Hampir 5 jam, saya memberi ceramah kepada para pendeta, penginjil, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat dari belasan kampung asal Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang. Mereka 40-an orang. Mereka mayoritas orang Dayak, tetapi beberapa diantaranya non Dayak. Oleh panitia, saya diberi tugas untuk menjelaskan filosofi hidup Orang Dayak dalam kerangka membangun sikap inklusif ditengah-tengah perkembangan zaman sekarang ini.
Awalnya, memang saya agak ragu untuk menjelaskan topik ini, maklumlah, para peserta umumnya para “ahli” teologi Kristen. Syukurlah, bersama saya, hadir juga seorang ahli Dayak Selako, dari Kota Singkawang, Simon Takdir, MA. Berdua Simon, saya mulai sesi dengan mengajak peserta nonton film dokumenter “Dayak Tempoe Doeloe” yang berhasil dibuat oleh seorang misionaris ditahun 1940-an. 45 menit waktu tersedia untuk menonton film yang luar biasa ini, sebuah film yang mengisahkan budaya, filosofi, kehidupan sehari-hari orang Dayak dimasa itu, masa dimana belum ada
ekspansi perkebunan, eksploitasi hutan, pengkaplingan tanah, perusakan sungai, transmigrasi dari pulau lain dan perdagangan antar negara. Mereka hidup dalam kedamaian, kerja keras, solidaritas sosial yang tinggi, tinggal dirumah panjang, bebas dan aman menyelenggarakan ritual tradisionalnya sebuah masa yang menurut saya penuh solidaritas, damai dan mandiri.
Dari kejauhan, saya melihat decak kagum pada wajah-wajah peserta. Serius, terkadang tergelak. Mereka kagum dengan keindahan masa lalu. Kagum akan keagungan leluhur, kagum akan solidaritas sosial, kagum akan betapa mulianya hati mereka memandang dirinya, orang lain, sang pencipta dan alam semesta. Semuanya seakan telah membentuk sebuah sistem sosio-magis yang mampu menopang masa depan Kalimantan. Tetapi itu 60 tahun lalu, he....
Pada sesi kedua, saya mengajak peserta untuk mengeksplorasi Orang Dayak dimasa kini. Sebuah bangsa di Kalimantan yang mengalami berbagai pengaruh global; dari pengaruh India, Islam, Kristen, Cina hingga Jawa. Peristiwanya terjadi sejak abad ke-1. Warisan-warisan dari berbagai pengaruh ini masih tampak; agama, ritual, situs-situs, bahasa hingga perilaku sosial. Dari abad pertama masehi, pengaruh Hindu demikian kuat dikalangan Dayak. Mereka mengenal kasta-kasta, terutama diperhuluan kapuas. Sifat egaliter pada Orang Dayak menjadi berkurang karena pengaruh ini. Kerajaan-kerajaan Hindu berdiri, dan memantapkan kekuasaan dikalangan Dayak yang masih tersisa kini; temenggung, patih, mangku, jubata/dewata, sesajian dalam ritual adat, dll. Banyak Orang Dayak menjadi Hinduis.
Beberapa ratus tahun kemudian, pengaruh Islam masuk. Kerajaan Hindu berhasil terkonversi menjadi Kerajaan Islam, ini terutama dikawasan pesisir; Sukadana, Matan, Simpang, Kubu, Pontianak, Landak, Mempawah, Sambas. Perkawinan silang menjadi pola dalam konversi ini, termasuk melalui jasa perdagangan. Orang Dayak juga mulai masuk islam, sebagian besar menyingkir kepedalaman. Kesultanan Islam mengundang Cina dari Brunei untuk menambang emas, di Mandor (Kesultanan Mempawah) dan Monterado (Kesultanan Sambas), dari sepuluh orang menjadi ratusan orang, bahkan dalam kurun waktu 30 tahun, menjadi ratusan ribu orang. Populasi yang besar, menjaga hubungan keluarga/klan, keamanan dan sumber emas yang melimpah memotivasi Cina untuk bersekutu; mereka membentuk Kongsi. Ada 2 kongsi besar dan kuat, Mandor dan Monterado. Sistem pemerintahan Kongsi ini mirip “pemerintahan republik”, sehingga banyak penulis barat mengatakan seakan-akan ada republik di Borneo, kekuasaan kongsi ini cukup lama, ratusan tahun. Kekuasaan Kongsi Cina yang lama juga berimbas pada tatanan hidup orang Dayak. Terjadi inkulturasi adat, kebiasaan-kebiasaan baru. Salah satunya yang paling berpengaruh dan terasa hingga hari ini adalah; pesta-pesta, arak, judi. Bahkan dalam seorang Cina ditokohkan Dayak sebagai salah seorang dewa; Nek Bancina Tanyukng Bunga (Nek Bancina dari Tanjung Bunga, kawasan Pasir Panjang Kota Singkawang sekarang).
Perkawinan silang juga terjadi antara Cina dan Dayak, banyak orang Dayak yang menjadi Cina dan sebaliknya, tergantung ia tinggal dikomunitas siapa. Kuatnya Kongsi menjadi ancaman baru bagi Kesultanan Islam, terutama di Sambas dan Mempawah. Peperangan demi peperangan terjadi, hasil akhirnya, Kesultanan mengundang Kolonial Belanda untuk datang membantu dengan beragam perjanjian. Beberapa Kesultanan terjebak dan akhirnya menundukan diri pada Kolonial. Awal abad 19, dua Kongsi (Mandor dan Monterado) berhasil ditaklukan Belanda dan dibubarkan secara resmi. Pembubaran Kongsi menghancurkan kekuatan Cina, sebagian lari kepedalaman dan bergabung dengan Dayak dan sebagian lari ke Singapura.
Untuk kepentingan administrasi kependudukan, pemerintah Kolonial melakukan sensus penduduk. Hasilnya, penduduk non muslim dikategorikan sebagai suku Dayak dan penduduk muslim disebutnya sebagai suku Melayu. Sebuah rekayasa politik identitas dimulai, dan berhasil hingga hari ini. Melayu banyak yang menjadi pegawai pemerintah kolonial, Dayak tetap sebagai pembayar pajak berganda (balasteng). Dari segi pendidikan, Melayu lebih diutamakan karena relasi yang amat baik dan mudah. Pada taraf tertentu, demikian juga Cina. Untuk menghindarkan diri dari pajak berganda dan menaikan martabat dan derajat, Orang Dayak memilih menjadi Islam dan kemudian menyebut diri sebagai Melayu. Dikalangan Orang Dayak, mereka yang berkonversi ini disebutnya Senganan, Urakng Laut, dll. Tetapi, pan islamisme makin merebak di tanah air; Perang Aceh, Perang Padri di Minangkabau, dan sebagian besar tanah Jawa. Belanda terdesak oleh gerakan ini.
Di Kalimantan Barat, gerakan ini juga meluas hingga dipedalaman, utamanya dikampung-kampung sepanjang sungai kapuas. Belanda kemudian mengizinkan Misionaris Katolik dan Zending Protestan masuk di Kalbar. Misi awalnya membangun gereja di Sejiram, Kapuas Hulu. Sebuah sekolah juga didirikan. Namun, gerakan pan islamisme semakin meluas di kawasan utara. Pihak misi mendirikan sekolah dan gereja tak jauh dari Singkawang, Nyarumkop. Rumah sakit juga didirikan, di Singkawang, dan Sei Jawi Pontianak. Para zending juga mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit di Serukam, Bengkayang. Hasilnya, Orang Dayak mulai memeluk Katolik dan Kristen dan bersekolah. Selang 30 tahun pasca pendirian sekolah-sekolah ini, orang Dayak berpendidikan mula sadar. Perjuangan bukan saja melalui pendidikan, tetapi juga ekonomi dan politik. Beberapa koperasi didirikan, sebuah partai politik dideklarasikan. Hasil akhirnya, orang Dayak mulai bisa menjadi pegawai pemerintah, kepala daerah dan legislatif. Inilah periode pertama kebangkitan Dayak, demikian Kristianus Atok mengungkap.
Kini, menurut Pak Teni, tokoh Katolik dari Samalantan, keadaan berubah drastis. Orang Dayak merasa tidak aman dirumah sendiri; takut dengan masa depan. Eksploitasi hutan begitu masif, pengkaplingan tanah untuk kawasan perkebunan, pertambangan, perumahan terjadi disetiap sudut kampung. Pemindahan penduduk dari luar pulau terjadi setiap hari, baik legal maupun ilegal. Hiburan malam terjadi setiap minggu, apalagi menjelang musim pesta padi dan ujian akhir nasional (UAN) yang berpengaruh pada kualitas, perilaku anak-anak dan remaja Dayak. Lain lagi dengan Pak Titus Tumba, asal Mandung Tarusan. Ia menyorot perkawinan campur yang terjadi pada gadis-gadis Dayak dikampung-kampung. Mereka menjadi “pindah suku” karena konversi agama. “saya takut, nanti Orang Dayak akan hilang” ujarnya setengah berbisik. Saya terkejut. Tak jauh dari Pak Titus, seorang pemuda Dayak juga bicara. Beberapa fakta terungkap, beberapa cerita menguap. Salah satunya, Dayak mulai kehilangan situs-situs asli sebagai simbol peradaban masa lalu. Pak Erdi, dari Serukam menjelaskan bahwa banyak tempat keramat Dayak menjadi hilang, rusak dan ditinggalkan masyarakat adat. “ini semua karena doktrin agama dan doktrin modernisasi, semua yang berbau tradisional dianggap tahyul, kuno, primitif dan ketinggalan zaman” katanya. Sorot matanya menyempit, ia sedih.
Bukti-bukti diatas, kiranya dapat menggambarkan inklusifisme Dayak. Sebuah sikap yang mudah “beradaptasi” dengan perkembangan, pengaruh global. Sebuah sikap yang menjadi ancaman dimasa depan,sekaligus peluang dimasa kini. Kalau dikelola baik ia akan menjadi peluang masa depan, namun bila tak dikelola secara baik, ia hanya akan menjadi ancaman bagi eksistensi Dayak.
sangat tertarik dengan your article.
BalasHapus