Pages

POLITIK PRIMORDIAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2007

Oleh Yohanes Supriyadi

PENDAHULUAN
Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat adalah merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur. Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk propinsi terbesar keempat setelah pertama Irian Jaya (421.891 km2), kedua Kalimantan Timur (202.440 km2) dan ketiga Kalimantan Tengah (152.600 km2). Sedangkan dilihat dari luas menurut Kabupaten/kota, maka yang
terbesar adalah Kabupaten Ketapang (35.809 km2 ata 24,39 persen) kemudian diikuti Kapuas Hulu (29.842 km2 atau 20.33 peresen), dan Kabupaten Sintang (21.635 km atau 14,74 persen), sedangkan sisanya tersebar pada 9 (sembilan) kabupaten/kota lainnya.
Ada 4 kelompok etnik utama di Kalbar: Dayak, Melayu, Cina dan Madura. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk asli-mayoritas, sedangkan dua kelompok etnik berikutnya merupakan pendatang-minoritas Sejak masa kolonialisme hingga sekarang ini, seluruh kelompok etnik telah terlibat dalam persaingan tajam untuk merebut dominasi ekonomi, politik, dan sosio-kultural di satu wilayah yang relatif kurang sumberdaya alamnya itu. Dengan kata lain, hubungan mereka sejak awal memang cenderung konfliktual. Kehadiran negara moderen –mulai dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia— secara langsung atau tidak, cenderung membiarkan bahkan memanfaatkan hubungan inter-etnik yang konfliktual tersebut. Di masa kolonial, dari waktu ke waktu, semua kelompok etnik pernah berperang satu sama lain. Dan di era reformasi sekarang ini, mereka kembali terlibat dalam peperangan simbolik dalam bidang kultural, institusional, dan struktural.
Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 adalah pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa decade di Kalimantan Barat. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Regime kesemena-menaan penguasa ingin diganti dengan regime pemihakan terhadap rakyat. Meskipun kenginan untuk melakukan perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu sendiri tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Perubahan tersebut hanya bisa difahami sebagai hasil tarik ulur antara para pelaku politik utama. Hal ini sangat jelas terlihat kalau kita fahami proses reformasi dari kerangka berfikir transisi menuju demokrasi.2 Reformasi ini tidak bisa diprogram secara teknokratik oleh pemerintah. Persoalannya, dalam banyak hal, justru ada pada pemerintah itu sendiri. Terlepas dari persoalan seberapa mendalam perubahan telah terjadi, yang jelas, begitu kata Satjipto Rahardjo, panoramanya sudah berubah.3 Pada tataran formal berubahan sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih belum signifikan. Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang terjadi adalah reformasi setengah hati.4
Masyarakat menaruh harapan besar terhadap reformasi politik di tingkat lokal. Tantangan untuk mewujudkan sangatlah berat karena dua aras perubahan ingin direngkuh dalam "sekali dayung". Desentralisasi sedikit banyak menghasilkan keterkejutan pemerintah daerah mengingat selama ini tidak pernah merasakan bagaimana memiliki otonomi. Keterkejutan ini akan diperparah oleh tuntutan agar kekuasaan luas yang baru diterimanya tidak menghidupkan otoritarianisme di tingkat lokal. Dambaan bagi terlembaganya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik (local good governanve) mengedepan bersamaan dengan melimpahnya caci-maki penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter yang dipraktekkan semasa kepemimpinan Presiden Suharto. Ukuran yang populer saat ini untuk melihat baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan idealitas 'otonomi' dan 'demokrasi'. Makalah ini akan juga menggunakan kerangka pemikiran yang populer ini, namun perlu untuk mendudukkan bahwa pada masa kejayaan pemerintahan Suharto, pola penyelenggaraan pemerintahan yang dilembagakan saat itu, adalah pola yang dianggap terbaik.
Jargon good governance memang baru belakangan ini memperoleh popularitas, namun bukan berarti bahwa Presiden Suharto tidak memiliki konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Persoalannya, adalah apa yang waktu itu difahami sebagai good governanve kini sudang dianggap sebagai pola yang usang. Singkat kata, reformasi politik di tingkat lokal melibatkan proses penting yang tidak mudah dilihat, yakni melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu di catat. Pertama, konsep penyelenggaraan pemerintahan sudah bersifat build in pada benak dan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa konsep-konsep yang ada bisa dijalankan dengan baik. Problema penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru, pada dasarnya bukan semata berakar pada kualitas konsepnya semata, melainkan juga pada ketidakmampuan merealisasikan konsep-konsep tersebut. Kedua, sementara makna good governanve versi lama sudah jauh kehilangan popularitas, pemaknaan konsep good governance dalam versi baru masih simpang siur. Bias pemaknaan konsep good governance ini menjadi sulit dielakkan manakala konsep 'good governance' itu sendiri sebetulnya, secara praktis, diperankan sebagai stigma untuk mende-legitimasikan sentralisme dan otoritarianisme yang terlembaga pada era Orde Baru. Peran stigmatik konsep good governance sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari sangat derasnya arus perwacanaan dalam kerangka berfikir yang neo-liberal, yang pada dasarnya tigak terlampau setuju dengan adanya peran sentral negara. Dan ketiga, pemaknaan konsep good governance saat ini terjadi dalam suasana dimana hegemoni wacana yang berakar pada liberalisme terlihat sangat kental. Liberalisme difahami sebagai pintu pendobrak otoritarianisme, namun masih menjadi pertanyaan besar apakah hal itu akan terlembaga. Dalam suasana dimana hegemoni faham liberal di era reformasi ini sangat kuat, ukuran bagi baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan bisa bergeser dari otonomi dan demokrasi, menjadi liberal atau tidak. Pola good governanve a la liberal mungkin bisa terlembaga kalau masyarakat dan pejabat sama-sama sepenuh hati meliberalkan diri. Kecenderungan yang terjadi adalah sabotasi terhadap liberalisme dalam arti bahwa masyarakat mau enaknya memiliki kebebasan, namun tidak mau menanggung persyarakat-persyaratan untuk tegaknya sistem yang liberal itu. Sebagai contoh, maraknya demostrasi adalah pertanda dari pemanfaatan secara baik iklim politik liberal, namun penghargaan terhadap hak orang lain tidak dilindungi tatkala melakukan hal itu.
Reformasi, dalam dirinya mensiratkan arti penting ide-ide baru. Kalau point-point tersebut di atas dicermati, penentuan arah reformasi penyelenggaraan pemerintahan melibatkan suatu proses pertarungan ide. Pertarungan itu terjadi melalui berbagai bentuk pembingkaian alur wacana. Dalam konteks inilah makalah ini berbicara tentang politik epistemik. Persoalannya, bukan hanya apa dan siapa yang mengutarakan ide-ide, tetapi juga bagaimana ide-ide tersebut diperankan dalam proses reformasi. Aktor yang terlibat dalam politik ide ini memang tidak terbatas pada organ-organ yang secara sempit didefinisikan lembaga-lembaga politik (seperti partai-partai politik, DPR dan kepala daerah) namun juga organ-organ yang semala ini "berkelit" untuk diidentifikasi sebagai aktor politik, seperti yakni universitas, pusat-pusat pengkajian, assosiasi keilmuan dan sebagainya.

BAB II
POLITISASI ETNIK DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2007

Pembentukan Identitas Politik Dayak
Dalam menggambarkan bagaimana Belanda secara sembarangan mengidentifikasikan Dayak sebagai sebuah komunitas yag beragam, merupakan pendidikan asli, populasi non Muslim yang berseberangan dengan populasi Melayu yang Muslim, saya menggunakan konsep Mamdani akan identitas politik, yang dihasilkannya dari pengamatan pada genosida yang berlangsung di Rwanda . Pada jangka pendek, dalam membedakan identitras kultural atau ekonomi, Mamdani melihat identitas politik yang melekat dan sebagai sebuah hasil dari pengorganisasian kekuatan dan pembentukan oleh negara. Tidak seperti di Rwanda, generasi dari Melayu dan Dayak sebagai sebuah identitas politik di Kalimantan Barat belum mengakibatkan perang saudara yang besar, meskipun telah secara perlahan menghasilkan sebuah penandaan yang mengental dan perdebatan yang terpolarisasi pada dua kutub . Tulisan ini tidak akan menghadirkan secara definit menyangkut isu mendasar –siapa Dayak dan siapa Melayu--. Sebaliknya akan lebih menekankan untuk menggambarkan bagaimana identitas politik demikian mengalami perkembangan dan perubahan seiring waktu di tengah-tengah sebuah matrik kompleks dari hubungan kekuasaan yang terbuka. Pengaruh dan campur tangan Eropah di Kalimantan Barat masih sangat kurang hingga pertengahan abad ke-19. Peperangan di Jawa (1825-1830) yang diikuti dengan intensifikasi areal pertanian, yang lebih dikenal dengan Tanam Paksa, yang menyerap sumberdaya yang berada di daerah kolonial. Keadaan ini mengakibatkan wilayah pedalaman menjadi tidak terperhatikan.
Pada 1840an, dimana Belanda secara greadual menerapkan langkah yang lebih maju keberadaannya terhadap kepulauan yang lebih timur. Di Kalimantan Barat secara khusus, berlangsung ketakutan di pihak kaum kolonilis menyangkut perkembangan yang berlangsung di perbatasan sebelah utara akibat hadiran James Brooke, seorang pengelana Inggris, di Serawak . Kekhawatiran Brooke (baca Inggris) dapat merasakan kesenjangan teritorial Belanda sebagai tanda kelemahan dan menjadikannya alasan yang tepat untuk memperluas daerah di Selatan, Belanda mencoba membuat ikatan yang lebih kuat pada kawasan ini. Artinya, mereka harus berkonfrontasi dengan kekuasaan yang mengakar dan asosiasi penambang Cina yang semi otonom (kongsi), yang makmur akibat keeratan perdagangannya dengan Sinagpura. Gencarnya serangan Belanda ditandai dengan berlangsungnya sebuah serial konfrontasi berdarah berhadapan dengan Federasi Fosjoen Tjoengthang dari kongsi di daerah Sambas. Akhirnya, pada 1854, Fosjoen menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda. Selanjutnya kekuasaaan kolonial mengembangkan adminstrasinya dan memaksa jangkauannya ke pedalaman bagian barat Kalimantan, sebagai bagian dari ambisi penguasaan teritorial, juga sebagai bagian dari upaya menghambat perkembangan Islam. Kehadiran sebuah ”pemerintahan” dalam bentuk formalpun mulai dikembangkan. Hanya dengan tercapainya rust en orde (kedamaian dan ketaklukan) yang membuat misi kolonilaisme berhenti. Sebenarnya, motif keuntunganlah yang dioperasikan, namun Kalimantan Barat tidak pernah menghasilkan kekayaan untuk penguasa. Heidhues secaa tajam mengamati bahwa kekayaan yang banyak diceritakan berubah menjadi hanya sebuah dongeng belaka.
Konsepsi kolonial menyangkut ras, kategori etnis dan hirarki menjalar hingga pedalaman Kalimantan sebagai akibat perluasan otoritas Belanda hingga hulu Sungai Kapuas. Menyangkut hal ini, Harwell mencatat: ”Untuk kebutuhan administrasi Belanda, pembedaan krusial untuk membatasi bahwa petani Dayak non Muslim memenuhi syarat untuk memberikan upeti, tenaga kerja suka rela, pajak dan selanjutnya menjadi pengikut Kristen; menempatkan pemuka Melayu Muslim untuk melakukan aturan tidak langsung dan mengawasai perdagangan...” Seperti yang berlangsung saat itu, Belanda membuat sebuah sistem yang secara langsung memberikan para pemuka Melayu memperoleh keuntungan dan menjalankan penegakan hukum yang dibuat oleh para kolonial. Selanjutnya, aturan ini berlanjut degan menjadikan masyarakat non Muslim sebagai subyek dari pajak yang berganda dan kerja paksa. Tanpa memperhatikan keterkaitan yang kompleks di lapangan, sungguh penting untuk mencatat bahwa baik Melayu maupun non Melayu terbelah dalam mengantisipasi kolonialis. Kolonialis tidak membuat perpecahan ini, yang berlangsung cepat melalui kedatangan dan perpindahan menjadi Islam. Pada perjalanan waktu, pemunculan perpindahan sebagai Islam menyebar melalui pesisir sungai. Secara jelas, perpindahan agama juga mengakibatkan perpindahan afiliasi keernisan. Masyarakat asli non Muslim yang kehidupannya mengadopsi cara Islam—sering dikatakan pula sebagai singganan—menjadi Melayu . Karena itu, mayoritas Melayu, terutama di daerah perhuluan sungai, aslinya merupakan Dayak. Secara keseluruhan, kolonialis tidak melakukan pembedaan yang demikian. Hal ini terjadi bagaimanapun berlangsung akibat pengentalan dan gaya darisebuah polarisasi politik melalui pemaknaan identitas Dayak homogen populasi non Muslim yang berseberangan dengan populasi Melayu yang Muslim. Bibit ini tidak dapat ditawar namun tergelincir menjadi dikotomi yang terus berlangsung. Sebagai kelanjutan dari kebijakan tidak langsung, terdapat dua memaknaan lebih lanjut oleh para kolonial, termasuk pula Brook, yang menghasilkan identitas Dayak yang monolitik. Pertama memelalui peperangan atau sebaliknya melalui penciptaan perdamaian. Di Kalimantan Barat, pengenaan aturan Belanda dan perubahan mendasar dari status hubungan anatara pembuat aturan yang terkena aturan memancing sebuah insiden kerusuhan-kerusuhan kecil yang tiba-tiba. Dalam studinya di daerah perbatasan Indonesia pada akhir abad ke-19, Tagliacozzo mencatat bahawa ”Belanda tidak terlihat memahami bahwa kebijakan yang dibuatnya nyata-nyata membuat banyak kekerasan yang berlangsung... Masyarakat dipaksa hidup di bawah aturan baru dan di bawah kondisi dan keadaan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Dimana secara natural akan melahirkan perlawanan pada perkembangan matrik kekuasaan....” Guna mengurangi ketidakterntraman, Brooke dan Belanda kerap memanfaatkan memanfaatkan masyarakat asli non Muslim, Dayak, sebagai tenaga bantuan. Dalam prosesnya, pelabelan dari identitas subyek ini termaterialisasikan. Salah satunya, pada 1885, Belanda memanfaatkan Dayak untuk untuk memadamkan sebuah pemberontakan oleh penambang emas yang berasal dari pecahan kongsi Lanfang di daerah Pontianak. Sekalipun demikian, tidak ada tempat yang dinamikanya lebih terlihat dari daerah di sepanjang perbatasan Serawak, sebuah sandiwara buruk dari kekerasan yang hidup sebelum perdagangan illegal, bersamaan dengan intrik-intrik Brooke, melanjutkan kegelisahan yang timbul di pihak Belanda. Pada 1850-60-an, penjaga perbatasan yang ditempatkan Belanda, meningkatkan campur tangannya diantara persaingan yang berlangsung diantara pemuka Melayu. Dan pada 1886, dalam sebuah kasus yang jarang terjadi, Belanda bekerja sama dengan Charles Brooke untuk menggelar sebeuah ekspedisi penghukuman terhadap sebuah kelompok suku Iban, yang merupakan penduduk daerah perbatasan dan termasyhur kerap merampok kepentingan Inggris dan masyarakat Dayak tetangganya. Sebagai bagiannya, Brooke merekrut sekitar 11.000 orang Dayak sebagai pasukan pembantu . Belanda, meskipun terkejut akibat dampak yang ditimbulkan ekspedisi ini –dimana mereka harus pula berupaya untuk melindungi rumah panjang dari penghancuran—menempatkan masyarakat Dayak (dan beberapa Melayu di Kapuas) untuk bertugas dalam pertarungan sebaik-baiknya.
Penciptaan perdamaian oleh kolonialis juga terlihat secara jelas dalam pembentukan identitas Dayak . Untuk menciptakan stabilitas di hulu Kapuas (dan pada daerah Kalimantan Tengah yang luas), terlepas dari penghancuran ketidak amanan, Belanda menegosiasikan gencatan senjata, memperkuat perkampungan dan dalam beberapa kasus memindahkan suluruh penduduknya ke lokasi-lokasi aman . Pertemuan perdamaian yang terkenal di Anoi (Kalteng) pada 1894, dimana peperangan, perbudakan dan perburuan kepala dinyatakan dilarang, sebagai bentuk yang dihasilkan oleh upaya ini. Meskipun warisan yang ada tetap dipertahankan, upaya-upaya kolonial mendapatkan penghargaan . Khususnya, melalui penyatuan perwakilan Dayak yang tersebar, penguasa menyatukannya diantara para peserta suatu kesadaran akan nasib yang sama tumbuh dan tentunya, sebuah perkenalan yang familiar. Deskripsi di atas menggambarkan bagaimana kolonialis mendesain sebuah ketidak benaran identitas yang seragam bagi masyarakat asli yang non Muslim. Selanjutnya memberikan efek dan menyediakan dasar dalam mobilisasi politik di masa mendatang, ”Dayak” sebagai sebuah identitas politik memerlukan pengakuan sesamanya untuk menjadi perlambang/ simbol. Sebuah kejadian kunci dalam pertumbuhannnya adalah saat kemunculan para pemuda pelajar yang memperoleh didikan di sekolah missionaris dan mulai merasa cocok dengan apa yang Belanda sudah percayai mereka sebagai ”Dayak”. Melalui pengakuan antara satu dengan lainnya dan yang terpenting adalah diantara mereka, sebagai Dayak, mereka tidak lagi mempertahankan kemandirian semata-mata atas daerah aliran sungai atau kelompok bahasa, namun sebagai bagian dari kategori umum yang dihadirkan. Selanjutnya, kesadaran politik secara provinsial mulai terbentuk.
Sebagai catatan dari paparan di atas, Belanda mengupayakan membatasi perkembangan Islam ke perhuluan Sungai Kapuas, dimana perpindahan menjadi Islam sangat banyak terjadi sejak pertengahan abad ke-19. Satu alasan pembendungan pertumbuhan politik Melayu di pedalaman oleh kekuatan kolonial ini, dimana dengan cara yang demikian mampu menghambat perkembangan Islam modern dan nilai simbolis yang prestisius. Dimana secara regional, perkembangan Pan Islamisme sedang merebak. Guna merintangi penyebaran Islam, penguasa kolonial mengalihkannya menjadi pada kerja-kerja misionaris. Merupakan keuntungan bagi kaum misionaris, yang bagaimanapun, memerlukan sebuah perubahan menyangkut pencapaiannya, hampir selama masa kolonial, penguasa terkesan mencurigai upaya-upaya untuk merubah penyembah berhala. Hal ini menjadi pemikiran karena penyebaran agama membahayakan tujuan utama regim penguasa dalam yang mendorong eksploitasi ekonomin secara cepat. Melalui pengenalan menyangkut kemanusiaan yang diinspirasikan oleh politik etis pada 1910, bagaimanapun, merupakan upaya untuk secara moral dan material mengangkat masyarakat adat (tertinggal), penguasa melembutkan pandangan mereka menyangkut missionaris. Sebaliknya, secara kritis pandangan sebagai sebuah hasil ekspansi negara di di luar pulau yang didukung oleh militer berarti sebuah pemaknaan agar keterjaminan bahan mentah sebagai bahan bakar bagi ekonomi kapitalis dunia, politik etis juga membenarkan untuk campur tangan pada masyarakat adat. Kondisi ini mengakibatkan terfasilitakannya dengan jelas transformasi kultural pada komunitas tradisional.
Di Kalimantan Barat – seperti yang dipahami kemudian—gereja berperan dalam pembentukan bahan dasar dan utama bagi misi pembudayaan, terfokus meskipun tidak secara eksklusif, pada masyarakat non Muslim Kapuas. Dimana, seperti yang disadari, masyarakatnya masih kurang terpengaruhi oleh Islam dan cenderung belum tertekan oleh aturan Melayu. Secara paradoksal, tentunya, aturan tidak langsung telah menyelubungi kerajaan menekanan kapasitas pada tempat pertama. Selanjutnya, misionaris menggunakan kesempatan dengan memperhatikan segala kesempatan untuk membuDayakan dan kristenisasi masyarakat hulu Kapuas. Pada 1890 sebuah stasi kecil dibuka di Semitau (Kabupaten Kapuas Hulu), dimana kemudian segera diikuti dengan pendirian kombinasi gereja-sekolah di dekat Sejiram. Dukungan kelembagaan yang minim menuntut ketabahan pada tahap awal ini. Baru pada 1905 dimana Kongregasi Capuchin memperoleh penugasan resmi dari Pusat Gereja Katolik di Roma dengan bantuan akses eksklusif ke Kalimantan Barat, barulah upaya misionaris menjadi lebih memperoleh momentum.
Perkembangan keberhasilan misionaris berlangsung lambat. Secara tidak layak, kebebasan yang amat sama dimiliki oleh masyarakat memaksa misionaris mengurangi penerapan Gereja. Namun dengan bertambahnya anak-anak yang mengikuti sekolah dasar yang dikelola misionaris, perpindahan semakin bertambah. Dan meskipun dalam perkembangan jumlah absolut menurun, akhirnya, upaya gereja mendorong perpindahan tidaklah sepadan dengan perpindahan aktual. Hal yang terpenting, pendidikan misionaris menjadi media penyebaran idealisme barat – demokrasi, kesetaraan dan pemeberdayaan diri sendiri—termasuk diantaranya para pendiri PD. Perluasan dari jaraingan sekolah memberikan struktur dasar bagi elit Dayak di tingkat propinsi utnuk bergabung. Dampak dari sejumlah orang Dayak yang berupaya untuk lulus adalah baik pembebasan maupun perlawanan. Sementara melengkapi dengan pengalaman untuk bersatu dan denyut demokrasi yang secara serius harus berubah dibutuhkan untuk membawa akhir dari keadaan buruk bagi masyarakat Dayak, gerakan ini juga sesuai dengan misionaris. Keadaan ini membantu perkembangan kepercayaan dan selanjutnya menjadi tidak dapat dipertahankan terhadap kerjasama politik melalui aturan penguasa. Gereja merupakan sesuatu yang konservatif, badan hirarkis yang ketat , dan berjuang untuk merubah pandangan patronasenya setelah perang usai, pemimpin PD juga sedang berjuang untuk membangun hubungan yang sesuai dengan gereja. Pendidikan misionaris tidak hanya menghasilkan dasar untuk kemunculan sebuah identitas bersama. Juga membantu untuk perubahnnya menuju sebuah kesadaran politik. Bagi segelintir elit sebuah lokasi kunci tidak berada di hulu Kapuas, melainkan di sebuah desa kecil yang terletak di utara Singakawang bernama Nyarungkop. Pada 1917 minionaris membuka sebuah sekolah kecil yang berkembang cepat menjadi sekolah 5 tahun dengan siswa sekitar 50 orang; sebagaian kecilnya yang tidak lebih dari setengahnya berasal dari daerah lain. Perkembangan –secara geografis, pendidikan dan idiologis—dari kontak misionaris ini secara nyata berkembang. Sebuah kursus guru (cursus normaal) tidak lama kemudian di buka, selanjutnya ditingkatkan menjadi sebuah program pendidikan guru (CVO, cursus volksschool onderwijzer). Para lulusannya menjadi pengajar pada sekolah dasar di pedalaman atau melanjutkan pendidikannya pada sebuah sekolah seminari bawah di Pontianak atau sebuah sekolah tinggi guru Katolik (normaalschool) di Sulawesi Utara.Dimana hasilnya menjadikan pemimpin Dayak menjadi tersohor dan tenaga kerja yang terlatih yang dibutuhkan bagi transformasi landasan ke depan PD yang nyata: memperbesar kesempatan memperoleh pendidikan bagi orang Dayak. Pada 1941 sebuah retret guru-guru sekolah Katolik dilakukan di Sanggau, dengan inisiatif Oevaang Oeray, seorang murid seminari, yang tampaknya menjadi cikal bakal dari pergerakan Dayak di Kalimantan Barat yang terorganisir. Kita harus menduga-duga bagaimana proses perkembangannya hingga berjalan terus, hingga akhir tahun tersebut, dimana Tentara Kerajaan Jepang telah mendarat di Kalimantan Barat. Seperti yang kita lihat secara pendek, bagaimanapun, pemunculan elit Dayak mendapat keuntungan yang besar dari perang dan dinamika politik sejak masa awal kemerdekaan.

Perkembangan Politik dan Formasi Identitas Etnik
Pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda & Jepang. Dayak adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang walaupun juga berada dalam kekuasaan Melayu, namun mereka berusaha mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif. Sebagaimana Dayak, Madura adalah rakyat biasa, yang seakan menjadi budak bagi kelompok etnik lainnya. Namun tidak seperti Dayak, kelompok etnik pendatang ini harus menghambakan dirinya bukan hanya pada satu, melainkan juga kelompok etnik lainnya. Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris juga membuka kesempatan pendidikan yang besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.
Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Sedangkan Madura dapat terlepas dari situasi perbudakan, dan mengembangkan usaha sendiri dalam bidang ekonomi skala kecil dan sektor informal. Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal. Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Dua kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.
Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam. Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun setelah kekerasan etnik Dayak versus Madura pada 1997 berakhir yang kemudian membuat Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat. Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu.

Dalam konteks persaingan yang ketat dan penuh friksi inilah kemudian terjadi kekerasan etnik Paritsetia pada 1999 yang melibatkan Melayu versus Madura. Sebagaimana Dayak, sesudah insiden kekerasan itu, giliran Melayu menjadi lebih asertif dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka seakan tidak takut lagi untuk berperang secara frontal dengan Dayak. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002. Era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsay dan liong. Lebih dari itu, ia juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi, mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil menjadi bupati di Sanggau. Hampir di sepanjang masa Orde Baru, Madura ikut berperan dalam politik. Beberapa orang Madura dari waktu ke waktu selalu terpilih sebagai anggota DPRD tingkat I dan II. Mereka umumnya berafiliasi kepada partai Golkar yang berkuasa atau sebaliknya, oposisi pemerintah yang beralirkan Islam, dan/atau NU atau PKB pada Pemilu 1999. Namun dua kali mengalami kekerasan etnik secara berurutan dalam waktu singkat, membuat sejumlah orang Madura berusaha mendekatkan diri secara sosial dengan orang Dayak melalui penundukan diri pada hukum adat, sedangkan secara politik, mereka menjadi anggota beberapa partai nasional dan Islam yang umumnya dimasuki orang Melayu. Namun Madura tentu saja tidak sepenuhnya dapat menerima hal itu, sebagian merasa bahwa mereka sekarang harus terpaksa menundukkan diri kepada Dayak dan Melayu.

PEMILIHAN KEPADA DAERAH PROPINSI KALIMANTAN BARAT
Kepemimpinan pemerintahan provinsi Kalimantan Barat akhirnya mengalamai pergantian. Pilkada Gubernur tanggal 15 November 2007 yang dimenangkan oleh pasangan Cornelis-Sanjaya akhirnya mengakhiri keinginan pasangan Incumbet, Usman untuk bertahan berkuasa kembali. Melewati proses yang cukup menegangkan, Pilkada pun berjalan dengan cukup sukses dan tidak menimbulkan gejolak besar, meskipun beberapa riak dan protes yang menyertai beberapa tahapan pilkada, seperti pendaftaran pemilih.
Berdasarkan data, ada beberapa faktor kekalahan incumbent. Suara pemilih dari kalangan Islam yang populasinya 55,05% dari 4,032 juta penduduk Kalbar didasarkan Sensus 2005 yang tersebar di 14 kabupaten/kota, terpecah pada tiga calon gubernur yang beragama Islam, Usman Jafar, Oesman Sapta dan Akil Mochtar. Jualan politik incumbent mencakup keharmonisan antaragama dan etnis, investasi meningkat, menghargai keberagaman untuk menuju Kalbar terbuka yang didengungkan selama kampanye, ternyata tidak sepenuhnya mampu menarik simpati masyarakat pemilih. Sebaliknya, paket Cornelis – Christiandy yang selama kampanye maupun sosialisasi cukup intens melakukan sosialisasi di kalangan masyarakat kristiani yang populasinya hanya 33% dari 40,32 juta penduduk (Katolik 22% dan Protestan 11%), dengan kasatmata dan vulgar berani meniupkan isu lokal yang terkadang kesannya sangat sensitif dengan merangkul banyak tokoh adat dan gereja. Janji Cornelis-Christiandy yang akan memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat marginal, minoritas, terpinggirkan, pemerataan pembangunan, mempermudah izin mendirikan gereja, memberikan perhatian maksimal kepada masyarakat di pedalaman, menghapus dominasi kelompok mayoritas, membuat perimbangan jabatan struktural antara kelompok Islam dan kristiani di Kantor Gubernur Kalbar, ternyata cukup ampuh menarik simpati masyarakat pemilih. Ini membuat perolehan suara Cornelis–Christiandy menang di delapan daerah pemilihan, di mana di tiga kabupaten pemilih mayoritas kristiani menang telak. Sedangkan Usman Jafar–LH Kadir hanya menang telak di tiga kabupaten dengan penduduk agama Islam mayoritas. Sedangkan Oesman Sapta–Ignatius Lyong hanya unggul di Kabupaten Ketapang. Perolehan suara Akil–Mecer secara keseluruhan tidak sampai 300.000 suara.
Kemenangan bakal diraih Cornelis– Christiandy, mengingatkan kita akan pengalaman pahit akibat perpecahan kaum politisi Islam di Kalbar dalam pemilihan Gubernur Kalbar melalui sidang paripurna DPRD Provinsi Kalbar pada 14 November 1959. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1955, dari 30 kursi DPRD Provinsi Kalbar diperebutkan, 18 kursi dikuasai politik Islam, mencakup empat kursi Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi sembilan kursi dan selebihnya partai kecil. Kemudian Partai Persatuan Dayak hanya mengantongi 12 kursi yang kesemuanya beragama Kristen. Hasil pemilihan Johanes Chrisostomus Oevang Oeray dari PPD beragama Katolik, keluar sebagai pemenang, dengan mengantongi 14 suara. Ini akibat perpecahan dua politisi Islam, dimana Abdussyukur yang diusung PNI mengantongi empat suara dan Muazani A Rani yang diusung Partai Masyumi mengantongi 12 suara. Implikasinya JC Oevaang Oeray dicatat sebagai Gubernur pertama Kalbar hasil pemilihan kelembagaan legislatif.

Di sepanjang pilkada yang telah berlangsung sejak 2005-2007, pilkada Kalimantan Barat adalah salah satu pilkada yang menyajikan pertarungan isu primordialitas yang cukup kuat. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kuatnya isu primordialitas pada Pilkada Kalimantan Barat. Pertama, konfigurasi kekuatan primordial di Kalimantan Barat cukup beragam dan cenderung berimbang. Misalnya soal representasi isu agama, komposisi penganut Islam dan Kristen berada di kisaran 59 %;49%. Perbedaan yang cukup tipis. Begitu juga pada representasi etnis. Di daerah ini dihuni beberapa etnis besar, seperti Dayak, Bugis, Madura, Tionghoa, Batak, Melayu dll. Beberapa etnisi ini kemudian memiliki basis tersendiri di setiap wilayah tertentu. Kedua, sejarah konflik pada dekade terakhir yang muncul di Kalimantan Barat adalah berbasis dari isu primordial atau cenderung berbau SARA. Masih segara ingatan dalam kasus kerusuhan Sambas beberapa tahun yang lalu yang cukup menelan kerugian materil dan basis sosial yang akhrinya memerlukan masa rekonsiliasi yang cukup panjang. Selain itu, adany kasus pengusiran suatu etnis terhadap etnis tertentu dari wilayah Kalimantan Barat. Basis konflik yang berbau SARA seperti itu tidak serta merta hilang ketika memasuki wilayah pertarungan politik. Justru pilkada kemudian membangkitkan semangat primordialisme masing-masing kelompok.
Ketiga, berimbangnya kekuatan Islam dan Kristen di Kalimantan Barat kemudian memposisikan setiap kandidat harus menimbang representasi calon dari kedua unsur agama ini. Sehingga, pada verifikasi terakhir pendaftaran calon yang dilakukan oleh KPUD Kalimantan Barat, ditetapkan empat pasangan calon Gubernur. Dari empat pasangan tersebut, tiga diantaranya menduetkan pasangan atau kolaborasi antara Islam-Kristen. Tujuannya jelas, dengan representasi kedua agama ini, pasangan dapat meraup suara di masing-masing basis agama. Keempat, sejatinya di Kalimantan Barat ada dua etnis yang memiliki basis cukup besar, yakni Dayak dan Melayu. Dalam sepanjang periode kepemimpinan di Kalimantan Barat, posisi gubernur masih lebih dominan berasal dari etnis Melayu. Sementara etnis Dayak belum memiliki peran yang cukup signifikan dalam kepemimpinan di level provinsi, khususnya posisi Gubernur. Hal ini disebabkan oleh sistem rekruitmen kepemimpinan provinsi sebelum pilkada masih murni menggunakan mesin partai lewat DPRD. Dan sudah mafhum bahwa pola pemilihan melalui DPRD dahulu lebih banyak diatur dan kuasai oleh keinginan Soeharto melalui Golkar. Dalam situasi seperti itulah, representasi etnis daya di kacah kepemimpinan Kalimantan Barat cenderung terpinggirkan. Sehingga ketika ada pilkada langsung, maka kekuatan Dayak dikonsolidasikan dalam rangka menorehkan sejarah baru, bahwa sudah saatnya etnis Dayak memimpin Kalimantan Barat.
Keempat faktor tersebut kemudian mewarnai konstelasi dalam Pilkada Kalimantan Barat. Proses pemilihan pasangan calon dan agregasi dukungan yang dilakukan kandidat lebih mengandalkan pendekatan isu primordial, dibanding dengan penawaran isu dan program yang kongkret. Proses lobby untuk memperoleh dukungan pun lebih intens dilakukan untuk memperoleh dukungan dari elit primordial dibanding mendatangi kelompok grass root. Misalnya dalam proses kandidasi, pemilihan cagub dan cawagub oleh partai pengusung tidak sepenuhnya menimbang kekuatan partai yang ada di belakang tokokh kandidat tersebut. Yang dihitung adalah representasi primodial yang melekat pada tokoh tersebut. Dalam agregasi isu dukungan pun, isu primodialisme tetap menjadi dominan, misalnya isu yang ditawarkan oleh pasangan Cornelis-Sanjaya. Pasangan yang didukung oleh PDIP ini mencoba menawarkan isu rekonsiliasi kepada etnis Madura dengan isyarat etnis dari Jawa Timur itu memberi kepada dukungan kepada Cornelis-Sanjaya.
Selain itu, proses mencari dukungan pun akhirnya melibatkan institusi-institusi sosial yang sejatinya bergerak sebagai organisasi non politik. Fakta ini terungkap ketika tiga hari sebelum hari H, tepatnya tanggal 13 November, beberapa elemen umat Islam yang terwakili oleh 21 lembaga dengan dikoordinir oleh Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Barat secara terbuka menyataan dukungan kepada pasangan nomor satu, Usman Jafar-Laurentius Herman Kadir. Konon sikap ormas Islam ini dipicu oleh adanya dukungan yang bulat umat Kristen pada pasangan nomor empat, Cornelis-Sanjaya. Tak pelak, dukungan terbuka yang digalang MUI ini kemudian menjadi bola panas jelang hari H. Perdebatan kemudian muncul ketika, dua pasangan lainya, yakni Oesman Sapta-Ignatius dan pasangan Akil Mochtar-Robertus Mecer merasa juga berhak merepresentasikan suara umat Islam. Akhirnya kemudian muncul saling protes antar internal umat Islam.
Namun pada akhirnya, proses Pilkada Kalimantan Barat melahirkan pemimpin baru. Pasangan Cornelis-Sanjaya akhrinya mampu mengalahkan pasangan incumbent Usman Jafar-Laurentius Herman Kadir dengan komposisi suara (43,20 persen) :(31,36 persen). Kemenangan pasangan yang diusung PDIP ini sesungguhnya begitu mudah diprediksi apabila menempatkan proporsi dukungan murni berdasarkan representasi primordial (baca; agama), tidak berbasis dukungan partai politik. Secara jelas, dengan mengkombinasikan pasangan kristen-kristen, pasangan Cornelis-Sanjaya ingin menunjukkan bahwa mereka yang paling tepat merepresentasikan suara umat Kristen. Dengan hanya mendapat dukungan dari satu partai, tentunya pasangan ini cukup percaya diri dengan kombinasi tersebut. Sementara pasangan lain, meskipun didukung oleh beberapa partai, namun potensi tidak solidnya suara cukup besar, sebab komposisi pemilih umat Islam terbagi ke tiga pasangan yang masing-masing memiliki basis pendukung setia.
Realitas agregasi suara yang demikian kemudian begitu terlihat di hari H. Bersatunya suara umat kristen pada pasangan Cornelis-Sanjaya amat nyata. Di Landak misalnya yang mayoritas penduduknya Kristen, perolehan suara pasangan Cornelis-Sanjaya mencapai angka 80-90 % setiap TPS-nya. Pasangan lain, meskipun wakilnya dari Kristen, tapi tetap tidak memikat suara umat Kristen. Di daerah Singkawang pun demikian, mayoritas etnis Konghucu di daerah ini juga lebih memilih pasangan nomor empat. Singkatnya, di setiap daerah yang berbasis non muslim, dipastikan pasangan Cornelis-Sanjaya memperoleh suara terbanyak. Hal ini menunjukkan penempatan cawagub dari non muslim pada tiga pasangan lainnya ternyata tidak efektif mendongkrak suara non muslim.
Bersatunya suara non Muslim kepada pasangan Cornelis-Sanjaya sesungguhnya tidak semata faktor kapasitas dan akseptabilitas sosok Cornelis dan Sanjaya. Namun yang menjadi faktor penting adalah pasangan ini menjadi media pemersatu umat non muslim khususnya etnis Dayak (Cornelis) dan etnis Konghucu (Sanjaya) dalam memperoleh kesempatan untuk menjadi pemimpin di Kalimantan Barat. Artinya siapapun sosok pasangan itu akan memiliki peluang besar untuk menang sebab menjadi media pemersatu khususnya etnis dayak. Pilkada gubernur Kalimantan Barat telah menambah referensi wajah pertaruangan dalam pilkada. Bahwa isu primordialitas akan menjadi dominan di sebuah local tertentu. Inilah kemudian yang memposisikan pertaruangan pilkada tidak mudah ditebak. Hitungan lama yang selama ini berlaku bahwa pasangan calon yang terkuat adalah pasangan yang didukung oleh parpol besar sudah semakin tidak akurat. Banyak pilkada yang dimenangkan oleh pasangan tertentu dengan dukungan oleh variabel yang tidak semata oleh kekuatan parpol. Salah satu dari variable itu adalah kekuatan primordial. Namun yang diharapkan sesungguhnya adalah dinamika kekuatan primordial dalam pilkada tidak sekedar untuk menambah kekuatan politik untuk mengejar kekuasaan. Sebab apabila kekuatan primordial sekedar untuk mengejar kekuasaan, maka hal itu memiliki potensi untuk konflik dan sengketa. Sebab pertimbangan primodial sesungguhnya lebih kaku dan cenderung hitam putih dibanding dengan dinamikan politik murni.
Sebaliknya, kekuatan primordial diharapkan member warna positif dalam khazanah dinamika politik yang saat ini cenderung buram. Dominasi parpol yang cenderung oligarkhis di setiap pilkada seharusnya mampu diimbangi oleh kekuatan primordial. Namun kehadiran politik primordial juga memperkuat masuknya nilai kearifan local dalam dinamika politik local khususnya. Indonesia tentunya member peluang munculnya era politik yang beradab yang diusung oleh nilai-nilai primordial yang positif pula.





1 komentar:

  1. Tulisan ini membantu saya memahami persoalan politik pilgub 2007. Namun, saya sarankan Pak Yohanes Supriyadi untuk melakukan tata letak.

    Sehingga akan lebih enak dilihat. Terutama pemenganggalan aline...

    Mungkin karena kesibukan Pak YS yang menyita waktu ya.

    Salam,
    Terus Berkarya

    BalasHapus