Pages

REFLEKSI DARI KALBAR UNTUK TARAKAN....

Sudah puluhan kali kita menyaksikan konflik kekerasan antar kelompok etnik di Kalimantan, dari Ledo (1996 dan 1997) Sambas (1999), Pontianak (2000), Sampit (2001) dan terakhir Tarakan (2010)...Konflik terjadi umumnya antara penduduk asli (Dayak, Melayu) dengan pendatang (Madura, Bugis)...Konflik kekerasan tentu saja membuat kita sedih, kecewa,,,marah, mengapa karena persoalan sepele (senggolan dangdut/Ledo 1996), pencurian dan tidak membayar ongkos bis umum/Sambas 1999), tabrakan kendaraan bermotor, perampokan/Pontianak 2000, pembunuhan (Sampit dan Tarakan)...Ada apa dengan penduduk asli ? (Dayak), kenapa mereka begitu cepat marah dan beringas ? tanpa bermaksud membela kelompok ini, beberapa hasil riset, observasi dan pengalaman kami selama pendampingan/pemberdayaan pada kelompok ini di Kalbar sejak 2000 silam, sebagai berikut:

1. Dulu, orang Dayak merasa bahwa mereka masih hidup dialam bebas, yang kaya makanan. Hutan, ibarat supermarket yang menyediakan segalanya bagi hidup mereka. Mereka hidup tanpa tekanan ekonomi, tanpa beban (soal visi hidup yg sejahtera), tanpa tekanan politik. Mereka hidup dialam budaya yang mengharuskan mereka saling menghormati, menghargai, toleran, tanpa tekanan...sekali lagi tanpa tekanan....tetapi, semua berubah pada tahun 1960-an..saat para pendatang secara massif datang dikampung mereka dengan bantuan PEMERINTAH melalui program transmigrasi, program HTI, HPH, perkebunan, pertambangan,dll...yang semuanya “mendatangkan” penduduk luar...mereka mulai merasa cemas dengan masa depan anak cucunya....mereka mulai hidup tidak aman lagi (karena hukum adat yang mereka terapkan seringkali tidak diakui dan dihormati oleh orang luar)...mereka mulai hidup penuh tekanan politik (karena mereka tidak pandai berpolitik)...mereka mulai hidup merasa susah (karena mereka tidak pandai berdagang)...dan mereka mulai hidup tidak ada artinya (sekolah tinggi tidak bisa menjadi PNS, postur tubuh baik/tangkas tidak bisa menjadi polisi atau tentara, otak pintar tidak bisa mendapat beasiswa sekolah dari pemerintah karena tidak ada koneksi, disandang gelar sarjana tidak bisa kerja diberbagai instansi pemerintah dan perusahaan karena tidak ada lobi dan koneksi), dapat ketrampilan kerja tidak bisa diterima diberbagai perusahaan karena tidak punya koneksi, dan umumnya perusahaan yang masuk dikampung mereka membawa tenaga terampil dari luar/asal pejabat perusahaan, dan lain-lain)....mereka prustasi, stress dengan berbagai keadaan itu....mereka kecewa...mereka sudah tidak berarti lagi hidupnya....dan itu telah berlangsung 40 tahun lalu....salah satu contoh di Bengkayang, dari 300 karyawan perusahaan kelapa sawit, 280 berasal dari orang luar/pendatang dari Jawa, dan hanya 20 orang lokal (Dayak)...padahal mereka yang punya lahan (yang kemudian dibeli perusahaan dengan harga 140 ribu/hektar, dengan alasan disewa 30 tahun)...saat lahan dibuka untuk kebun sawit, mereka sudah tidak lagi punya lahan pertanian (untuk menghasilkan padi), tidak bisa lagi menoreh karet untuk belanja sehari-hari, tidak bisa lagi berburu binatang hutan untuk pemenuhan protein,,,,tidak bisa lagi sembarangan masuk hutan untuk ambil kayu (untuk kayu bakar)....tidak ada lagi uang tabungan untuk menyekolahkan anak (biaya tinggi karena sekolah umumnya jauh dikota)...dan kalaulah selesai sekolah/sekolah tinggi, tidak bisa masuk sebagai karyawan perusahaan dikampungnya....itulah gambaran singkat dimana orang Dayak hidup saat ini....siapa yang peduli ?
2. Program transmigrasi juga sangat berpengaruh pada tingginya angka stress dikalangan orang Dayak....dulu, kampung mereka hanya dihuni oleh mereka sekeluarga (satu rumpun)....tetapi dengan program ini, mereka mulai cemas....perbedaan budaya....disatu sisi, orang luar tetap mempertahankan budaya aslinya dengan dukungan pemerintah, tetapi disisi lain, mereka sendiri tidak berdaya dalam melestarikan budayanya....tidak ada lagi alat kesenian tradisional (karena mereka tidak mampu beli, yang lama sudah rusak dimakan usia)....tidak ada lagi yang bisa menjadi instruktur seni (karena yang tua sudah pada mati tanpa membekali yang muda dengna buku panduan,dampak tradisi lisan)....tidak ada lagi pengakuan adat istiadat (karena pendatang lebih banyak dari penduduk asli)....tidak ada lagi pengakuan hukum adat (karena pendatang lebih mengutamakan hukum negara/positif)....dari segi fisik, dikomplek transmigrasi, sarana dan prasarana sangat lengkap (air besih, rumah ibadah, jalan raya beraspal, listrik PLN, tanah 2 hektar disertifikasi, diberi kredit modal,dll), dan untuk penduduk asli disekitar komplek transmgrasi ? TIDAK ADA......ketika Pilkada langsung maupun pemilu legislatif (suara tertinggi/terbesar), penduduk asli yang umumnya tidak pandai berpolitik selalu kalah, bukan kalah karena salah, tetapi kalah jumlah....pendatang umumnya bersatu dalam suara.....tak heran, kini, banyak pendatang yang menjadi “wakil rakyat” dan mendominasi di gedung parlemen di pedalaman Kalbar, mereka minoritas dikampung, tetapi mayoritas di gedung DPRD....celakanya, orang Dayak yang tampil dalam Pemilukada selalu terpengaruh dengan “konsultan” politik dari luar (jakarta) yang mengatakan untuk MENANG harus ada kombinasi etnisitas dan agama....jadilah, kandidat yang muncul dalam Pemilukada selalu kombinasi asli-pendatang, atau sebaliknya...ketika dudukpun (sebagai bupati/gubernur), orang Dayak yang terpilih juga mau tak mau harus mengakomodir penduduk pendatang yang umumnya menguasai BIROKRASI......tak heran lagi, walaupun kepalanya Dayak, badan, tangan, dan ekor tetap pendatang !!!!.....akibatnya, ketika sang Dayak mau membuat kebijakan yang berpihak kepada Dayak, selalu disangkal dengan isu NASIONALISME, kita ini hidup dialam Indonesia....!!!! .......sekali lagi mereka (Dayak) stress dipolitik
3. Ketika Dayak mau belajar jadi pengusaha, mereka juga selalu kalah karena UANG dan KONEKSI.....tidak ada konglomerat orang Dayak.....tidak ada koneksi usaha internasional bagi orang Dayak....lembaga-lembaga keuangan (baik negara maupun swasta) dikuasai penuh oleh pendatang.....karena itu, orang Dayak sulit untuk mengajukan kredit ke bank....mereka sulit mendapatkan uang dalam jumlah banyak untuk modal usaha....bahkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digulirkan pemerintahpun, orang Dayak tak sampai 2 % yang mampu mengaksesnya....di perusahaan negara (PTPN,dll) orang Dayak juga tidak ada, dari pejabat hingga tukang sapu orang Dayak tak ada....apalagi diperusahaan swasta, tak ada peluang bagi orang Dayak.....mau berusaha sendiri sulit (akses), mau kerja dengan orang lain sulit...dan mereka stresss......

Solusi bagi Indonesia:

1. Batasi ekspansi investasi, kalaupun sudah terlanjur ada, tenaga kerja dari luar di stopp !!!!....rekrut orang Dayak sebagai tenaga kerja, baik sebagai pejabat (iini untuk orang Dayak yang berpendidikan tinggi dan profesional) maupun sebagai karyawan (ini untuk orang Dayak yang berpendidikan tinggi, terampil), termasuk tenaga harian lepas (ini untuk orang Dayak yang tidak berpendidikan)...atau....rekrut orang Dayak dan latih sebagai tenaga terampil dengan mendirikan Balai Latihan Kerja dipedalaman (selama ini terpusat dikota dan sulit diakses oleh pemuda Dayak)....
2. Buat kebijakan yang berpihak kepada Dayak dalam hal investasi (membeli tanah Dayak dengan harga yang pantas !!!), politik (batasi pendatang dalam politik praktis), ekonomi (permodalan dan akses nya), pendidikan (beasiswa bagi pemuda dayak yang cerdas tetapi tidak mampu), kesehatan (beasiswa bagi pemuda dayak yang cerdas untuk disiapkan sebagai tenaga dokter,dll),TNI, Polri (rekrut pemuda dayak untuk ditempatkan didaerahnya sendiri, batasi tentara/polisi dari pendatang),dll.....

Solusi bagi Dayak:

1. Bagi pejabat Dayak, segera menyiapkan kaderisasi kepemimpinan (jangan tamak/feodal,selama ini banyak pejabat Dayak yang menyiapkan putra-putrinya, keluarganya/suami/istri/ipar sebagai pemimpin politik.....siapkanlah kader dari kelompok Dayak lain yang berpotensi walaupun secara UANG tak mampu....
2. Bagi pejabat Dayak, membuat kebijakan khusus yang berpihak pada Dayak....kalau ada perusahaan yang masuk dikampung Dayak, panggil “bos”nya agar mengakomodir dayak diperusahaannya, agar membeli tanah Dayak dengan harga standar, agar menyiapkan tenaga ahli orang Dayak dengna memberi beasiswa kepada anak Dayak dikampung itu sesuai kebutuhan perusahaan....agar memprogramkan pemenuhan kebutuhan dasar Dayak dikampung (jalan, jembatan, listrik, air bersih, sekolah, puskesmas,usaha ekonomi,dll)...bagi perusahaan (bos) yang tidak mau, jangan DIBERI IZIN USAHA....
3. Bagi orang Dayak yang punya modal UANG, beri beasiswa kepada anggota keluarga dikampung untuk sekolah tinggi dikota....
4. Bagi orang Dayak yang sekolah tinggi, jangan lupa kampung halaman, ketika selesai, mari kita bangun kampung kita sendiri...jangan bermimpi untuk membangun Dayak kalau dikampung sendiri tak diperdulikan....!!!!
5. Mari kita sekolah....belajar....berjuang....dan KITA AKAN MENANG, BERSATU KITA MENANG !!!!

Solusi bagi kita semua

1. Borneo sudah membara....bara konflik kekerasan antara Dayak dengan pendatang sudah menyebar diseluruh penjuru Borneo....Tarakan adalah fakta terakhir, bahwa investasi di kawasan Borneo yang begitu massif dan superbesar terbukti tidak mensejahterakan Rakyat Dayak, karena itu, TARAKAN adalah SINYAL DINI bahwa Dayak di Borneo masih menyimpan kekuatan untuk PERANG MELAWAN KETIDAKADILAN NEGARA...TARAKAN adalah bagian dari GERAKAN Dayak di Borneo untuk melawan siapapun yang mengebiri Dayak....Dayak sudah bersatu diseluruh Daratan Borneo...tinggal menunggu hari...tinggal menunggu pemantik...tungku sudah hangat...kayu sudah tersedia....bahan bakar sudah ada....dan Dayak siap melawan siapapun.......
2. Segera dilakukan KONGRES DAYAK SE-BORNEO, untuk memantapkan langkah perjuangan Dayak selanjutnya..... Kalbar siap menjadi TUAN RUMAH !!!!

Sinyal dini Konflik di Borneo:

1. Ada 5 penguasa besar Indonesia sejak zaman kolonial hingga saat ini yang menguasai Borneo (Jawa, Bugis, Batak, Madura, Cina)....dari lima penguasa ini, Dayak sudah “terlibat” perang dengan Madura (Kalbar, Kalteng), Cina (Kalbar), Bugis (Kaltim)....masih ada 2 penguasa lagi yang tersisa...siapakah yang menyusul ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar