Dari pengalaman politiknya, Orang Dayak termasuk suku bangsa yang paling “manut” (taat dan patuh) terhadap pemerintah yang berkuasa di Indonesia, baik sejak Koloni Cina (Lan Fang dan Monterado), Kesultanan Islam, Kolonial Belanda, Jepang, Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Belum ada sejarah pemberontakan terhadap pemerintah yang berkuasa dikalangan Dayak. Dayak bukan tipikal suku bangsa yang suka memberontak, apalagi melepaskan diri dari negara. (bandingkan dengan Aceh, Maluku, Papua, Sulsel, DI TII, dll). Daya tekan kaum Dayak terhadap pemerintah rendah, karena memang budayanya memang begitu. Tidak heran, sejak kemerdekan hingga kini, tidak pernah satupun tokoh Dayak yang dipercaya sebagai pemimpin nasional Indonesia (baik Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR, Ketua MPR, maupun pejabat tinggi negara di Jakarta). Bahkan untuk diangkat sebagai Pahlawan Nasional saja, sepuluh juta Dayak di Kalimantan hanya seorang saja (Djilik Riwut, mantan Gubernur Kalimantan Tengah), padahal tak terhitung tokoh Dayak menjadi korban keganasan penjajah kolonial karena melakukan perlawanan (Bandingkan dengan Pahlawan Nasional asal pulau lain di Indonesia). Ada apa ? karena, Dayak tidak pernah menuntut, Dayak taat dengan pemimpin (walaupun mereka tahu pemimpin itu tidak berpihak pada mereka, membuat mereka marginal, membuat mereka miskin, dll).
Pada Pemilu Presiden Langsung 2004, Kaum Dayak tampaknya lebih condong ke Megawati Soekarno Putri, terbukti perolehan suara Mega-Hasyim signifikan dikedua putaran Pilpres. Beberapa dasar yang disampaikan warga Dayak kepada figur Mega adalah bahwa Mega titisan Bapaknya, Alm. Soekarno, yang sangat dicintai Rakyat Dayak. Pada era Soekarno, Kaum Dayak berhasil mengangkat derajatnya dalam berbagai bidang, baik pendidikan, pemerintahan dan politik. Diera ini misalnya, Dayak mulai mengenal dan mengembangkan sekolah-sekolah dipedesaan, mereka juga mulai melirik pegawai negeri sipil. Beberapa jabatan politik juga berhasil diraih. “hutang” politik inilah yang dibayar Dayak kepada Megawati Soekarno Putri pada Pilpres 2004. Sebagaimana diketahui, pasca Soekarno, Dayak kembali tenggelam dalam kubangan lumpur. Masuk PNS, Militer, sulit. Masuk di BUMN sulit, bahkan tanah mereka habis dikapling. Pejabat pemerintahan apalagi. Pokoknya sulit dibayangkan.
Minggu lalu, seorang warga Dayak dari pedalaman ketemu saya.
“siapa Presiden yang akan dipilih ?“
“Megawati”
“kenapa Mega ?”
“pada masa Megawati Presiden, harga karet stabil. Petani karet mampu hidup, artinya, Mega mampu menjaga pintu ekonomi rakyat miskin seperti kami”
“.../jfhghgkgkhgkhhjh”
Ya, itu alasan warga Dayak awam. Menarik sekali, kalau kita analisis. Dengan kesederhanaan, kemiskinannya, warga Dayak dapat melihat figur pemimpin Indonesia yang mampu menjaga taraf hidup mereka dikemudian hari. Dayak tidak menuntut lebih dari Presiden Indonesia, Dayak tidak menuntut lepas dari Negara Indonesia. Mereka hanya menuntut; kembalikan situasi ekonomi rakyat seperti masa Megawati, dimana harga karet tinggi sehingga para petani karet mampu berobat, mampu menyekolahkan anaknya dan mampu tersenyum bahagia !!!!
Beberapa hari sebelum pemilihan presiden saya ada di Kubu Raya, "Photo Hunting" sampai saya dicegat oleh beberapa warga dayak setempat karena dikira punya hubungan dengan kasus kepemilikan tanah di situ. Saya sebelumnya tidak pernah tahu kalau ada masalah di tempat itu, salah saya juga tidak minta ijin terlebih dahulu.
BalasHapusSaya ketemu ketua RT, wakilnya, dan beberapa warga lain yang tinggal di sekitar tempat itu. Mereka cerita bahwa beberapa hektar tanah yang ada di situ telah mempunyai sertifikat atas nema orang lain yang tidak pernah mereka kenal. Mereka juga menceritakan masalah sulitnya mengajukan pembuatan ke sertifikat ke BPN, seakan-akan mereka selalu dihalang-halangi. Saya mencium kemarahan, namun bukannya tanpa akal sehat sama sekali. Nyatanya saya baik-baik saja.
Saya berpikir masyarakat yang "dicurangi" ini telah menjadi skeptis terhadap yang namanya pemerintahan, namun ketika saya tanya apakah mereka akan pergi ke TPS saat pemilihan presiden, dengan antusias mereka manjawab: ya. Meskipun harus menempuh jarak yang cukup jauh dan melalui jalan yang belum di aspal.
Nasionalisme? Pengakuan terhadap keberadaan negara? Kesetiaan? Saya tidak tahu, saya kira tidak ada seorangpun yang ada di jakarta pernah berpikir tentang masyarakat di sini, namun jika setiap suara mempunyai "arti", bagaimanakah cara negara berterima kasih?