Pages

CURAHAN HATI SEORANG DAYAK

Sejak jam 7 pagi tadi, saya kedatangan 2 tamu dari kampung pedalaman. Mereka sengaja datang untuk berkeluh kesah tentang perkembangan dikawasan yang dihuni orang Dayak sana. Mereka risau, bahwa perhatian pemerintah tak muncul. Kebijaksanaan tak ada, seakan-akan, mereka kehilangan makna hidup dialam kemerdekaan. Sejenak saya tersentak, saya sedih. Sepulang mereka jam 1 tadi, seharian saya risau. Saya bingung harus mengungkapkan kepada siapa hal ini. Syukurlah, blog ini menjadi teman setia, saya ingin berbagi dengan saudara-saudaraku dimanapun anda berada. Dari penelusuran cerita, paling tidak ada 2 hal yang rumit dan sulit terpecahkan penyelesaiannya, yang terungkap dari bibir mereka ini. Pertama; politik. Di kalbar, politik masih bercirikan primordialisme. Masing-masing kelompok etnik menonjolkan ke-etnisannya untuk meraup dukungan politik. Tidak ada ruang bagi isu lain, selain isu keterwakilan kelompok etnik. Para elit dari masing-masing kelompok etnik menurut saya sebagai “penggagas” isu ini, sebagai strategi pemenangan mereka. Mereka seakan lupa, bahwa dengan tingkat pendidikan yang rendah, interaksi yang sulit terjadi karena letak geografis yang saling berjauhan antara kelompok etnis, dan sejarah konflik kekerasan bernuansa etnik seringkali terjadi diwilayah ini, bisa menjadi bom waktu untuk terjadinya konflik kekerasan etnik dikemudian hari.
Mainstream pluralisme sulit dilakukan oleh para elite, mereka seakan justru menjadikan bahwa pluralisme akan mempertajam kecendrungan konflik. Ciri homogenitas seakan diciptakan, mirip politik unifikasi orde baru. Otonomi daerah, dan pemekaran daerah terbukti persis memperkuat homogenitas etnis di kalbar. Ada semacam teritori etnik dimasing-masing daerah hasil pemekaran. Perbedaan agama, juga dipertajam. Hal ini menambah daftar panjang isu politik, apalagi menjelang Pemilu. Umum kita ketahui, dari 38 partai politik peserta pemilu, sebagian masih “bermodal” ciri agama sebagai penguat identitas untuk meraup suara. Ada PKS, PPP, PBR, PKNU, PKB, PAN, PMB, dll yang bernuansa Islam dan ada PDS, PKDI, dll yang bernuansa Kristen. Beberapa partai lainnya bersifat nasionalis-religius, tetapi dalam praktek politiknya justru bersifat agamais. Ini tentunya tak lepas dari “kadar” para elitnya. Pangsa pasar pemilih terfragmentasi berdasarkan agama yang dianutnya. Secara sederhana begini, Orang Islam tak mungkin memilih caleg dari partai Kristen, dan sebaliknya orang Kristen tak akan mungkin memilih caleg dari partai Islam. Pada partai “nasionalis”, caleg kristen tak mungkin dipilih oleh orang Islam, demikian juga caleg Islam tak mungkin dipilih oleh orang Kristen. Ada semacam “pemilahan” alami oleh rakyat yang menganut agama, dan ini sudah berlangsung 7 kali pemilu !!!
Kedua, yang merisaukan saya adalah ekspansi perkebunan dan pertambangan atas nama pembangunan daerah, lebih-lebih katanya diprioritaskan di kawasan pedalaman dan perbatasan negara. Di dua kawasan dimaksud, penduduknya tak lain orang Dayak, sebuah kelompok etnik yang selama ini dianggap terbelakang. Saya takut, kejutan budaya “culture shok” akan terjadi pada kelompok etnik ini. Keadaan yang dulu tenang, aman dan nyaman, akan berubah menjadi hingar bingar oleh arus orang dan barang. Orang-orang dari berbagai penjuru bumi akan datang, dan menawarkan mimpi-mimpi indah, nikmatnya modernisasi. Pada saat isu pluralisme menjadi belum tersentuh dikawasan itu, bisa jadi mimpi indah akan berubah menjadi mimpi buruk. Banyak kasus kekerasan antar etnik terjadi karena culture shoc ini, masa lalu. Orang Dayak terkejut, dikampungnya tiba-tiba banyak sekali orang luar yang berbeda suku, agama dan kebudayaan. Penghargaan atas keberagaman melunak, berganti menjadi egosentrisme etnik, karena merasa sudah kuat – besar—banyak. Nah, karena umumnya, orang luar ini menetap dikawasan “tepi jalan”, yang mudah untuk akses luar dengan ketersediaan transportasi, teknologi dan ekonomi, orang yang tinggal dikawasan hutan dan hulu sungai merasa aksesnya untuk dunia luar tertutup. Teritori yang dulunya menjadi teritori bebas ternyata sudah menjadi teritori orang luar, yang kemudian memunculkan rasa tertekan, takut yang teramat sangat. Hasil akhirnya, upaya “memindahkan” penduduk secara paksa dilakukan,dengan pertumpahan darah. Itulah yang terjadi tahun 1965, 1996, 1997, 1999 lalu. Sudah menjadi rahasia umum di Kalbar, perusahaan (baik perkebunan maupun pertambangan) yang masuk membawa tenaga kerja dari luar daerah, luar pulau. Pemuda-pemuda setempat tidak terakomodir karena kurang pendidikan, keahlian, ketrampilan, pengalaman, termasuk kurang koneksi. Karena terdesak, bukan tidak mungkin, para pemuda ini akan merasa kembali terancam masa depannya. “percuma sekolah, toh mendapat pekerjaan sulit”. Dan kalau rasa frustasi ini terabaikan, “pengusiran” akan terjadi lagi, sekedar untuk menjelaskan pada pihak luar bahwa mereka juga butuh pekerjaan, butuh pengakuan hak, butuh infrastruktur, dan sebagainya. Ini menurut saya juga bom waktu di Kalbar dikemudian hari.
Mencari jalan terbaik
Tidak ada jalan lain, selain jalan kebijaksanaan bagi para pemimpin bangsa ini. Bahwa, diperlukan sungguh-sungguh untuk menjelaskan dan memerluas pemahaman akan pluralisme. Jelaskanlah kepada para elit politik, jual-lah program, bukan etnik dan agama. Jual-lah integritas moral, bukan hasutan. Jelaskanlah kepada rakyat Kalbar bahwa dunia telah berubah, ikatan etnik, agama dan daerah bukan lagi sebagai komiditi unggulan untuk menang di politik. Ikatan-ikatan itu hanyalah warna kehidupan yang tidak bisa dihilangkan. Jelaskanlah bahwa masuknya investasi dipedalaman dan perbatasan akan merangkul berbagai kelompok, untuk kesejahteraan bersama. Jelaskan bahwa bertambahnya kelompok etnik, agama, asal daerah, dll akan menambah karakter “kompetisi” yang sehat diantara berbagai kelompok itu, dan bukan sebagai ancaman. Dengan kompetisi kehidupan, orang akan kreatif dan memunculkan inisiatif untuk meningkatkan taraf kehidupan melalui karya yang profesional—mandiri – berdaya saing tinggi. Dan pasar masa depan hanya akan dikuasai orang berpendidikan tinggi, profesional, kreatif dan memiliki akses luas. Jelaskanlah itu pada masayarakat Dayak dipedalaman sana, doronglah mereka untuk maju dan bersekolah. Munculkan jalan kebijaksanaan untuk membangun kelompok etnik yang “merasa” tertinggal dipedalaman dan perbatasan negara sana, jangan biarkan mereka, atau akan muncul lagi gerakan borneo raya, yang ingin melepaskan diri dari NKRI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar