Oleh Yohanes Supriyadi
Sebelum mengenal lebih jauh tentang pemerintahan lokal yang bernama pemerintahan binua di Kalimantan Barat, mari kita lihat pola-pola penghancuran atas identitas asli komunias secara makro, maksudnya di Nusantara. Regerings Reglement atau peraturan pokok yang mengatur tentang pemerintahan di Hindia Belanda pada tahun 1854 adalah peraturan mengenai desa yang pertama kali dibuat . Dimuatnya pengaturan tentang desa ini didasari oleh kesadaran dari penguasa kolonial atas telah adanya satuan-satuan sosial asli pada masyarakat yang memiliki corak pemerintahannya sendiri jauh sebelum kedatangan orang-orang Belanda. Oleh karena itu hakekat pengaturan yang dimiliki itu bukanlah untuk membentuk satuan sosial dengan pemerintahan baru yang disebut Inlandssche Gemeente tetapi merupakan pengakuan tentang keberadaan satuan-satuan sosial tersebut.
Dalam pasal 71 Regerings Reglement selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam ordonansi yang khusus dibuat untuk mengatur desa yakni Inlandsche Gemeente Ordonantie ( IGO ). IGO berlaku hanya di pulau Jawa-Madura, kecuali diwilayah Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta serta tanah-tanah partikelir disebelah barat dan timur Cimanuk Jawa Barat. Sedangkan untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura dikeluarkan ordonansi yang lain yang disebut dengan Inlansche Gemeente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ). Berbeda dengan dengan IGO yang berlaku secara umum, maka IGOB hanya berlaku jika ada pernyataan pemberlakuannya oleh gubernur. Menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, pemerintah Hindi Belanda masih sempat membuat ordonansi desa yaitu desa ordonantie, namun ordonansi ini tidak sempat berlaku menyusul kekalahan Belanda melawan Jepang sehingga Belanda harus meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Selama kekuasaan Jepang, tidak banyak perubahan yang dilakukan berkenaan dengan peraturan mengenai desa kecuali mengenai pemilihan kepala desa. Kepala desa dibatasi masa jabatannya menjadi 4 tahun saja sesuai Osamu Seirei No 7 tahun 1944. Di Kalimantan Barat, pada masa ini istilah Singa ( Kepala Binua ) sempat diubah dengan nama SonCo .
Pada saat bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, perhatian terhadap desa telah pula masuk dalam pembahasan mengenai konstitusi negara pada rapat-rapat BPUPKI dan PPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 11 juli 1945, Muhamad Yamin adalah tokoh bangsa yang pertama kali menyinggung keberadaan lembaga yang bernama desa khususnya dipulau Jawa-Madura. Beliau mengutarakan pendapatnya mengenai susunan pemerintahan yang akan dibentuk. Menurutnya terdapat 3 lapisan yang merupakan susunan pemerintahan yaitu pemerintah bawahan yang berisikan badan-badan masyarakat seperti desa di Jawa-Madura, Nagari di Sumatera Barat, dan lain-lain. Lapisan selanjutnya adalah Pemerintah atasan atau pemerintah pusat yang ada diibukota negara dan yang diantara kedua pemerintahan itu adalah pemerintah tengahan yakni pemerintahan daerah .
Hal menarik juga diungkapkan oleh Supomo. Sebagai ketua panitia kecil perancang Undang-Undang Dasar, beliau dalam sidang panitia BPUPKI tanggal 11 juli 1945 menjelaskan bahwa “ hak-hak asal-usul dalam daerah-daera yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu adalah pertama daerah kerajaan baik diJawa maupun diluar jawa dan kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli seperti desa di Jawa, Nagari diSumatera Barat dan lain sebagainya. Karena itu daerah-daerah itu harus dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan aslinya “. Pendapat Supomo ini kemudian masuk dalam pasal 18 UUD 1945 butir II yaitu “ Dalam teritorial negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturede landschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabaun, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa “. Sampai 20 tahun setelah Indonesia merdeka, tidak penah ada lagi peraturan khusus yang mengatur tentang desa secara menyeluruh sehingga dengan demikian Inlandsche Gementee Ordonantie ( IGO ) tetap berlaku. Dalam kurun waktu tersebut, peraturan yang dibuat sifatnya parsial ( Myrna A Safitri, 2000 ).
Pada tahun 1965 barulah pemerintah Indonesia berhasil membuat undang-undang mengenai desa untuk menggantikan IGO dan peraturan-peraturan lainnya. Pada tanggal 1 September 1965 diundangkan UU No 19 tahun 1965 tentang Desapraja . UU Desapraja ini dibuat dengan semangat untuk menggantikan seluruh produk perundang-undangan kolonial dan menjalankan politik unifikasi hukum mengenai desa diseluruh wilayah Indonesia dengan melakukan rekayasa pembentukan, penggabungan dan pemecahan satuan-satuan sosial yang ada. Namun UU Desapraja dalam prakteknya tidak pernah berlaku karena pada tahun 1969 dikeluarkan lagi UU No 6 tahun 1969 yang menyatakan tidakberlakunya sejumlah UU dan Perpu termasuk UU Desapraja karena isinya dianggap bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945.
Masa Orde Baru terbilang sangat produktif menghasilkan peraturan pemerintah dan Undang-undang mengenai desa . Pada tanggal 1 desember 1979 dibuat UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sepanjang masa berlakunya UU ini berikut peraturan pelaksanaannya, telah sukses menjalankan misi penyeragaman desa diseluruh tanah air Indonesia. Desa dipilih oleh Pemerintah Otoriter Orde Baru selain karena politik unifikasi hukum juga karena kepentingan “ pembangunan ”. Dengan politik sentralisasi kekuasaannya, pemerintah Orde Baru berhasil melaksanakan pembangunan nasional dan mengharuskan pemerintah pusat untuk selalu mengucurkan dana kepada pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang banyak diantaranya telah dirancang oleh pemerintah pusat sendiri. Dalam prakteknya , teknik pengucuran dana kepada daerah ( dalam hal ini provinsi ) dilakukan berdasarkan jumlah desa yang ada. Karena terbatasnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah diawal orde baru mengenai jumlah desa yang ada diseluruh Indonesia, maka diharuskan kepada setiap gubernur untuk memberikan data yang lebih rinci tentang jumlah “ desa “ yang ada diwilayahnya.
Gubernurpun kemudian menginstruksikan kepada Bupati-Bupati DATI II untuk melakukan pendataan jumlah desa diwilayahnya masing-masing. Namun permintaan Gubernur itu ternyata tidak mudah dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten karena berbedanya atau bahkan ternyata tidak dikenalnya istilah desa didaerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura. Untuk mengatasi kebingungan para gubernur diluar Jawa-Madura itu, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran No Desa 5/29 tanggal 29 April 1969 yang isinya memberikan batasan tentang desa yang dimaksudkan yakni “ kesatuan masyarakat hukum baik genealogis maupun teritorial yang pemerintahannya berada langsung dibawah kecamatan “.
Namun surat edaran inipun justru semakin membingungkan pemerintah daerah ( Gubernur dan Bupati ) terutama dengan dicantumkannya batasan bahwa yang dimaksud desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang pemerintahannya langsung dibawah kecamatan. Kenyataan diluar pulau Jawa dan Madura adalah seringnya satuan-satuan sosial lokal itu lebih luas dari kecamatan bahkan kabupaten. Untuk menindaklanjuti surat edaran yang semakin membingungkan itu, tidak lama kemudian Menteri Dalam Negeri mengeluarkan lagi surat edaran No Pem 40/5/10 tanggal 5 september 1974 yang memerintahkan agar segera melakukan pendataan jumlah desa.
Didorong oleh keinginan untuk mendapatkan dana pembangunan dari pusat yang begitu besar itu yang walaupun semakin bingung, kenyataannya banyak gubernur diluar pulau Jawa dan Madura yang membuat penafsiran sendiri-sendiri mengenai desa yang dimaksudkan pemerintah pusat itu. Untuk mewujudkan “ambisinya “itu, Gubernur Kalimantan Barat, Kadarusno, memerintahkan para Bupati se-Kalimantan Barat untuk segera pula melakukan pendataan jumlah desa yang ada diwilayah kabupaten dengan mengeluarkan surat No DD Pem 539/B-2 tanggal 27 Desember 1974. Di Kabupaten Pontianak ( pada sekitar 20-an tahun kemudian melakukan pemekaran wilayah dengan dilahirkannya Kabupaten Landak ), Bupati kemudian melakukan pendataan desa. Hasil pendataan desa ini kemudian dikirimkan melalui surat kepada Gubernur Kalbar pada tanggal 21 Desember 1974 dengan No Pem 10838/B-1/1974 tentang pengumpulan data-data pemerintahan desa diwilayahnya. Saat menyampaikan daftar desa diwilayahnya maka yang dicantumkan Bupati kepada gubernur bukanlah jumlah satuan-satuan sosial lokal atau masyarakat hukum yang ada ( Binua ) tetapi satuan-satuan pemukiman ( kampung ) yang sebenarnya bisa saja merupakan bagian dari satu masyarakat hukum yang dikenal dengan nama Binua.
Dengan penafsiran bahwa desa diluar Pulau Jawa dan Madura adalah satuan-satuan pemukiman, maka dimulailah babak baru dalam pemerintahan desa secara nasional dan sekaligus ancaman pada integrasi satuan-satuan sosial yang ada disleuruh wilayah tanah air. Demikian pula dengan dianggapnya desa sama dengan satuan pemukiman maka mulailah pula rekayasa untuk lebih menonjolkan prinsip teritorial dalam ikatan satuan-satuan sosial ( Jatiman, 1995 ). Dari peristiwa-peristiwa diatas tidak dapat dipungkiri membawa kebijakan unifikasi hokum pemerintah pusat menjadi pengaruh yang sangat besar dalam perumusan konsep desa dengan melegitimasinya dalam UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. UU ini secara tegas menunjukan keberpihakkannya pada prinsip teritorial, demografis, adminsitrasi dan birokrasi.
Dengan lahirnya UU No 5 Tahun 1979 ini, hilang pula kedaulatan masyarakat adat dalam mengelola kehidupannya berdasarkan warisan leluhurnya diseluruh wilayah Kalimantan Barat. UU ini secara tegas mengobok-obok desa dan tidak memperhatikan legitimasi sejarah desa yang bersangkutan sehingga pemerintah dengan gampangnya melakukan tindakan-tindakan pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Hal ini merupakan konsekwensi dari dianggapnya penduduk desa sebagai kumpulan orang-orang semata. Pada UU ini misalnya menyebutkan bahwa desa dapat dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat ( 1 ) luas wilayah ( 2 ) jumlah penduduk ( 3 ) dan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dalam kasus ini misalnya muncul Permendagri No 4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa. Setidaknya ada 6 syarat pembentukan desa yang disebutkan dalam peraturan tersebut dan lima diantaranya berkenaan dengan syarat sosial budaya. Syarat fisik yang dimaksud adalah jumlah penduduk minimal 2500 jiwa atau 500 KK, luasnya harus terjangkau ( bagi aparat pemerintah ) untuk memberikan pelayanan dan pembinaan masyarakat, letaknya dapat diakses dengan mudah seperti tersedianya sarana perhubungan dan komunikasi, tersedia prasarana dan sarana perhubungan, sosial, produksi dan pemerintahan desa, tersedia tempat mata pencaharian sesuai dengan pola tata desa. Sedangkan syarat sosial budaya lebih banyak ditujukan pada adanya suasanan kerukunan antar umat beragama dan bermasyarakat. Dari syarat-syarat tersebut, bahkan syarat sosial budayapun sama sekali tidak dimasukan pertimbangan kondisi sejarah dari desa yang bersangkutan. Syarat sosial budaya kelihatannya dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya ekses dari kontak budaya yang sangat mungkin terjadi dengan rekayasa pembentukan, pemecahan dan penyatuan desa.
Kurang lebih 32 tahun pemerintah Orde Baru berjalan, ternyata rekayasa atas pemerintahan desa semakin lama semakin disadari oleh komunitas lokal diseluruh wilayah tanah air. Masyarakat lokal mulai mengorganisir dirinya untuk bebas dari penjajahan ditanah sendiri. Pengorganisasian masyarakat lokal ini dibarengi dengan pengorganisasian dkalangan elit intelektual dan puncaknya adalah dengan turunnya Soeharto dari singasana pada tanggal 21 Mei 1998 atas desakan mahasiswa dan rakyat. Pimpinan nasional beralih secara konstitusional kepada wakilnya, BJ Habibie. Seorang ahli pesawat terbang. Pemerintahan transisi ini kemudian sangat menyadari bahwa bilamana pola kekuasaan masih sentralistik, niscaya “ banyak “ daerah-daerah kaya akan mengkuti jalan merah “ Timor-Timur “, keluar dari Indonesia. Didorong oleh keinginan menjaga keutuhan Negara, pemerintahan BJ Habibie merumuskan ulang konsep pengaturan pemerintahan dengan asas desentralisasi dan lahirlah UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU no 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah memberikan harapan baru bagi kelangsungan hidup Negara-bangsa Indonesia. Pengaturan mengenai desa kemudian “ dilebur “ menjadi bagi dari pemerintah daerah, berbeda dengan UU No 5 tahun 1979 yang secara khusus mengatur pemerintah desa. Namun kritik atas pemberlakukan UU ini khususnya oleh masyarakat di Kabupaten Landak adalah bahwa Rakyat Desa masih saja kehilangan kedaulatannya. UU No 22 tahun 1999 secara jelas menjadikan kembali Kepala Desa sebagai lembaga penting dalam pemerintahan desa. Walaupun UU No 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan badan perwakilan desa, namun dalam pengaturan selanjutnya kepala desa lebih banyak mendapatkan wewenang. Sebagai gambaran, jika pemerintahan desa terdiri dari 2 kekuatan itu, maka idealnya ada pengaturan yang berimbang untuk kedua lembaga ini. Dalam kenyataannya, UU telah memberikan porsi pengaturan lebih banyak pada lembaga kepala desa. Dari 19 pasal mengenai desa, 10 diantaranya khusus berkenaan dengan kepala desa dan hanya 1 yang berkaitan khusus dengan badan perwakilan desa. Contoh lainnya adalah persyaratan untuk menjadi kepala desa menyiratkan berlakunya konsekwensi bahwa penduduk desa lebih dilihat sebagai penduduk dalam arti administratif sehingga dalam syarat untuk menjadi kepala desa adalah setiap orang yang terdaftar sebagai penduduk ( de jure ) sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut atau putra desa yang ada diluar desa yang tidak terkena syarat domisili minimal 2 tahun berturut-turut. Tetapi pengertian putra desa juga rancu karena disebutkan bahwa yang dimaksud dengan putra desa adalah selain mereka yang lahir didesa yang bersangkutan dari orang tua yang terdaftar sebagai penduduk desa juga mereka yang lahir diluar desa kemudian pernah menjadi penduduk desa sehingga betul-betul mengenal desa.
Kepala desa dipilih langsung oleh rakyat desa. Ini menunjukan bahwa mekanisme demokrasi telah diterapkan bahkan dalam bentuk demokrasi langsung bukan perwakilan. Namun, kepala desa yang sudah dipilih warganya dengan suara terbanyak diangkat oleh Bupati/walikota atas nama gubernur. Ini merupakan konsekwensi bahwa pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi pemerintahan nasional yang selalu tergantung pada pemerintah diatasnya sehingga kepala desa tidak mandiri . Karena diangkat oleh bupati atas nama gubernur, maka kepala desa juga dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkatnya itu. Disinilah letak hilangnya kedaulatan rakyat desa.
Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini, maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya ( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas pelaksanaan upacara-upacara.
Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya dikampung-kampung.
Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati ) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal tersebut. Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala desa sebagai penguasa tunggal.
Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri. Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama sekali.
Mungkin komentar saya tidak terlalu berbobot...
BalasHapusTapi saya merasa bangga bahwa sebagai (anda)orang Dayak mau peduli terhadap budaya kita (Dayak-red). Sebagai orang Dayak, saya punya pandangan bahwa ada kecenderungan bahwa identitas kita sebagai orang Dayak semakin hilang dan terbenam karena tidak ada kesadaran pengembangan budaya oleh kaum muda kita.
Buktinya, sebagai orang muda Dayak, saya belum begitu paham mengenai adat istiadat Dayak.
Terima kasih dan teruslah menulis tulisan tentang Dayak, karena saya bisa mendapatkan pengetahuan melalui tulisan anda.