan masih dilakukannya ritus-ritus yang berkaitan dengan adat dan masih difungsikannya keramat-keramat yang ada. Penduduk juga masih memberlakukan hukum adat secara ketat. Melalui musyawarah kampung, diangkat seorang pasirah dan seorang pangaraga. Mereka selain bertanggung jawab kepada penduduk yang memilihnya juga kepada Singa, yang merupakan kepala binua. Kepala binua ini mengkoordinir para pengurus adat diwilayah Binua Kaca’. Sejak tahun 2002, Kepala Binua dijabat oleh orang yang berasal dari kampung Nanga. Namun, bila secara adat mereka tidak dapat menyelesaikan suatu kasus, sering pula diajukan kepengadilan agar dilakukannya hukum nasional. Tidak heran, kampung ini sangat disegani oleh penduduk dari kampung-kampung disekitarnya. Dikampung ini juga terdapat 5 buah keramat yang diyakini mampu melindungi segenap kampung. Dikeramat ini juga, penduduk memohon kepada pencipta agar mendapat hasil pertanian yang melimpah. Keramat-keramat itu adalah Pantulak Nek Danggol, Batu Diri Nek Siru, Bukit Kanyet, Sampuatn Ipuh dan Paburungan.
Sejarah dan Mitos
Kisah penciptaan alam semesta pada Orang Dayak Kanayatn di kampung Nangka dapat ditelusuri dari doa nyangahatn . Dalam kisah tersebut, disebutkan bahwa dipusat alam semesta ini terdapat sebuah pusaran air (pusat ai’ pauh janggi). Inilah yang disebut-sebut pohon kehidupan, yang daripadanyalah segala sesuatu tercipta dan kepadanyalah semuanya akan kembali.
Pada perkawinan kosmis di pusat ai’ pauh janggi kemudian tercipta kulikng langit dua putar tanah (kubah langit dan kubah bumi), yaitu Sino Nyandong dan Sino Nyoba yang memperanakan Si Nyati Anak Balo Bulatn Tapancar Anak Mataari (Nyati Putri Bulan dan Putra Matahari). Yang memperanakan Iro-iro man angin-angin (Kacau Balau dan Badai), memperanakan uang-uang man gantong tali (udara mengawang dan embun menggantung), memperanakan tukang nange man malaekat (Pandai Besi dan Bidadari), memperanakan sumarakng ai’ man sumarakng sunge (segala air dan segala sungai) memperanakan tunggur batukng man mara puhutn (bambu dan pepohonan) memperanakan antuyut man marujut (akar-akaran dan umbi-umbian) memperanakan popo’ man rusuk (kesejukan lumpur dan tulang iga). Kesejukan lumpur adalah perempuan dan tulang iga adalah laki-laki. Memperanakan Anteber dan Guleber. Anteber dan Guleber inilah yang dipercaya sebagai nenek moyang mereka.
Setelah menjadi manusia, selanjutnya, anteber dan guleber melahirkan anak-anaknya dan kemudian dalam waktu cukup lama melahirkan anak-cucu, sehingga dengan demikian, semakin banyaklah anak manusia dibumi.
Dalam sebuah cerita lisan disebutkan Ne’ Panitah, seorang maharaja dari negeri subayatn yang tinggal dan memerintah di Kerajaan Sapangko Kanayatn. Ia memerintah bersama para menterinya. Setelah menciptakan alam semesta beserta isinya, Ne’ Panitah memerintahkan para menterinya untuk memikirkan bagaimana agar seisi alam itu dikelola oleh manusia. Pada suatu hari, Ne’ Panitah hadir dalam mimpi seorang anak manusia bernama Ne’ Ramaga bersama istrinya Ne’ Dara Irakng. Dalam mimpinya, Ne’ Panitah mewahyukan kepada Ne’ Ramaga untuk menerima suatu aturan hidup yang dinamakannya “adat lima“ .
Nek Ramaga adalah salah seorang pemimpin komunitas yang hidup disebuah kampung bernama Pakana Bahana, hulu Sungai Mempawah. Ia hidup sebagai peramu hutan dan diangkat sebagai pemimpin oleh warga kampung itu. Dalam mimpinya itu, Nek Ramaga diperintahkan untuk mengundang tiga orang saudaranya yang juga menjadi pemimpin negeri untuk menjelaskan wahyu Nek Panitah. Menerima wahyu itu, keesokan harinya Nek Ramaga mengirimkan sepucuk surat undangan melalui salah seorang warganya kepada ketiga pemimpin dimaksud.
Tersebutlah Nek Matas, pemimpin warga disepanjang aliran sungai karimawatn (Sungai Mempawah). Saudaranya yang lain adalah Nek Taguh alias Pak Usutn, yang menjadi pemimpin warga yang hidup disepanjang aliran Sungai Sambas dan Nek Ria Sinir, pemimpin warga yang hidup disepanjang aliran Sungai Banyuke.
Mendengar bahwa ada undangan Nek Ramaga, ketiga orang ini bergegas menuju Kampung Pakana Bahana. Berminggu-minggu ketiga orang ini menyusuri sungai dan lembah untuk mencapai kampung Pakana dan beberapa lama kemudian ketiganya sampai dengan selamat. Menyambut tamunya, Nek Ramaga telah mempersiapkan buis bantatn.
Dalam pertemuan itu, Nek Ramaga menceritakan bahwa beberapa waktu lalu ia berjumpa dengan Nek Panitah melalui sebuah mimpi. Nek Panitah memberikan sesuatu wahyu yang harus diikuti seluruh anak manusia dibumi.
Setelah mendengar penjelasan Nek Ramaga, ketiga saudara ini menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perintah dari Nek Panitah. Adat istiadat inilah yang kemudian dijalankan oleh ketiga orang saudara itu, hingga keanak cucunya dikemudian hari. Kelima adat itu adalah (1) Penekng unyit mata baras (irisan buah kunyi dan beberapa butir beras). Menurut Nek Ramaga, asal adat ini adalah dari Nek Unte’ di Kalimantatn, Nek Bancina di Tanyukng Bunga, Nek Sali di Sabakal, Nek Onton di Babao, dan Nek Sarukng di Sampuro. Fungsi adat ini adalah sebagai pelindung, menjaga kesabaran dan untuk keselamatan manusia. (2) Baras banyu banyang (bulir beras yang diberi minyak). Adat kedua ini berasal dari Nek Pangingu dan Nek Pangorok, berfungsi untuk meminta rejeki dan berkat. (3) Baras ijo (bulir beras berwarna hijau). Adat ketiga ini berasal dari Bujakng Nyangko dari Samabue, Kamang Muda’ dari Santulangan, dan Ngatapm Barangan dari Jajawe. Fungsi adat ini adalah melindungi manusia dari serangan maut yang datangnya dari luar. (4) Baras sasah (bulir beras yang diberi air sungai). Adat keempat ini berasal dari Gura’ Giro, Dewa Langit. Beta’ Beto, Dewa Tanah, dan Raja Naga Dewa Air. Fungsi adat ini adalah untuk membersihkan hal-hal yang jahat dan kotor dan (5) Langir binyak (kulit buah langir yang diberi minyak). Adat keliman ini berasal dari Bunga Putih Oncok Bawakng, Nek Lopo penguasa Bukit Bawakng, Sudu’ Nu’ Namput Ngalamputn Sengat, Pato’ Nu’ Alang Ngalalu’ Balah, Dayakng Nu’ Dandeng Bagago’ Jiba Sumangat, Bayu Rinsamang Harta Muda Dunia. Fungsi adat ini adalah untuk mengobati manusia yang sakit dan mengusir penyakit.
Sebelum pulang, ketiga orang ini kemudian mengadakan adat “totokng kanayatn “ untuk menerima lima adat yang diceritakan oleh Nek Ramaga. Untuk pelaksanaan adat ini, harus dengan 3 ekor ayam (buis bantatn). Karena ketiga orang ini berasal dari tempat yang berlainan, maka diadakan musyawarah yang dipimpin oleh Nek Ramaga. Ini dilaksanakan agar dikemudian hari tidak terdapat perselisihan atas pelaksanaannya. Hasilnya musyawarah itu adalah totokng kanayatn berupa buis bantatn yang diterima Nek Matas, tiga ayamnya dua telungkup dan satu telentang. Untuk Nek Taguh alias Pak Usutn, buisnya tiga ekor ayam telungkup semuanya dan untuk Nek Ria Sinir tiga ekor ayamnya telentang semua.
(Foto perbedaan buis bantatn ketiga orang ini)
Nek Matas kemudian pulang ke kampungnya yang bernama Titi Antu, tepi sungai karimawatn (Sungai Mempawah). Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Dale Nibukng dan tiga orang anaknya yang bernama Nek Icap di Toho, Nek Rawa di Siakng Maradatn (Sepang) dan Nek Raga. Keturunan Nek Raga ini adalah Nek Gawe dan Nek Ludatn, leluhur orang Kaca’ dan Ohak.
Ria sinir kemudian pulang kekampungnya bernama Kampung Jarikng, Kecamatan Menyuke sekarang ini. Ia hidup bersama istrinya yang bernama Nek Dara Itapm. Sedangkan Nek Taguh alias Pak Usutn, kembali ke kampungnya yang terletak di kaki Bukit Kape’, daerah Kecamatan Samalantan sekarang ini. (Bersambung)