Pages

DARI BANGKU SEKOLAH MENUJU PENDIDIKAN NILAI-NILAI

Oleh Yohanes Supriyadi

Selama hampir dua ratus tahun, provinsi Kalimantan Barat penuh diwarnai dengan aksi kekerasan rasial. Aksi-aksi kekerasan rasial ini terus diveriterakan oleh nenek moyang, para orang tua kepada anak-anaknya sehingga telah menjadi stigma yang sangat
kuat dalam alam pikiran mereka. Dalam perkembangannya, ditengah-tengah arus globalisasi dan modernisasi sekarang ini, aksi-aksi kekerasan, baik yang dilakukuan individu ( kriminalitas ) maupun kelompok ( tawuran, perkelahian, amuk massa ) dengan mudah disaksikan oleh masyarakat lintas generasi pada berbagai media informasi dan
komunikasi. Aksi-aksi tersebut kemudian mengembalikan stigma kekerasan rasial masa lalu sehingga menjadi pengalaman traumatis pada anak-anak dan remaja yang tampak pada indikator sebagai berikut; (1) Meningkatnya tindak kekerasam, seperti tawuran antar pelajar, (2) Meningkatnya penggunaan kata-kata tak santun dalam tutur bicara, (3) Meningkatnya pengaruh negative secara kelompok “ peer group “, (4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti merokok, dan narkoba, (5) Makin kaburnya acuan moralitas yang tergantikan oleh moralitas ‘gaul”, (6) Menurunnya etos kerja, seperti malas mengerjakan pr, tugas-tugas terstruktur, (7) Merosotnya sikap respek kepada orang tua dan yang lebih tua, (8) Meningkatnya sikap menghindar dari tanggung jawab, dan (9) Meningkatnya perilaku tak jujur seperti “nyontek” dan berbohong kepada orang tua.

Jika 9 indikator tersebut diatas tetap ada bahkan berkembang luas dalam system pembelajaran hidup yang diterima anak-anak dan remaja, maka akan muncul apa yang disebut sebagai generasi punah ( the lost generation ). Menurut Syakrani, generasi punah diatas, selain terkait masalah gizi yang buruk sejak usia anak-anak dibawah 5 tahun, juga karena pengurangan ( deficit ) karakter atau moralitas yang sakit terutama dikalangan anak-anak dan remaja. Studi-studi mutakhir tentang tumbuhkembang manusia menunjukan anak-anak sejak dini mengalami tidak sehata secara fisik, psikologis, emosional, social dan moral. Akibat penyakit ini, mereka akan renan terhadap penyakit fisik dan psikologis, tidak peka secara social-emosional, tidak amanah, memiliki kecendrungan kuat untuk menghindari tanggung jawab, memiliki control agresi dan komitmen moralitas yang lemah serta memiliki persepsi yang tak sehat tentang sosok Tuhan.Didorong oleh keprihatinan atas perkembangan yang ada, telah muncul teori baru dalam tumbuh-kembang manusia. Syakrani, pendidik dari Banjarmasin mengemukakan bahwa kalau tidak ada intervensi terhadap mereka ( anak-anak dan remaja ), maka beberapa cirri tersebut diatas akan berlanjut sampai pada usia berikutnya. Artinya, anak-anak dan remaja yang sejak dini termasuk generasi punah berpeluang besar menjadi remaja, pemuda bahkan orang tua yang juga tidak sehat secara fisik, psikologis, emosional, social dan moral. Selanjutnya dari orang tua seperti ini akan lahir generasi punah berikutnya.

Atas dasar itu, pendidikan anti kekerasan menjadi sangat urgen untuk kondisi Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat saat ini. Namun demikian, konsep pendidikan ini haruslah dikontekstualisasikan kedalam cara pandang bahwa pertumbuhan fisik-intelektualitas anak merupakan bagian integral perkembangan social-emosional dan moralnya. Dengan kata lain, pendidikan model ini harus diformat dalam perspektif bahwa anak-anak dan remaja adalah makhluk yang utuh (whole child).

Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun ( M. Ninik Handayani, S.Psi, 2003 ). Setiap tahap usia manusia pasti ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui. Bila seseorang gagal melalui tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi masalah pada diri seseorang tersebut. Ada 2 kategori untuk definisi remaja, yakni untuk laki-laki berusia 14 - 17 tahun dan untuk perempuan 13 - 17 tahun. Inipun tergantung pada kematangannya secara seksual, sehingga penyimpangan-penyimpangan secara kasuistis pasti ada. Apabila remaja muda sudah menginjak usia 17 tahun sampai 18 tahun, mereka lazim disebut golongan muda atau muda-mudi. Sikap tindak mereka rata-rata sudah mendekati pola sikap-tindak orang dewasa, walapun dari sudut perkembangan mental belum sepenuhnya demikian. Biasanyan mereka berharap agar dianggap dewasa oleh masyarakat. Dari sudut batas usia saja sudah tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transisional. Artinya, keremajaan merupakan gejala social yang bersifa sementara, oleh karena berada antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa, sedangkan oleh orang dewasa mereka masih dianggap kecil.
Kelahiran filsafat positivism yang mendasari kelahiran ilmu pengetahuan (science) telah membuat pemisahan sangat jelas antara fakta (yang dapat dibuktikan dengan ilmiah sehingga disebut kebenaran/the truth) dengan nilai (yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga disebut sebagai perasaan/feeling, bukan kebenaran) juga turut mendorong manusia untuk selalu mempertanyakan tentang moral dan nilai yang bersifat abstrak. Kelahiran teori Darwin juga telah merangsang manusia untuk mempertanyakan semua hal, tentang asal mula manusia hidup, siapa yang menciptakan kehidupan, dan darimana asal kehidupan itu. Oleh sebab itu kebenaran moral juga terus dipertanyakan dan moral dianggap sebagai sesuatu yang terus menerus berubah (Lickona, 1994). Akibatnya, generasi muda mengalami penderitaan karena senantiasa mempertanyakan nilai dan moral. Mereka juga kekurangan pelatihan etika individual karena sekolah-sekolah tidak lagi mengajarkan dan melatih tentang moral.
Sejalan dengan perubahan sistem pendidikan modern, Sidney Simon, menolak apa yang disebutnya kesalahan fundamental dalam pendekatan tradisional untuk pendidikan moral yakni dengan melakukan indoktrinasi. Karena menurutnya indoktrinasi dalam pendidikan moral tradisional akan menyebabkan siswa didik tidak mampu untuk menjelaskan pilihan keputusannya. Oleh sebab itu dalam pendekatan values clarification para siswa diajarkan tentang ethical relativism dan bagaimana setiap manusia mengembangkan sistem nilainya sendiri-sendiri. Para guru disodori oleh materi permasalahan atau dilema moral yang dirancang sedemikian rupa hingga setiap siswa mampu menemukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, dalam hal ini YPPN mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, seyogyanya kita memahami sejarah. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka YPPN memakai sistem demokrasi dalam pendidikan luar sekolah. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Yang diharapkan dari pendidikan anti kekerasan pada anak adalah bila mereka sudah dididik untuk menyelesaikan masalah-masalaha nyata dan kecil secara efekif dan tanpa kekerasan, maka bila sudah dewasa mereka akan mampu menyelesaikan secara damai masalah-masalah yang lebih besar dan lebih abstrak yang terjadi dalam masyarakat luas. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, bahwa pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan anti kekerasan ( non violence education) merupakan respon terhadap perkembangan kepribadian anak-anak dan remaja Kalimantan Barat, yang saat ini sedang berada dalam situasi Perdamaian Negative.

Oleh karena itu, pendidikan anti kekerasan menjadi sangat urgen untuk kondisi Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat saat ini. namun demikian, pendidikan ini haruslah dikontekstualisasikan kedalam cara pandang bahwa pertumbuhan fisik-intelektualitas anak merupakan bagian integral perkembangan social-emosional dan moralnya. Dengan kata lain, pendidikan model ini harus diformat dalam perspektif bahwa anak-anak dan remaja adalah makhluk yang utuh ( whole child ). Adapun penekanan pada model pendidikan alternative yang kami beri nama pendidikan karakter anti kekerasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan. Pertama, meskipun kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan potensi pertumbuhan anak di Kalimantan Barat masih belum memadai, tetapi kinerja pembangunan social selama ini melahirkan kesenjangan antara aspek pertumbuhan anak ( fisik dan intelektual ) dan aspek perkembangannya ( social, emosional dan moral ). Kedua, penekanan pada aspek perkembanganya. Ini ditandai oleh beberapa fenomena social seperti maraknya kekerasan yang dilakukan anak-anak dan remaja yang secara fisik-intelektualitasnya sehat. Ketiga, tersedia cukup banyak potensi social-budaya masyarakat local yang dapat dimanfaatkan sebagai medium pendidikan moral atau karakter. Dalam konteks ini, pendidikan karakter anti kekerasan bersasaran ganda, yakni penciptaan ruang atau lingkungan stimulasi perkembangan anak dan remaja sekaligus revitalisasi dan pengembangan kekayaan social budaya yang selama ini kurang mendapat apresiasi. Dengan strategi ini, maka pendidikan karakter anti kekerasan akan menjadi sebuah GERAKAN BUDAYA. Dan keempat, pergeseran-pergeseran nilai pergaulan hidup baik pada aras local, nasional maupun global menuntu penguasaan bukan saja ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga karakter seperti anti kekerasan, sensisitf gender, kejujuran, pluralisme dan solidaritas. Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.



1 komentar:

  1. (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at 2 Mei 2008)

    Strategi Pendidikan Milenium III
    (Tengkulak Ilmu: Rabunnya Intelektual Ilmiah)
    Oleh: Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. MANUSIA adalah binatang yang menggunakan peralatan. Tanpa peralatan, ia bukan apa-apa. Dengan peralatan, ia adalah segala-galanya (Thomas Carlyle).

    DALAM momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008, sangat tepat berbenah diri. Banyak kalangan menilai betapa rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dibanding bangsa lain. Ini ditandai dengan produktivitas kerja rendah sehingga ekonomi lemah, karena tidak efesien, efektif dan produktif dalam mengelola sumber daya alam yang meski begitu melimpah.

    Lalu, mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah?

    KAPITAL manusia adalah kekayaan sebuah bangsa dan negara, sama halnya seperti pabrik, perumahan, mesin-mesin, dan modal fisik lainnya. Diakui dimensi teknologi, strategi, aliansi global dan inovasi merupakan komponen penting yang akan mempengaruhi keuggulan kompetitif pada masa depan. Namun demikian, komponen itu masih bergantung pada kembampuan manusia (Gary S. Becker).

    Dalam ilmu matematika ada acuan dasar sederhana penilaian apa pun, yaitu posisi dan perubahan. Jadi, jika bicara kemajuan pendidikan kualitas sumber daya manusia Indonesia adalah berkaitan di mana posisinya dan seberapa besar perubahannya dibanding bangsa lain di bidangnya.

    Berkaitan dengan perubahan, ada dua cara posisi untuk unggul yaitu bertahan dengan keunggulan lokal dengan fungsi terbatas atau menyerang dengan keunggulan global dengan fungsi luas. Misal, menjadi ahli orang hutan Kalimantan yang endemik, atau menjadi ahli kera seluruh dunia. Jelas, sangat sulit menjadi unggul satu keahlian untuk global diakui secara global, sedang unggul keahlian untuk lokal diakui secara global pun - seperti tentang orang hutan Kalimantan (apalagi tentang gorila), didahului orang (bangsa) lain. Ini terjadi disemua bidang ilmu. Mengapa?

    Indonesia (juga negara terkebelakang lain) memang negara yang lebih kemudian merdeka dan berkembang, sehingga kemajuan pendidikan pun belakangan. Umumnya, keunggulan (sekolah) pendidikan di Indonesia hanya mengandalkan keunggulan lisensi, bukan produk inovasi sendiri. Contoh, sekolah (dan universitas) yang dianggap unggul di Kalimantan bila pengajarnya berasal menimba ilmu di sekolah (dan universitas) unggul di pulau Jawa (atau luar negeri). Sedang di Jawa, pengajarnya berasal menimba ilmu di luar negeri. Jika demikian, pendidikan (ilmu pengetahuan dan teknologi) Indonesia atau di daerah tidak akan pernah lebih unggul di banding pusat atau luar negeri. (Ada beberapa sekolah atau universitas yang membanggakan pengajarnya lulusan universitas bergengsi atau menonjolkan studi pustaka di Jawa dan luar negeri. Artinya, ini sekadar tengkulak atau makelar (broker) ilmu dan teknologi). Dan memang, selalu, beban lebih berat bagi apa dan siapa pun yang terkebelakang karena harus melebihi kecepatan lepas (velocity of escape), kemampuan kemajuan yang unggul di depan untuk menang. Perlu kemauan keras, kerja keras dan strategi tepat mengingat banyak hal terbatas.

    WALAUPUN Anda berada pada jalan yang benar, maka akan tergilas jika Anda cuma duduk di sana (Will Roger).

    Lalu, mengapa otak orang lain unggul? Ada contoh menarik, Sabtu 30 Juli 2005 lalu, Michael Brown dari California Institute of Technology mengumumkan “Keluarkan pena. Bersiaplah menulis ulang buku teks!”. Astronom Amerika Serikat ini, mengklaim menemukan planet ke-10 dalam sistem tata surya yang diberi nama 2003-UB313, planet terjauh dari matahari, berdiameter 3.000 kilometer atau satu setengah kali dari Pluto. Planet ini pertama kali terlihat lewat teleskop Samuel Oschin di Observatorium Polmar dan teleskop 8m Gemini di Mauna Kea pada 21 Oktober 2003, kemudian tak nampak hingga 8 Januari 2005, 15 bulan kemudian.

    Sebuah penemuan kemajuan ilmu pengetahuan luar biasa, yang sebenarnya biasa saja dan mungkin terjadi di Indonesia andai ilmuwannya memiliki alat teleskop serupa. Tanpa teleskop itu, ketika memandang langit mata kita rabun, sehingga yang terlihat hanya langit malam dengan kerlip bintang semata. Sejarah mencatat, ilmuwan penemu besar sering ada hubungan dengan kemampuannya merancang atau mencipta alat penelitian sendiri. Tycho Brahe membuat sekstan (busur derajat) pengamatan benda langit, Johannes Kepler dengan bola langit sebagai peta astronomi, Isaac Newton membuat teleskop refleksi pertama yang menjadi acuan teleskop sekarang, atau Robert Hooke merancang mikroskop sendiri. Dan, alat teknologi (hardware) pengamatan berjasa mendapatkan ilmu pengetahuan ini disebut radas, pasangan alat penelitian (software) pengetahuan sistematis disebut teori.

    ILMUWAN kuno kadang menekankan pentingnya seorang ilmuwan membuat alat penelitian sendiri. Merancang dan membuat sesuatu alat adalah sebuah cabang keahlian ilmiah (Peter B. Medawar).

    Lalu, sampai di manakah perkembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi) di negara lain? Untuk (ilmu) pengetahuan sosial, di milenium ketiga kesejajaran dan keterpaduannya dengan ilmu pengetahuan alam, hangat di berbagai belahan dunia. Di ujung tahun 2007 lalu, Gerhard Ertl, pemenang Nobel Kimia tahun itu, kembali mengemukakan bahwa ilmuwan harus menerobos batasan disiplin ilmu untuk menemukan pemecahan beberapa pertanyaan tantangan besar belum terjawab bagi ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan menyatu seiring waktu. Banyak ilmuwan peserta forum bergengsi itu menjelaskan tugas penting ke depan yang harus diselesaikan berkenaan masalah batas, batasan atau titik temu pada dua atau lebih disiplin ilmu. Kemudian sejalan itu, tanggal 28 – 30 Maret 2008 lalu, di Universitas Warwick, Warwick, Inggris, berlangsung British Sociological Association (BSA) Annual Conference 2008, dengan tema Social Worlds, Natural Worlds, mengangkat pula debat perseteruan terkini yaitu batas, hubungan dan paduan (ilmu) pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam dalam pengembangan teori (ilmu) sosial dan penelitian empiris, mencoba menjawab pertanyaan kompleks yang selalu mengemuka di abad ke 21 dalam memahami umat manusia. Berikutnya, tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008, di Universitas Melbourne dengan tema Re-imagining Sociology.

    Ini peluang momentum besar (yang hanya satu kali seumur dunia) bagi siapa pun, baik universitas atau bangsa Indonesia untuk berlomba memecahkan masalah membuktikan kemajuan, keunggulan dan kehormatan sumber daya manusianya di milenium ketiga ini. (Dari pengalaman, pandangan rendah bangsa lain terhadap Indonesia (dan pribadi), tergantung kualitas kita. Kenyataannya, ilmuwan besar di universitas besar di benua Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia pun, dengan rendah hati mau belajar (paradigma Total Qinimain Zain: The (R)Evolution of Social Science: The New Paradigm Scientific System of Science dengan saya) selama apa yang kita miliki lebih unggul dari mereka.

    SUMBER daya manusia harus didefinisikan bukan dengan apa yang sumber daya manusia lakukan, tetapi dengan apa yang sumber daya manusia hasilkan (David Ulrich).

    Akhirnya, di manakah tempat pendidikan terbaik belajar untuk unggul secara lokal dan global di banding bangsa lain? Di University of Reality di kehidupan sekitar! Dengan syarat (mencipta dan) memiliki alat teknologi (hardware) atau alat teori (software) hebat sendiri. Jika tidak, semua mata intelektual ilmiah rabun, karena belajar dan memahami kehidupan semesta dengan otak telanjang adalah sulit bahkan mustahil, sama halnya mencoba mengamati bintang di langit dan bakteri di tanah dengan mata telanjang tanpa teleskop dan mikroskop. Sekarang rebut peluang (terutama untuk akademisi), bangsa Indonesia dan dunia krisis kini membutuhkan Galileo Galilei, Francis Bacon, dan Rene Descartes muda. Jika tidak, akan hanya menjadi tengkulak ilmu, dan harapan memiliki (serta menjadi) sumberdaya manusia berkualitas lebih unggul daripada bangsa lain hanyalah mimpi. Selamanya.

    BODOH betapa pun seseorang akan mampu memandang kritis terhadap apa saja, asal memiliki peralatan sesuai tahapan pemahaman itu (Paulo Freire)

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru, Kalsel, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).

    BalasHapus