Pages

Risalah Generasi Pak Sakera di Rantau Panjang

Saat itu masih pagi buta. Ayam saja baru berkokok beberapa kali ketika warga Kampung Rantau Panjang dikejutkan suara tiang listrik dipukul bertalu-talu oleh warga Kampung Sei Layang, kampung tetangga.Warga panik, terutama anak-anak dan wanita. Beberapa lari ke jalan. Ada juga yang menerabas semak-semak, masuk hutan karena mengira musuh telah menyerang. Warga lainnya membalas isyarat tersebut dengan memukul tiang listrik juga. Tapi pak Haji Jasuli cuek saja. Ia mencangklong todi’ dan berangkat ke kebun karet untuk menoreh. Dalam bahasa Madura, todi berarti pisau untuk menyadap pohon karet. Jasuli adalah migran gelombang kedua yang tiba di Rantau Panjang, tahun 1971 silam.
Tak cuma warga Rantau Panjang dan Sei Layang yang geger, warga kampung sebelahnya yaitu Sei Pogok pun turut gemetar. Di tengah kekacauan itu, seorang lelaki tergopoh-gopoh menyusul Supandi. ”Eh.., Bisa ndak? Kalau tidak, pengantinnya saja yang ikut ke sana,” teriak lelaki itu. Namanya Sarmawi, utusan pengantin wanita dari Penepat. Dia juga adalah paman Samsiah, calon istri Supandi. Yang menjawab justru Haji Tiyap, ayah Supandi. “Bisa”. Mereka bicara dalam bahasa madura.
Haji Tiyap adalah orang terpandang di Rantau Panjang, generasi gelombang migran pertama yang tiba 1951. Nama aslinya adalah Yusuf, kelahiran Jawa Timur tahun 1934. Tiyap ke Kalimantan Barat naik Kapal Barang milik orang Bugis, untuk mengadu nasib, meninggalkan anak dan istrinya di Madura. Tahun 1980 dia menjadi Kepala Desa Rantau Panjang, menggantikan Haji Usu’. Haji Usu’ orang Bugis. Warga mengenalnya sebagai tokoh yang berilmu tinggi dan berjiwa sosial. Dia tak segan-segan merogoh koceknya sendiri untuk kepentingan warga. Tahun 1995, dia menjual 6 ekor sapinya untuk mendirikan Madrasah. Sekolah tersebut setingkat Sekolah Dasar. Hati Tiyap terenyuh kala melihat anak-anak Rantau Panjang tak mengecap pendidikan.
Supandi adalah anak angkat Tiyap dengan Misrani. Sebab Tiyap memiliki 3 istri. Dengan Misrani ia memiliki 3 anak, yakni Suminten, Suhar dan Nasuha. Suhar kini tinggal di Madura. Meski Supandi cuma anak angkat, tapi Tiyap sangat menyayanginya. Barangkali karena Tiyap tak memiliki anak lelaki. Ayah kandung Supandi sebenarnya bernama Saleh, tetapi sudah meninggalkannya sejak masih dalam kandungan Asma, sang ibu. Asma lantas menikah lagi dengan seorang pedang keliling asal Sambas yang juga bernama Saleh. Tiyap menikahkan Asma dan Saleh dengan perjanjian setelah sang bocah dilahirkan akan diberikan kepadanya. Tepat saat berumur 7 bulan, Supandi kecil resmi diangkat Tiyap sebagai anak.
Meski cuma menamatkan sekolah sampai SMA di Madrasah Aliah Swasta (MAS) Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang, lantaran nama besar ayahnya Supandi muda disenangi dan disegani warga. Ia hidup berkecukupan dan banyak kawan. Kerjanya keluar-masuk kampung dengan speedboat ayahnya. Tiap-tiap kampung dalam kawasan Kuala Mandor B, hingga sepanjang sungai Landak ada saja kenalan dan teman supandi. Hari itu kerusuhan etnik Dayak-Madura pecah di sejumlah daerah di Kalimantan Barat. Tapi di hari yang sama Supandi harus segera menikah. Haji Tiyap yang menetapkan tanggalnya! Mak comblangnya adalah Sunah, sepupu Supandi. Samsiah adalah gadis cantik yang menurut Sunah cocok untuk Supandi.
Meski kepanikan melanda, Supandi harus berangkat ke Penepat, ke rumah pengantin wanita. Dari Pangkalan Parit Baru, dia diiringi 2 unit speedboat berkekuatan mesin 3 PK milik Haji Kholil. Rombongan berjumlah 20 orang. Para penumpang tegang, kuatir serangan benar-benar terjadi. Bukan orang madura jika tak punya sikap Bangalan (pemberani) dan tak takut addhu ada’ (beradu muka). Karenanya tiap-tiap orang hari itu menenteng senjata tajam, untuk berjaga-jaga. Paling banyak dibawa tentu saja celurit, senjata khas Madura. Tapi Supandi cuma sempat menyelipkan belati di punggungnya. Dari pangkalan, speedboat dipacu Besdi dan Supandi menuju Penepat.

***

AKHIR Desember 1996 memang terjadi kerusuhan etnik dipicu peristiwa perkelahian antar pemuda di Sanggau Ledo. Pada waktu itu Yakundus dan Akim ditusuk Bakri. Bakri beraksi bersama 4 orang kawannya. Akibat peristiwa tersebut terjadi kerusuhan antara etnis Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas. Yakundus dan Akim orang Dayak, sedangkan Bakri Madura.Kerusuhan Sanggau Ledo sebenarnya mulai mereda, tapi meledak lagi dalam skala yang lebih luas menyusul penyerangan terhadap kompleks persekolahan SLTP-SMU Asisi di Siantan, Pontianak Utara. Dalam peristiwa itu dua gadis Dayak asal Jangkang, Kabupaten Sanggau terluka.
Hanya dalam jarak beberapa hari Nyangkot, warga Dayak dari Tebas, Kabupaten Sambas terbunuh di Peniraman Januari 1997. Setelah kedua peristiwa tersebut terjadi, pertikaian etnis Dayak-Madura terus meluas. Terutama karena yang menjadi korban terdiri dari berbagai sub etnis Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Kerusuhan terus meluas hingga ke Kotamadya Pontianak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas dan kabupaten Sanggau. Hanya Kabupaten Sintang, Ketapang dan Kapuas Hulu yang tidak terlibat konflik, karena memang di tiga Kabupaten tersebut jumlah orang Madura tidak begitu banyak. Konflik pada tahun 1997 merupakan konflik yang terbesar dalam sejarah konflik antar etnis di Kalimantan Barat dengan korban kurang lebih 500 orang. Sebagian besar orang Madura.
Secara administratif kala itu Rantau Panjang masih termasuk Kecamatan Sebangki, bersama 4 Desa lainnya. Tahun 2000 Kecamatan Penghubung Sambeh atau Sambih resmi menjadi kecamatan definitif dengan nama Kecamatan Sebangki bergabung dengan 9 kecamatan lainnya di Kabupaten Landak. Luas kecamatan ini adalah 885,60 Km2 atau sekitar 88.560 hektar. Ibukota Kecamatan terletak dipinggir Sungai Samih. Jarak kecamatan ini dengan ibukota kabupaten di Ngabang sekitar 80 Km dapat ditempuh dengan jalan darat menuju Simpang Aur Sampuk-Senakin.
Sedangkan Penepat adalah wilayah Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Pontianak. Namun sejak pemekaran 2007 lalu, kawasan ini telah jadi bagian kabupaten Kubu Raya. Karena itu Rantau Panjang juga tak luput dari imbas kerusuhan etnik tersebut. Namun hingga sekarang kerusuhan etnik tidak pernah pecah di kampung itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Supandi dan rombongan akhirnya tiba dengan selamat di Penepat. Perasaannya sudah tak karuan ketika itu. Di Pangkalan, mereka jemput 7 personil Tentara Indonesia (TNI) dari KODAM VI Tanjungpura Balikpapan yang sedang bertugas disana. Meruta Supandi yang meminta ke-7 tentara itu menjemput rombongan.
Menurut Supandi, yang membuat warga tambah geger di kampungnya adalah informasi yang disampaikan juragan motor air jurusan Pontianak-Kumpang bernama (nama disamarkan) dari Kampung Kumpang. “Ada serangan Dayak” katanya menirukan ucapan sopir kepada para penumang motornya. Supandi hanya 15 hari di rumah keluarga Samsiah di Penepat. Ia pulang lantaran Tiyap sudah menyiapkan pesta penyambutan dan resepsi di Rantau Panjang. Lagi-lagi kata Supandi, sopir, menyebarkan isu kalau Tiyap selamatan besar untuk persiapan menyerang orang Dayak di Sebangki. Informasi itu membuat warga Dayak Sebangki dan sekitarnya bersiap-siap bertempur. Tiga hari berikutnya Saujah (Saulan) dikawal 3 lelaki menjemput Supandi untuk dibawa ke Penepat. Saujah yang akrab dipanggil Saulan adalah bibi Supandi. “Hari itu, seluruh warga kampung berjaga-jaga. Perempuan dan anak-anak, menginap di rumah Tiyap. Sebagian lagi mengungsi ke Pontianak.
Hanya Sarbit, salah seorang warga yang ogah ikut mengungsi. Ia percaya orang Dayak tidak akan menyerang dan membunuh warga kampungnya. “Kami sering bertemu orang Darat, mereka datang kesini untuk berburu babi di hutan. Teman saya banyak orang Darat,” katanya. Orang darat yang dimaksud Sarbit adalah orang Dayak. Supandi tak hanya berhasil menikah dengan selamat. Tahun 2001, dia terpilih sebagai Kepala Desa Rantau Panjang dan pada pemilihan Kepala Desa tahun 2008, ia terpilih kembali. Pemuda Madura ini masih menjabat hingga sekarang.

***

SUPANDI bilang, Rantau Panjang diambil dari nama tikungan atau tanjung sungai yang cukup panjang. Sebab tanjung itu melebihi tikungan yang ada di sungai Landak. Di sekitar Rantau Panjang terdapat beberapa kampung yang saling berbatasan lansung. Antara lain Kuala Mandor, Rantau Panjang Kecil, Sungai Gatal, Sungai Jawi, Sungai Pogok, Parit Baru, Kampung Tengah, Tanjung Kepala Dua, Setoket, Kuala Sambeh, Teluk Bakong, Menanik, Teluk Biong dan Krueng.
Kampung Rantau Panjang dikelilingi dua sungai, yaitu Sungai Landak dan Sungai Mandor. Dari dua sungai ini masih mempunyai beberapa anak sungai lagi, yaitu Sungai Gatal, Sungai Jawi, Sungai Pogok dan Sungai Sambeh. Sungai terbesar diantara anak-anak sungai ini adalah Sungai Sambih. Sungai ini menjadi satu-satunya jalur transportasi ke ibukota kecamatan Sebangki. Jarak pusat kampung dari tepi Sungai Mandor hanya sekitar 400 meter. Tapi jika dari pangkalan Siong Kim, jaraknya sekitar 2 Km. Di Pangkalan itu hanya ada dua rumah yang sekaligus berfungsi sebagai toko, gudang sekaligus steigher motor air menuju Kubu Padi dan Retok. Terakhir kali direhab tahun 2005.
Mula-mula jalan utama hanya terdiri dari timbunan tanah galian. Tapi sekitar 1 km sudah di semen warga kampung secara swadaya sejak sejak tahun 2003. Masing-masing menyumbang sesuai kemampuan. Lebarnya pas-pas untuk sepeda motor lewat, sekitar 50 cm saja. Bagi yang pertama kali lewat dengan sepeda motor, pasti rasanya seperti main akrobat. Jika Anda naik motor air dari Pontianak, untuk tiba di Rantau panjang bisa memakan waktu 7 jam. Tapi naik speedboat tentu saja lebih cepat, yaitu cuma butuh waktu satu jam 30 menit. Boleh juga lewat jalur darat, yaitu naik ojek dari Aur Sampuk Desa Senakin Kecamatan Sengah Temila. Dari Pontianak ke Simpang Aur Sampuk cuma dibutuhkan 3 jam perjalanan naik sepeda motor. Nah, Simpang Aur ke Sebangki tinggal 40 Km lagi.
Studi Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) tahun 2004 memetakan wilayah kecamatan Sebangki terdiri atas dataran rendah dan berbukit. Bukit yang terkenal di kecamatan ini adalah Bukit Cempaka. Tak jarang wilayah di sekitar terendam air saat banjir. Sebagian permukiman masyarakat kecamatan ini terletak di dataran rendah seperti Desa Sungai Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan Desa Agak, Desa Sebangki dan Desa Kumpang Tengah umumnya terletak didataran tinggi.
Tahun 2006 lalu penduduk Kecamatan Sebangki mencapai 14.603 jiwa dengan luas wilayah kecamatan 885,60 Km2. Secara administratif kecamatan ini terdiri dari 5 buah desa dengan 27 Dusun. Penyebaran penduduk tidak merata. Penduduk terbesar ada di 3 desa, yaitu: Desa Kumpang Tengah, Desa Sei.Segak dan Desa Rantau Panjang. Sedangkan 2 desa lainnya yakni Desa Agak dan Desa Sebangki relatif sedikit penduduknya. Menariknya, desa-desa disana tersegregasi oleh etnik. Rantau panjang berada di pesisir Kabupaten Landak yang berbatasan dengan Kabupaten Kubu Raya. ”Sepertinya ada pembagian kelompok etnik berdasarkan desa” komentar Paulus suatu hari. Paulus adalah Aktivis Yayasan Pangingu Binua (YPB) yang kerab bolak balik ke Rantau Panjang sejak tahun 2004. Desa Sebangki terdiri dari 5 Dusun. 3 Dusun umumnya didominasi etnik Dayak dan 2 dusun lainnya Melayu. Di Desa Agak, dari 8 dusun seluruhnya didominasi oleh etnik Dayak. Demikian pula halnya dengan Desa Kumpang Tengah, dari 5 buah dusun semuanya didominasi oleh etnik Dayak. Berbeda dengan 3 desa di atas, Desa Rantau Panjang dan Desa Sei Segak, paling banyak etnik Madura.
Umar Noyo menceritakan beberapa tahun terakhir sungai sekiar sudah keruh tidak sehat. Ikan-ikan dan udang semakin sukar ditangkap.”Ini akibat penambangan emas di hulu Sungai Mandor,” ujarnya suatu hari dengan wajah murung. Umar adalah pernah menjadi penyiar Radio komunitas di kampung itu. Radio tersebut dibangun sejak 2005 berkat dukungan YPPN yang dibantu Yayasan Tifa Jakarta.
Umar Noyo dan Supandi sama-sama alumni Madrasah Ibtidaiyah Tabiyatul Islamiyah Rantau Panjang. Sekitar tahun 1962, Ustad Maksudi, datang memberi pendidikan dan mengajar ilmu agama di Rantau Panjang. Empat tahun Dia menetap, tapi tahun 1968 sang ustad kembali ke Pontianak. Untunglah segera datang M. Zamachsyari, tokoh agama dari pulau Jawa mengisi kekosongan. Zamachsyari menikah dengan anak Mbah Mahat. Sekitar tahun 1980-an menantu Mahat ini mendirikan yayasan Madrasah yang mengajarkan pendidikan agama. Tahun 1984 sekolah itu mulai mengajar pendidikan umum, setara dengan SD yang dibina langsung oleh Zamachsyari. ”Waktu itu sedikit sekali yang berpendidikan umum,” kata Noyo.
Kebanyakan teman-temannya menimba ilmu di pesantren. Ada yang dikirim orang tuanya ke pesantren di Pulau Madura. Kini generasi Rantau Panjang bahkan sudah menjadi mahasiswa di Universitas Sekolah Tinggi Ilmu Agama Negeri Pontianak dan Universitas Muhammadiyah Pontianak. Setelah SD yang dibangun secara swadaya itu cukup maju, dibangun lagi sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs), setara dengan SLTP. Kemudian dibuka lagi Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS). Kini MIS tersebut sudah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). Sekolah ini satu-satunya Madrasyah Ibtidaiyah Negeri yang ada di Kabupaten Landak. Noyo bersyukur sekarang banyak anak-anak dimapungnya mengecap bangku sekolah. Tapi hidup terjepit di antara parit bukanlah hal yang mudah. Sayur sawi, kacang, ikan libis, sambal ikan teri, telur, sebagian besar harus didatangkan dari Pontianak. Padahal ongkosnya sangat tinggi. Sekali berangkat Rp 100 ribu melayang dari kocek. ”Uang sebesar itu biasanya habis untuk ongkos tambang.” Tambang adalah sejenis taxi air yang banyak mondar-mandir di sepanjang Sungai Mandor atau Sungai Landak. Tanah Rantau Panjang payah. Sukar untuk menanam sayur, karena tanahnya asam dan sebagian besar gambut. Tak heran bila Sekitar tahun 1984 generasi muda kampung mulai enggan bertani. Booming industri kayu di Kalimantan Barat membuat mereka tergiur menjadi buruh dan meninggalkan kampung.
***

SARBIT adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Dia lahir tahun 1938 di Kampung Tolang, Sampang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Saniman sedangkan ibu bernama Sabina. “Waktu itu masih jaman kolonial Belanda, penduduk kampung dipaksa untuk menanam jagung, padi dan ubi untuk keperluan perang,” kenang Sarbit. Di Rantau Panjang ia dikenal dengan nama Haji Jasuli. Sarbit adalah generasi gelombang kedua yang tiba di Rantau Panjang. Dia mengenang perjuangannya tiba di Rantau Panjang dengan air mata berlinang. “Setelah panen, semua hasil harus disetor ke tentara. Untuk makan, penduduk menyembunyikan padi dalam tahi sapi atau tahi kuda,” katanya membuka kisah.
Kampung Tolang dipimpin seorang Klebon bernama Satawi. Kelebon dalam bahasa Madura artinya Kepala Desa. Umumnya penduduk kampung beragama Islam. Mereka sangat miskin dan hidup dalam tekanan. Salah satu tempat yang terkenal di kampung itu adalah Puju’ Matal, makam seorang ulama yang bernama Matal. Tempat kemudian dijadikan tempat keramat warga kampung. Makam tersebut terletak di tengah-tengah kampung. Ke tempat inilah warga sering mengadu dan berdoa minta keselamatan dan perlindungan. Keluarga Sarbit juga sering datang kesana.
Karena kesulitan hidup, Saniman memutuskan pergi mengadu nasib ke Kalimantan Barat bersama beberapa sahabatnya. Mereka berlayar menumpang kapal kayu. Tak terbilang penderitaan sang ayah saat menempuh badai lautan selama 40 hari sebelum tiba di Kalimantan Barat. Rombongan itu akhirnya terdampar di Mempawah, Kabupaten Pontianak sekarang. Saniman menjadi petani jagung dan padi di Parit Banjar. Mereka menyewa tanah milik orang Bugis bernama Haji Derahem.
Setahun kemudian sang Saniman meminta agar istrinya, serta Sarbit dan saudara-saudaranya menyusul. Umur sarbit ketika itu baru 14 tahun. Matanya cekung, kurang gizi. Kulitnya seperti kulit orang Madura rata-rata, coklat dan kurus. Tapi ia cukup tinggi untuk remaja seusianya. Embun masih menetes dinihari itu ketika Sarbit, meninggalkan kampung bersama Sati, Busiran dan Sabina, ibunya. Sati adalah sepupu sekali Sarbit, sedangkan Busiran adalah adiknya. Mereka nekad berjalan kaki sekitar 2 jam menuju pasar Bring Koning, padahal di celana hitam pendek yang dipakai Sarbit cuma ada uang Rp 5.
Baju hitam lengan pendek dan topi sapu’ (topi khas madura), tak mampu menghalau udara dingin yang menghabur dari pasar. Dari sana mereka menumpang dokar menuju Tepiruk. Dalam bahasa Jawa artinya telaga biru. Mereka harus menanti kapal yang akan berangkat ke Kalimantan. Wajah Sabina berbinar setelah 6 hari menanti. Terbayang ia akan berkumpul kembali dengan sang suami. Akhirnya Kapal Jaya Murni, bertolak juga ke Kalimantan Barat. Jaya Murni hanyalah kapal kecil pengangkut barang yang terbuat dari kayu. Warnanya sudah kusam-masam. Lebar kapal 3 meter dengan panjang 10 meter. Ada sekitar 20 penumpang berjejal di dalamnya.
Tak seperti kapal-kapal modern jaman sekarang, Jaya Murni tak memiliki mesin. Agar dapat berlayar, sepenuhnya mengandalkan angin dengan layar yang cukup lebar dan dapat diputar-putar. Juragan kapal adalah lelaki muda yang tabah. “Namanya Ilyas,” kenang Sarbit. Sarbit adalah remaja yang percaya diri. Dia ingat pesan ayahnya. ”Di laut, kamu hanya bertetangga dengan air dan langit. Berdoalah kepada Allah, serahkan dirimu pada-Nya”. Dia mengucapkannya lagi kalimat itu, seperti sebuah penggalan doa sebelum kapal bertolak ke laut lepas.
Dua hari dua malam berlayar, tiba-tiba badai mengamuk. Kapal oleng dibanting-banting ombak. Dunia seakan berputar-putar. Tiang layar tengah kapal patah. “Allahuakbar!”. “Allahuakbar!” Para penumpang berteriak panik. Ilyas meminta penumpang berdzikir, mohon keselamatan. Eeh, Sarbit malah cuma cengegesan. “Saya takut salah melafal doa karena situasi sedang panik”. Penumpang muntah-muntah, mabuk laut. Seluruh isi perut kapal berantakan. Ruap masam aroma muntah memenuhi kapal bercampur asin laut. Tak bisa lagi dibersihkan. Akibatnya mereka tidur pun beralas muntah. Sarbit tidur sambil duduk, terkadang melengkung mengikuti tekstur kapal.
Mata Sarbit berkaca-kaca ketika menceritakan pengalamannya itu. Tak lama kemudian ia menangis sesenggukan. Wajah tuanya semakin keruh, guratan dahinya seakan bertambah dalam. “Selama di Kapal kami tidur beralas jerami padi dan jagung. Kencing pun dalam kapal”. Hari ketujuh, kapal merapat di Parit Wan Salim, Siantan Pontianak. Penumpang seakan menemukan surga ketika tingkap kapal dibuka. Sarbit bersaudara dan ibunya menginap di rumah Saino, salah seorang pamannya. Seminggu kemudian barulah sang ayah datang menjemput. Sarbit hanya 2 tahun tinggal di rumah mereka di Parit Banjar. Saniman kemudian bekerja sebagai juragan angkutan motor air jurusan Pontianak-Retok.
Sarbit ikut sang ayah, menjadi kondektur motor air sekaligus mencari tempat baru untuk bermukin. Suatu kali ia singgah di Kampung Sungai Samak, Teluk Dalam, Kecamatan Sungai Ambawang. Rupanya banyak warga Madura bekerja dan menetap di sana. Sarbit memutuskan tinggal dan bekerja sebagai penoreh getah karet di kebun Haji Abu. Abu adalah orang Bugis. Tapi dia tak kerasan. Setahun kemudian Sarbit pindah ke Parit Mahidin. Lagi-lagi menjadi kuli pemotong karet. Tapi kali ini ia bekerja pada orang Tionghoa, yaitu A Lo. Selain memiliki kebun karet yang cukup luas, A Lo juga punya toko penampung karet. Sarbit muda menikah dengan Masirah. Karena tak punya anak ia lantas bercerai lalu menikahi Masiyem. Lagi-lagi tak dapat anak. Ia menceraikan Masiyem dan menikah lagi dengan Satifah yang kini hidup bersamanya. Mereka memiliki 7 anak, 3 laki-laki dan 4 perempuan. Saat anak keduanya lahir Sarbit pindah lagi ke kampung Rantau Panjang. Untuk mengepulkan asap dapur ia bekerja menoreh karet pada Hasan. “Sistemnya ngoli”. Maksud Sarbit adalah bagi hasil dengan pemilik kebun, yaitu 50 persen untuk Hasan, 50 persen lagi jadi haknya. Rata-rata dia bisa mendapatkan lateks 20 Kg lateks karet. Harganya kala itu sekitar Rp.3 per kilogram. Karet tersebut dijual pada Atan, warga Tionghoa yang tinggal disana.
Tahun 1980 Sarbit naik haji ke Mekkah. Ia mengganti namanya menjadi Haji Jasuli. Walau sudah menjadi warga Kalbar, ia tak bisa melupakan kampung Tolang. Sudah 2 kali ia kembali ke Madura. Yang pertama tahun 1980. Sendirian saja dan hanya sempat tinggal 12 hari di sana. Tahun 1999, dia pergi lagi, sekalian menjemput keponakannya. Tahun 2001 lalu Sarbit naik haji untuk kedua kalinya. Ia dianggap sebagai tokoh dan sepuh madura di kampung. Sekarang Sarbit tinggal di rumah anak bungsunya yang bernama Naji, persis di sebelah rumah Nakip, putra sulungnya.

***
JIKA Sarbit, Tiyap adalah generasi yang lahir di pulau garam, Supandi adalah generasi yang dilahirkan di tanah Borneo. Tapi mereka tetaplah orang Madura. Emha Ainun Nadjib sebagaimana dikutip http://maduracenter.wordpress.com, pernah mengungkapkan bahwa manusia Madura merupakan the most favorable people yang watak dan kepribadiannya patut dipuji dan dikagumi dengan setulus hati. Belum lagi dari aspek cara berbicaranya, peribahasanya yang menggambarkan prinsip hidupnya, kegemarannya bermigrasi ke berbagai pelosok negeri dan lain-lain. “Tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang Madura,” kata Emha. Panggilan akrabnya Cak Nun. Dia adalah salah satu dari sastrawan terkemuka di Indonesia, kelahiran Jombang, Jawa Timur.
Disertasi Hendro S Sudagung yang berjudul Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, menyebutkan kedatangan orang Madura ke daerah ini, dibagi dalam tiga periode. Pertama, 1902-1942 ketika Kalimantan dan Madura diperintah oleh Kerajaan Belanda. Migrasi ini berlangsung lambat dan terus-menerus. Kedua, migrasi yang terjadi pada zaman peralihan kekuasaan, saat Perang Dunia II, antara 1942 dan 1950. Saat itu Jepang menduduki Hindia Belanda, lalu terjadi kekosongan kekuasaan, sesudah Amerika mengalahkan Jepang pada Agustus 1945. Antara 1945-1950, terjadi diplomasi internasional guna menetapkan status Hindia Belanda, dimana pemenangnya sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketiga, migrasi yang terjadi pada zaman Republik Indonesia, 1950-1980.
Perpindahan orang Madura ke Kalimantan Barat, juga dikarenakan faktor perdagangan. Orang Madura biasa mengarungi lautan, dan menjadi pedagang antar pulau. Selain mendarat di Ketapang dan Pontianak, para pedagang sapi sapi itu, juga mendarat di pelabuhan Pemangkat, di daerah kekuasaan Keraton Sambas. Buku yang berjudul Manusia Madura, yang ditulis Mien A. Rifai, peneliti senior di LIPI yang juga berdarah asli Madura mengupas seluk-beluk sebenarnya akan kehidupan manusia Madura. Mengupas secara verbal siapa sebenarnya mereka yang selama ini banyak distigmakan negatif. Sejarah membuktikan kelompok etnis ini adalah termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tahan bantingan zaman. Terbukti dari kemampuannya beradaptasi dan sikap toleransi yang tinggi terhadap perubahan, keuletan kerja tak tertandingi, dan keteguhan berpegang pada asas falsafah hidup yang diyakininya. Walaupun kerap dipandang sinis, tapi diakui pula bahwa orang Madura memiliki keberanian, kepetualangan, kelurusan, kesetiaan, kerajinan, kehematan, keceriaan dan rasa humor yang khas. Sikap ini pula yang diwariskan kepada generasi Madura yang kini metap di Rantau panjang.
Ketika pertama kali datang ke Rantau Panjang, Sarbit hanya menemukan hutan dan semak belukar serta beberapa petak ladang. Cuma enam keluarga saja yang hidup disana, yakni Siptina, Sarimah, Suyad, Timah, Puteh dan Longgi. Suyad menjadi pemimpin kampung. “Pondok hanya ada di tengah-tengah ladang dan kabun karet.”
Tidak ada jalan darat kala itu. Untuk datang atau pergi ke kampung itu, Sarbit hanya mengandalkan perahu kecil, karena jalur satu-satunya cuma via sungai. Sekitar tahun 1970 kata Sarbit, di tepian sungai, tinggal orang tiongha bernama Ago, Atang, Siongkim dan Atok. Setahun setelah kedatangannya, Sarbit bertemu Haji Tiyap di arena sabung ayam, kawasan Sei Jawi Rantau Panjang.Dia pernah mendengar cerita orang tentang lelaki itu. Di kalangan Madura di sana Tiyap nyaris seperti legenda. “Dia berilmu tinggi, bisa terbang dan memiliki 2 buah celurit pusaka. Jika dicabut, celurit tersebut mengeluarkan pijaran api.” Karena itu Tiyap sangat disegani kawan, ditakuti lawan, selain berjiwa sosial tinggi.
Jika Mat Sudi memerintahkan warga kerja bakti membangun jalan, Tiyap seringkali menyumbang 2 slop rokok dan gula kopi. Mat Sudi adalah Klebon Rantau Panjang kala itu. Tapi jika Tiyap tahu ada warga yang malas, dia akan mendatangi rumah warga tersebut dan memaksanya ikut bekerja bakti. “Jika menolak, Tiyap tak segan-segan menampar dan menantangnya berkelahi.” Madura Rantau Panjang kata Supandi sebagian besar berasal dari Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Saat perang kemerdekaan di tanah Jawa, mereka berlayar untuk mencari penghidupan ke Kalimantan dengan perahu layar tanpa mesin, yaitu kapal pengangkut sapi. Akhirnya mereka terdampar di Kalimantan Barat. Kala itu masih banyak lahan kosong dalam penguasaan Kesultanan Pontianak. Atas perintah Sultan, mereka membuka hutan-hutan untuk bercocok tanam dan kebun ke arah hulu Sungai Landak. Namun yang mula-mula membuka kawasan Rantau Panjang adalah orang Bugis. Orang Madura bekerja kepada mereka sebagai kuli. Nama orang-orang Bugis tersebut adalah Wak Lumpak, Wak Tepok, Wak Bampe’ dan Wak Becce’. Mereka adalah saudara sekandung. Selain itu ada juga ada beberapa yang ikut bersama mereka, diantaranya Wak Remang, Wak Kunduk dan adiknya Wak Bundre. Mereka datang dari Sulawesi, membuka kawasan hutan di Rantau Panjang.
Dengan reputasi orang Madura yang telah mereka kenal, para perantau Bugis ini lantas mepekerjakan 12 orang-orang Madura untuk membuka kawasan hutan. Mereka adalah Mbah Mahad, Mbah Uyar, Mbah Punadin, Mbah Tarsimah, Mbah Longgik, Pak Pacer, Pak Nek, Kejjeng, Madin, Mayar, Nawar, Pak Sukarti, Pak Munanti. “Orang Madura menyebut mereka toke,” kata Supandi.
Orang-orang Bugis mengajak orang Madura membantunya membuka lahan dengan kesepakatan bahwa jika luas tanah yang dibersihkan 100 m, maka 25 m untuk pekerja. Sedangkan 75 sisanya untuk orang bugis. ”Selain berupa bagi tanah biasanya ada upah berupa uang,” terang Supandi. Mula-mula rombongan ini membuat pondok kecil dalam hutan. Karena melihat kawasannya cukup subur, mereka memilih menetap. Karena selain diberi upah oleh toke, mereka juga diberi lokasi untuk membangun rumah. Merasa pekerjaannya membawa hasil atau keuntungan, maka mereka mengajak keluarganya yang lain untuk datang ke Rantau Panjang untuk berkerja.

***
Di Rantau Panjang dominan suku madura, tentu saja beragama islam. Jumlahnya mencapai 97 persen. Hanya sekitar 3 persen saja yang bukan, yaitu Tionghoa. Padahal dulunya cukup banyak orang Bugis. Tapi sejak tahun 1980-an, ketika jumlah orang Madura terus bertambah, jumlah suku ini terus menyusut dan akhirnya hilang sama sekali dari kampung itu. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Madura biasa selain bahasa Apesah. Sebenarnya kedua bahasa ini tak jauh berbeda. Namun untuk kalangan tua dan tokoh masyarakat kerab berbahasa apar pesan. Yaitu bahasa yang dianggap asli dari pulau Madura. Bahasa ini dianggap bahasa halus, karenanya baru dipakai ketika berbicara dengan tokoh ulama atau kiyai. Tata krama atau aturan agama yang telah dianut dari zaman nenek moyang dijunjung tinggi. Terutama larangan dan perintah agama yang tertera dalam Alquran. Antara orang Madura dengan aturan agama ibarat garam dan laut. Tapi Supandi juga mencatat masih ada saja warganya bermain judi, mabuk-mabukan, sabung ayam, dan main lotre seperti togel atau toto gelap. Menurut Wiyata, (2002:254) kelompok ini disebut blater. Blater adalah kelompok sosial orang-orang yang memiliki kecenderungan berperilaku kriminal.
Tahun 1985 Polisi datang menggerebek. Warga yang sedang asyik mengadu ayam pucat-pasi melihat polisi tiba-tiba nongol. Ayam dan sejumlah uang taruhan disita. Kata Yusuf alias Haji Tiyap, Teteng yang melaporkannya. Dia guru sekolah dasar di kampung itu. Mendengar warganya ditangkap Tiyap geram. Dia adalah Kelebon Rantau Panjang masa itu. Sambil menenteng dayung Tiyap menyatroni rumah Teteng. Tapi Tetang bekelit sehingga Tiyap makin berang. Dayung di tangan pun melayang menghantam Teteng. Pak guru itu memar dan luka-luka. Dia segera diamankan ke Pos Polisi terdekat. Belakangan Teteng angkat kaki dari Rantau Panjang. Mei 2004, Paulus FS dan Yohanes Bosco dari YPB mewawancari Tiyap. Umurnya sudah 70 tahun. “Selama ini setiap kasus-kasus kecil tidak ada yang tidak terselesaikan, mengapa harus datangkan polisi, apalagi caranya tidak benar, semua barang tangkapan bukannya dijadikan barang bukti tapi di bawa ke tempat Teteng,” katanya. Ada juga warga yang masih percaya pada hantu jarring dan hujan panas serta kepercayaan memelihara tuyul untuk mendapatkan harta dengan jalan pintas.“Saat hujan panas turun, mereka percaya ada makluk halus yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit,” kata Supandi. Kalangan ini sangat yakin jika kena gangguan hantu jarring dan hujan panas, jarang ada yang mampu bertahan hidup. Tapi bila sanggup bertahan selama 3 hari, maka niscaya korban bisa selamat.
Ciri khas warga Rantau Panjang dalam kehidupan sosial adalah tradisi gotong royong membuat jalan umum, membangun tempat ibadah, tolong-menolong satu sama lain. Karena itu jarang sekali terjadi konflik antar sesama warga. Kalau pun ada menurut supandi biasanya disebabkan masuknya faktor eksternal. Buktinya kata Supandi dalam beberapa kali kerusuhan etnik, warga Rantau Panjang tidak terlibat. Sebelum tahun 1994 warga kampung sangat sulit mendapatkan layanan kesehatan. Baru sekitar 1994-1997 ada petugas bidan desa yang ditugaskan pemerintah ke sana. “Itu pun datangnya hanya satu minggu satu kali, bahkan terkiadang satu bulan tidak nongol,” kenang Supandi. Alasannya, klasik, sulit transportasi dan jauh dari pontianak. Tahun 1999-2001 kembali ditugaskan Bidan Desa Petugas Tidak Tetap (PTT) dari ibu kota provinsi. Bidan ini pun setali tiga uang dengan yang pertama. Jika demam, flu dan penyakit ringan lainnya, warga datang ke dukun kampung atau menggunakan racikan obat trdisional.
Seperti Sarbit, sebagian besar warga mengandalkan pendapatannya dari menoreh karet. Hampir sebagian besar wilayah kampung terdiri dari hamparan kebun karet. Tahun 1989 warga Rantau Panjang mendapat bantuan bibit karet unggul dari pemerintah. Namun gagal karena tak tahu cara menanamnya. Selain berkebun karet, untuk pangan mereka menanam padi dan jagung. Hanya sedikit golongan yang tingkat ekonominya cukup baik. Kalangan ini misalnya para pedagang. Warga menyebutnya toke. Pedagang karet disebut toke karet. Sekarang tak kurang dari 5 toke karet di kampung itu.
Pekerjaan lainnya yang dilakukan warga adalah berladang. Untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga, mereka rajin mencari ikan. Semua pekerjaan dalam rumah sangat dominan dilakukan kaum perempuan, sedangkan di luar rumah dikerjakan para lelaki. Tapi perempuan dikampung ini juga bekerja di luar rumah, seperti noreh karet dan berladang tadi.
Pengambilan keputusan-keputusan penting dalam keluarga maupun masyarakat, dominan diambil oleh kaum pria. Remaja perempuan, sebatas membantu saja, sementara remaja laki-laki banyak yang menjadi buruh. Sebagian besar waktunya dihabiskan di luar kampung. Ada juga yang beternak ayam. Para peternak bisa mendapat untung lumayan ketika hari besar keagamaan. Seperti idul fitri, idul adha, maulud nabi. Ayam-ayam dijual murah dan kadang-kadang dapat memberi untung. Sekitar 90 persen lebih lahan di kampung adalah gambut. Karena itu jika hujan turun jalan menjadi mudah becek. Kiri kanan jalan dibangun parit berukuran 1-1,5 m yang dikelilingi pohon karet. Selain itu juga pohon buah-buahan seperti asam mangga, pinang, pisang, rambutan, pisang dan lain sebagainya. Selebihnya adalah semak belukar.
Rata-rata bangunan rumah di Rantau Panjang nyaris sama. Tapi beberapa cukup bagus dan kokoh. Misalnya rumah Supandi, dibangun dengan ikat beton. Tapi rata-rata masih berdinding papan. Diantara 10 rumah, biasanya dibatasi parit kecil. Airnya coklat pekat, kehitam-hitaman. Di pekarangan nyaris tak ada tanaman. Pola pemukiman masih mengikuti kebiasaan mereka di pulau Madura yaitu taneyan lanjang. Yakni halaman panjang.”Deretan halaman rumah yang terbangun dalam kesatuan permukinan itu diperuntukkan kepada anak-anak perempuan” ujar Khotifah. Khotifah adalah seorang guru di kampung itu. Dia satu diantara sedikit kaum terpelajar di Rantau Panjang. Jilbabnya melambai-lambai saat mengajar di depan kelas.
Dia menerangkan kalau Pengnpuni rumah sangat terikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anak perempuan menikah, suaminya akan menetap di rumah yang telah disediakan orang tua perempuan. Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumah. Bagi orang Madura anak laki-laki tidak memiliki tempat khusus dalam keluarga intinya. Karena itu struktur pemukiman lebih memberikan tempat khusus dan perhatian penuh bagi perempuan dalam keluarganya. Pola ini juga menunjukkan hubungan erat antara tanah dan kekerabatan. Bukan sembarangan orang yang tinggal di dalam tanean lajang. Penghuni biasanya adalah anak-anak perempuan dari sebuah keluarga inti bersama suami dan anak-anaknya.
Di Pulau Madura, terutama didaerah pedesaan, walaupun tidak seratus persen sesuai pola berjajar ideal tanean lajang, pengelompokkan rumah tangga yang membentuk keluarga besar masih menonjol sekali. Letak rumah tidak sejajar, tetapi ada yang berhadap-hadapan karena pekarangannya tidak lagi memanjang. ”Ini menggambarkan system pewarisan tanah orang Madura dirantau masih sesuai dengan aturan adat yang berlaku dinegeri asalnya,” kata Khotifah. Diantara 10 rumah, umumnya dibatasi sebuah parit kecil. Air paritnya juga berwarna coklat, malah terkesan kehitam-hitaman. Dipekarangan tidak terlalu banyak yang ditanam warga. ”kampung kami setiap minggu selalu terkena banjir pasang sungai” ujar Khotifah membuka cerita. Di hari-hari senggang penduduk kampung menggelar kesenian sandur. Kesenian khas Madura berupa atraksi pencak silat. Penonton dari luar kampung boleh masuk arena dan mempertontonkan keahliannya bermain silat. “Hal tesebut dapat mempererat hubungan kekerabatan dan rasa persatuan antar masyarakat,” kata Rusmidi. Dia dan teman sebanyanya selalu menyempatkan diri menonton sandur. Pemuda berusia 19 tahun ini adalah Cucu Sarbit, anak lelaki Mohamad Nakip. Ia masih sekolah di Madrasah Aliyah Swasta Tarbiyatul Islamiyah Rantau Panjang. 2001 lalu dia pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Miftahuddinijah, Desa Telangoh Kecamatan Tanjung Bui Kabupaten Bangkalan. Tahun 2004 Rusmidi dan kedua rekan sekampungnya, Rube’i, dan Jumad, pulang ke Rantau Panjang.
***
Rantau Panjang termasuk kampung yang aman. Jarang terdengar drama kemanusian besar di sana. Peneliti YPB hanya menemukan kasus pencurian, kawin lari dan penganiayaan. Yang paling berat cuma kasus rampok dan carok. Bagi orang Madura Carok adalah simbol perlawanan memperjuangkan kehormatan. Namun sebuah situs http://posmo.wordpress.com menulis kalau Carok baru muncul abad 18 M. Sebab zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, budaya ini belum dipraktikkan. Pertarungan masih dilakukan dengan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul zaman Pak Sakera, Mandor tebu dari Pasuruan.
Studi tentang carok oleh Wiyata (2002:170-185) mengungkapkan, adalah pantangan bagi orang Madura menanggung malu. Ungkapan bahasa madura yang berbunyi “ango’an poteya tolang etembeng poteya mata”, adalah referensi sekaligus manifestasi terjadinya carok. Artinya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu. Mei 2004 lalu, Paulus dan Y Bosco menulis laporan tentang kasus-kasus yang pernah terjadi di kampung itu. Antara lain Kasus Pembunuhan Suba’i. Peristiwanya terjadi 1983. Bermula ketika Umi berpacaran dengan Samsiar. Mereka pernah berfoto bersama saat pacaran. Hubungan itu tak langgeng, mereka pun putus di tengah jalan. Setelah itu Umi pacaran lagi dengan Suba’i. Hubungan berlanjut hingga ke pelaminan. Suatu hari Suba’i menemukan foto mesra Umi dan Samsiar. Darah Suba’i pun terbakar, mengira istrinya berselingkuh. Suba’i yang kalap mendatangi Samsiar dan memukulnya.
Bagi orang Madura menjaga nama baik keluarga adalah utama. Jika salah satu kerabatnya dipermalukan atau dianiaya, dianggap penghinaan yang melukai perasaan. Tumoi memang bukan Pak Sakera, tokoh legenda masyarakat Madura. Tapi darah maduranya terbakar mengetahui Samsiar, sepupunya itu dihina. Tanpa ragu-ragu dia menghunus celurit. Hanya dalam beberapa tebasan, Suba’i pun roboh bersimbah darah tak bernyawa lagi. Singkat cerita, Tumoi pun ditangkap polisi, Resort Mempawah. Dia dihukum 12 tahun penjara. Usai menjalani hukuman, Tumoi lantas pulang ke Madura







Tidak ada komentar:

Posting Komentar