Oleh Yohanes Supriyadi
Sebelum membahas fenomena komunitas adat lebih lanjut, saya ingin menegaskan bahwa kekuasaanlah yang akhirnya menetukan arah perkembangan sosial manusia. Sejak kapan kekuasaan menjadi simbol eksistensi manusia ? menurut Karl Marx, eksistensi manusia dapat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya. Semakin kaya seseorang semakin mendapat penghargaan, penghormatan dan ditinggikan derajatnya. Materi inilah yang menyebabkan manusia membangun stratifikasi, antara yang kaya dan miskin. Rene Descartes, filsuf perancis mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Sampai sekarang, pendapat Rene ini dipakai manusia untuk mengatakan dirinya ada. Deddy Mulayan, merujuk Thomas M Scheidel, menyebutkan bahwa aktivotas komunikasi juga menjadi instrumen untuk menyatakan eksistensi diri, sehingga berlaku pameo “ saya berbicara, maka saya ada”. Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun ketika kita berbicara, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita ada.
Penguasaan atas akses dan aset sumber eksistensi ini dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa sumber-sumber yang diperebutkan relatif statis, sementara manusia yang memperebutkannya semakin banyak, tensu saja juga sama dengan kebutuhannya. Hal ini membuat manusia masuk dalam aktivitas kopetisi yang sangat ketat. Barangsiapa yang menguasai aset sumber daya tersbeut, ia akan tampil menjadi ”pemimpin” yang mempunyai kekuasaan mengatur, mengendalikan dan mendistribusi. Cara kerja kekuasaan dalam proses sosial inilah yang kemudian melahirkan praktek hegemoni. Kekuasaan lebih lanjut berarti kemampuan atau kesematan untuk menjalankan dan mengatur interaksi masyarakat. Secara politik, kekuasaan identik dengan sistem pemerintahan negara. Namun, dalam kehidupan konkrit, kekuatan terjelma dalam pelbagai macam lembaga dan kegiatan. Kepala desa mempunyai tangan-tangan yang mengatur jalannya pemerintahan berdasarkan perintah birokrat ”diatasnya”, para pemuka agama mempunyai kekuasaan dalam menggerakkan umat untuk bertindak menurut pola agama, dan para tetua adat mempunyai kekuasaan untuk menggerakkan umatnya untuk bertindak menurut adat dan taat pada hukum adat serta melindungi wilayah adat, sesuai ajaran leluhur. Persaingan dalam memperebutkan pengaruh itulah indikasi cara kerja kekuasaan, karena kekuasaan selalu ingin memperbesar pengaruhnya.
A. Pergulatan identitas; menuju unifikasi etnik
Pasca hancurnya kekuatan pemerintah Orde Baru, komunitas adat di Kalimantan Barat merasakan betapa pentingnya adat dalam mengawal ”proses” kehidupan selanjutnya. Sungguhpun sempat terjatuh dalam aksi kekerasan rasial selama kurang lebih 100 tahun, komunitas adat dengan dukungan para intelektualnya di partai politik dan LSM, mulai menapak hari-harinya dengan penuh keyakinan, bahwa bagaimanapun juga adat tetap menjadi pilihan terbaik ditengah terpuruknya moralitas bangsa diabad modern saat ini. Namun, membangun gerakan ini ternyata tidaklah mudah. Selain kurang solidnya pemimpin mereka, juga telah hancurnya kelembagaan lokal, yang telah menjadi acuan selama ini melalui politik unifikasi hukum atas nama desa.
Secara kasat mata, gerakan kembali ke adat dimulai pada pertengahan tahun 1985. dimana, pada tahun ini, identitas suku-suku kecil sebagai komunitas adat yang bertebaran pada 4 kabupaten di Kalimantan Barat muncul. Dulu, suku-suku kecil ini menamakan dirinya beradarkan nama tempat tinggal atau persekutuan hukum yang dibangun nenek moyang mereka. Namun, ditahun ini pula, identitas itu mulai diangkat kembali. Mereka bertanya-tanya, siapakah kami sebenarnya ? Siapakah suku Dayak Kanayatn itu ? untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan ini, kembali saya membolak-balik berbagai literatur. Saya menemukan sebenarnya tidak banyak literatur yang menunjukan secara detail keberadaan suku Kanayatn di Kalimantan, bahkan dibeberapa hasil penelitian “orang Barat“ tidak ada satupun yang menunjukan dengan tegas “ Kanayatn”. Kata Kanayatn secara jelas terdapat dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Ia melakukan penelitian di Desa Tiang Tanjung Mempawah Hulu yang dekat dengan desa-desa orang Bakati’ ( Jirak, Sebangki, Timpurukng ) dan desa-desa orang Banyadu’ (Pentek, Semade, Parigi). Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Mungkin ini bagian dari kepentingan untuk memperluas basis politik dan kekuasaan ( politik unifikasi) mereka, yang kalau dilacak merupakan politik khas Orde Baru. Para elite Dayak ini menyepakati bahwa orang-Dayak yang tinggal dipedalaman bagian utara dan selatan Kalimantan Barat sebagai Dayak Kanayatn, sebuah identitas baru pada suku ini.
Dalam kacamata sejarah bangsa ini, Stanley Karnow, seperti dikutip Simon Takdir, 2003, membuat peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan melalui Semenanjung Malaya. Mereka memasuki muara sungai Sambas dan Salako (Selakau, menurut ejaan Melayu). Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim dikaki bukti senujuh, dikawasan sungai Sambas Besar. Dikawasan ini dikemudian hari pernah berdiri kerajaan Sambas sekitar tahun 1291 dengan rajanya Ratu Sepudak, seorang yang telah beragama Hindu. Rakyatnya masih mengant agama tradisional. Apakah mereka iini merupakan keturunan dari kelompok yang bermigrasi itu ? untuk menjawab ini, seorang antropologi, Wonojwasito, 1957 menjelaskan bahwa jauh sebelum bangsa Austronesia bermigrasi diseluruh kepulauan Indoensia, kepulauan Indinesia termasuk Kalimantan telah ada penduduknya, yaitu bangsa Weddoide dan bangsa Negrito. Mereka mendiami lkepulauan ini sejarh zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum (Loebis, 1972), kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Indonesia (Wojowasito, 1957). Kelompok Asutronesia yang bermukim dikaki bukit Senujuh ini, karena julahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang kedaerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayatn atau Rara dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu bakati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Para penurut tiga bahasa ini masih mengerti bila mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing. Menurut informan saya, kanayatn itu berada disebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai Salako/Selakau, didaerah Kinane, Subah dan sebagainya atau disebelah utara jalan raya. Barangkali ini sejalan dengan kata sanskerta/kawi yaitu Kanayatn berasal dari kata : Kana + Yana, atau Kana + Yani. Yang berarti Kana : sana, Yana : jalan, yani : sungai ( Prawiroadmojo, 1981 ). Jika benar, apakah secara etimologis nama Kanayatn berasal dari kata tersebut diatas, yaitu suku yang tinggal disebelah sana jalan atau sungai ?
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail keberadaan suku Kanayatn saat ini, maka saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn. Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, pada awal Orde Baru. Mereka telah melihat peluang yang besar untuk menyatukan Dayak melalui satu kekuatan politik di Golkar, sebuah partai pemerintah. Konsekuensinya harus ada ikatan pemersatu, istilah 'Kanayatn' atau 'Kendayan'. Kemudian dimanfaatkan sebagai sarana pemersatu sub-suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Misalnya diadakan Musyawarah Adat Dayak Kanayatn di Anjungan tahun 1985, yang melahirkan Gawai Naik Dango setiap tahun di Kabupaten Pontianak. Para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas di Kabupaten Pontianak kala itu.
Untuk membuktikannya, ditemukan sebuah dokumen penting yang menyebutkan Kanayatn mulai “dipakai “ pada tanggal 23-25 Maret 1985, melalui Musyawarah Adat se-Kabupaten Pontianak di Anjungan. Pada akhir musyawarah, peserta sepekat untuk membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak. Selama musyawarah, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI. Pada akhir musyawarah ini, peserta memilih F. Bahaudin Kay, sebagai ketua umum DADK Kab. Pontianak. Ia adalah seorang Timanggong dari Binua Temila Ilir I –Pahauman. Inilah organisasi dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Lambang organisasi ini adalah pemipis dan gantang. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periDayake 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periDayake 1992-1997 dari GOLKAR. Setelah musyawarah adat itu, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan; sejak tanggal 1 April 1992, ada siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa Banana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya. Istilah ini menjadi berurat berakar pada Dayak di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak dan Landak) dan Sambas (sekarang Sambas dan Bengkayang). Demikian juga berbagai tulisan yang dimuat dalam Majalah Kalimantan Review dan buku-buku terbitan Institut Dayakologi. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya.
Sejak itu, tidak pernah lagi terdengar perdebatan istilah ini secara signifikan. Baru, pada akhir tahun 1999, istilah ini muncul kembali. Adalah Institute Dayakologi, sebuah LSM Dayak yang kembali membuka perdebatan seputar istilah Kanayatn. Dimuali dengan musyawarah adat di wilayah Binua Temila, Maniamas Miden SoDayak, bersama ratusan penduduk dibinua ini pada akhir tahun 2001 mendeklarasikan komunitasnya sebagai komunitas Dayak Bukit. Perdebatan istilah Kanayatn mulai menghangat kembali ketika di seminar Naik Dango XVIII se-Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak di Menjalin, seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, membahas seputar Dayak Salako. Ia secara rinci menjelaskan kepada peserta, betapa Dayak Salako adalah induk dari berbagai suku-suku yang berdialek banana, ahe, bajare. Menurutnya, suku Kanayatn sebenarnya adalah orang-orang yang berbahasa non ba ahe dan non bajare, yakni orang-orang yang berbahasa nganayatn ( ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli ) dan itu berarti Kanayatn adalah orang-orang Bakati, Banyadu’, Bainyam dan isoleknya yang lain. Simon membeberkan sejumlah fakta bahwa di Kabupaten Bengkayang, ditemukan beberapa subsuku Dayak Bakati', yang secara kolektif menyebut dirinya Dayak Kanayatn atau Kanayat. Dalam kenyataannya, istilah 'Kanayatn' populer di kalangan orang yang berbahasa Banana' dan varian sejenisnya, terutama yang bermukim di aliran Sungai Mampawah dan anak-anak sungainya. Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar ( lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ).
B. Perdebatan Yang tak Henti di Sekitar Pelaksanaan Hukum Adat
Akhir-akhir ini kita sering membaca di koran bahwa suatu kasus/tindak pidana diselesaikan dengan "hukum adat". Bahkan kadang sudah menjurus dikomersilkan, sehingga cukup memberatkan bagi pelanggar. Tidak jarang untuk memberlakukan hukum adat menggunakan/mengarakan kekuatan massa. Padahal sejak berlaku hokum positif yang mengejawantah dalam KUHP bagi seluruh rakyat Indonesia pada tahun 1848 (ulangi tahun 1848 Kodifikasi Hukum Positif Indonesia) maka Hukum Adat diseluruh Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi, namun tetap dihormati. Arti dihormati disini adalah bahwa bila ada suatu suku bangsa yang ingin menerapkan Hukum Adat hanya berlaku untuk suku bangsa itu sendiri secara intern, tidak berlaku untuk suku bangsa lainnya. Suku bangsa yang diberlakukan hokum adat berarti si pelanggar tersebut mengandung 2 (dua) resiko: 1. Menerima penjatuhan Hukum Adat berdasarkan adat setempat. 2. Menerima penjatuhan hukum positif/Pidana (karena hukum adat tidak dihapuskan hukum pidana, hanya dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang meringankan). Beberapa pihak menyatakan keberatannya dengan pemberlakukan hukum adat ini. Menurut mereka, seharusnya hukum adat cukup berlaku dikomunitas adat, dan bukan ditempat lain.
Bagi suku bangsa yang memberlakukan hukum adat, misalnya suku Dayak di Kalimantan Barat di Daerah Kabupaten Landak, maka hanya berlaku untuk daerah intern saja, bahkan jika suku Dayak Kabupaten Sintang/Kapuas Hukum melanggar suatu kasus di daerah Landak, tidak bisa diterapkan hukum adat. Untuk menjembatani ini, maka tetap Hukum Positif (KHUP), karena penerapan Hukum Adat suatu daerah kemungkinan tidak sama dengan daerah tempat terjadinya pelanggaran/kasus tersebut. Demikian juga pelaksanaan Hukum Adat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Positif (KUHP), misalnya melakukan penyenderaan/penyitaan .
Penerapan hukum adat, juga mulai dipertanyakan warga berbagai acara pertemuan masyarakat. “Saya hanya ingin mempertanyakan, batasan wilayah mana hukum adat itu berlaku, karena sekarang banyak orang mengatasnamakan forum, atau pemuka adat,bahwa sesuatu telah melanggar hukum adat," tanya warga . Lebih lanjut dikatakanya, tak adanya batasan yang jelas dilaksanakanya hukum adat itu, dapat menimbulkan ekses negatif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga dapat mendorong konflik dalam kemajemukan kehidupan warga. Memang sampai saat sekarang masih belum ada pembakuan hukum adat secara universal. Dalam salah satu acara pelantikan pengurus adat, seorang Ketua Dewan Pemangku Adat MABM Ketapang, menyerahkan buku "Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu Kayung" kepada pengurus ranting MABM Sandai Kanan. Buku yang diterbitkan MABM Kabupaten Ketapang itu menjelaskan jati diri Melayu serta hukum adat Melayu Kayung. Yang disebut puak Melayu itu adalah orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan menggunakan adat istiadat Melayu. Puak Melayu itu adalah non genealogis,". Menurutnya, hukum adat Melayu merujuk pada syariat Islam. Sebagai rakyat Indonesia, maka seharusnya kita tunduk pada hukum positif . Jadi kalau etnis lain boleh melaksanakan hukum adatnya kepada publik di luar wilayah adatnya. Dardi menerangkan sebagai orang Melayu berharap pemerintah RI mengakui hukum syariat Islam. Ini juga sudah tertuang dalam piagam Jakarta. Dia juga mengingatkan MABM ranting Sandai Kanan agar jangan melaksanakan hukum adat di luar syariat Islam. Dicontohkannya seperti denda atau membayar adat sebagai ganti hukuman terhadap pelanggar tindak kriminal. "Kalau jelas pelanggaran kriminal seperti perzinahan, hendaklah diserahkan kepada pihak penegak hukum, bukan dihukum adat," tegasnya . Penegasan itu, ketika dilakukannya pembentukan pengurus ranting Sandai Kanan pada 25 Maret 2005.
Senada dengan tokoh ”Melayu” diatas, pelanggaran hukum terutama tindakan kriminal, juga seharusnya tetap dibawa hukum positif dan jangan dilarikan ke hukum adat. Hukum positif harus lebih ditegakkan, ungkap Kapolres Sintang melalui Kapolsek Nanga Pinoh IPTU M Surbakti . Menurutnya, permasalahan ini perlu perhatian dari semua kalangan serta warga dan juga tokoh adat, karena tindakan yang melanggar hukum bahkan sudah mengarah kepada tindakan kriminal memang harus dibawa ke hukum positif, karena di dalamnya sudah ada mengaturnya serta undang-undangnya. Jadi pada intinya, apabila ada kasus yang menyangkut masalah kriminal dan sejenisnya, jangan di larikan ke hukum adat. Permasalahan yang sering terjadi, ada masalah yang terkadang di selesaikan dengan acara adat, meski tindakan itu memang kriminal. Jadi masalah ini ke depannya perlu menjadi perhatian serta untuk dipahami oleh semua elemen yang ada. Kemudian di sisi lain Sino S Sos, pemerhati pembangunan Melawi menambahkan bahwa apa yang dikatakan olek Kapolsek Nanga Pinoh perlu dukungan dan perhatian masyarakat, karena hukum positif merupakan barometer penegakan hukum. "Jangan masalah pencurian dan sebagainya lalu diselesaikan dengan cara hukum adat lalu selesai," ujarnya. Disisi lain ada juga tindakan kekerasan terhadap wanita, terkadang diselesaikan dengan cara adat, padahal tindakan yang dilakukan itu cukup berat, karena menyangkut kelangsungan hidup si korban. Bahkan Kapolsek minta kepada warga jangan takut serta engan melaporkan tindakan kekerasan terhadap wanita, sebab dibiarkan maka pelaku akan tidak jera serta merajalela. Namun, seorang pejabat pemerintah mengatakan bahwa jangan salahkan hukum adat. Menurutnya, hukum adat yang berlaku adalah merupakan warisan leluhur yang memang harus dilestarikan dan silaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Tetapi dibalik itu, ia juga mengingatkan agar masalah adat ini benar-benar diperhatikan dengan baik. Mengingat sekarang ini, Pemerintah sedang giat-giatnya menarik para investor untuk dapat menanamkan modalnya sehingga diharapkan Adat tersebut tidak menghambat dan membuat investor merasa takut datang .
Perdebatan diatas kemudian semakin meruncing dengan suara sumbang yang hadir di Harian Pontianak Post hari Jum'at (5/3/2004) tentang "Tegakkan Hukum Positif, Tolak Hukum Adat" yang dikeluarkan oleh Ir. Ikdar Salim dan Zulkarnaen Bujang selaku tokoh masyarakat Melayu dan sebagai Ketua Forum dan Ketua Tim Sebelas FKPM Singkawang. Pernyataan ini kemudian menimbulkan rekasi keras dari kalangan Dayak. Seorang pemuda Dayak, yang juga duduk sebagai ketua III dalam kepengurusan Kelembagaan Dewan Adat Dayak Kota Singkawang, sangat tidak sependapat dengan pernyataan kedua orang ”melayu” yang berani-beraninya ngomong lancang terhadap Dewan Adat Dayak, sebagai penyelesaian kasus Kn . Tokoh ini meminta keduanya untuk jangan mencampuri dan adat budaya orang lain dan harus meminta maaf kepada seluruh masyarakat dan suku Dayak yang ada di kalimantan (Borneo) dan khususnya masyarakat Dayak Kota Singkawang. Sebab menurutnya, Adat dan kelembagaan Dayak lebih dulu lahir dari Forum yang mereka pimpin.
Apa yang melatarbelakangi ”perang” sikap atas pemberlakukan hukum adat diatas ? Mengenai fenomena Hukum Adat sekarang ini diterapkan pada masyarakat kota (misalnya: Singkawang dan Pontianak), saya menyatakan bahwa hal itu adalah "Kebablasan". Saya berani menyatakan hal itu sebagai suatu kebablasan, karena penerapan sanksi adat tersebut sudah menyimpang dari hukum adat yang sebenarnya. Sanki Hukum Adat hanya dapat dijalankan pada lingkungan masyarakat adat yang secara "de facto" kehidupan warganya masih berpegang pada Hukum Adat. Jadi, hukum adat berlaku mutlak di kampung-kampung pedalaman Kalimantan Barat karena realitas sosial masyarakatnya yang secara de facto masih berpegang pada adat istiadat tersebut. Sanski hukum adat itu berlaku bagi siapa saja yang melanggar, termasuk warga dari suku/daerah lain yang melakukan perbuatan "sumbang" di wilayah Hukum Adat. Penulis surat pembaca tadi keliru jika mengatakan hukum adat hanya berlaku intern bagi anggota suku Dayak saja. Jadi yang penting adalah "locus delicti". Kota, menurut saya bukan wilayah Hukum Adat, khususnya yang menyangkut aspek pidana. Penerapan sanksi hukum adat di perkotaan juga saya anggap sudah kebablasan karena terkesan sudah dikomersialisasikan. Tujuan sanksi hukum adat yang asli di kampung-kampung adalah untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terganggu akibat terjadinya perbuatan "sumbang" yang dilakukan oleh pelaku. Saknsi tersebut lebih bersifat magis-religius sesuai dengan kepercayaan masyarakat adat. Sedangkan sanksi adat yang dijatuhkan oleh orang-orang Dewan Adat di kota bisa mencapai jutaan rupiah, yang sepertinya dibuat-buat, terlalu di "dramatisir". Sebagai orang Dayak asli, saya malah sedih melihat Hukum Adat Dayak dipermainkan oleh oknum-oknum yang mengaku "Pengurus Adat" di perkotaan! Sebagai orang Dayak, saya sendiri tidak tahu bagaimana mekanisme penunjukan Dewan adat di kota-kota. Yang jelas mereka tidak dipilih langsung oleh warga masyarakat adat Dayak. Dan saya tahu, bahwa di kota Singkawang dan Pontianak, realitas sosial kehidupan masyarakatnya pasti secara "de facto" tidak lagi berpegang pada Hukum Adat, khususnya yang menyangkut tindak pidana. Sanksi hukum adat dapat saja dijatuhkan pada si pelaku sebagai hukuman tambahan atas perintah Hakim, bukan oleh Dewan Adat yang sebetulnya bukan pengurus adat asli menurut Hukum Adat Dayak. Dewan adat di kota menurut pendapat saya lebih sebagai "organisasi sosial" untuk mengembangkan nilai-nilai budaya Dayak serta melakukan advokasi terhadap hak-hak masyarakat adat di tengah-tengah modernisasi saat ini. Dewan Adat biasanya diisi oleh kaum intelektual Dayak di kota yang mungkin tidak dikenal oleh masyarakat adat Dayak di kampung-kampung!!!
Bagaimana realitas di Komunitas Adat ?
Saat ini, paling tidak pada seluruh tumpuk (kampong,red) terjadi dualisme penerapan hukum, yakni hukum adat dan hukum positif. Dualisme kemudian menimbulkan tarik menarik antara dua kepentingan hukum yang jelas-jelas berbeda. Setiap peristiwa hukum yang terjadi, selalu membuat dua norma ini saling berbenturan. Akibatnya ketidakpastian hukum dan keadilan dialami masyarakat adat, atau orang yang terkena sanksi. Namun pada dasarnya, dua aturan yang dibuat itu bertujuan baik. hukum adat untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat adat, maupun pendatang yang hidup berdampingan dengan mereka. Namun pelaksanaannya kadang-kadang disalahartikan dan cenderung mementingkan kelompok atau kepentingan pribadi. Ini seringkali dimanfaatkan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan sendiri. Jika hukum adat disalahgunakan, maka akan terjadi kepincangan dan ketidakadilan. Namun jika dilaksanakan dengan baik, maka hukum adat ini dapat melindungi, serta memberi rasa aman dan tentram, baik bagi masyarakat adat maupun masyarakat diluarnya. Beberapa aktivis masyarakat adat mengatakan harusnya antara hukum positif dan hukum adat dapat berlaku seimbang. Sebab keseimbangan keduanya dapat lebih efektif mencegah (preventif) dan mengatasi atau menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat. Bukan sebaliknya yang malah justru menyebabkan timbulnya konflik interest, serta menimbulkan dualisme dalam hukum.
Akankah hukum adat masuk praktik peradilan negara ? pertanyaan ini menarik untuk dijawab, bahwa keberadaan dan ekstensi peradilan adat di masyarakat telah lama di akui. Namun dalam praktiknya, hukum adat justru tidak terkandung dalam sistem peradilan atau hukum formal. Sehingga terkadang masih banyak masyarakat kurang memahami. Jadi, tidaklah mengherankan masih terdapat pro dan kontra terhadap penyelesaian hukum yang menggunakan hukum adat. Pertanyaannya, "akankah hukum adat dapat dimasukkan ke dalam praktik peradilan formal? Persoalannya menurut saya adalah bagaimana keberadaan hukum adat dapat diakui secara formal oleh lembaga hukum di negara ini. Artinya, adanya pengakuan dan penghormatan yang tegas oleh pemerintah daerah terhadap eksistensi hukum adat dan peradilan adat. Di sisi lain, adanya kemauan politik (sikap) pemerintah dalam menempatkan peradilan adat dalam sistem hukum nasional, di samping berbagi pengalaman dan kendala fungsionaris adat dalam upaya menempatkan peradilan adat dalam sistem dan praktik peradilan formal sehingga dapat diketahui, dipahami dan adanya kemauan baik dari Pemerintah untuk memperbaharui praktik dan sistem hukum nasional dalam konteks otonomi daerah. Dan untuk mengatur serta mengelola kehidupan sosial dan sumber daya alam, sudah ada sistem hukum adat. Sehingga bila terjadi pelanggaran, maka yang menyelesaikan dilakukan melalui peradilan adat yang di sebut pekara adat. Namun dalam praktiknya, tambah dia, penyelesaian dan pemutusan perkara adat oleh peradilan adat cenderung dan kurang di hormati keberadaannya (eksistensi) terutama oleh lembaga dan sistem hukum negara. Bahkan peradilan adat belum ditempatkan dalam sistem dan praktik hukum formal. Pemerintah dalam praktik otonomi daerah tidak cukup melakukan perubahan terhadap sistem dan struktur pemerintahan, karenanya masyarakat adat mengharapkan perubahan dan pembaharuan hukum nasional baik sistem maupun dalam praktik, sehingga peradilan adat dalam sistem dan praktik menjadi bagian atau sistem hukum negara, dengan begitu krisis hukum dapat di atasi.
Premanisme Adat, Dampak Konflik Antar Komunitas Etnik ?
Salah satu gejala sosial yang menarik saat ini di Kalimantan Barat adalah munculnya istilah ”premanisme adat”. Hampir disetiap kampung, desa dan kota selalu dapat ditemui pengalaman komunitas yang ”telah” diperdayai oleh preman adat ini. Sebagaimana definisi dari Yacobus (Yacobus;2003), preman adalah sebuah organisasi yang jelas ada, meski tidak berbadan hukum, punya anggota tetap dan jaringan, sering menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, melakukan tindakan sopoi/malak dengan dalih jasa keamanan, wilayah kekuasaan jelas. Seorang informan saya, mengatakan bahwa premanisme di kalangan masyarakat adat (dayak, red), baru muncul sekitar tahun 1998-2001. Sebelum-sebelumnya tidak ada yang namanya preman Dayak, bahkan untuk berbahasa Dayak saja di Pasar, di Kota Pontianak (misalnya) Terminal, orang Dayak malu. Pokoknya orang Dayak dianggap yang paling bodoh, kolot dan miskin. Kalau Dayak tidak terlibat kerusuhan 1997, kemudian tidak terjadi reformasi, sulit bagi Dayak untuk dapat perhatian pemerintah. Mencari perhatian pemerintah agar suara-suara kita di dengar, tuntutan kita di kabulkan, salah satu nya harus dengan cara keras. Pemerintah yang secara tidak langsung mengajari masyarakat untuk bertindak keras, gaya preman.
Keberadaan preman adat belakangan ini meresahkan warga masyarakat. Bahkan banyak tokoh masyarakat yang secara tegas menolak keberadaan para preman-preman adat ini. Baik dari jenis preman adat kelas sendal jepit hingga preman adat kelas berdasi. Yang dikatakan sebagai preman adat sendal jepit menurut Lomon, adalah oknum-oknum tak bertanggung jawab yang mengaku-ngaku sebagai pengurus adat tertentu atau mengaku sebagai temenggung, yang kemudian mengenakan sanksi adat kepada seseorang akibat suatu perkara tertentu sedangkan yang disebut dengan preman adat berdasi adalah orang-orang yang mengaku sebagai tokoh masyarakat, orang-orang berpangkat atau memiliki jabatan dan kedudukan tertentu yang kemudian memanfaatkan adat bagi kepentingannya sendiri atau kelompok tertentu. Selain itu, mereka juga tidak setuju dengan adanya adat yang dikomersilkan. Karena dalam keadaan tertentu yang tidak menguntungkan, seseorang bisa mengkomersilkan hukum adat dengan berbagai alasan yang terkadang tidak masuk akal. Hal itu perlu diwaspadai dan perlu dipahami benar keberadaan hukum adat ini, agar jangan sampai citra hukum adat itu sendiri ternodai. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, jangan sampai citra hukum adat yang baik jadi rusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sungguh disayangkan jika warisan nenek moyang ini jadi rusak citranya oleh penerusnya sendiri.
Seorang informan saya mengatakan, tidak sembarang menjatuhkan sanksi adat kepada sesorang. Untuk mengenakan sanksi hukum adat terhadap seseorang telah diatur ketentuannya dan mesti dilaksanakan dengan benar untuk menjaga kemurnian hukum adat ini. Bahkan jika ada oknum tertentu yang memanfaatkan hukum adat untuk kepentingan pribadi, maka bagi yang bersangkutan bisa dikenakan hukum adat yang lebih berat lagi. Untuk itu masyarakat diharapkan untuk waspada terhadap kedua jenis preman ini, baik preman adat berdasi maupun preman adat sendal jepit. Saat ini keberadaan kedua jenis preman adat tersebut mulai marak. Dalam pemberlakuan hukum adat pada masyarakat adat Dayak dikenal adanya batas wilayah serta teritori, yang sekaligus merupakan kompetensi berlakunya hukum adat dan adat-istiadat. Namun dalam praktiknya di lapangan, ternyata kompetensi ini terkadang mengalami pergeseran atau penyimpangan. Penyimpangan terjadi, karena adanya penyalahgunaan wewenang oleh orang-orang yang mengaku memiliki kewenangan sebagai fungsionaris adat. Bahkan penyimpangan itu diakui oleh empat Temenggung dari sub etnik Dayak Pompakngh, Kodatnh, Panu dan Hibun . Hasil riset ini menyimpulkan bahwa terjadinya pergeseran-pergeseran tersebut dikarenakan berbagai hal antara lain komersialisasi hukum adat, premanisme adat serta intimidasi melalui justifikasi hukum adat dan lain sebagainya. Ini berdampak dengan berkurangnya kewibawaan fungsi dan tujuan diberlakukannya hukum adat. Kondisi ini tentunya menimbulkan stereotif dan persepsi kurang baik terhadap eksistensi hukum adat. Untuk menanggulangi itu, tentunya diperlukan tindakan tegas dari para fungsionaris adat terhadap orang-orang yang menyalahgunakan hukum adat. Selain itu juga diperlukan sesegera mungkin kodifikasi, dalam upaya pencatatan dan penyeragaman adat istiadat dan hukum adat. Hal ini tentunya dilakukan untuk menghindari terjadinya dampak negatif dari pemberlakuan hukum adat di masyarakat. Sementara mengenai oknum yang tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adat, namun tetap melanggarnya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran adat.
Menurut para tokoh adat ’asli”, polisi harus berani menangkap preman adat. Bagaimanapun juga, segala bentuk premanisme adat telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat dan merendahkan nilai luhur adat itu sendiri . Thambun melanjutkan, hukum adat berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat dapat menjamin kerukunan dan ketentraman di suatu wilayah dan dapat mengatur prilaku dan tata krama yang sopan dalam pergaulan. Menurutnya, hukum adat merupakan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta diakui hukum nasional. Pelaksanaannya sering ternodai oleh oknum yang disebut preman sehingga merusak tatanan hukum adat. Merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat adat yakni bagi mereka yang benar-benar menjalankan adat. Perbuatan yang dilakukan preman adat bahkan terkadang hukum kebiasaan itu menjadi komersial merupakan pelanggaran pada aturan adat. Karena apa yang dilakukan oknum adat itu bukan merupakan ciri-ciri hukum adat dan bahkan merusaknya. Hanya masih banyak masyarakat yang kena sanksi adat tidak memperkarakan masalah ini. Adanya laporan preman itu bisa ditindak secara adat maupun hukum positif. Seorang timanggong ”asli”, Djumin, dari binua Kaca’, mengatakan sejauh ini jumlah preman adat masih tergolong kecil. Namun di sisi lain, lantaran hal buruk yang terkuak ke permukaan, menjadikannya cepat diketahui. Sebab masyarakat adat tidak mengenal adanya preman. Kalau pun ada dari warga masyarakat lain yang terkena sanksi adat, diperbolehkan bertanya apakah fungsionaris adat atau bukan. Bahkan bisa menolak seandainya yang menjatuhkan adat itu bukanlah fungsionaris adat. Saya menilai ada benarnya juga, preman adat itu timbul karena ikut-ikutan. Mereka meniru buruknya peradilan umum atau lebih dikenal mafia peradilan. Ditegaskannya, hukum adat tetap menjaga kerukunan seperti kata pepatah kalau memukul ular, pemukulnya jangan patah, ular tidak mati dan tak berbekas ke tanah.
Pada saat kongres PAKAT , juga sempat dibahas tentang pembekuan dan pembukaan hukum adat. Mengenai hukum pati nyawa sangat hangat dibicarakan oleh para peserta yang mengikuti kogres tersebut. Namun dari semua itu ada beberapa poin yang perlu dibekukan dan pembukuan di dalam hukum adat. Maka mengenai hukum yang sudah ada di dalam hukup positif sehingga hal itu tidak perlu lagi dimasukan di dalam hukum adat. Sehingga diperlukan kedewasaan kita untuk memahami hukum positif yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehar-harinya. Selain itu diperlukan mental dan perilaku dari masyarakat adat tidak dirubah maka hukum adat tidak berarti apa-apa. Sekali lagi dalam pelaksanaanya jangan sampai terjadi timbang tindih antara hukup positif dan hukum adat.
Menurut seorang informan saya, seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya, penerapan hukum adat mulai bergeser. Hal itu karena sering disalah artikan oleh segelintir orang, sehingga tak jarang penerapannya menjadi melenceng dari ketentuan. Bahkan tak jarang kita dengar bahwa hukum adat dikomersilkan oleh oknum tertentu untuk mencari keuntungan akibatnya setiap keputusan adat dalam menangani permasalahan yang timbul di masyarakat cenderung merugikan orang yang terkena sanksi adat. yang sangat menyedihkan lagi menurut Lukas, dalam penerapan hukum adat ada yang memutuskan perkara kapasitasnya bukan sebagai temenggung. Petugas secara resmi diakui masyarakat, tetapi orang yang mengaku-ngaku sebagai ketua adat bekerja sama dengan beberapa orang (kelompok) merekayasa keputusan adat. Akibatnya, memberikan sanksi menuntut ganti rugi nilai nominal sejumlah uang yang sangat besar. Peristiwa itu sering terjadi dan menimpa warga lain di luar wilayah hukum adat ungkap seorang informan lain. Padahal ditegaskannya, hukum adat adalah merupakan seperangkat peratuaran untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam wilayah masyarakat adat. Hakum adat ada dan diterapkan sejak peradaban manusia itu dibentuk.
Salah seorang tokoh adat, yang duduk dikepengurusan Dewan Adat Dayak mengatakan kepada saya bagaimana mereka membentuk Dewan Adat Dayak yang menurutnya sebagai bagian dari menegakan hukum adat secara konsekuen. Karena, kata dia, sekarang banyak muncul preman-preman adat yang sebenarnya tidak diakui sebagai temenggung, atau pengurus DAD. Mengaku sebagai sesepuh adat dan berani melakukan putusan adat terhadap suatu perkara, dengan menjatuhkan sanksi adat kepada seseorang. Yang dianggap melakukan pelanggaran baik itu warga masyarakat adat setemapat maupun warga lain dengan menuntut ganti rugi sejumlah uang. Yang telah ditetapkan kepada setiap pelaku tindak pelanggaran adat setempat. Hal itu menurut keterangan Lukas, biasanya terjadi pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban menderita atau mengakibatkan korban jiwa. "Namun kriteria sanksi hukumnya disalahtafsirkan sesuai kepentingan kelompok tertentu," katanya. Oleh karena itu, masalah adat harus dikembalikan kepada pihak berwenang yang diakui sebagai sesepuh adat, temenggung, pengurus dewan adat sebagai pihak yang diakui dalam upaya menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Sebab, dalan adat istiadat suku Dayak, sebenarnya dalam menentukan ganti rugi tidak berbentuk denda sejumlah uang, apalagi menyebutkan nilainya. Apabila ada keputusan adat yang meminta ganti rugi jutaan rupiah, itu omong kosong tegasnya.
Kehilangan Pegangan Hidup
Agaknya Charles James Brooke, dalam bukunya The White Rajah of Sarawak, yang terbit tahun 1915 telah mengingatkan kita semua. “ I beg you to listen to what I have to say, and that you will recollect my words… Has it ever occurred to you that after my time out here others may appear with soft and smiling continuances, to deprive you of what is solemnly you right – that is, the very land on which you live, the source of your income, the food even of your mouth ???...you will lose your birthright, which will be taken from you by strangers and speculators who will, in their turn, become masters and owners whilst you yourselves, you people of the soil, will be thrown aside and become nothing but coolies and outcasts of the island. “ (Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik…. Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak disini lag, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu – yakni tanah dimana kamu tinggal, sumber penghasilanmu, dan bahkan makanan yang ada di mulutmu. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini).
Dari pernyataan Brooek diatas, terlihat jelas pengaruh negara, yang diwakili oleh Desa dan Agama, dalam banyak kasus yang telah menempatkan adat sebagai pihak yang paling terpinggirkan. Dalam praktek sehari-hari, kalangan adat seringkali tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik tingkat komunitas. Agaknya, hal ini dapat dipahami bahwa, kelompok adat hanya diisi oleh orang-orang yang ”tingkat pendidikannya” rendah sekali, bahkan dibanyak kampung, para tokoh adat ini tidka pernah mengenyam pendidikan formal. Menurut seorang informan saya, alasan ini sangat realistis, karena tidka mungkin tokoh adat yang tak berpendidikan akan mampu memecahkan problem pemerintahan dan kemasyarakatan dewasa ini. ”masa mereka telah lewat, dan romantisme masa lallu saatnya ditinggalkan mengingat masa sekarang berbeda dengan masa kini” ujar seorang informan. Pernyataan ini mungkin dapat mewakili, ketertindasan kelompok adat dalam mengembangkan desanya berperspektif adat, walaupun sesungguhnya masih dapat diperdebatkan. Seorang informan dari kelompok adat mengatakan: ”saya heran, ketika mereka itu membicarakan proyek yang ada dananya dari pemerintah, kami tidak pernah dilibatkan, akan tetapi apabila proyek itu bermasalah, yang menyebabkan keretakan dimasyarakat, baru kami dilibatkan dalam menyelesaikan maslaah itu secara adat”
Kenyataan diatas sungguh terjadi, bahkan seorang informan lain dengan sikap menggerutu mengatakan ” kami ini hanya pemadam kebakaran”, bila suasana enak kami ditinggal tetapi bila suasana panas, kami dihormati. Dan aneh bahwa, anggota komunitas adat, tidak juga menampakkan diri sebagai pihak yang kontra dengan ”kebijakan” itu, bahkan disisi lain, secara sembunyi mereka melakukan upaya untuk ”terlibat” dalam arena pertempuran untuk tujuan pribadi. Agaknya, selain ditopang kebijakan pemerintah sebagaimana tersebut diatas, jelas bahwa adat sudah mulai ditinggalkan, bahkan oleh komunitasnya sendiri.
Pasca pemberlakukan pemerintahan desa, komunitas adat mulai merasakan kehilangan kedaulatannya. Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini, maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya ( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara.
Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya dikampung-kampung. Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati ) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal tersebut.
Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal. Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri. Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali.
Berbeda dengan pengaruh desa, agama telah berhasil memainkan perannya yang strategis dalam upaya penghancuran adat. Melalui evangelis local , yang secara khusus dididik disuatu tempat, proses penghancuran adat secara radikal dimulai. Dalam proses perekrutan evangelis local, sesungguhnya pemimpin agama tidak menempatkannya secara professional, indikatornya adalah mayoritas evangelis baru yang direkrut dari komunitas adat adalah berasal dari tamatan SMP atau sederajat dan bahkan tidak tamat SD. Melalui dogma agama yang sarat sangat “militant”, 2 tahun kemudian mereka dikembalikan kekomunitasnya dan mulai mengajakkan “kabar baik”, dengan merekrut anggota baru. alhasil, komunitas adat terfragmentasi dalam beberapa kubu. Banyak sekali kasus dikomunitas adat yang terkait dengan pengabaran “kabar baik” yang dilakukan evangelis local ini, salah satunya dengan perusakan tempat keramat (panyugu), tempayan antic dan sebaginya, yang dilakukan dengan dalih kegiatan musyrik, primitive dan animis.
Secara ontologis, agama merupakan aspek transenden yang memuat atau dan mengajarkan sekumpulan nilai-nilai moralitas dan pedoman kehidupan yang harus berimplikasi ke dalam imanensi kehidupan umat manusia. Ia dihadirkan untuk mengantarkan umat manusia ke dalam suatu kondisi yang membuat mereka dapat mengaktualisasikan dimensi-dimensi kemanusiaannya secara utuh sebagai makhluk rasional dan spiritual sehingga kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan dapat terwujud secara kukuh dalam kehidupan ini. Pelacakan terhadap ajaran substantif agama-agama akan membuktikan secara jelas tentang komitmen agama terhadap pengembangan kehidupan semacam itu. Namun di tingkat praksis, sejarah agama justru menampakkan diri dalam wajah yang berbeda, bahkan bertentangan dengan misi agama itu sendiri. Agama sering terlibat –tepatnya dilibatkan –dalam konflik-konflik kekerasan ditengah komunitas adat.
Penyudutan agama sebagai akar konflik ditengah komunitas adat, tidaklah berlebihan dalam hal hancurnya kehidupan beradat bagi komunitas adat saat ini. Konflik dikomunitas adat yang bernuansa agama dan adat sejatinya merupakan persoalan yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan. Selain itu, dalam tataran realitas, konflik tersebut di berbagai daerah dan kawasan memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Meskipun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas tertentu kekerasan (agama yang) sektarian dan etnik mempunyai keterkaitan ironik dengan eforia globalisasi dan transformasi institusional. Globalisasi sebagai upaya mewujudkan desa dunia dengan masyarakat yang mencerminkan kesederajatan dan kebersamaan masih bersifat angan-angan. Justru yang terjadi, globalisasi menjadi ajang pertarungan antara yang kuat, setengah kuat, dan lemah serta paling lemah. Ironisnya, kelompok yang lemah dan sangat lemah terus menjadi korban dan belum menikmati keuntungan dari proses modernitas tersebut. Sebagai akibatnya, ketidakberdayaan, kecemburuan, dan sebagainya mulai menyelimuti kelompok atau masyakat yang terpinggirkan. Dalam kehidupan yang dianggap mengancam tersebut, mereka akhirnya mempertentangkan perbedaan identitas antara mereka yang kuat dan lemah, antara yang “menang” dan “dikalahkan”. Agama, desa dan adat sebagai unsur yang paling mudah untuk mengembalikan semangat dan persatuan kelompok dijadikan alat untuk melawan dan memerangi ancaman di hadapan mereka. Selain itu, globalisasi dan modernitas telah membawa dampak krisis identitas terhadap suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Kondisi itu membuat kelompok atau komunitas yang merasa teralienasi berupaya mencari simbol-simbol yang dapat meneguhkan identitas mereka. Dalam konteks semacam itu, agama memperoleh fungsi yang krusial untuk membangun identitas mereka. Agama dijadikan alat untuk melawan kelompok, penguasa, atau bangsa yang dianggap sebagai ancaman serius terhadap komunitas adat.
Tampaknya Karld W Deutsch, benar. Ia mangatakan bahwa mobilisasi social dapat mempengaruhi terjadinya konflik. Mobilisasi social yang dimaksud adalah sebagai keseluruhan dari proses perubahan social yang terjadi pada setiap masyarakat yang bergerak dari cara hidup tradisional ke modern. Unsure-unsru perubahan tersebut berupa pemberantasan buta huruf, tempat tinggal (urbanisasi), mata pencaharian (dari agrikultur ke nonagrikultur) dan berbegai karakteristik lain yang mengubah cara hidup yang tradisional. Mobilisasi jemaat yang dilakukan evangelis, telah menjadi contih konrit dalam hal ini.
Terpeliharanya hukum adat dan adat-istiadat pada masyarakat adat, merupakan alasan yang sangat menentukan bagi eksistensinya. Apalagi mengingat struktur organisasi bentukan pemerintah, belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat, bahkan seringkali digunakan sebagai cara untuk memasung dan mematikan dinamika kehidupan masyarakat adatnya. Menjaga eksistensi struktur kepengurusan masyarakat adat dalam dunia kehidupan masyarakat adatnya, bukan hal yang mudah. Berbagai kendala menjadi sebab ketidak mudahan tersebut. Berdasarkan hasil riset persoalan internal yang ditemui antara lain adanya sebagian masyarakat adat yang tidak mengetahui adat-istiadat, terutama di kalangan generasi muda serta menipisnya kebersamaan untuk mempertahankannya. Sementara faktor eksternal yang sangat mungkin adalah pengaruh aturan dan kebijakan pemerintah, serta pengaruh budaya asing. Pemerintah kadang cenderung memarjinalkan sistem dan tata nilai masyarakat adat Dayak, seperti pembentukan sistem pemerintahan masyarakat yang berkarakter seragam dan padu, perombakan sistem kehidupan rumah panjang menjadi rumah tunggal serta reforma agraria dan kehutanan, yang kurang berpihak kepada hak-hak masyarakat adat dan lain-lain. Untuk itu masyarakat adat perlu didorong guna membuat konsensus bersama, dengan membangun kesadaran kolektif kembali dalam rangka meningkatkan upaya pemberlakuan hukum-hukum adat. Termasuk pula nilai-nilai lokal, yang sesuai dengan fungsi dan tujuan yang sebenarnya, dengan mendorong tetap lestarinya adat-istiadat dari pengaruh budaya asing yang bertentangan. Pemerintah tentunya dalam hal ini harus mampu meregulasi dan mengeluarkan kebijakan, terutama yang menyentuh masyarakat adat. Berbagai aspek kearifan kultural harus diperhatikan, guna menciptakan produk hukum dan kebijakan berkarakter responsif. Ini tidak lain dimaksudkan untuk mewujudkan suatu keadilan yang substantif, sehingga dapat mengakomodasi nilai-nilai kerukunan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat adat.
***********