Oleh Yohanes Supriyadi
Tidak seperti mitos yang berkembang, Kalbar bukan merupakan suatu wilayah yang makmur. Sumberdaya alamnya tidak terlalu bervariasi, dan tanahnya kurang subur. Pada abad 16-19, wilayah ini lebih banyak mengandalkan pada emas dan intan, pada paruh pertama abad 20, pada kopra, karet dan lada, selanjutnya hingga sekarang ini pada kayu, jeruk dan kelapa sawit. Komposisi demografis dan situasi ekologis disamping faktor politik tertentu menyebabkan berkembangnya semacam division of labor secara etnik.
Selama berpuluh-puluh tahun hubungan antara suku-suku yang hidup berdampingan gagal menghasilkan proses adaptasi yang sehat. Konflik lebih mengemuka dibandingkan kerjasama dan integrasi gagal terwujud. Antara suku-suku yang bertikai jarang jarang ada kerjasama dalam berbagai aktivitas sosial seperti gotong-royong dan semacamnya. Integrasi dan kerjasama tidak terwujud juga lantaran pola pemukiman yang tersegregasi secara aksklutif. Berkurangnya daya dukung lingkungan akibat pembangunan yang merusak lingkungan serta memarginalkan penduduk asli setempat telah mengaselerasi dan mengakumulasi prasangka antar-etnik.
Sejak pemerintah pusat melakukan pemekaran wilayah Dati II di Kalbar pada 1999 di satu pihak, dan sebagai akibat kekerasan etnik kepada Cina dan Madura di pihak lain, kedua hal itu tanpa sengaja telah berhasil mengurangi kekacauan dalam pembagian teritori etnik tersebut. Setiap kelompok seakan memiliki teritori etnik tersendiri. Sebagai akibat kebijakan pemekaran wilayah, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak menjadi teritori Melayu, Bengkayang & Landak menjadi teritori Dayak. Dan sebagai akibat kekerasan etnik sebelumnya, Cina dan Madura cenderung menetap di sekitar perkotaan. Bersama Melayu, ketiga kelompok etnik tersebut menjadi mayoritas di beberapa lokasi kota perdagangan penting di Kalbar: Pontianak, Sungai Pinyuh dan Singkawang. Daerah yang disebut terakhir ini karena telah diakui statusnya oleh pemerintah sebagai kota otonom, terkepas dari Sambas dan Bengkayang, dapat dikatakan seakan sebagai teritori Cina. Bukan hanya dari aspek demografis, melainkan juga simbolis. Pembagian wilayah secara administratif diatas jelas tidak memperhitungkan aspek geografis & sosiologis secara detil sehingga menimbulkan kebingungan daerah mana yang merupakan kabupaten pesisir atau pedalaman, dan kelompok etnik mana yang menempatinya. Beberapa kabupaten memang jelas merupakan daerah pesisir, tapi sebagaimana Sambas dan Kabupaten Pontianak juga memiliki daerah pedalaman. Sintang dan Kapuas Hulu memang merupakan daerah pedalaman, namun jumlah penduduk Melayu di kedua kabupaten itu cukup banyak. Kebingungan ini berpotensi menjadi ketegangan ketika daerah harus memiliki bupati.
Hubungan antar-etnik di Kalbar juga masih diwarnai dengan prasangka sosial. Dayak, Melayu dan China menganggap etnik Madura sebagai suku yang keras, cepat tersinggung, mau menang sendiri, selalu membawa senjata tajam, suka menyelesaikan masalah dengan kekerasaan,mudah ingkar janji, suka mencuri tanaman dan ternak,membunuh hanya karena persoalan sepele dan hidup eksklusif. Sebaliknya, etnik Madura menilai Dayak sebagai suku yang kuno, pemalas, kasar, tidak ramah, emosional, suka berkelahi, sombong dan pengecut. Sementara pandangan Madura terhadap Melayu sebenarnya tidak sepenuhya negatif, antara lain Melayu di nilai tidak ulet, pemalas, boros, pengecut dan penakut tetapi juga dapat di percaya, teguh pada pendirian dan ramah. Relasi yang dipenuhi prasangka sosial ini telah semakin memperkuat stereotipe etnis dalam kepercayaan budaya masing-masing komunitas etnis sedangkan dilain sisi praktek-praktek sosial dan politik menyuburkan sikap kesukuan yang radikal dan ekslusif. Lebih jauh dampak konflik juga memunculkan fenomena sipral kekerasan yang akan terus menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Perubahan situasi politik dan ekonomi juga memberikan kontribusi baru terhadap munculnya konflik atas nama identitas etnik ini. Selain itu, konflik etnik masa lalu, khususnya untuk kasus kerusuhan sosial Sambas (1999) masih menyisakan agenda yang cukup penting yakni rekonsiliasi yang macet (pengungsi warga Madura masih belum diterima di Sambas) dan penyelesaian sengketa kepemilikan sumber daya (khususnya tanah dan harta benda) dari kedua pihak yang bertikai
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial remaja. Selama pendampingan program remaja yang kami lakukan, konflik telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok remaja timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diantara mereka (distrust).
Pasca konflik, ekses masih berlanjut, perumahan, lembaga pendidikan, perkantoran, sarana ibadah musnah setidaknya hancur, kehilangan harta benda, mata pencaharian dan sanak saudara, orang cacat, putus sekolah, penderita keabnormalan jiwa, saling curiga, hari depan yang suram, pihak keamanan dan birokrasi kehilangan kharisma, dll. Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma komunal ini juga akan melahirkan ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang berkonflik.
Kondisi lainnya adalah angka kriminalitas yang melibatkan kelompok etnik dengan kekerasan tinggi, sementara program penanganan masih rendah. Antara tahun 1990 hingga 2002 Iqbal Djajadi menganalisis di Kalimantan Barat telah terjadi kenaikan 330 persen dalam kejadian kriminalitas dengan kekerasan (violent crime), kenaikan 119 persen dalam kelahiran di luar pernikahan (illegitimate births) dan tingkat perceraian. Ia menilai bahwa dibandingkan propinsi lainnya, Kalimantan Barat tertinggi dalam tingkat kematian akibat kekerasan (violent death) di kalangan remaja.
Hal ini didukung oleh hasil-hasil penelitian, antara lain Megawangi (1999) melaporkan bahwa angka kenakalan remaja di Indonesia terus meningkat dalam kurun waktu 20 tahun, namun fakta-fakta yang terjadi sebagian akan dan sudah terjadi di beberapa daerah kabupaten diKalimantan Barat, hanya statistiknya mungkin masih underestimated atau belum dilakukan survey tentang kejahatan di kalangan remaja. Kejadian tawuran di Kalimantan Barat, misalnya, begitu sering terjadi pada remaja di kota besar, terutama di Kota Pontianak dan Singkawang sehingga telah berada pada tahap yang mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa. Di Pontianak saja, telah dilaporkan bahwa terjadinya tawuran seringkali merupakan aktivitas yang direncanakan sehingga termasuk kejahatan yang terencana, dimana para pelajar ini membawa senjata tajam aneka bentuk mulai dari gir sepeda, payung berbentuk pisau, golok, samurai, clurit dan berbagai benda berbahaya lain untuk menganiaya musuhnya dengan sengaja. Di antara mereka bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaan tidak bersalah dan berdosa. Sementara itu kejadian seks di luar pernikahan juga telah menjadi trend di kalangan remaja didorong oleh makin maraknya penyebaran kaset VCD, situs porno, dan penggunaan narkoba serta minuman alkohol yang meluas sampai ke pedesaan. Disamping itu etos kerja yang buruk, rendahnya disiplin diri dan kurangnya semangat untuk bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup yang mudah tanpa kerja keras, nilai materialisme (materialism, hedonism) menjadi gejala yang umum dalam masyarakat.
Demikian juga, gejala kesenjangan jender di bidang pendidikan terjadi sangat buruk di Kalimantan Barat, terutama dipedesaan pedalaman. Kesenjangan terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau lembaga pendidikan luar sekolah. Kesenjangan dalam akses menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam mengikuti berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan. lebih dari itu, perempuan belum mampu memainkan peran yang seimbang dibanding lawan jenisnya dalam proses pengambilan keputusan di bidang pendidikan, baik melalui lembaga-lembaga resmi maupun melalui keluarga. Akibat lebih jauh, perempuan belum dapat menikmati hasil dan manfaat pendidikan untuk memberdayakan kehidupan mereka dibandingkan dengan telah dicapai oleh laki-laki. Akibat kesenjangan pendidikan menurut jender, perempuan masih merupakan segmen masyarakat yang belum diberdayakan sehingga kurang produktif. Kesenjangan jender di bidang pendidikan dianggap merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang perlu dieleminasi melalui upaya-upaya yang sistematis dan terprogram. Dengan demikian kesempatan pendidikan untuk semua harus dibuka seluas-luasnya dengan memajukan program-program sosialisasi kesetaraan jender, agar masalah kesenjangan jender tidak terus berlansung. Pada umumnya orang tidak begitu peduli atau bahkan tidak menyadari, bahwa maslah jender atau pemilahan peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil dari konstruksi budaya. Dahulu masalah ini kurang mendapat perhatian, sehungga cenderung dianggap sebagai masalah yang terjadi secara alamiah dan diterima oleh masyarakat. Sebaliknya apabila ada orang yang berperilaku di luar perilaku umum yang memang sudah bias jender, maka yang bersangkutan dianggap sebagai mengalami kelainan (abnormal).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar