Pages

Anak Penjual Botol Menjadi Dokter



Oleh : Yohanes Supriyadi

“Anak sopir angkot bisa menjadi pilot”, demikian sebuah iklan sekolah gratis di TV akhir-akhir ini. Di Kabupaten Landak-Kalimantan Barat, anak seorang penjual botol bisa menjadi dokter. Dan ini bukan iklan, “saya menjadi dokter karena berjuang keras” ujar dr. Damianus Hipolitus, Wakil Direktur RSU St Antonius Pontianak. Siapakah dokter anak penjual botol ini ? Selama 9 bulan, sejak Juni 2009 lalu, saya berusaha menulis sebuah buku berjudul "KAMI JUGA BISA: 100 Pribadi Dayak Penuh Inspirasi".

Di RS St Antonius, tak ada orang yang tak mengenal dokter muda ini. dr. Damianus Hipolitus, sejak 2006 lalu merupakan salah satu pemimpin di rumah sakit swasta yang telah berumur hampir seabad ini. dr Dami, demikian akrab ia dipanggil setelah jadi dokter, berasal dari kampung Saledok, salah satu kampung di Desa Lamoanak Kecamatan Menjalin. Ia lahir 21 Nopember 1975, anak pertama dari 6 bersaudara pasangan Yohanes Natalis Sinton dan Herkulana Nai. “saya pernah mendengar cerita perjuangan hidup dokter ini, luar biasa untuk ukuran anak kampung” sahut Jiman. Jiman adalah karyawan RS St Antonius, bagian UGD.
Menurut Nai, ibunya, sang dokter lahir tepat pada hari Jumat, jam 5 pagi. Dikisahkannya, ketika akan lahir, warga kampung berjaga-jaga, sebab selama 4 hari 3 malam, jabang bayi tak kunjung lahir. Selain anak pertama, ketika itu sedang musim lapar dikampung. “syukurlah, dengan bantuan Jain, atau dikenal dengan We Salamah, akhirnya bayi yang dinanti lahir dalam keadaan selamat” kenangnya. Menurut Nai, hampir semua keluarga di kampung Saledok mengkonsumsi nasi tamora’ (nasi campur ubi kayu) ketika anak pertamanya ini lahir. “Di kampung, masa kecil dokter ini dipanggil Itus, kependekatan dari nama baptis Katolik; Damianus Hipolitus” ujar nenek dari 3 cucu ini.

Ditempa Senaning
Menjadi dokter di daerah terpencil di Senaning Sintang, menempa hidup pria penyuka minum air putih ini. Ia semakin yakin dan percaya bahwa tenaganya sangat diperlukan untuk pembangunan bangsa. Ia tak membeda-bedakan pasiennya berdasarkan suku ataupun agama. Semuanya sama. “kan, manusia lahir tidak bisa memilih harus menjadi suku apa, agama apa” ujarnya. Setelah diwisuda menjadi dokter, ada tawaran dari Bupati Landak ketika itu, (sekarang gubernur Kalbar). Bupati ingin, dr Dami tugas sebagai dokter PTT di Kecamatan Air Besar-Landak. “saya menolak, soalnya dari informasi yang saya dapat, di kawasan perhuluan Kalbar, sangat banyak daerah yang belum ada dokter” ujarnya. Ditemani sang istri, ia kemudian memilih tugas Dokter PTT di Senaning-Sintang. Ia bertugas selama 2 tahun sebagai Pj. Kepala Puskesmas.
Dari kawasan pedalaman, tahun 2004, ayah dari Celine Eunika Dayanara ini mendapat panggilan tugas dari RS St Antonius. Ia menyanggupi. Ia mendapat tugas sebagai kepala IGD. “di IGD, kemanusiaan saya semakin ditempa. Setiap hari, ada saja manusia terkena musibah dan penyakit. Sebagai dokter, saya wajib membantu dan melayani dengan sungguh” ujarnya. Sambil bertugas sebagai dokter jaga di IGD, dua tahun kemudian diangkat menjadi Pj. Kepala Administrasi. “tugas saya semakin berat, tapi semangat membangun dan melayani juga semakin menyala” katanya. Prestasi demi prestasi berhasil diraih, ia bahkan pernah dikirim keluar negeri untuk belajar tentang manajemen rumah sakit berbasis mutu. Ia pernah di kirim ke Thailand, dll. Tak hanya itu, berbagai pelatihan, seminar dan kursus di dalam negeripun diikuti dengan cermat. Aktivitasnya kian hari kian bertambah, ia juga mengampu beberapa mata kuliah di Akademi Keperawatan Dharma Insan. Berbagai profesi dan prestasi inilah, enam bulan kemudian, ia diangkat menjadi Wakil Direktur RS St Antonius sampai sekarang. Kini, dokter anak penjual botol ini melanjutkan kuliah spesialisasi bedah umum di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Peduli dan Melayani
Sebagai Wakil Direktur rumah sakit swasta terbesar di Kalbar, suami dr. Ferawaty Ginting ini tetaplah anak kampung. Ia memiliki kepedulian yang tinggi dan terus mengabdi dengan tulus. Ia tak ingin larut dengan perkembangan, karena ia sadar bahwa sejarah hidupnya tak terlepas dari kepedulian orang lain. “ayah saya dulu menjual botol untuk membiayai hidup dan sekolah saya” kenangnya. Matanya berkaca-kaca. Tetapi, kreativitas sang ayah inilah yang melekat kuat dibenaknya. Ia ingin mewarisi kreativitas sang ayah ketika menjadi dokter. Y.N.Sinton, ayahnya, bercerita, ketika anak tertuanya ini masih kecil, ia tak memiliki pekerjaan tetap. Hampir semua pekerjaan dilakukannya. “pokoknya, anak saya bisa sekolah dan keluarga saya bisa makan” ujarnya. Ia sadar, kalau tak kreatif mencari pekerjaan, ia akan menenggelamkan masa depan anak-anaknya. “anak adalah utama dan terutama dalam hidup saya” lanjutnya. Matanya merah, ia teringat masa-masa sulit ketika itu. “syukurlah, Jubata na munuh (Tuhan tidak menghukum). Ketika itu, hidup sangat sulit. Saya berpikir, kreativitas menjadi penting. Ya...mengalir sajalah, layaknya air” terang kakek dari 3 cucu ini.
Pria asal Menyuke ini, menuturkan, dalam sehari ia mampu mengumpulkan 100-150 buah botol dari warga kampung terdekat. “banyak yang saya beli botol bekas kecap dan botol bekas jamu cap air mancur” ujarnya tersenyum. Dengan sepeda motor Yamaha RXS produksi tahun 1981, setiap hari Sinton berkeliling kampung, mengumpulkan botol-botol bekas. Botol-botol ini kemudian dijual ke Pak Teman, seorang pedagang pengumpul botol di pasar Tae Tukong, Mandor, 6 Km dari Saledok. Pak Teman, dianggapnya toke (tauke), karena pernah memberinya modal 100 ribu untuk membeli botol. “saya pernah mengumpulkan 10.000 buah botol” kenangnya. Ketika membeli botol, ia membayar antara Rp.25 sampai Rp 50, dan menjualnya Rp.100. Selain menjual botol ini ke Pak Teman, kadang-kadang ia juga menjualnya langsung di Pasar Sei Pinyuh, terlebih ketika ada keperluan belanja keluarga yang tidak ada barangnya di kampung. Dengan berdagang botol ini juga, Sinton mampu menyekolahkan anak-anaknya, bahkan mampu membelikan baju baru terbaik setiap kenaikan kelas.

Cita-cita sejak bocah
Di kampung, lelaki murah senyum ini sama dengan bocah kebanyakan. Setiap hari, ia bermain dengan bekas alat-alat suntik ayahnya. “beberapa batang pisang sampai hancur disuntik” ujar Nai, ibunya. Ia tertawa mengingat kejadian lucu tersebut. Banyaknya alat bekas jarum suntik ini, karena ayahnya juga berprofesi sebagai “mantri” yang seringkali dipanggil warga yang sakit. Sinton, mengaku pernah belajar khusus tentang penanggulangan penyakit keluarga di Salatiga Jawa Tengah dan kursus kehewanan di Pontianak. Pada usia 2 tahun, anak cerdas ini pernah di tes ibunya ketika perayaan ulang tahun. Selain kue-kue, disiapkan juga sebuah pen, sebuah buku tulis dan sebutir telur ayam rebus. Ternyata, ketika diminta anak lelakinya ini memilih mengambil pen dan buku. Demikian juga ketika berusia 4 tahun, atau baru belajar bicara. Ketika ditanya, kalau sudah besar mau menjadi apa, sang anak menjawab polos “mau jadi dokter”. Nai menangis. Ia tak sanggup bicara. Ia tak yakin cita-cita anaknya tercapai kelak.
Hanya sampai kelas 3 di Saledok, karena tidak ada kelas 4, 5 dan 6, oleh ayahnya, ia terpaksa dititip dengan Nek Aem atau Pak Akek di Kampung Paluntatn, Tembawang Bale-Menyuke. Di kampung ini, ia melanjutkan sekolah di kelas 4 hingga tamat dengan NEM tertinggi se-Kecamatan Menyuke. Tamat SD, ditemani sang ayah, ia mendaftar di SMP Timonong (SMP St Aloysius Gonzaga,sekarang) Nyarumkop-Singkawang. Bersama ratusan anak seusianya dari berbagai penjuru Kalbar, ia tinggal di asrama Timonong. “2 minggu pertama, saya sempat sakit perut” kenangnya. Maklum, ia baru mengenal makanan yang baru, Bulgur. Bulgur adalah makanan dari jagung tua yang digiling, dan dicampur sedikit dengan beras. Di asrama, ia akrab dipanggil (Hipo)
Menurut Drs. Adrianto Alio, mantan gurunya di Nyarumkop, ketika sekolah disana, Hipo terkenal anak yang sangat cerdas. Setiap kenaikan kelas, ia selalu juara. Tak heran, teman-temanya mengangkatnya menjadi ketua kelas. Selain jago dipelajaran Fisika dan Matematika, bahasa inggris juga selalu diraihnya dengan nilai tertinggi. Di asrama, Hipo mengaku sering tak ada waktu untuk pulang kampung. Selama liburan, ia memilih tetap di asrama. Karena itu, Pastor Heliodorus Herman, OFM.Cap memintanya bekerja dengan upah Rp.250/jam. Setiap hari, ia dijatah kerja 7 jam. Dengan kerja ini, ia mendapat upah Rp.1.750 sehari, nilai yang lumayan besar ketika itu. Tamat SMA St Paulus Nyarumkop dengan NEM tertinggi, atas bantuan Drs. Adrianto Alio, Hipo ditawari 3 beasiswa sekaligus. Dari sekolah ia ditawari menjadi guru fisika, dari Rumah Sakit St Vincentius Singkawang ia ditawari untuk kuliah di bagian Teknik Rongsen dan dari RS Dharma Insan Pontianak ia ditawari untuk sekolah kedokteran umum di Universitas Atmajaya Jakarta. “sebelumnya, saya memang pernah mengirim data ke Universitas Atmajaya, setelah mendapatkan informasi dari bapak Uskup Agung Pontianak” ujar bapak satu putri ini.
Hipo memang bertekad untuk berjuang dan menimba ilmu di luar Kalbar, karena itu ia memilih untuk menerima tawaran dari RS Dharma Insan. Namun, tawaran untuk sekolah kedokteran tak semulus yang dibayangkan. Ayahnya bingung mengumpulkan uang. Dari brosur yang ditawarkan Universitas Atmajaya, ia harus mengirim 10 juta uang pendaftaran. “padahal, uang saya hanya 2,5 juta” kenangnya. Untuk mengumpulkan uang sebanyak itu, ayah merelakan 2 ekor sapinya yang baru beranak untuk dijual. Setelah dapat uang, ayahnya menemui Suster Jeanne Marry di Pontianak, suster bersedia meminjamkan uang untuk menutupi biaya pendaftaran Dami di Universitas Atmajaya, dengan syarat nanti dibayar cicilan. Demi masa depan anak, syarat ini disanggupi. Untuk memohon doa restu keluarga dan warga sekampung, sekaligus memberitahukan Dami akan sekolah di Jakarta, ayah menyelenggarakan adat baulakng. Adat baulakng adalah adat syukuran atas keharmonisan dan rejeki pasangan suami istri menurut adat Dayak. Bermodalkan tekad dan semangat untuk maju, menjadikan Dami memberanikan diri berangkat ke Jakarta. Ia menumpang KM Lawit. “ketika berangkat ke Jakarta, saya hanya membawa beberapa helai pakaian, ijazah, uang 450 ribu dan selembar peta jakarta terbitan tahun 1970-an yang diberi Pastor Willy” ujar Hipo. Pastor Willy adalah Sekretaris Uskup Agung Pontianak. “masak orang Indonesia tersesat di Jakarta” sindir Pastor Willy ketika Hipo terlihat agak ragu untuk berangkat sendiri. Tiba di Jakarta, dengan menumpang angkot, ia langsung menuju Pastoran Tebet, tempat tinggal Pastor Fidelis. Namun, Pastor Fidelis sedang di Jogja untuk beberapa hari. Ia hanya ditemui Pastor Roland, orang Belanda. Sementara menunggu waktu tes, ia diberi pekerjaan. “kamu bantu saya di sekretariat Paroki” pinta sang Pastor. Dikantor, Hipo setiap hari mengetik kartu keluarga, dll. Pekerjaan ini dilakoninya selama sebulan lebih. Tak lama, hasil tes diumumkan. Ia dinyatakan lulus, dan langsung mendapat beasiswa pendidikan dari Universitas Atmajaya. “ternyata, beasiswa ini tidak menanggung biaya hidup. syukurlah, tak lama ada berita dari RS Dharma Insan Pontianak, saya mendapat bantuan biaya hidup 300 ribu setiap bulan” ujarnya.
Namun, hidup di Jakarta mahal. Untuk menambah biaya hidup, Hipo kreatif. Ia berusaha menciptkana kerja sampingan. Bersama Paulus, rekan sekampusnya dari Jawai Sambas, mereka menjual baju kaos yang disablon tertentu, kodok, dll. “pokoknya, beberapa kebutuhan praktek mahasiswa kami yang penuhi” ujarnya. Paulus kini menjadi Dokter Polisi di Lampung. Selama kuliah, Hipo ngekost dikawasan Semanggi Karet Kuningan Jakarta Selatan. “sederhana saja, biaya kost kami 50 ribu sebulan” ujarnya. Untuk menghemat biaya, tak jarang ia berjalan kaki menuju kampus. Perjuangan berat ini tak sia-sia.
Hipo hanya 4 tahun menyelesaikan kuliahnya, ia memperoleh IPK tertinggi dan merupakan wisudawan terbaik dan tercepat dari 170-an wisudawan di Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya. Sebagai calon dokter, ia pernah diangkat menjadi asisten forensik RS dr.Karyadi Semarang. Disinilah ia bertemu Ferawaty Ginting, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang yang juga menjadi Co.Asisten forensik di rumah sakit itu. “kami bertemu pada sebuah acara rohani” ujarnya. Sementara menunggu panggilan sebagai dokter PTT, lelaki murah senyum ini sempat bekerja di RS Denta Tama, Sragen Jawa Tengah selama 6 bulan. Setelah ada panggilan, ia memutuskan untuk kembali ke Kalbar dan bertugas di Senaning. Tepat 1 tahun bertugas di Senaning, keduanya menikah di Jakarta, April 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar