Oleh Yohanes Supriyadi
Dialektika kehidupan berbangsa dan bernegara, dari sisi politik di Kalimantan Barat belakangan ini menunjukan gejala yang cukup memprihatinkan. Tidak saja karena inkonsistensi konstelasi politik nasional, melainkan juga pada konflik politik tingkat elite yang bereskalasi ke akar rumput, teutama bagi daerah yang menyelenggarakan pilkada. Beberapa insiden berbau politik pra maupun pasca pilkada telah menghantarkan kita pada jurang disintegrasi bangsa akibat fragmentasi primordial yang kian mengeras.
Hari ini, ketika membaca lancscap sebuah bangsa di Kalimantan Barat dengan latar belakang socialnya yang beragam, seperti membaca sejarah terjadinya kekerasan yang berulang-ulang terjadi. Masih segar dalam ingatan kita tentang sebuah insiden kekerasan inter-etnik yang dipicu oleh tergoresnya mobil milik Syarif Usmulyono, seorang staff di Dinas Pekerjaan Kapuas Hulu di Gang 17 Pontianak, atau dikenal dengan “kasus Gang 17”. Goresan mobil sebagai pemicu kekerasan inter-etnik ini berbuah konflik kekerasan bernuansa primordial, hampir 3 hari Kota Pontianak mencekam.
Mungkin ada benarnya, seorang sosiolog Indonesia mengatakan bahwa Propinsi Kalimantan Barat masih menyimpan ”bara dalam sekam”, karena pluralitasnya. Di propinsi ini, sebelum colonial, telah ada konsentrasi penduduk yang tersegregasi berdasarkan etnik dan agama. Disepanjang pantai, merupakan teritori “melayu”, yang dikenal oleh Orang Dayak sebagai “Orang Laut” dan dipedalaman umumnya dihuni oleh Orang Dayak, yang dikenal Melayu sebagai “Orang Darat”. Diperbatasan pesisir dan pedalaman, menjadi teritori Orang Cina, yang dikenal sebagai “Tionghoa”, atau oleh Orang Dayak disebut “Sobat”. Mungkinkah hubungan antar ketiga etnik yang cendrung konfliktual, penuh dinamika dan terjadi pasang-surut hingga hari ini akan berlanjut dalam Pilkada Walikota Pontianak ?
Gong Politik Primitif dalam Pilwako Pontianak
Sebuah buku yang berjudul;”Berpikir historis, memetakan masa depan mengajarkan masa lalu” yang ditulis Sam Wuneburg jelas mengingatkan kita, bahwa pada masa lalu, kehidupan masyarakat yang mencintai keberagaman, pluralitas di Kota Pontianak telah berlangsung hampir sempurna. Hal ini tergambarkan oleh sejarah pendirian Kota Pontianak yang pada tahun 2008 ini telah berusia 238 tahun. Sebelum menjadi pemerintahan kota seperti sekarang ini, daerah ini telah dikenal sebagai Kesultanan Qadriah, yang didirikan 23 Oktober 1771, bersamaan 12 hari bulan Rajab tahun 1185 (Rahman, dkk., 2000) oleh Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, putera Sayyed Hussein Al-Qadrie, atau Habib Hussein Al-Qadrie (Alqadrie, 1979:35). Kesultanan Qadriah dalam prosesnya telah membangun relasi yang harmonis dengan masyarakat lainnya, khususnya masyarakat diwilayah kekuasaan Republik Lan Fang, sebuah Republik yang berdiri setahun sebelum Kesultanan Qadriah, yakni pada tahun 1770, dengan pusat kekuasaan di Mandor (sekarang Kabupaten Landak). Presidennya adalah Lo Fong Fak, atau dikenal sebagai Lan Fang. Wilayah kekuasaan Lan Fang, merupakan daerah tapal kuda, perbatasan antara 2 wilayah Kerajaan, yakni Kerajaan Landak yang berpusat di Sapatah, Pahauman dan sesudahnya dipindahkan ke Munggu’, Ngabang dan Kerajaan Mempawah yang berpusat di Pakana, Mempawah Hulu dan pindah ke kawasan Sebukit, Mempawah. Namun, sejarah juga mencatat bahwa hubungan ketiga “Negara” ini cendrung konfliktual, khususnya dalam memperebutkan daerah pertambangan emas.
Sejak ditabuhnya gong pilkada oleh KPUD Kota Pontianak, awal Maret lalu, hari ini, kita seharusnya telah belajar banyak dari penyelenggaraan 9 kali pilkada yang menyajikan pertarungan isu primordialitas yang cukup kuat di Kalimantan Barat. Di Kota Pontianak, sebuah kota modern satu-satunya di Kalimantan Barat, saya menemukan ada 4 fenomena politik yang memungkinkan diangkatnya isu primordialitas oleh ketujuh pasangan kandidat Walikota dan Wakil Walikota Pontianak. Pertama, konfigurasi kekuatan primordial cukup beragam dan cenderung berimbang dari ketujuh pasangan calon. Misalnya soal representasi agama, komposisi penganut Islam dan non Islam berada di kisaran 55 % ; 35%. Perbedaan yang cukup tipis. Begitu juga pada representasi etnis. Sebagaimana kita ketahui, kota ini dihuni 4 etnis besar; Melayu, Tionghoa, Bugis, dan Madura. Beberapa etnisi ini tentu saja memiliki basis tersendiri di setiap wilayah tertentu. Kedua, sejarah konflik kekerasan inter-etnik pada dekade terakhir (2001 disekitar tol Kapuas, 2007 di gang 17) cendrung berbau primordial (SARA). Masih segar ingatan kita bahwa dalam setiap kasus cukup menelan kerugian materil dan basis sosial yang akhirnya memerlukan masa “kontemplasi” yang cukup panjang. Basis konflik yang berbau primordial seperti itu tidak serta merta hilang ketika memasuki wilayah pertarungan politik, justru pilkada ini kemudian membangkitkan semangat primordialisme masing-masing kelompok. Ketiga, berimbangnya kekuatan Islam dan Non Islam di Kota Pontianak kemudian memposisikan setiap partai politik dan juga kemudian kandidat harus menimbang representasi calon dari kedua unsur agama ini. Sehingga, pada verifikasi terakhir pendaftaran calon yang dilakukan oleh KPUD Kota Pontianak, ditetapkan tujuh pasangan calon Walikota. Dari ketujuh pasangan tersebut, ada kekuatan dari Islam-Islam, kolaborasi antara Islam-Katolik, dan kolaborasi antara Katolik-Islam. Tujuannya jelas, dengan refresentasi kedua agama ini, pasangan dapat meraup suara di masing-masing basis agama. Dan Keempat, sejatinya di Kota Pontianak ada empat etnis yang memiliki basis cukup besar, yakni Melayu, Tionghoa, Bugis dan Madura. Namun, disepanjang periode kepemimpinan sejak menjadi daerah otonom di Kota Pontianak, posisi Walikota justru masih lebih dominan berasal dari etnis Jawa, Sunda, Batak, Madura dan Melayu, sebagian diantaranya berasal dari militer. Sementara etnis Tionghoa belum memiliki “peran” yang cukup signifikan dalam posisi Walikota.
Keempat faktor inilah yang kemudian mewarnai konstelasi dalam Pilkada Kota Pontianak tahun ini. Kita dapat mengamatinya dalam proses pemilihan pasangan calon dan agregasi dukungan yang dilakukan kandidat lebih mengandalkan pendekatan isu primordial, dibanding dengan penawaran isu dan program yang kongkret. Proses lobby untuk memperoleh dukungan pun lebih intens dilakukan untuk memperoleh dukungan dari elit primordial dibanding mendatangi kelompok grass root. Misalnya dalam proses kandidasi, pemilihan cawako oleh partai pengusung tidak sepenuhnya menimbang kekuatan partai yang ada di belakang tokoh kandidat tersebut. Yang dihitung justru refresentasi primodial yang melekat pada tokoh tersebut. Dalam agregasi isu dukungan pun, isu primodialisme tetap menjadi dominan.
Pertengahan agustus lalu, sebuah headline disalah satu media massa local Pontianak mengangkat judul “Masih Ada Residu Kasus Gang 17”. Judul berita ini berdasarkan kesimpulan hasil diskusi yang diadakan CAIREU (Center for Acceleration of Inter-Religious and Ethnic Understanding) menyikapi Pilkada Kota Pontianak, Selasa 19 Agustus 200 lalu di kampus STAIN Pontianak. Peristiwa tindak pidana inter-etnik yang terjadi pada hari Kamis 6 Desember 2007, atau dikenal dengan “Gang 17” ini memang menarik perhatian umum. Sebuah media nasional bahkan menjadikannya laporan khusus pada medio Juni 2008 lalu dengan judul”Panasnya Pontianak, Panasnya Politik”.
Peran Kelompok Etnik Tionghoa
Bila kita membaca peta konfigurasi etnisitas dari ketujuh pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Pontianak dalam pilkada tahun ini, dengan mudah kita menemukan 3 paket yang menarik, Oscar Primadi - Hartono Azas (Obama), Gusti Hersan Aslirosa - Setiawan Lim (Ghesit) dan Harso Utomo Suwito - Awaludin Rahmad (Sholeh). Pertama, menarik karena tiga paket ini ”menggambarkan” pluralitas etnik dan agama di Kota Pontianak dan kedua, menarik karena 2 paket diantaranya memposisikan kelompok etnik Tionghoa, sebuah kelompok etnik yang cendrung ”tidak diakui” sebagai pribumi, sebagai calon Wakil Walikota dan satu paket memposisikan kelompok ini sebagai Calon Walikota !
Dengan 3 kekuatan ini, menarik dianalisis bahwa jauh sebelumnya, kelompok etnik ini terus ”teraniaya” secara sosial-politik, bukan saja di Kalimantan Barat tetapi di hampir seluruh daerah di sebuah negara Indonesia. Munculnya para elit Tionghoa dalam kancah politik pemilihan langsung pemimpin daerah mengindikasikan bahwa ”gerakan” ini merupakan hasil konsolidasi sosial politik-ekonomi yang teramat panjang.
Umum diketahui bahwa Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi kelompok etnik Tionghoa di Kalimantan Barat. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka. Mereka mengidetifikasi dirinya juga sebagai ”penduduk asli” bersama Dayak dan Melayu, mereka juga mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah kelompok etnik yang teraniaya secara sosial-politik. Ditengah situasi itu, mereka mendirikan berbagai organisasi sosial dan ekonomi. Hanya berselang 5 tahun sejak Soeharto turun dari kursi Presiden, konsolidasi sosial dan ekonomi kelompok ini berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi kelompok ini untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Dengan berbagai trik, mereka melakukan kolaborasi yang sempurna dengan Dayak maupun dengan Melayu, dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil menjadi Bupati disalah satu kabupaten yang mayoritas penduduknya Dayak dipenghujung tahun 2003 lalu.
Pilkada yang mulai terselenggara tahun 2005 lalu, memungkinkan kelompok etnik ini untuk tampil kepermukaan, bersama kelompok lainnya. Kelompok ”pribumi” (dalam artian tertentu etnik Dayak dan atau Melayu) awalnya tidak mempedulikan gerakan politik kelompok ini. Namun setelah mereka terpilih sebagai Wakil Bupati disalah satu kabupaten tahun 2005 dan terpilih sebagai Walikota tahun 2007 disalah satu pemerintahan kota serta pada waktu yang bersamaan terpilih sebagai Wakil Gubernur dilevel propinsi, dan dalam perkembangannya membuat kelompok etnik ini semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingan politiknya, kelompok etnik Melayu dan atau Dayak mulai terkejut sekaligus kecut. Mereka berhasil menggiring kelompok etnik lainnya untuk menghargai dan menghormati ”tradisi” leluhurnya. Dalam banyak event, misalnya, kelompok ini berhasil menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsai dan tatung. Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian terjadi tindak pidana inter etnik pada penghujung tahun 2007 di Gang 17 Jalan Gajah Mada Pontianak, yang melibatkan melibatkan sekelompok etnik Melayu versus Tionghoa.
Dan bulan lalu, KPUD Kota Pontianak telah menetapkan 7 (tujuh) pasang calon Walikota dan Wakil Walikota yang bertarung memperebutkan KB 1 A pada tanggal 25 Oktober mendatang, mereka adalah Mohamad Haitami Salim-Gusti Hardiansyah perseorangan/independen), Oscar Primadi-Hartono Azas (Demokrat-PKB), Abduh A Rahim-Muhamad Taha (PKS-PAN), Sutarmidji-Paryadi (PPP-PKPI), Harso Utomo Suwito-Awaludin Rahmad (Merdeka-PNBK-PBB-PSI-PDK-PKPB-PPNUI-PPDI-PIB-PBSD dan PPDK), Gusti Hersan Aslirosa-Setiawan Lim (Golkar) dan Sri Astuti-Eka Kurniawan (PDIP). Dari 7 pasang ini, tergambar jelas refresentasi etnisitas dan agama warga kota. Dalam konteks ini, tentu semakin mempertajam hubungan antar Tionghoa dengan Melayu yang saat ini bukan saja bermasalah, tetapi keadaannya sangat kritis, ibarat retak menunggu belah (Edisi khusus Borneo Tribune, Minggu 6 Juli 2008). Kekritisan hubungan ini, semakin mengental dalam figure yang tampil sebagai dampak pluralitas dari perspektif etnisitas dan agama warga kota; Melayu-Melayu, Melayu-Madura, Melayu-Tionghoa, Jawa-Melayu, dan Tionghoa-Bugis atau Islam-Islam, Islam-Katolik, dan Katolik-Islam sebagaimana tergambarkan dalam figure-figur calon Walikota dan Wakil Walikota Pontianak diatas. Tentu saja ketujuh pasangan ini merupakan hasil negosiasi, fragmentasi,dan apresiasi politik warga kota untuk menghasilkan pemimpin yang “qualified” 5 tahun mendatang. Bila kita lihat dari latar belakangnya, ketujuh pasangan calon ini memungkinkan untuk memahami bahwa ada keadaan ultimate choice (pilihan utama) damai di Kota Pontianak sebagai barometer demokrasi di Kalbar.
Membangun Konstruksi Warga Kota tanpa Kekerasan
Yang menjadi pertanyaan kita adalah, mampukah warga kota ini meminimalisir gejala-gejala kecut yang mengarah pada “gerakan pembersihan etnik” pada Pilwako Pontianak ? dalam berbagai teori, dikatakan bahwa gejala kekerasan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty) dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity) yang muncul dalam kehidupan manusia pada hakekatnya sudah tua, setua sejarah manusia sendiri. Meskipun juga gejala kehidupan yang berorientasi pada landasan kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace), keamanan (security), toleransi, kebajikan (beneviolence) dan rasa cinta kasih atas sesame, juga telah tua setua sejarah manusia.
Sebagai ibukota Propinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak memiliki letak geografis yang sangat strategis dan menguntungkan dari segi baik ekonomi dan social budaya maupun pertahanan dan keamanan. Hal ini dimungkinkan oleh letak dan kedudukannya yang tidak terlalu jauh tidak hanya dari perairan laut dan selat, yaitu Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Natuna. Letaknya yang strategis ini memungkinkan kota ini memiliki keuntungan dalam segi geopolitis dan geostrategis baik ke luar berkaitan dengan terciptanya hubungan akrab, saling menghormati dan saling menguntungkan dengan kota-kota lain di Indonesia, maupun ke dalam berkaitan dengan posisi sebagai ibukota propinsi sebagai kekuatan hegemonis di Kalbar.
Masyarakat kota yang beradab sebagai keniscayaan sejarah, memang wajib hadir dalam perjalanan aktivitas kehidupan manusia diperkotaan yang pluralis tentu saja selalu menghadirkan dua wajah yang ambigu; positif sekaligus negative. Secara positif, masyarakat dibutuhkan karena kodrat sebagai manusia tidak hanya dapat berdiri sendiri, mereka membutuhkan orang lain dan sebaliknya. Namun, buruknya adalah bahwa dalam proses relasi antarmanusia yang membentuk masyarakat ternyata menghadirkan juga realitas kekerasan didalamnya. Dalam kontruksi masyarakat, bagi penganut optimistic, kehidupan selalu dapat berjalan mekanik, dimana setiap konflik dan kekerasan akan berhenti dengan senirinya karena hokum alam mengharuskannya berhenti. Bagi penganut pesimistik, masyarakat yang demikian merupakan titik awal dari proses penlenyapan (cleaning), karena dalam proses relasi yang muncul adalah kekuatan ntuk saling menguasai atau dikuasai. Prinsip ini seolah sesuai dengan pendapat Thomas Hobbes, bahwa manusia pada dasarnya adalah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi masyarakat yang lain). Artinya, konstruksi masyarakat bagaimanapun baiknya, tidak akan lepas dari realitas munculnya sifat-sifat jahat manusia untuk menguasai yang lain.
Setelah berjalan hampir 7 bulan, masih ada residu kasus Gang 17 di Kota Pontianak ? Dari informasi yang berseliweran, ada kesan kuat bahwa proses mereka (para kandidat) mencari dukungan yang akhirnya melibatkan institusi-institusi sosial yang sejatinya bergerak sebagai organisasi non politik. Dengan asumsi diatas, saya melihat dalam Pilkada ini jelas telah menambah referensi wajah pertarungan politik primitive di Indonesia. Bahwa isu primordialitas akan menjadi dominan di sebuah local tertentu. Inilah kemudian yang memposisikan pertaruangan pilkada tidak mudah ditebak. Hitungan lama yang selama ini berlaku bahwa pasangan calon yang terkuat adalah pasangan yang didukung oleh parpol besar sudah semakin tidak akurat. Banyak pilkada yang dimenangkan oleh pasangan tertentu dengan dukungan oleh variabel yang tidak semata oleh kekuatan parpol. Salah satu dari variable itu adalah kekuatan primordial. Namun yang diharapkan sesungguhnya adalah dinamika kekuatan primordial dalam pilkada tidak sekedar untuk menambah kekuatan politik untuk mengejar kekuasaan. Sebab apabila kekuatan primordial sekedar untuk mengejar kekuasaan, maka hal itu memiliki potensi untuk konflik dan sengketa. Sebab pertimbangan primodial sesungguhnya lebih kaku dan cenderung hitam putih dibanding dengan dinamikan politik murni. Sebaliknya, kekuatan primordial diharapkan mampu memberi warna positif dalam khazanah dinamika politik yang saat ini cenderung buram. Dominasi parpol yang cenderung oligarkhis di setiap pilkada seharusnya mampu diimbangi oleh kekuatan primordial. Namun kehadiran politik primordial juga memperkuat masuknya nilai kearifan local dalam dinamika politik local khususnya. Indonesia tentunya member peluang munculnya era politik yang beradab yang diusung oleh nilai-nilai primordial yang positif pula.
Ditilik bahwa masyarakat Kota Pontianak adalah bagian dari masyarakat global, dari sisi politik, maka dewasa ini, seyogyanya mereka pasti akan dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia dan demokratisasi. Dengan peta konfigurasi pasangan calon diatas, tentu saja kita berharap masih ada optimisme baru bahwa “pembersihan” etnik tertentu pasca pilkada di Pontianak tidak akan terjadi, bila seandainya figure yang “diharapkan” warga lainya tidak menang dalam pertarungan politik bulan depan. Akankah masyarakat Kota Pontianak semakin memperkuat stigma primordial dan terbenam dalam lumpur “pertarungan” yang menjadi ciri masyarakat primtif dalam pilkada tahun ini, ataukah warga kota memilih untuk membangun sikap dan perilaku sebagai masyarakat terbuka, toleran dan anti kekerasan sebagai wujud peransertanya untuk membangun Kota Pontianak sebagai Kota Perdagangan dan Jasa bertaraf Internasional ? Kita tunggu saja.
sebuah tulisan dengan analisis yang tajam, menulis dengan fakta apa adanya memang membantu kita memahami anatomi masalah dengan lebih baik.
BalasHapusmenurut saya, dinamika politik di kota Pontianak akan berjalan alamiah dan apa adanya, para pemilih yang waras akan menentukan pemimpinnya yang layak menurut kebutuhan komunitas di Kota tercinta ini.
kemampuan antar etnik di Kota ini untuk saling berinteraksi dengan baik seharusnya merupakan keniscayaan.
kita semua pada dasarnya menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk semua pihak, jabatan Walikota / wakil walikota tidak dapat dianggap merepresentasikan segala kebutuhan komunitas,
Siapapun Walikotanya, bagi saya sama saja, selama sang pejabat Walikota dapat berbuat maksimal untuk kemajuan kota Pontianak dan menghasilkan sinergi yang baik dengan jajarannya untuk meningkatkan kesejahteraan warga Kota ini.
apapun yang terjadi pasca Pilwako nanti hanya akan merupakan reposisi masing masing kelompok etnik untuk saling menyesuaikan.
jika kita sibuk berseteru dengan sesama penghuni kota ini, maka sama saja mengelar sebuah panggung ketidakdewasaan diri dan kelompoknya di panggung Lokal, Nasional maupun internasional.
apa yang terjadi kelak akan merupakan indikator seberapa jauh peradaban dan kebudayaan masing masing etnik yang begitu di agung agungkan berguna bagi kemajuan bangsa dalam kerangka Nasionalisme dan kecintaan terhadap Tanah dan Bangsa Indonesia.
Salam Hangat,
Andreas Acui Simanjaya
email andreasacui@yahoo.com