Pages

Penjual Pelita menjadi Gubernur

Oleh Yohanes Supriyadi

Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, MH sejak dilantik pada 15 Januari 2008 lalu dikenal sebagai sosok pemimpin yang ”dianggap” fundamentalis-sektarian. Ia terlahir memang sebagai orang Dayak dari keluarga Katolik taat.
Dayak dan Katolik sepertinya menjadi “amunisi” bagi orang-orang, tepatnya lawan-lawan politik untuk menyudutkannya sebagai seorang sektarian.
Pada setiap peresmian misalnya, Cornelis selalu membuka dengan melakukan tanda salib seperti kebanyakan pemain sepakbola Italia jika mau masuk lapangan.
Padahal yang dilakukan Cornelis adalah sebuah kejujuran. Bagaimanapun ia tidak bisa mengubah perangainya menjadi orang Jawa misalnya. Di dalam tubuhnya mengalir deras darah Dayak. Tentang tanda salib itu, Cornelis tak ubahnya seperti pemimpin yang beragama lain, Islam misalnya yang selalu membuka sambutannya dengan salam berbahasa Arab. Jadi sesungguhnya tidak ada hal aneh apa yang ditampilkan Cornelis sebagai pemimpin, sebagai seorang bupati.
Tulisan tentang seorang bernama Drs. Cornelis, MH ini mencoba untuk menampilkan kakek 3 cucu ini lebih utuh sebagai pribadi, tidak hanya tampak luarnya saja, tapi juga kedalaman hatinya. Bagaimana impian-impiannya sebagai seorang pemimpin, juga sebagai kepala keluarga dengan satu isteri dan dua puteri. Tak ketinggalan perjalanan hidupnya sejak masa kanak-kanak hingga menjadi seorang gubernur.
Tulisan dalam buku ini sejak awal harus saya katakan bukanlah buku biografi. Tulisan ini diibaratkan seperti “seorang kawan lama datang bercerita”. Maka, sebuah kesengajaan bila terdapat sejumlah narasumber yang identitas aslinya dikaburkan. Karena fokusnya memang pada “seorang sahabat” yang sedang diceritakan. Sahabat itu bernama Cornelis, anak tangsi, putra kedua dari pasangan suami isteri (pasutri) Sersan Mayor (Pol) J.R. Djamin Indjah dan Maria Christina Uko yang kini menjadi Gubernur Kalimantan Barat itu.
Sebagaimana seorang sahabat, ia akan mencoba melakukan “pembelaan” terhadap sahabatnya jika ada orang yang menjelek-jelekkannya. Begitu pula sebagai sahabat tidak akan membiarkan sahabatnya jatuh ke dalam kelemahannya. Mengritik sahabat tidaklah berdosa, bahkan harus dilakukan demi kebaikan sahabatnya. Begitu pula semangat dalam penulisan buku ini.
Dengan dasar pemikiran seperti itu, saya mencurahkan seluruh daya dan ide untuk menghadirkan tulisan ini. Harapannya, tulisan ini dapat membantu siapa saja yang ingin mengenal Bang Cornelis lebih jauh, tidak sekadar sebagai gubernur, terlebih sebagai seorang pribadi yang bisa dijadikan salah satu teladan hidup.
Karena keterbatasan-keterbatasan yang saya miliki, tentu ada sisi-sisi kekurangan dari tulisan ini. Bila hal itu yang terjadi, mungkin saja datang dari saya, bukan dari Bang Cornelis. Sebab, tulisan ini disusun ibarat lukisan adalah sebuah sketsa yang masih membutuhkan penyelesaian untuk penyempurnaan. Karena itu masukan-masukan lain tetap dinantikan demi penyempurnaan buku ini dalam penerbitan berikutnya.
********

Ketika bocah, Cornelis memiliki tubuh yang sedemikian ramping, dan sedikit ceking. Posturnya pendek, berbeda dengan rekan-rekan sebayanya. Cornelis lahir di Sanggau, 27 Juli 1953 lalu, tepat ketika Daerah Istimewa Kalimantan Barat sedang berlangsung. Situasi politik sangat tidka menentu ketika itu. Cornelis terlahir dari pasangan Serma (Sersan Mayor) J.R. Djamin Indjah dengan Maria Christina Uko. Ia merupakan putera kedua dari delapan bersaudara. Mereka adalah Cyrillus, Cornelis, Redempta, Amandus, Eutropia, Yulia, Agustina, dan Rosalia.
Masa kecil Cornelis, ia biasa dipanggil Ulis. Ketika berusia 5 tahun, Cornelis harus ikut sang ayah yang ditugaskan di Sukadana, Ketapang. Mereka tinggal di perumahan polisi. Tidak lama di Sukadana, Djamin pindah lagi ke Senakin. Di Senakin, Cornelis bersekolah dan menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakjat (SR) tahun 1960-1966. Ketika Cornelis duduk di Sekolah Rakyat, Djamin, sang ayah yang polisi berangkat perang membela negara Indonesia yang sedang berkonflik dengan malaysia.
Kesukaan Cornelis semasa kecilnya adalah memancing ikan dan berburu belalang. Setamatnya SR tahun 1966, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Gotong Royong di Senakin tamat tahun 1969. Ia pindah ke Pontianak ikut saudaranya. Di Pontianak, inilah Cornelis menyelesaikan sekolahnya di SMA Kapuas Pontianak pada tahun 1972.
Ditahun 1973 cornelis melanjutkan sekolah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Pontianak dan selesai tahun 1978. Saat itu kuliah di APDN tidak mengeluarkan biaya. Seluruh kebutuhan berkaitan dengan perkuliahan ditanggung negara. Di samping itu lulus kuliah langsung memperoleh pekerjaan sebagai pegawai negeri. Di APDN, Cornelis mulai mengenal dunia politik, termasuk tata pemerintahan Indonesia. Tamat APDN tahun 1978, Cornelis langsung diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri dan ditempatkan sebagai Staf Biro Kepegawaian Kantor Gubernur Propinsi Kalbar.
Pada awal Maret 1979, Cornelis ditugaskan sebagai Mantri Polisi di Kecamatan Mandor, Kabupaten Pontianak. Cornelis menikmati gaji pertamanya dengan kepangkatan Gol II/b status Calon Pegawai Negeri per 1 Maret 1979. Bersama dengan perjalanan waktu, karirnya pun ikut merangkak. Setelah mendapat pengukuhan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), 1 Juni 1980, Cornelis kemudian mendapat tugas sebagai Kepala Urusan Bangdes Kecamatan Mandor dan PU Kabag Pemda Kantor Bupati Pontianak di Mempawah. Ketika di Mandor, Cornelis bersedia memimpin Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan aktif di Forum Komunikasi Putra-Putri ABRI (FKPPI) di Menjalin, Menyuke, dan Ngabang sejak tahun 1979. AMPI dan FKPPI, keduanya merupakan organisasi kepemudaan yang menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar. Setelah menjabat camat, Cornelis secara otomatis menjadi Ketua Banwanhat Golkar yang bertugas untuk memenangkan Pemilu di kecamatan yang dipimpinnya. Untuk upayanya ini, ia mendapatkan surat penghargaan dan ucapan terima kasih dari Golkar Tingkat I Kalbar kerena telah ikut memenangkan Golkar dalam Pemilu 1982-1998.
Pada tahun 1984, pemerintah menawarkan Cornelis untuk melanjutkan pendidikan. Cornelis memilih ke Universitas Brawijaya (Unibra) Malang, Jawa Timur untuk menyelesaikan S-1 di Fakultas Ilmu Administrasidan lulus diwisuda pada tangal 8 November 1986. Sejak itu Cornelis bergelar doktorandus (Drs).
Menginjak usianya yang ke-27, Cornelis menikah dengan Frederika pada 20 April 1980. Imam yang memberikan sakramen perkawinan mereka adalah Pastor Sarinus OFM.Cap di Gereja Katolik Mempawah. Setelah menikah, karier Cornelis makin mantap. Ia mendapat kepercayaan menjadi camat di Kecamatan Menjalin (1989-1995) dan Kecamatan Menyuke (1995-1999).
Kebahagiaan Cornelis semakin lengkap tatkala Tuhan mengaruniai seorang putra, John Travolta Nang Niam Sidi Edo , namun umurnya hanya 41 hari saja. John meninggal dunia, terserang penyakit demam berdarah, yang ketika itu sedang mewabah. John di makamkan di Mandor. Untuk mengurangi rasa stress, isterinya diperkenankan bekerja sebagai guru Sekolah Dasar. Paling tidak dengan kesibukan mengajar, Frederika dapat mengurangi atau bisa sedikit melupakan rasa dukanya.
Keluarga bahagia ini tak lama bersedih, beberapa tahun kemudian, lahir seorang putri cantik yakni Karolin Margareth Natasa dan disusul kemudian kelahiran Angelina Fremalco. Setelah kehadiran Karolin dan Angelina, Cornelis dan isterinya dapat menghilangkan rasa dukanya. Meskipun demikian, mereka selalu mengenang John Travolta, putra sulungnya.
“Dia datang lagi Pa, lewat mimpiku semalam,”
“Ya sudah, Ma. Mama tak perlu terlalu memikirkan si John. Dia datang ke dunia baru berumur 41 hari, belum mengenal dosa, sudah kembali dipanggil Tuhan”
”Kita yakin si John sekarang berada di surga”
”Mungkin saja, ia mendampingi kita, ikut memohonkan doa-doa kita langsung kepada Tuhan”
”Bukankah dia sudah berada di sisi Tuhan seperti santo-santa itu?”
Dalam konsep sejarah keselamatan manusia seperti yang diimani Cornelis sebagai seorang Kristiani mempercayai akan kehidupan kekal. Manusia tidak mati. Yang meninggal hanya tubuhnya, jiwanya kekal. Menurut ajaran Gereja Katolik, setiap manusia yang meninggal dunia akan bersatu dengan Allah di surga. Atas dasar keyakinan Kristen, Cornelis percaya anak sulungnya, John Travolta Nang Niam Sidi Edo kini sudah berada di surga bersama Allah Bapa dan para kudus lainnya. John memang bukan santo. Namun, semasa hidupnya, John belum sempat berbuat dosa. Maka, ia meninggal tanpa dosa dan pasti masuk surga. Dengan begitu Cornelis menjadi lebih tenang untuk menjalani kehidupan bersama isteri dan kedua putrinya (bersambung).

1 komentar:

  1. mantab untuk bapak cornelis.....maju terus cornelis......jayalah kalbar

    BalasHapus