Di negeri kilometer sepuluh sana, pernah ada orang yang melakukan tindakan ‘usil’, yakni mempelajari kembali asal muasal jalan yang menghubungkan Kota Sana dan Kota Sini. Menurut orang yang usil ini, jalan panjang yang membentang itu, ternyata dulunya dibuat dengan mengikuti jalan setapak yang dibuat babi hutan atau dikenal celeng. Semata-mata karena celeng sudah sering melewati jalan tersebut dan tanahnya sudah keras maka pembuatan jalan pun dilakukan hanya mengikuti kehendak sang celeng. Berabad-abad setelah jalan itu dibuat, masih menurut si usil tadi, ada ribuan manusia setiap harinya yang demikian bodohnya mengikuti kehendak sang celeng.
Cerita diatas mengingatkan saya pada peta jalan bangsa ini. Sebuah peta yang dibuat tidak demokratis, tidak partisipatif dan tidak sesuai kebutuhan perubahan dan atau perkembangan manusia. Banyak peta yang dibuat karena mengikuti jalan celeng. Memang, tidak sedikit manusia yang terjebak sindroma celeng.
Seorang teman saya yang terbiasa berangkat ke kantor dari rumah, suatu pagi—padahal tujuannya ketempat lain—ia baru sadar kesalahannya setelah sampai dikantor. Demikian juga bangsa ini. ‘celeng’ pembuka jalan untuk bangsa ini menganggap perlu adanya “wakil rakyat” yang ‘merakyat dan humanis’, Sekarang, begitu dibuat jalan baru, maka terbingung-bingunglah kita.
Belajar dari sini, cara otak manusia ternyata bekerja sangat potensial untuk menyabotase imajinasi dan inovasi. Kebiasaan, kenyamanan, kesuksesan, dan kemudian membuat format dalam otak. Betapa besar pun perubahan yang hadir didepan kepala anda, format terakhir akan tetap ngotot dengan status quo-nya. Coba perkatikan dua rangkaian kalimat berikut. Pertama ia berbunyi: Kalbar is the best. Kedua ia tertulis; Kalbar is the the best. Bagi kebanyakan orang, dan saya pernah mencobanya didepan puluhan orang berbeda, kedua kalimat diatas terbaca sama. Padahal, kalimat kedua memiliki dua kata the. Apa yang terjadi dalam kasus dua kalimat ini ? disamping kita terjebak kebiasaan ala sindroma celeng akibat format otak yang tidak mau berubah, dalam melihatnya kemudian ternyata berlaku kaidah we see what we expect to see.
Saya teringat sebuah iklan rokok di TV yang menyiratkan perlunya perubahan. Tetapi ia hanya sebatas iklan-kan. Di kehidupan nyata, perubahan memang pasti terjadi dan bukan iklan ! Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan setiap tahun, perubahan selalu hadir dihadapan kita. Tidak seorangpun manusia yang mampu melawan perubahan, bagi yang melawan, tentu saja ia akan tewas.
Ada saatnya nanti, menurut saya, perubahan akan terjadi mengikuti jalan celeng lagi. Jalan lurus, terkadang berlobang, terkadang dekat jurang. Dan ada saatnya nanti, banyak manusia yang tak mau berubah, dan tak mau di ubah. Kalau dia mengikuti sebuah jalan, jalan itulah yang dipakainya meski menyakitkan. Itulah yang kemudian dikenal sebagai manusia celeng. Ia tidak sadar, bahwa masih ada jalan lain.
Hari ini, terutama menjelang Pemilu, semakin banyak manusia yang selalu mengikuti “gaya” celeng. Berjalan beriringan, teratur dan rapi, melongok kekiri dan kadang kekanan, kepala manggut-manggut, berteriak riuh rendah, dan tanpa kritis melihat bahwa yang terjadi didepan hanyalah jalan yang dibuat celeng. Dan hari ini, saya juga melihat masih banyak manusia yang terjebak dengan jalan “celeng”, maksud hati menyusuri jalan sukses karena mimpi dan harapan seseorang didunia politik, tetapi suatu ketika terjatuh dalam lubang besar, perangkap manusia lain. Ini mirip dagelan pemilu kita tahun ini. Mimpi-mimpi dan mimpi-mimpi. Tetapi, semoga saja tidak ?
yang menyedihkan lagi ketika ada pendidikan bagi pemilih yang betujuan memberikan arti bahwa pemilu sangat penting, namun apa yang terjadi sedikit yang datang. Tetapi ketika ada bantuan orang berebut. Hal ini membuktikan bahwa urusan perut lebih penting dari pendidikan.
BalasHapus