Pada zaman dahulu kala, tersebutlah perempuan janda ia mempunyai seorang anak perempuan yang cukup cantik, ia tinggal di desa yang tidak jauh dari desa lain di Motont Bawang ( Gunung Bawang dekat Bengkayang ) Namanya Maniamas, Di rumahnya numpang dua orang bersaudara, satu bernama Ranto dan yang kedua bernama Gurete. Adapun ibu Gurete dan Ranto masih bersaudara sepupu satu kali dengan ibu Maniamas jadi masih satu nenek,- Ranto dan Gurete masih berasal dari daerah seberang laut,- keduanya laki-laki,-
Ketika ada peristiwa di Motont Bawang, yaitu seorang laki-laki bernama Mamo, pendatang dari daerah lain,, melarikan seorang perempuan entah kemana perginya, jadi para pemuda di Motont Bawang bermupakat mencari Mamo, satu kampung berangkat Ngayo – Gurete adik Ranto ikut pergi dan abangnya, Ranto tidak mau ikut, katanya tidak sehat badan,- Sebenarnya Ranto beralasan, ia berpura-pura sakit, ia jatuh hati pada Maniamas.Rombongan ngayopun berangkat, Berbulan-bulan, malah sudah satu tahun, tidak ada kabar berita tentang Gurete apakah masih hidup ataupun mati, akhirnya Gurete pulang, dan dari jauh Gurete sudah berteriak, Nu’ Uda’ katanya, apa yang berbau busuk dirumah ini ! Jawab Udanya,
“ Apalah mau dikata, adikmu hamil 3 bulan. Gurete pun marah dan bertanya, , , Siapa orangnya yang menganggu, Tanya Gurete,- Ranto !!! Jawab Udanya. Kemana dia mak Uda’ Keladang ! jawab mamanya.
Gurete pun ngambil tangkitn dan langsung di asahnya, Akan aku cincang Ranto dan Maniamas, Ranto mengetahui bahwa Gurete sudah pulang, ia pun lari entah kemana, Sedangkan Maniamas masuk hutan keluar hutan, lari kearah selatan Gunung Bawang, akhirnya sampai di daerah Sangking di Gunung Sadaniang. Di dalam hutan ia mencari tempat yang baik untuk duduk-duduk. Bukan manusia yang dilahirkan tetapi , , , Sebilah keris , , , Setelah melahirkan Maniamas hilang entah kemana . . . . . .
Nek Sayu’ seorang kepala Desa Sangking yang tinggal di Dusun Galumakng. Nek Sayu’ berladang di pinggiran Gunung Sadaniang. Pada suatu hari nek Sayu’ pergi mencari rotan tidak jauh dari ladangnya. Tiba-tiba Nek Sayu’ mendengar tangisan seorang anak. Nek Sayu’ heran masa di hutan begini ada anak orang, apakah ini hantu pikir Nek Sayu’. Akhirnya Nek Sayu’ pun pergi mencari dari mana datangnya tangisan itu, di dengarnya di atas akhirnya dia pun naik ke pokok kayu heran tangis itun turun kebawah, Nek Sayu turun dan tergantung, dibelit sebatang rotan, Nek Sayu’ duduk termenung.
Barang yang bergantung itu pun berkata ; Hai Sayu’ kalau kamu ingin memiliki aku, kamu pinjam selendang Raja untuk menyambut dan menggendong aku. Nek Sayu’ pun tanpa berpikir panjang, langsung pergi keistana Raja Kudung di Singaok, sampai di Istana Raja Kudung di Singaok Nek Sayu’ pun berkata kepada Raja ; Ampun tuanku, adapun maksud kedatangan hamba ialah untuk meminjam selendang Tuanku untuk satu minggu sangat diperlukan.
Ternyata Raja Kudung tidak keberatan meminjamkan selendangnya kepada Nek Sayu’, karena Nek Sayu seorang kepala Desa yang patuh kepada Raja.
Nek Sayu’ pulang dengan senang hati, ia berjalan dengan tergesa-gesa ia ingin segera sampai ditempat yang dituju yaitu ditempat yang ada bunyi tangisan diatas pohon kayu.
Setelah Nek Sayu’ datang dibawah bunyi tangisan itu, Nek Sayu pun berkata ; hai benda menangis, ini selendang Raja yang kamu minta !!! silakan !!! . . . . turunlah, !!!” Nek Sayu’ pun menadahkan selendang dibawah benda itu. Seketika benda itu terjun diatas selendang Nek Sayu’ dan Nek Sayu’ pun langsung mengendongnya, alangkah terkejutnya Nek Sayu’. . . bahwa yang menangis itu bukan anak orang atau anak hewan . . tetapi sebilah keris yang tidak bertangkai . . .
Nek Sayu’ pun pulang kerumahnya membawa sebilah keris, begitulah keris di gendong terus, tidak boleh dilepaskan, diletakkan dilantai ia menangis, diganti dengan selendang lain ia menangis.
Nek Sayu’ pun jadi susah . . . Selendang Raja pinjam janji satu minggu . . . ini sudah tiga bulan . . . Belum dapat dikembalikan. Raja Kudung di Singaok susah kemana Sayu’ . . . pajak sudah tiga bulan tidak bayar, kata Raja kudung di Singaok.
Raja Kudung pun memerintah Panglimanya untuk pergi kerumah nek Sayu’, apa yang terjadi pada Sayu’. Berapa orang utusan berangkat kerumah Nek Sayu’. Nek Sayu’ menceritakan kepada para utusan tadi apa yang terjadi sebenarnya. Ceritakan kepada Raja kata Nek Sayu’. Para utusan pulang ke Singaok, dan bercerita kepada Raja, tenang Nek Sayu’ kalau begitu kata Raja Kudung. Raja akan berangkat kesana.
Satu minggu kemudian rombongan Raja berangkat dari Istana Singaok menuju daerah Sangking, di kampung Galumakng, disitulah rumah Nek Sayu’.
Rombongan Raja Kudung sampai di rumah Nek Sayu’, setelah Raja Kudung melihat Nek Sayu’ betulah seperti yang diceritakan, Raja Kudung minta kepada Nek Sayu’ supaya keris tersebut diserahkan kepada Raja. Dengan ketentuan Nek Sayu’ tidak usah membayar pajak, Nek Sayu’ pun bersedia untuk menyerahkan keris tersebut kepada Raja. Daerah Nek Sayu’ bebas pajak, tetapi desa lain naik dua kali lipat. Begitulah dibawah pimpinan Nek Sapi dan Nek Jangkek. Kampung Satak dan Kampung Untang melarikan diri kedaerah Sarawak, Sajingan sekarang wilayah Malaysia, bahasanya masih bahasa kita.
`Di Sajingan wilayah Malaysia, disana ada keluarga Pak Manggis bahwa ia adalah keturunan pelarian jaman Nek Sayu’ dari Desa Satak 60 KK. Sekarang bahasanya masih bahasa Satak. Kecamatan Sadaniang sekarang. Penulis pernah berbincang-bincang pada tahun 1977 waktu gawe Adat Dayak Sarawak mengikuti abang sepupu penulis kawin di daerah ini.
Keris digendong oleh Raja Kudung menuju Kerajaan Singaok. Di Istana Singaok keris ini sama juga halnya, diletakkan menangis jadi harus digendong terus. Raja Kudung mempunyai seorang Putri, Dara Rode’ namanya, diam diatas mahligai, dikawal oleh tujuh dayang-dayang, dijaga oleh para Panglima. Keris tadi oleh Raja Kudung diserahkan kepada Putrinya (Dara Rode’) untuk mengasuhnya.
Sekian lama, beberapa bulan, mungkin mendekati satu tahun . . . Bahwa Dara Rode’ hamil tersiar dilingkungan Istana akhirnya masyarakat tahu, Raja Kudung terheran-heran.
Raja Kudung memanggil seluruh rakyat/ masyarakat berkumpul diistana. Tepat pada hari yang sudah ditentukan, rakyatpun berkumpul di halaman istana Raja Kudung di Singaok. Beribu-ribu rakyat datang, penuh sesak halaman istana, rakyat bertanya satu sama lain, siap akan mendengarkan bahwa apa yang dibicarakan oleh Raja tepat jam yang sudah ditentukan.
Raja Kudung pun datang dan naik ditempat yang sudah disiapkan oleh panitia. Raja Kudung pun berkata : “ Hai Rakyatku, dengarkanlah baik-baik . . . . Para Panglima, Para Menteri, Hulu Balang, laki-laki atau perempuan, bahwa pada hari ini saya Raja di Singaok, pada hari ini mengumumkan pada rakyat ku semua bahwa tersiar Putri Dara Rode’ diberitakan hamil tiga bulan, setelah diselidiki kebenarannya, ternyata benar adanya, dan setelah ditanya oleh para pengawal, oleh dayang-dayang dan ibunya (Ibunya bernama : Bakelem) Rode’ mengatakan tidak ada seorang laki-laki yang pernah menggaulinya, terkecuali keris yang ku asuh ini malam jadi laki-laki dan siang jadi keris kembali. Oleh sebab itu pada hari ini saya Raja Singaok mengumumkan seluruh rakyatku semua yang isinya sebagai berikut :
1. Jika betul Putriku Dara Rode’ digauli/ disetubuhi oleh sebilah keris yang ia asuh, maka ia akan melahirkan seorang anak yang luar biasa, ia lahir tidak seperti manusia biasa, maka ia akan kuangkat menjadi Raja menggantikan aku. Baik laki-laki atau perempuan pada hari itu juga.
2. Akan tetapi, bila mana Putri Dara Rode’ melahirkan anak seperti manusia biasa, maka Dara Rode’ akan dipacung dan dicincang didepan umum,
3. Pengumuman selesai.
Setelah sembilan bulan Dara Rode’ mengandung, para bidan yang ditunjuk, mempersiapkan alat-alat persalinan semua berpikir was-was bagaimana setelah anak ini lahir nanti.
Cukup sudah waktu akan melahirkan yaitu sembilan bulan sepuluh hari. Dara Rode’ pun merasa perutnya sedikit sakit. Pengawal dan dayang-dayang memanggil bidan untuk memeriksa Dara Rode’. Pada siang hari kira-kira jam sepuluh Dara Rode’ melahirkan seorang anak laki-laki. Bidan mulai heran bahwa darah yang keluar bersama bayi tidak merah, melainkan putih. Dan keanehan lain lagi bahwa ini bayi tidak berpusat.
Para pengawal memanggil Raja dan para Panglima seketika menjadi ramai menyaksikan bahwa bayi yang dilahirkan Dara Rode’ tidak seperti manusia biasa, jadi betullah bahwa yang menghamili Dara Rode’ adalah sebilah keris yang diasuhnya, siang jadi keris malam jadi manusia.
Tiga hari kemudian. Raja Kudung mengumpulkan rakyatnya . . . untuk mendengarkan penngumuman. Rakyat berkumpul dihalaman Istana untuk mendengarkan pengumuman Raja . . . Raja berkata kepada rakyat : “Bahwa pada hari ini saya
umumkan … bahwa kira-kira hampir satu yang lalu saya berbicara tentang Putri ku Dara Rode’, tiga hari yang lalu telah melahirkan seorang anak laki-laki dan ternyata lain dari kelahiran anak manusia biasa, ia melahirkan bayi tidak berpusat, jadi betillah bahwa Dara Rode’ dihamili oleh keris, sesuai janji yang sudah saya ucapkan bahwa begitu ia lahir langsung saya angkat menjadi Raja Singaok mengantikan aku, dengan gelar : Panambahan tidak berpusat, Raja Kerajaan Singaok, sedangkan nama aslinya : Singkuwuk tahun ± 1603 M.
Setelah Panambahan Inak Bapusat dewasa, dikawinkan oleh datoknya Raja Kudung dengan seorang anak Raja Pagar Ruyung dari Pulau Sumatera bernama : Putri Cermin. Kerajaan Singaok dibawah pemerintahan Panambahan Inak Bapusat aman-aman saja tidak ada gangguan apa-apa.
Setelah Putri Cermin mengandung tiga bulan, Panambahan Inak Bapusat hendak berlayar dengan waktu yang tidak ditentukan lamanya. Sebelum berangkat Panambahan Inak Bapusat memanggil ahli nujum untuk mengetahui keberadaan anak dalam kandungan ini. Ahli nujum pun datang, ia berkata kalau anak ini lahir seorang laki-laki, maka Kerajaan Singaok dibawah pemerintahan Tuanku akan kaya raya, akan tetapi bilamana lahir seorang perempuan maka kerajaan Tuan Inak Bapusat binasa. Dan kerajaan Tuan dikuasai musuh. Panambahan Inak bapusat tidak puas dengan pendapat nujum yang pertama, Panambahan Inak Bapusat memqanggil tujuh ahli nujum, tetapi pendapatnya sama. Kalau begitu adanya kata Panambahan Inak Bapusat, Panambahan Inak Bapusat berkata pada pengawal, kepada bidan yang ditunjuk dan kepada isterinya, kalau anak nanti lahir laki-laki pelihara baik-baik, akan tetapi bila lahir seorang perempuan, maka ia harus dibunuh, kuburkan dekat tangga depan istana, Panambahan Inak Bapusat bersiap-siap untuk berangkat.
Panambahan Inak Bapusat berangkat, Putri Cermin pun risau, bagaimana nanti anak saya lahir laki-laki saya beruntung, tetapi bagaimana jadinya kalau perempuan, sanggupkah aku membunuhnya . . . Ya Tuhan . . . Jubata, janganlah anakku perempuan . .
Akhirnya kandungan Putri Cermin cukup bulan, bidan dan para pengawal mempersiapkan alat bidan. Tidak berapa lama Putri Cermin melahirkan seorang anak perempuan. Aduh kata bidan anaknya perempuan, cantik parasnya, sehat lagi. Bagaimana kata seorang bidan, menurut perintah harus dibunuh, Putri Cermin dengan seorang bidan berbisik . . . akhirnya bidan memerintahkan kawannya membuat sebuah peti yang rapat jangan masuk air, anak ini tidak boleh dibunuh. Masa anak yang tidak berdosa harus dibunuh, anak Raja lagi Putri Cermin menyetujui pendapat bidan.
Dibuatlah sebuah peti yang cukup baik, anak yang baru lahir tadi dimasukkan kedalam peti dan diberi ; 1. Cincin Kerajaan, 2. Selendang Raja, 3. Petunjuk tentang asal usul anak dan peta. Petipun dihanyutkan ke sungai Bangkule Rajakng (S. Mempawah), dibunuh seekor bapak kambing, dipenggal kepalanya dikuburkan dekat tangga depan istana, kalau Panambahan Inak Bapusat pulang nanti, dikabarkan kepada Raja, anak lahir perempuan dan sudah dibunuh dikuburkan dekat tangga depan istana sesuai perintah Raja. Beberapa bulan kemudian pun Panambahan Inak Bapusat pulang, begitu datang ke istana duduk sebentar ia pun memanggil Putri Cermin, isterinya “ ia pun bertanya . . . istriku ! anak yang dilahirkan laki-laki atau perempuan ? dijawab oleh Putri Cermin, permpuan Tuanku ! “. Apakah sudah dibunuh ? sudah dibunuh Tuanku ! itu kuburannya depan Istana dekat tangga, sesuai yang diperintahkan Tuanku. Panambahan Inak Bapusat tidak menjawab dan pergi berjalan melihat kuburan Putrinya. Raja memanggil istrinya Putri Cermin lalu duduk menghadap kuburan, keduanya menangis sambil berdoa.
Kerajaan Singaok dibawah pemerintahan Panambahan Inak Bapusat nama aslinya SENGKUWUK bergelar Panambahan Inak Bapusat, karena beliau tidak mempunyai pusat.
Sekian puluh tahun terakhir kerajaan Singaok tidak pernah ada gangguan apa-apa. Rakyat makmur, pajak lancar. Pokoknya aman segala bidang. Raja Kudung (Datoknya) sudah meninggal, Bakelem istri Raja Kudung juga sudah meninggal. Dara Rode’ Ibu Panambahan Inak Bapusat sudah meninggal juga, Panglima-Panglima yang sudah lanjut usia dipensiunkan, ganti dengan orang muda.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun bergantui tahun. Manusia pun demikian, yang muda berpasang-pasangan, anak-anak menjadi dewasa dan menjadi orang tua dan setelah itu meninggal dunia. Begitulah seterusnya . . . dan . . . seterusnya . . . bumi berputar terus.
Akhirnya kira-kira 30 tahun kemudian . . .
Kedengaran bunyi letusan meriam sebanyak 7 ( tujuh ) kali berturut-turut dikuala sungai Bangkule Rajakng, Raja Singaok Panambahan Inak Bapusat kaget ada apa gerangan di kuala. Para Mentrei, para Hulu Balang semua mendengar bunyi letusan meriam tersebut, semua isi negeri rakyat kerajaan Singaok semua mendengar suara letusan meriam tersebut. Panambahan Inak Bapusat mengumpulkan para Panglima, Hulu Balang dan Pamancing-Pamancing ( Pamancing ialah mata-mata, intel, serse jaman sekarang ).
Panambahan Inak Bapusat Raja Kerajaan Singaok memerintah dua orang pamancing ( intel ), apa yang ada dikuala sungai Bangkule Rajakng, dua orang pamancing pun berangkat pura-pura memancing ikan duduk-duduk dibawah pohon asam pauh. Dilihatnya ada empat puluh buah perahu layar perahu besar kecil dan tiga bendera putih dengan tiang yang tinggi yang ditancap disamping perahu. Pamancing tadi pun pulang dan langsung lapor kepada Raja Singaok. Panambahan Singaok memerintahkan Menteri dan Hulu Balang berangkat kekuala supaya mempersilahkan tamu tersebut masuk ke Istana Raja Singaok.
Beberapa hari kemudian tamu itu pun tiba di Kerajaan Singaok. Tamu itu datang dengan tujuh ( 7 ) buah perahu kecil sedangkan 33 ( tiga puluh tiga ) masih menunggu di kuala. Tamu sudah datang dipangkalan Raja Singaok. Raja Singaok menyambut kedatangan tamu dan membawanya langsung keistana. Oleh karena rombongan tamu cukup banyak maka tidak masuk semua tetapi berjaga-jaga/ berkeliaran dihalaman istana.
Raja Singaok Panambahan Inak Bapusat duduk bersama istrinya Putri Cermin, serta didampingi oleh Panglima-Panglima, para Menteri, dan tidak ketinggalan pengawal yang sangat terkenal yaitu Nek Cobe dari desa Saba’u Lumut ( ± 2 Km sebelah Timur kota Menjalin sekarang Kabupaten Landak ). Sedangkan tamu duduk bersama istri dan dikawali juga oleh kawan-kawannya.
Sementara Panambahan Inak Bapusat memulai pembicaraannya :
1. Siapakah kiranya Tuan Muda yang pada hari ini datang menghadap aku dan dari Negeri mana dan apa keperluannya
2. Raja mengenalkan diri, Aku adalah Raja Kerajaan Singaok, bergelar Panambahan Inak Bapusat, bernama asli Sengkuwuk, dan kerajaan ini letaknya dihulu sungai Bangkule Rajakng, sekian sabda Raja
Tamu berdiri sebentar bersama istrinya dan menundukan kepala tanda hormat dan ia pun berkata :
1. Ampun Tuanku. Hamba ini bernama Daeng Manambon anak Raja Bugis dari kerajaan Bone. Sedangkan pulau ini jauh keseberang laut, kami datang kemari memakai 40 (empat puluh) buah perahu besar dan kecil serta anak buah 400 (empat ratus) orang
2. Kedatangan kami kemari keperluan dagang, membeli rempah-rempah barang-barang makanan dan obat-obatan
3. Keperluan yang lain yaitu keperluan yang paling penting adalah asal usul istri hamba ini. Istri hamba ini bernama : Ratu Kesumba,
Menurut cerita ayah saya, bahwa istri saya ini ceritanya sebagai berikut :
Beberapa puluh tahun yang lalu perahu-perahu bugis dibawah pimpinan ayah saya berlayar ditengah laut. Melihat sebuah peti terapung-apung diatas laut. Ayah saya memerintahkan anak buahnya untuk mendekati dan mengambil peti itu. Setelah dekat peti itu diangkat kedalam kapal/ perahu. Seorang awak kapal diperintahkan membuka peti itu, awak perahu pada mendekat semua ingin mengetahui apa sebenarnya isi peti itu. Eh . . . ternyata ada bunyi tangisan didalam peti itu, peti itu tidak ada kuncinya, bapak saya pun membuka peti itu . . . alangkah herannya bahwa didalam peti ini ada seorang bayi perempuan !. Bayi ini kelihatannya sudah agak lemah dan segera dibersihkan dan diberi minum. Dalam peti ini masih ada barang kata anak buah perahu yang lain. Dalam peti ini ada cincin permata, ini cincin mahal, ada selendang, peta asal usul anak ini.
Sebuah perahu diperintahkan pulang kenegeri kami dan diserahkan anak ini kepada ibu saya . . . ( sementara Panambahan Inak Bapusat dan istri, para Menteri, para Panglima dan Nek Cobe orang saba’u mendengarkan terus direkam cerita Daeng Manambon )
Setelah dewasa anak tadi oleh bapak saya dikawinkan dengan saya, Daeng Manambon. Setelah kawin beberapa bulan, entah bagaimana ketika istri saya membersihkan sebuah lemari tua, dilihatnya sebuah kotak dan dibuka, dilihat ada satu cincin, selendang dan peta serta riwayat tentang dirinya. Ia pun duduk termenung-menung, dan ia memperlihatkannya kepada saya Daeng Manambon, satu bulan kemudian, istri saya mengusulkan untuk pergi berkunjung / mencari dimana asal usulnya saya, negeri saya. Kerajaan Singaok, Kerajaan Ayah Saya. Dan saya menyetujui usul ini, akhirnya saya dan istri saya meminta ijin kepada bapak saya. Tante Borong Daeng Rilike. Dan beliau pun mengijinkan.
Daeng Manambon pun setelah mendapat persetujuan dari ayahnya iapun mempersiapkan segala macam perlengkapan, berapa orang awak yang harus dibawa, berapa buah perahu yang harus berangkat. Akhirnya tercatat dalam daftar hampir 400 (empat ratus) orang awak perahu, dan menyiapkan 40 (empat puluh) perahu, siap dengan layarnya.
Pada laporan Daeng Manambon, asal usul kedatangannya, kata Daeng Manambon; kami berangkat menuju Pulau Bagawan Selo-Telo ( P. Borneo), menyisis sebelah selatan, berdasarkan petunjuk peta bahwa kuala sungai yang dicari ada sebatang pohon asam pauh besar dan rindang, itulah dia kuala sungai kerajaan ayahku. Maka dibawah pohon asam pauh itulah kami duduk dan berlabuh dihulu sungai inilah Kerajaan Singaok ayahku. Inilah petunjuk peta yang kami ikuti.
Dan akhirnya pada hari ini kami sampai dihadapan Tuanku, Daeng Manambon mempersilahkan istrinya bicara !, Istrinya berkata : saya ini anak bapak, anak ibu, Panambahan Inak Bapusat, Raja Singaok pun berdiri dan berkata ; saya tidak pernah ada seorang anak permpuan !!! . . . Putri Cermin, istri Panambahan Inak Bapusat menangis tersedu-sedu.
Pengawal Raja Singaok, tercengang melihat kejadian ini serta cerita Daeng Manambon dan Istrinya diingat serta dipahami betul-betul.
Istri Daeng Manambon pun berdiri serta memperlihatkan bukti bahwa dirinya betul anak dari Panambahan Inak Bapusat Raja Singaok. Ini bukti kata Putri Kasumba, istri Daeng Manambon sambil memperlihatkan sebatang cincin Kerajaan dan sehelai selendang Kerajaan . . . Singaok. Istri Daeng Manambon berkata lagi . . . Menurut cerita yang saya miliki bahwa Bapakku Raja Singaok mempunyai sebilah keris sakti itupun saya minta !!!. Kalau begitu kata Panambahan Inak Bapusat, Raja Singaok, Hancurlah Kerajaan Singaok ini.
Istri Daeng Manambon tetap berkeras meminta keris, . . . Ayahanda, Ibunda, serahkan keris itu, karena aku ini adalah anak kandung dari Ayahanda dan Ibunda. Bagaimanapun kata Raja, keris ini tidak bisa Ayahanda serahkan !!!. Kalau begitu kata anaknya terpaksa kita perang. Anak lawan Bapak, Raja Singaok lawan anak Raja Bugis.
Putri Cermin menangis terus. Para pengawal, para Panglima dan para Menteri semua tidak bergeming untuk meninggalkan tempat malah masyarakat atau rakyat berdatangan. Apalagi istana hanya bersebrangan sungai dengan pusat kota. ( Desa Kuta Tengah sekarang masih ada ).
Akhirnya Panambahan Inak Bapusat Raja Singaok siap mempertahankan kerajaan Singaok, dan pasukan Daeng Manambon siap untuk menyerang kerajaan Singaok. Diumumkan bahwa pasukan Daeng Manambon akan menyerang sepuluh hari yang akan datang.
Pasukan Panambahan Inak Bapusat, Raja Singaok menghadang dikuala sungai Malinsapm, kiri kanan Sungai Bangkule Rajakng ( Sungai Mempawah ) tepatnya di Desa Pinang Sekayu ( Dalam bahasa Dayak Kanayatn artinya sebatang dan sampai sekarang ini lokasi itu masih bernama Pinang Sakayu).
Sepuluh hari kemudian, pasukan Daeng Manambon menyerang melalui sungai Bangkule Rajankng menggunakan 40 buan perahu dengan jumlah anak buah sebanyak 400 orang. Sementara Raja Singaok dan pasukannya telah siap di Desa kecil yang bernama Pinang Sekayu. Tak lama kemudian para pemancing (mata-mata) datang menghadap dengan membawa kabar bahwa pasukan Daeng Manambon sudah tiba.
Dari kejauhan sudah terlihat pasukan Daeng Manambon yang menggunakan 40 buah perahu dengan beranak buahkan 400 orang. Sungai Bengkule Rajakng penuh oleh pasukan Daeng Manambon yang melewatinya. Lama kelamaan pasukan Daeng Manambon semakin dekat, dan kira – kira lima puluh meter lagi pasukan Daeng Manambon mendekati Raja Singaok dan pasukannya, tiba – tiba Raja Singaok memberikan perintah kepada seluruh anggota pasukannya. Hai anak buahku semua !!! . . Janganlah kamu membunuh musuh, jangan mengeluarkan darah musuh . . . Hai para Panglimaku !!!.
Kemudian Panambahan Inak Bapusatpun berdiri mencabut kerisnya yang kemudian ditancapkannya keatas sungai Bengkule Rajakng. Setelah itu iapun bangkit berdiri sambil mengangkat tangannya yang sedang memegang keris pusakanya (Bapaknya, ingat cerita Nek Sayu’ dan Raja Kudung).
Raja melihat kearah musuh kemudian mununduk kearah sungai. Dari arah sungai kelihatan sungai tersebut mengeluarkan api. Panambahan Inak Bapusat berseru !!! “ Hai anak buahku, siap ditempat dan perhatikan apa yang sedang terjadi ! “ . . . Sungai Bengkule Rajakng menjadi api . . . dan apipun semakin membesar.
Sementara pasukan Daeng manambon kucar kacir meninggalkan perahu dan terjun kesungai lalu naik kedaratan, namun kiri kanan sungai pasukan Panambahan Singaok sudah siap dengan tangkitnnya. Panambahan Singaok berseru lagi kepada anak buahnya . . . Hati-hati anak buahku, ingat pantang !!! membunuh didaratan, menetek didaratan !!!. Air jangan sungai tidak boleh terkena darah !. Awas, Air sungai tidak boleh terkena darah !!!.
Tersebutlah Nek Cobe. Nek Cobe kelahiran Sabau’ Lumut kira-kira 3 km sebelum timur kota Menjalin Kabupaten Landak Sekarang. Beliau terkenal seorang Panglima perang yang paling setia kepada Raja.
Salah satu anak buah Daeng Manambon terpeleset lari dan melintas didepan Nek Cobe. Nek Cobe meneteknya dan putus, kemudian mayat anak buah Daeng Manambon tersebut ditendang kedalam sungai dan darahnya menyentuh air sungai tersebut, seketika itu air menjadi merah terkena darah dan api yang tadinya berkobar diatas sungai seketika itu juga menjadi padam.
Daeng Manambon melihat api disungai tersebut sudah padam maka iapun menyusun kekuatan armadanya kembali. Setelah pasukannya terkumpul, Daeng Manambon menyerang kembali. Tidak diketahui seberapa banyak anak buah Daeng Manambin yang gugur, dan yang diketahui hanya satu yang ditebas oleh Nek Cobe sedangkan anak buah Panambahan Inak Bapusat tidak seorang pun yang gugur saat pertempuran didarat. Serangan oleh pasukan yang baru disusun kembali oleh Daeng manambon semakin dekat.
Melihat keadaan tersebut, Panambahan Inak Bapusat memberikan perintah kepada pasukannya “ Hai anak buahku sekalian !!! semuanya mundur, kekuatan tidak seimbang. Semuanya mundur menyelamatkan diri !!! demikianlah perintah Panambahan Inak Bapusat terakhir . . . “
Panambahan Inak Bapusat lari mudik melalui sungai Malinsapm yang diikuti oleh para pengawalnya, dan Nek Cobe tidak kietinggalan ikut rombongan Raja Singaok atau Panambahan Inak Bapusat. Dihulu sungai Malinsapm rombongan singgah dan bermalam dirumah seorang Timanggong bernama Nek Mantok atau biasa dipanggil dengan Nek Bilatok, didaerah Gado’ ( Sekarang Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak ).
Istana Raja Panambahan Inak Bapusat di Singaok yang jaraknya kira – kira 2 km dari daerah opertempuran Kuala Sungai Malinsapm dan Desa pinang Sekayu. Harta Kerajaan masih tersimpan disana beserta istri raja Panambahan Inak Bapusat yaitu Putri Cermin anak dari Raja Pagar Ruyung beserta para pengawalnya.
Ketika pasukan Daeng Manambon sampai dipangkalan Singaok, Putri Cermin istri dari Raja Singaok yang melarikan diri akan dibawa lari oleh para pengawalnya. Tetapi ia menolak karena ia tahu yang datang itu adalah anak beserta menantunya (Putri Kesumba dan Daeng Manambon).
Demikianlah Kerajaan Singaok diduduki oleh pasukan Daeng Manambon.
Istri Daeng Manambon naik ke Istana, sementara Putri Cermin menunggu dihalaman Istana. Ibu dan anak berpeluk-pelukan, Daeng Manambon pun datang dan mencium ibu mertuanya. Daeng Manambon memerintahkan anak buahnya !!! . . .
“ semua harta kekayaan Kerajaan Singaok, angkut dan masukkan kedalam perahu termasuk tikar, bantal, periuk, belanga, piring, mangkuk dan lain-lain kecuali yang tidak bias diangkut”. Setelah semua benda-benda tersebut masuk kedalam perahu, Daeng Manambon mengiring ibunya masuk perahu. Setelah semua siap, armada pasukan Daeng Manambon kembali pulang. Setibanya di Kuala Sungai Bengkule Rajakng para anak buahnya menambatkan perahu mereka dibawah pohon asam pauh yang besar dan rindang untuk berteduh. ( Dibawah pohon Asam Pauh atau Mampelam Pauh adalah asal dari kata Mempawah).
Beberapa hari kemudian, Daeng Manambon mengadakan pesta di bawah pohon asam pauh dengan mengundang penduduk sekitar. Acara pesta besaar tersebut dulaksanakan selama 7 hari 7 malam. Dibawah pohon asam pauh penuh sesak oleh para tamu dan undangan sampai kepantai laut. Pesta atau makan-makan tersebut diadakan untuk memperingati kemenangan dalam perang di Singaok yang melawan Raja di Singaok atau Panambahan Inak Bapusat. (Acara tersebut masih diperingati atau dilaksanakan setiap tahunnya di Kuala Mempawah sampai saat ini yang dikenal dengan istilah Robo’-robo.)
Panambahan Inak Bapusat yang kalah perang melawan Daeng Manambon dan lari mudik melalui Sungai Malinsapm bersama para pengawalnya dan tiba dirumah Nek Mantok orang Gado’, disanalah ia menceritakan asal usul peperangan. Seterusnya kekalahannya dan tidak lagi membayar pajak. Panambahan Inak Bapusat menjumpai seluruh rakyatnya dan seluruh Timanggong jajahannya, kemudian menceritakan seluruh cerita Daeng Manambon. Salah satu yang rajin bercerita adalah Nek Cobe orang Seba’u. dari sinilah asal-usulnya cerita ini diceritakan turun temurun oleh masyarakat Dayak Kanayatn berbahasa Ahe, malah diketahui juga oleh Dayak Bakati’ ( Banyuke ).
Di atas diceritakan bahwa Panambahan Inak Bapusat lari mudik melewati sungai Malinsapm dan bermalam di rumah Nek Mantok. Ketika ia baru turun tangga Keris Raja hamper jatuh, sehingga istri Nek Mantok berteriak !!! “ Keris Tuanku Mau Jatuh ” Rajapun menoleh ke belakang, keris memang sudah jatuh. Rajapun berkata, “ Tujuh keturunan keluargamu murah rejeki hai keluarga Mantok “. Konon kabarnya keturunan Nek Mantok ini mudah dapat rejeki, berladang sedikit dapat padi banyak sampai sekarang.
Keris Pusaka Panambahan Inak Bapusat tetap tersisip di pinggang Raja. Panambahan Inak Bapusat meneruskan perjalanannya dan akhirnya sampai di Meliau daerah Kapuas. Beliau bermalam di rumah seorang Timanggong. Sekian hari di Meliau, beliaupun mangkat atau meninggal dunia. Raja Panambahan Inak Bapusat dimakamkan oleh masyarakat Meliau dibawah rumpun pisang tidak jauh dari halaman rumah yang ditempati untuk bermalam.
Tiga hari kemudian, beberapa orang kampung pad bermimpi, bahwa Raja Singaok tidak mau diam di Meliau dan ia sudah berangkat. Untuk membuktikan dari mimpi tersebut, orang kampung meliaupun beramai-ramai datang untuk melihat kuburan Raja tersebut. Setelah sampai apa yang terjadi membuat masyarakat kampung meliau tercengang. Kuburan Raja sudah kosong seperti ada orang yang menggali, petinyapun tidak ada.
Didesa Samap dan Desa Kuala Nyawan dua malam yang lalu kira-kira jam 2 dini hari ada bunyi orang ramai bahkan ada yang berteriak-teriak minta tolong. Orang kampong tidak menghiraukannya. Bertanya-tanya sekitar kampong tidak ada yang tahu.
Orang-orang mudik kira-kira 200 meter dari kampung Samap, terlihat ada bekas orang ramai dilokasi itu. Orang yang melihat pada heran kemudian mereka kembali mudik, wah . . . Ada orang membikin titi penyebrangan untuk menyebrang sungai Bangkule Rajakng dilokasi yang agak becek terlihat bekas kaki banyak sekali sepertinya ratusan orang. Tempat membuat titi penyebrangan ini, tebingnya tinggi yang diperkirakan sekitar tiga meter. ( Sampai sekarang ini lokasi tersebut dinamai kampong Titi Antu yang berada di Desa Sepang Kecamatan Toho Kabupaten Pontianak).
Di atas dikatakan bahwa orang meliau bermimpi, jasad Panambahan Inak Bapusat hilang dan pulang ke Istana Singaok.
Satu rombongan Pemuka masyarakat Meliau berkunjung ke Singaok untuk membuktikan kebenaran dari mimpi tersebut. Walaupun ini sekedar mimpi, tapi orang Meliau sanggup datang berkunjung.
Setelah sampai di Singaok, mereka bermalam dan menceritakan maksud kedatangan mereka. Keesokan harinya masyarakat Singaok bersama orang Meliau pergi kebekas Istana Kerajaan Singaok. Ketika tiba ditengah Istana ada sebuah kuburan baru yang ditandai dengan sebuah batu besar yang berukuran 30 x 30 x 60 cm (sampai sekarang masih dapat dilihat). Melihat ada kuburan disana, orang – orang bertanya, namun semua mengatakan tidak mengaetahuinya.
Akhirnya Pemuka – Pemuka Adat, Orang-orang tua, ditambah lagi dengan Pemuka yang datang dari Meliau bersama – sama berkesimpulan bahwa itulah dia jawaban yang ada dimimpi masyarakat kampung Meliau.
Itulah kuburan Panambahan Inak Bapusat, yang wafat atau mangkat di Meliau dan dikuburkan disana tetapi dipindah oleh makhluk halus ( Antu ) kebekas Istana Singaok.
Rombongan orang Meliau pulang kembali kekampung mereka. Selang beberapa hari kemudian, orang meliau datang lebih ramai lagi karena ingin melihat kenyataan ini serta kedatangan mereka disertai dengan membawa bibit – bibit Tengkawang, Langsat, Durian dan lain sebagainya ( Sampai saat ini, tengkawang dan langsat masih ada didaerah tersebut ).
Pada tahun 1979 – 1980, kuburan Raja Singaok atau Panambahan Inak Bapusat direhap secara makam Islam oleh Bapak Camat Toho pada wakti itu yaitu Bapak Gusti Ibrani.
Batu besar dibuang keluar pagar dan diganti dengan misan baru. Belum selesai pemborong yang mengerjakannya, meninggal mendadak seketika. Orang – orang kampung sekitar bermimpi. Dalam mimpi mereka datanglah seorang Orang Tua marah – marah, siape orangnye yang merusak rumah saya ini. Setelah apa yang dialami oleh masyarakat dalam bermimpi, maka masyarakat Desa Kuta Tengah yang letaknya diseberang sungai, datang beramai-ramai untuk mengangkat dan mengembalikan batu yang dipindahkan ketempat semula dengan disertai berdoa secara Adat Dayak Kanayatn memotong Sabungan ( Ayam Jago ) merah, yang kemudian disangahatn. ( Batu tersebut masih dapat dilihat dalam pagar dekat misan). Pada tahun 2004, oleh Bapak Bupati Pontianak (Drs. Cornelis Kimha, M.Si) dan Camat Toho ( Lidianto, S.IP ) makam ini direnofasi kembali dengan tambahan dibuatlah Tangga dari sungai naik kedarat, pintu gerbang dan rumah tempat istirahat. Menurut sumber dari seorang pegawai Kantor Camat Toho pada waktu itu, bahwa biaya pembanggunan kompleks makam tersebut menelan biaya sebesar Rp 15.000.000,- (lima Belas Juta)