Pages

DAYAK BANGKIT

Akhir tahun lalu diperingati secara besar-besaran 100 tahun Ordo Kapusin berkarya di Kalimantan Barat. Peringatan itu bagi penulis memiliki makna yang sangat penting, selain yang berkait persoalan agama, peringatan itu juga bermakna bahwa kira-kira seusia itulah sebagian kecil orang Dayak bisa mengenal budaya baca- tulis. Mengapa? Karena Ordo kapusinlah yang pertama kali mendirikan sekolah-sekolah bagi orang Dayak. Persekolahan Nyarumkop menjadi titik awal perkembangan orang Dayak itu. Pemimpin-pemimpin Dayak sejak masa ORLA dan sebagian dimasa kinipun adalah alumni persekolahan Nyarumkop.
Walaupun pada masa ORLA ada orang Dayak yang menjadi menjadi Gubernur dan Bupati, tetapi kehidupan sosiologis ketika itu belum membuat nyaman menjadi orang Dayak. Stereotif negatif seperti orang kuno, udik, boros, kotor, dlsb masih melekat kuat. Menjadi orang Dayak ketika itu sama dengan menjadi bahan olok-olokan. Kalau ada anak yang kotor,maka kata-kata yang keluar adalah ”seperti orang Dayak”
Keadaan semakin parah ketika ORLA jatuh dan digantikan ORBA, tokoh Dayak banyak yang dituduh terlibat PKI (tetapi tidak dibuktikan di pengadilan), hanya karena alasan yang tidak jelas pemimpin-pemimpin itu dipangkas, para pegawai negeri orang Dayak juga dipangkas. Maka ketika ORBA berkuasa orang Dayak hanya menjadi penonton, mereka bisa dihitung dengan jari saja yang bisa menjadi PN dan yang menjabat sekedar Kabiro hanya 1 orang, Kadis apalagi kanwil tidak ada. Untuk menjadi PN adalah sesuatu yang jauh, orang Dayak merasa seperti bukan hidup di negeri sendiri. Di dunia pemerintahan dan politik orang Dayak praktis tidak bisa berbuat apa-apa selama ORBA.

Di era ORBA itu sebenarnya sudah cukup banyak orang Dayak yang terdidik. Tetapi karena mereka sulit diterima menjadi PN, maka mereka memilih bekerja disektor non PN seperti Guru swasta, di RS swasta dan usaha-usaha swasta lainnya untuk bisa hidup dan eksis.Penyelenggaraan pemerintahan yang represif pada masa ORBA mendorong munculnya gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat Nasional. Sejumlah tokoh yang masih terkenal hingga kini, seperti ; Gusdur , Adnan Buyung Nasution, Gunawan Muhamad, dan masih banyak lagi adalah tokoh-tokoh LSM awal itu. Berkat berjaringan, maka di Kalbar LSM yang dikelola orang Dayak, bagai orang haus merindukan air. LSM seperti Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) yang berdiri tahun 1981 banyak mendapat dukungan dari LSM-LSM nasional tersebut, terutama untuk pengembangan kapasitas SDMnya. LSMlah satu-satunya wadah ketika ORBA yang masih tersisa bagi orang Dayak untuk eksis dan masih bisa diperhitungkan. YKSPK ini berkarya dimulai dengan membangun persekolahan. Penulis bekerja di lembaga ini menjadi guru dari tahun 1986- 1992, tahun 1992-1994 penulis dikirim mengikuti kursus Pemetaan Partisipatif dan GIS baik di dalam maupun di Luar Negeri dan kemudian mendirikan unit PPSDAK tahun 1994-2000. Tahun 2000 penulis mendirikan YPPN dan tidak bernaung lagi dibawah payung YKSPK. Salah satu karya yang penulis anggap fenomenal dari karya PK ini adalah berhasilnya menyeragamkan penulisan kata ”Dayak”. Jika sebelumnya di berbagai literatur penulisannya berbeda-beda (Dyak, Dajak, Daya, Daya’ dll) maka setelah Konggres kebudayaan Dayak tahun 1992, literatur-literatur telah seragam menggunakan kata Dayak.

Aktivitas LSM, pada masa ORBA penuh tantangan, tetapi itulah yang justeru membuat orang Dayak menikmatinya (bukankah sesuatu yang menantang itu menarik? Bukankah sesuatu yang dilarang itu membuat orang penasaran untuk melakukannya?). Apalagi orang Dayak yang sulit diterima jadi PN, maka pelariannya adalah menjadi aktivis LSM. Orang Dayak yang bersinar di era ORBA adalah yang menjadi pemimpin LSM. Semakin kuat tekanan kepada LSM semakin bersinarlah LSM tersebut dan tentu saja pemimpinnya. Kehadiran aktivis LSM di kampung-kampung sangat dirindukan masyarakat. Mereka dijadikan pemimpin oleh orang-orang kampung (karena pejabat pemerintah dari orang Dayak dan pemimpin politik yang bisa disebut pemimpin tidak banyak dan umumnya keberpihakan kepada orang Dayak juga terkesan diragukan selain itu mereka juga jarang pulang kampung , sementara masyarakat Dayak di kampung membutuhkan pemimpin di kota).
Karena yang dikembangkan oleh LSM adalah berpikir kritis (bukan asal beda) maka orang-orang kampungpun di fasilitasi berpikir kritis. Terjadilan pergumulan-pergumulan kehidupan di tengah-tengah orang Dayak. Wujud konkrit dari pergumulan itu adalah meningkatkan kapasitas SDM. Orang Dayak difasilitasi oleh LSM (baik itu YKSPK, maupun LSM dari Gereja) untuk bisa sekolah. Pancur kasih misalnya menyelenggarakan program beasiswa mandiri. Sampai sekarang lebih dari 200 orang yang menerima beasiswa tsb. Saat ini selain YKSPK sejumlah LSM lain yang didirikan oleh orang Dayak tetapi tidak ekslusif Dayak juga mulai terasa kehadirannya di Kalbar. YPPN,YPB, Y Pahar misalnya juga mengembangkan pendidikan alternatif bagi anak-anak pedalaman, dengan tahap awal mendirikan SD mini di Kec mempawah Hulu dan sekarang mendirikan SMK Pahar di Menjalin. Bedanya sejumlah LSM itu tidak lagi melihat Dayak dalam konteks etnosentrisme tetapi Dayak dalam konteks plularisme dan multikulturalisme.
Sekarang mulai tampak bahwa di berbagai sektor telah ada orang Dayak yang ahli. Tetapi mereka tidak terakomodir dalam bidang pemerintahan (disinilah kemudian terjadi pergumulan antara politik- SDM- Identitas yang paling kongkrit). Saat ini misalnya ada orang Dayak dari Landak yang menjadi Rektor di Universitas Katolik di Nairobi Kenya, ada juga yang bekerja di Toronto Kanada, di Roma Italia (semua mereka tak terekspos) ada pula yang menjadi dokter di Amerika serikat. Ketika penulis Kursus di Kanada, penulis bertemu orang Dayak yang memiliki percetakan di Vancouver. Keberhasilan mereka telah menjadi pendorong orang Muda Dayak untuk terus meningkatkan kapasitas SDM. Walaupun jumlah orang Dayak yang terdidik masih sangat sedikit (kira-kira baru 1% dari total populasi Dayak), tetapi hal ini telah melahirkan sikap “mulai bangga menjadi orang Dayak”.

Berbagai pergumulan dalam kehidupan orang Dayak telah menjadi inspirasi pembelajaran yang penting bagi eksistensi mereka. Mereka melakukannya sebenarnya hanya ingin bisa hidup sejajar dengan suku bangsa lainnya di Kalbar. “Traumatic” masa lalu yang menempatkan orang Dayak pada posisi yang lemah telah menciptakan solidaritas yang tinggi diantara mereka. Predikat yang diberikan kepada orang Dayak “bodoh” telah menjadi pelecut bagi sebangian dari mereka untuk belajar gigih dan menunjukan bahwa mereka sebenarnya “cerdas”. Predikat yang diberikan kepada orang Dayak “boros” telah menjadi inspirator bagi berkembangnya Credit Union di Kalbar. Singkatnya berbagai predikat “buruk” masa lalu berupaya untuk dibalik, dan dibantah . Kata kuncinya adalah pengorganisasian masyarakat. Ketika masyarakat sudah terorganisir, maka berbuat baik untuk tujuan apasaja akan mudah didukung.
Perubahan Format Politik Nasional telah menjadi pendorong yang signifikan pada keterlibatan kembali tokoh-tokoh orang Dayak dalam kancah perpolitikan local setelah pada rezim ORBA dimarginalkan. Kemampuan Orang Dayak berpolitik seperti yang pernah dilakukan JC Oevang Oeray, dkk menjadi referensi yang baik Banyaknya Partai Politik sekarang telah menjadi ladang tokoh-tokoh politik Dayak untuk menyalurkan kemampuan kepemimpinannya. Disatu sisi hal ini menguntungkan orang Dayak tetapi disisi lain telah menimbulkan gesekan yang sensitive konflik diantara mereka, tetapi justeru disitulah orang Dayak mendapat arena belajar baru yang menarik.

Traumatik akibat termarginalkan pada masa ORBA telah menjadi tema-tema issue politik yang dikembangkan sebagian politisi orang Dayak dan masyarakat akar rumput sekarang ini. Pada tataran psikologis hal ini dapat dipahami tetapi dalam kerangka membangun kehidupan multikultur , keadaannya menjadi lain. Saya kira ini menjadi bahan refleksi kebangsaan secara holistik. Yang Celaka di sebagian propinsi di Indonesia (ACEH dan Papua) berlaku pula sistem khusus, perlakuan pemerintah pusat demikian telah semakin mempersulit dan menjadi tantangan upaya membangun sistem politik yang multikultural, karena daerah lain merasa memerlukan pula perlakuan khusus itu. Akibat nya perpolitikan lokal menjadi carut-marut yang bernuansa hegemoni etnisitas.

Nah, munculnya era kebangkitan kembali orang Dayak adalah sebuah perjuangan kolektif dari orang-orang dari suku tersebut. Pergumulannya sangat keras dan rumit. Diperlukan pengorganisasian yang tidak kenal lelah, intensif dan berkesinambungan. Faktor pernah ditindas, dihina dan dimarginalkan adalah faktor pelecut untuk membalikan keadaan. Tetapi supaya tidak sombong dan besar kepala yang berakibat pada politik balas dendam berbasis kesukuan maka perlu dimasyarakatkan perspektif pluralisme dan mutikulturalisme yang terpadu.. Satu hal yang penting, adanya kebangkitan kembali orang Dayak tidak akan menjadi ancaman bagi suku-suku bangsa lain di kalbar. Prinsip hidup ” Adil ka Talino, Bacuramin ka Saruga dan Basengat ka Jubata” senantiasa akan mengiringi kehidupan orang Dayak sehingga Kalbar akan selalu nyaman bagi suku-suku bangsa lainnya. Mari Kita berjuang untuk membangun sistim politik lokal yang multikultural di Kalbar ini. Adanya semacam”kompetisi” antara Dayak dan Melayu di Kalbar adalah wajar dan itu akan menciptakan ”Chemistry” yang unik khas Kalbar ke depan. Yang paling penting mari kita meningkatkan kapasitas SDM kita, apalah artinya kita di pimpin oleh orang kita sendiri tetapi kapasitas SDM pemimpin itu tidak cukup mampu untuk membangun kesejahteraan seluruh warganya.Amin.

1 komentar:

  1. Sy pribadi sangat bangga terlahir sebagai ORANG DAYAK, meskipun kita dulunya dikenal sbg orang yang bodoh, namun dengan adanya itu menjadi cambuk bagi kita untuk bangkit, dan mari kita membuktikan bahwa kita orang-orang yang berintelektual tinggi. Jadi suku kita jangan mau diremehkan. dan Yang terpenting kita tetap bersatu dalam segala hal.

    BalasHapus