MEMBAYANGKAN ORANG DAYAK KANAYATN

Oleh Yohanes Supriyadi

Artikel ini adalah bagian kedua dari buku saya yang berjudul; GALAU KANAYATN; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAGAIMANA DAYAK KANAYATN MEMANDANG HIDUP, KEHIDUPAN DIRINYA DAN ORANG LAIN


Di Kalimantan Barat, Dayak Kanayatn sudah sangat terkenal, baik maupun buruk. Baiknya, kelompok suku ini dikenal sebagai adaftor yang ulung termasuk negosiator dan tidak baik, suku ini dikenal sebagai aggressor bagi suku-suku bangsa lainnya. Disebut adaftor, karena suku ini tinggal disebuah kawasan “bumper”, kawasan pembatas antara pesisir yang dikenal sebagai teritori Melayu-Islam dan kawasan pedalaman yang dikenal sebagai teritori Dayak-Kristen. Sedangkan di sebut aggressor, karena suku ini termasuk suku “pengembara”, yang menjelajah diseluruh bagian provinsi ini. Selain itu, dari sejarah konflik antar etnik di Kalbar, kelompok suku ini terlibat secara dominan dan langsung.

Berbeda dengan saudara-saudaranya di kawasan timur-barat, tidak ada cirri khas kebudayaan yang amat menonjol dari suku ini. Dalam batas tertentu, peradaban suku ini tergolong rendah dibandingkan dengan suku-suku Dayak lainnya. Yang paling menonjol, misalnya; dari persenjataan perang, suku ini tidak mengenal Mandau, mereka menggunakan “tangkitn”, yang tidak menggunakan sarung. Memakainya cukup di tenteng dengan cara di panggung. Tangkitn ini tidak ada hulu, hanya dililit dengan kain merah dan putih, yang dikenal sebagai tangkulas. Suku ini juga tidak mengenal perisai atau gunapm sebagai pasangan dari Mandau, sebagaimana suku Dayak lainnya. Factor kesamaan hanya terlihat pada rumah tinggal, menurut informan saya, nenek moyang mereka memang pernah tinggal dirumah panjang, yang dikenal sebagai rentetn.

Menurut beberapa sumber, kelompok suku ini merupakan bagian terbesar dari seluruh kelompok etnik Dayak di Kalimantan, dengan menyumbang sekitar 600.000 jiwa, yang tersebar di berbagai kabupaten/kota. Informan saya menyebutkan angka ini relative pasti, karena faktanya ada dua kabupaten di Kalimantan Barat yang hamper 90% penduduknya di kategorikan sebagai Dayak Kanayatn, yakni Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Landak. Kedua kabupaten ini, sebelum pemekaran tahun 1999 merupakan bagian dari Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak.

Merekonstruksi Identitas Dayak Kanayatn
Upaya merekonstruksi identitas bukanlah perkara yang mudah. Namun, dalam kerangka pengkajian sejarah asal usul suatu bangsa, yang dalam perkembangannya seringkali salah kaprah, dan penuh dialektika, penelusuran amat kita diperlukan. Pada bagian pertama, saya sudah menulis tentang pasang surut identitas pada Orang Dayak secara umum di Kalbar.

Pada bagian ini, saya akan mencoba merekonstruksi identitas Orang Dayak sub-Kanayatn yang sangat kesohor di Kalbar. Sebagaimana identitas Dayak yang pernah mengalami pasang surutnya di Kalbar, pada orang Dayak Kanayatn, justru identitas mereka tidak jelas. Beberapa klaim terjadi antara orang-orang Dayak yang berbahasa Bakati, Banyadu’ yang kini mendiami wilayah Kabupaten Bengkayang dengan orang-orang Dayak yang berbahasa Baahe, Bajanya, Banana’, Badamea, ataupun yang berbahasa Bajare yang kini mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, sebagian Kabupaten Bengkayang, sebagian Kota Singkawang dan sebagian Kabupaten Sambas. Saling klaim ini menunjukan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam menafsirkan identitas mereka oleh orang luar dan teranjur tersosialisasi sejak lama.
Dari berbagai catatan para pelancong Eropa, dikatakan bahwa ketika pertama kali dating di Kalimantan, mereka telah menemukan cukup banyak orang Dayak yang tinggal dikaki-kaki gunung dan hutan belantara. Petualangan Earld, seorang Nahkoda Kapal Stamford Inggris yang berlayar dari Singapura untuk melakukan transaksi dagang dengan Kesultanan Sambas pada tahun 1834 di sepanjang pantai Sambas membuktikan pendapat itu. Earld, misalnya pernah bertemu dengan beberapa orang Dayak yang menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu bulat dalam perjalanannya mencari sebuah lokasi koloni Cina di Singkawang.

Saya menduga, bahwa orang Dayak yang dimaksud Earld itu adalah orang Dayak Kanayatn. Dugaan ini mungkin sesuai dengan hasil penelitian seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, (2003). Dikemukakannya bahwa Orang Dayak Kanayatn dulunya tinggal dan menetap di kawasan pesisir pantai, tak jauh dari bukit Senujuh, kawasan sungai sambas. Oleh Dunselman (dalam Cence and Uhlenbeck, 1958;15) orang-orang yang ini disebutnya sebagai ‘Old Kendayan’ atau Kendayan Tua.

Jika kita merujuk pada temuan mirasi bangsa Austronesia menurut Kern dan Von Heine (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia demikian juga Suku Dayak termasuk keturunan bangsa Austronesia ini . Dan sangat mungkin, maka orang-orang Dayak sebagaimana ditemui Earld di sepanjang sungai Selakau dan sungai Sambas pada waktu itu, termasuk keturunan bangsa ini (lihat Simon Takdir;2003).

Menurut Collins (1989) yang meringkaskan pendapat Bellwood (1985), sekurang-kurangnya 7.000 tahun lalu, perintis Austronesia dari daratan Cina (mungkin Zheijang dan Fujian) mendiami Pulau Taiwan dan tinggal disitu sekitar seribu tahun. Dari Taiwan, mereka bermigrasi lagi kea rah selatan melalui Filipina kearah barat Borneo.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui Semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat bagian utara ada yang memasuki muara –muara sungai besar yang menjorok ke perhuluan/perbukitan (mungkin saja sungai Sambas atau sungai Selakau). Beberapa kelompok kecil sempat menetap dikawasan ini dan berbaur dengan penduduk yang sudah ada sebelumnya (Takdir;2003;6). Oleh Wonojwasito, (1957) penduduk asli ini di sebutnya sebagai bangsa Weddoide dan Negrito.
Wonojwasito menjelaskan bahwa kelompok Weddoide dan Negrito telah mendiami kepulauan Borneo sejak zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum, kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Kalimantan (Loebis, 1972).

Dari teori Collins, Stanley, Simon dan Wonojwasito diatas, saya menduga ada terjadi perkawinan silang antara kelompok Weddoide dan Negrito dengan kelompok migrant yang baru tiba dari Taiwan ini. Hasil perkawinan silang ini, kemudian dikenal sebagai bangsa Austronesia, yang bercirikan mata terlihat sipit, agak pendek, kulit kuning langsat, dan sangat terampil memainkan pedang (Takdir;2003).

Kita juga dapat melihat cukup banyak sisa warisan budaya bangsa Weddoide yang masih bertahan dan dapat dilihat pada bangsa Austronesia (termasuk Dayak Kanayatn) ini, antara lain adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Prosesi menjadikan hewan anjing sebagai bentuk persembahan ini, dengan mudah kita lihat pada ritual adat perang pada orang Dayak Kanayatn sekarang ini. Binatang ini menjadi hewan buruan, mungkin karena mudah ditangkap bangsa Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.

Merujuk kamus bahasa sanskerta/kawi, istilah ‘Kanayatn’ berasal dari kata kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai (Prawiroadmojo, 1981). Menurut informan saya, mungkin saja ketika melakukan perjalanan, para pelancong, peneliti dari Eropa, Cina ataupun penulis Hindu telah menemukan sebuah komunitas manusia disepanjang aliran sungai Selakau dan sungai Sambas menetap dan membentuk pemukiman yang berada di sebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai selakau, atau disebelah utara jalan raya, atau di sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia (lihat Simon;2003)

Selain ciri-ciri tersebut di atas, ciri lain dari warisan budaya nenek moyang bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, yakni dengan membakarnya. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),

“Praktek pembakaran jenazah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk menunjukan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk yang sangat belakangan di India”

Bagi orang Dayak Kanayatn, lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn. Bukti patunuan ini masih ditemukan di hutan Lago’, Menjalin, Kalbar. Prosesi pemakaman ini, tentu saja mirip dengan budaya Hindu, sebuah agama besar di Nusantara yang masuk pada pertengahan abad 4 SM sampai awal kedatangan Islam pada abad 16 SM sebagaimana ditulis oleh Ahmad dan Zaini (1989).

Ahmad dan Zaini menemukan bahwa di sekitar kawasan bukit Sarinakng, Selakau sekarang ini, pernah ditemukan sebuah kerajaan Hindu yang berdiri tahun 1291, dengan rajanya yang bergelar Ratu Sepudak. Namun, kerajaan ini menjadi hilang, ketika Islam masuk ke Sambas dan mendirikan Kerajaan Islam Sambas. Rakyat dari kerajaan Hindu ini, yang tidak mau masuk Islam kemudian bermigrasi ke hulu melalui sungai Selakau, dan kemungkinan mendirikan pemukiman dan menetap dikawasan itu.

Pada bulan September 2008 lalu, saya berkunjung ke Selakau. Tepat ditep jembatan, pasar selakau, terdapat plang nama yang tertulis;”Selakau, 6 Km”. Dengan beberapa teman, saya berinisiatif menyusuri sungai Selakau, yang disebut-sebut sebagai salah satu jalan migrasi antar bangsa masa itu. Tak jauh dari sungai Selakau, menjulang tinggi sebuah bukit yang bernama bukit sarinakng (bhs.Melayu; bukit selindung).
Menurut informan saya, pada waktu itu dibukit Sarinakng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang. Sarinakng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai. Sarinakng ini selanjutnya disebut Salako Tuha (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Muda’ (Selakau Muda) atau pasar Selakau sekarang ini. Kenapa di sebut Salako ?

Menurut informan saya, nama Salako itu berasal dari Salak Ako. Ako di sana dikenal sebagai nama salah satu jenis anjing hutan. Orang-orang diperkampungan, menurut informan ini sering mendengar salak anjing Ako, siang maupun malam. Karena anjing Ako ini mengganggu, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka. Berbeda dengan leluhurnya bangsa Weddoide, Orang-orang ini tidak mau makan daging anjing. Bagi mereka, anjing adalah binatang sial. Alam supranatural tidak mau berteman dan memberikan kekuatan magis pada orang yang makan anjing sebab badannya sudah kotor. Karena itu keturunan dari orang-orang ini, yang kemudian dikenal sebagai Dayak Kanayatn ‘amali’’ (dilarang) memakan daging anjing. Orang Kanayatn yang memakan daging anjing sekarang ini telah mereka kontak dengan suku-suku Indonesia lainnya.
Ketika saya berkunjung disalah satu kampong dikawasan Salak Ako, saya menemukan sebuah kampong lama, namanya kampong Baron. Kampong ini hanya dihuni sekitar 14 keluarga Dayak, yang telah menikah dengan orang-orang Cina, bekas penambang emas di Buduk. Beberapa peninggalan yang menjadi cirri khas Dayak Kanayatn seperti timawakng, kompokng, padagi, patunuan dan sebagainya masih ada. Saya juga masih menemukan disekitar kampong ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya pohon durian, cempedak, asam kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang disebut Padagi/Panyugu yang sudah tidak terurus, pecah-pecahan keramik yang tersebar dilokasi bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat lainnya. Menurut informan saya, di lokasi bukit Sarinakng ini pernah ditemukan sebuah Nekara pada bulan Mei 1991, yang kini di simpan di Museum Negeri Pontianak.

(peta Kecamatan Selakau)

Migran Dari Sarinakng
Dalam menelusuri identitas ini, kita dapat merujuk pada beberapa teori. Misalnya Nothofer dalam Sari 14 (1996;34) sebagaimana dikutif Aloy (2008;12). Menurut Nothofer, tanah asal usul suatu keluarga dapat dibaca dari keragaman bahasa dan isolek yang mengurainya. Hipotesisnya adalah bahwa makin lama suatu daerah didiami oleh penutur isolek-isolek yang berasal dari suatu bahasa purba makin tinggi tingkat keragaman isoleknya. Sebaliknya, kalau penutur suatu isolek yang timbul beberapa abad sesusah terpisahnya suatu bahasa pura yang meninggalkan tanah asal usulnya untuk mendiami daerah yang baru, maka waktu ntuk timbulnya isolek yang beranekaragam ditempat yang baru itu sangat berkurang. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa dengan menganalisis keragaman bahasa, kita dapat menelusurinya dari asal usul penutur (manusia) yang mewarisi, membawa dan menyebarkan bahasa tersebut. (Aloy;2008;13).
Penyebaran manusia purba dapat ditelusuri melalui aliran sungai. Hal ini dimungkinkan, karena jaman dahulu, transportasi utama masyarakat adalah sungai. Earld, pedagang dari Singapura yang berkunjung pada sebuah koloni Cina di pantai barat Borneo tahun 1834 mengatakan, untuk masuk kepedalaman, mereka harus melalui sungai yang membentang luas dan dalam. Sungai-sungai tersebut bercabang-cabang (J.B.Wolters;1918;3).

(peta aliran sungai Sambas dan sungai Selakau)

Dengan aliran sungai yang berhulu di bukit Bawakng dan bukit-bukit kecil lainnya, saya menduga bahwa migrasi orang-orang dari Sarinakng kemungkinan dilakukan secara berkelompok dan bergelombang. Alasan migrasi, umumnya karena arus migrasi yang massif dari orang-orang yang tidak mereka kenal yang mengancam keamanan dan penghidupan religi serta bercocok tanam (Supriyadi;2005;69).
Paling tidak ada lima kelompok kecil. Kelompok pertama menyusuri sungai Sebangkau dan menetap di Paranyo (bhs. Melayu; pelanjau), sebagian kecil meneruskan perjalanan hingga dimuara sungai, Pemangkat. Kelompok kedua melakukan perjalanan dengan menyusuri sungai Bantanan, dan menetap di Tabing Daya (17 Km dari Sekura sekarang), kemudian menyebar lagi di Kuta Lama (dekat pasar Galing sekarang). Dari Kuta Lama, ada dua kelompok kecil yang memisahkan diri lagi dengan menyusuri Sungai Enau dan menetap di Jaranang (desa Sungai Enau sekarang). Sebuah kelompok lagi terus menyusuri sungai ke hulu dna menetap di Bapantang Batu Itapm (Batu Itapm sekarang). Di Batu Itapm inilah mereka lama menetap bahkan sampai sekarang. Generasi dari Batu Itapm ini kemudian menyebar sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati 24 kampung dengan populasi 9.558 jiwa, antara lain kampong Rukapm, Biawak, Paon, dan lain-lain.
Penulis juga memiliki keyakinan bahwa generasi yang bertahan di Sarinakng, Tabing Daya dan Kuta Lama telah memeluk agama Islam dan menyebut dirinya Melayu. Keyakinan penulis ini berasal dari temuan bahwa sejumlah informan tua (70an tahun) didaerah ini walaupun sudah beragama Islam tetap menyebut bahwa kakek dan nenek mereka dulu adalah orang Darat (Dayak red), bahkan ada yang mengatakan Ayah dan Ibu mereka adalah orang Darat (Dayak red).
Kelompok lain yang bermigrasi dengan menyusuri hulu sungai selakau melalui sungai sangokng dan menetap dibeberapa kampong yang terebar di kawasan Kota Singkawang sekarang ini. Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawakng Abo’ dan pindah ke Puaje (jembatan dekat simpang Monterado). Mereka ini kemudian mengembangkan bahasa yang dikenal sebagai bahasa ba damea/ba dameo.
Dari Sarinakng, sekelompok besar menyusuri hulu sungai selakau hingga di daerah Lao, daerah Serukam sekarang ini. Dari Lao, sekelompok kecil lagi bermigrasi ke daerah Sawak dan Gajekng serta Pakana dan sekitarnya. Mereka inilah yang kemudian mengembangan orang Dayak yang berbahasa Baahe dan Banana’.
Sebagaimana di tempat asalnya, Sarinakng, Tabing Daya, Batu Itapm, Kuta Lama, Jaranang, yang telah memeluk Islam, orang-orang di Pakana ini juga telah memeluk Islam. Penelitian Owat (2005) di Pakana, menyatakan bahwa pada masa lalu, Pakana merupakan pusat penyebaran Islam ditanah Dayak. Bukti-bukti ada infiltrasi Islam ditempat ini masih nyata. Dari Pakana, orang-orang yang tidak mau memeluk Islam bermigrasi lagi, menyusuri Sungai Mempawah hingga ke Karangan, Menjalin, Takong, Toho dan Sangkikng.
Berdasarkan peta migrasi diatas, di tinjau dari bahasa yang dikembangkannya, ada tujuh kelompok sub suku Dayak di daerah ini: (1) Baahe logat Karimawatn Sakayu (Dayak Mampawah), (2) Baahe logat Sangah (Dayak Bukit), (3) Bajare (Dayak Gado), (4) Banana’, Banyadu’(Dayak Banyuke), (5) Balangin, Bampape (Dayak Landak), (6) Badamea/Badameo (Dayak Salako) dan (7) Bakati (Dayak Rara dan Dayak Bakati;) (lihat Atok;2008;8)
Dalam analisisnya, Atok menjelaskan bahwa (1 dan 2) bisa berkomunikasi dengan baik karena 90% perbendaharaan bahasanya relative sama, walaupun ada perbedaan fonemiknya (bunyi bahasanya). (1 dan 3) bisa berkomunikasi dengan mencampur bahasa masing-masing tapi saling mengerti apa yang dimaksud. (1,2, dan 4) sebagian besar bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa Baahe kedua logat yang ada. (5 dan 6) bisa berkomunikasi karena masih cukup banyak perbendaharaan kata yang sama dan umumnya komunikasi dengan lancar dengan bahasa Badameo. Sedangkan (1,2,3,4,5,6, dan 7) bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa campuran Baahe – Badameo -Bajare.
Kondisi inilah yang menurut Atok dapat menjelaskan bahwa rumpun subsuku ini berasal dari moyang yang sama, bangsa Austronesia di daerah Sarinakng. Saat ini mereka mengidentifikasi diri kedalam 3 kelompok yaitu Dayak Kanayatn (1-5), Dayak Salako (6) dan (7) Dayak Banyadu’/Bakati’. Untuk mempertegas kelompok ini dapat dilihat dari penyelenggaraan adat pesta padi, orang Kanayatn dan orang Salako menyelenggarakan Naik Dango sedangkan orang Bakati’/Banyadu’ menyelenggarakan Maka’dio. Kedua acara adat ini sesungguhnya memiliki prosesi, makna dan nilai-nilai religius yang sama. Penyebutan yang banyak ini menurut penulis karena pada masa lalu komunikasi belum berjalan baik.

Siapakah Dayak Kanayatn ?
Timbul pertanyaan, siapakah Dayak Kanayatn itu ? Istilah ‘Kanayatn’ dikalangan suku Dayak yang berbahasa Bakati’/Banyadu’, Bajare, Banana’, Baahe, Badamea/Badameo masih diperdebatkan hingga hari ini. Bagi orang Bakati’, istilah Kanayatn ini berasal dari nama salah satu jenis rotan untuk menjemur pakaian serta nama sebuah sungai di wilayah Ledo sekarang ini. Sedangkan pada orang Banana’, Baahe, Badamea, Bajare, istilah Kanayatn diperoleh dari kata Nganayatn (persembahan kepada Jubata karena pekerjaan telah selesai).
Jika kita melihat dua versi istilah ini, maka pada orang Bakati, istilah tersebut merujuk pada nama tempat, sedangkan pada orang Banana’, Baahe, Bajare, Badamea merujuk pada budaya khususnya religi dan sastra lisan. Namun, dalam sastra lisannya, semua suku, baik Bakati’/Banyadu’ maupun Banana’, Baahe, Bajare, Bampape dan Badamea masih mengarahkan tempat persembahan kepada Jubata di sebuah tempat bernama Bukit Bawakng, Kecamatan Lembah Bawang Kabupaten Bengkayang sekarang ini. Saya pernah dua kali berkunjung di salah satu kampong dikawasan lembah bawang ini, yakni kampong Jaruk Param. Di kawasan ini, semua penduduk berbahasa Bakati’.
Jadi, wajar saja kalau klaim atas identitas Kanayatn tetap terjadi, sepanjang belum ada rekonsiliasi diantara penutur bahasa-bahasa tersebut. Kesulitan menganalisis klaim identitas ini, dikarenakan tidak adanya referensi ilmiah ataupun laporan perjalanan yang ditulis para pelancong, misionaris ataupun aparatur pemerintah colonial ketika itu. Beberapa laporan yang ada, tidak ada yang secara tegas menunjukan istilah “Dayak Kanayatn”.
Istilah Dayak Kanayatn secara jelas hanya tergambar dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dan mengunifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Secara sistematis, sosialisasi identitas “politik” ini mewarnai sejarah Kalbar dengan actor utama para politisi, akademisi dan praktisi LSM.
Ada dua periode kemunculan identitas ini, yang memiliki argumentasi tersendiri. Periode pertama di wakili oleh adopsi dari hasil penelitian Pastor Donatus Dunselman diatas. Periode ini berjalan kira-kira sejak tahun 1980-an hingga tahun 2000. Periode lainnya adalah sebuah periode kritikal identitas yang ditandai dengan upaya untuk mengembalikan identitas Dayak Kanayatn kepada mereka yang paling berhak, yakni Dayak yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.
Periode pertama, saya sebut periode politik identitas. Sebagaimana disebutkan diatas, tulisan Pastor Donatus mungkin dengan cepat menyebar dikalangan misionaris Katolik diberbagai kawasan. Sosialisasi identitas baru ini menjadi lebih tersalurkan dengan dukungan dari petugas-petugas paroki, yang setiap minggu berkunjung ke kampong-kampung Dayak. Hasilnya, identifikasi sebagai Dayak Kanayatn muncul dikalangan Dayak yang sebelumnya belum begitu mengenal identitas ini.
Identitas baru ini kemudian dibaca sebagai sebuah kekuatan yang hebat dalam hal populasi. Ini penting untuk proyeksi kekuatan politik. Dalam politik, besaran populasi dan persatuan para elit Dayak di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak ketika itu menjadi sangat penting sebagai bagian dari strategi politik yang dikembangkan pemerintah Indonesia untuk mengkooptasi dan sekaligus merangkul kekuatan politik Dayak.
Pada bagian pertama buku ini, saya juga menjelaskan mengenai sejarah perpolitikan di Kalbar yang berubah ketika perubahan rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru, awal tahun 1970-an. Perubahan rezim ini disatu sisi mengecilkan peran politik Orang Dayak, namun disisi lain mempererat persatuan mereka dengan strategi baru.
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail periode ini, dalam perspektif politik identitas yang terjadi pada Dayak Kanayatn, saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn.
Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya secara positif dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, memanfaatkan politik pada era Orde Baru.
Menurut statistic tahun 1980, populasi orang-orang Dayak yang berbahasa ba ahe, ba nana’, ba inyam, ba nyadu’, ba kati’, ba dameo, ba langin cukup besar. Mereka hamper menguasai 20% dari seluruh populasi Dayak di Kalbar, dengan penyebaran yang dominan di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak. Karena itu, kelompok etnik ini merupakan pemilih potensial untuk memenangkan Golkar, sebuah partai pendukung pemerintah.
Bubarnya Partai Persatuan Dayak (PD) pada tahun 1960, memaksa serangkaian perpecahan dikalangan internal politisi Dayak Kalbar. Mempersiapkan diri menyongsong Pemilu 1971, bekas pengurus PD memisahkan diri. Kelompok pertama menyatakan bergabung di Partindo. Kelompok ini dimotori oleh J.C. Oevaang Oeray, Gubernur Kalbar. Beberapa aktivis politik lainnya menyatakan bergabung di Partai Katolik, kelompok ini dipimpin oleh F.C. Palaoensoeka, anggota DPR RI. Namun perpecahan ini menjadi kentara ketika, perubahan politik nasional berlangsung sedemikian cepat.
Di masa pemerintahan Golkar, pemenang Pemilu 1971, partai-partai politik berupaya di sederhanakan. Partai Katolik dan beberapa partai nasionalis lainnya berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan beberapa partai Islam berfusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai partai pemerintah, Golkar mengkonsolidasikan tiga elemen penting; ABRI, Birokrat dan Golkar sendiri, atau dikenal dengan istilah ABG.
Membaca kencendrungan politik kelompok etnis Dayak yang beragam di Kalbar, ada enam kelompok sub-etnik Dayak yang menarik perhatian Golkar. Dengan beragam cara, elit Golkar meminta para elit-elit Dayak agar bergabung ke dalam Golkar untuk ‘mewakili’ masyarakat Dayak. Beberapa ‘Dayak Golkar’ ini diberikan tempat dalam berbagai upacara-upacara kenegaraan, dan daerah. Beberapa diantaranya menduduki posisi dalam bidang pemerintahan, namun tidak ada lebih dari pada pemerintah kecamatan.
Bagi rezim yang memerintah, tentu saja elit-elit Dayak ini berfungsi untuk mengamankan suara Golkar dalam pemilu yang telah diatur. Mengingat kemenangan Golkar telah ditetapkan sebelumnya, jumlah perbedaan suaranya dapat dipertanyakan. Pada pemilu 1977, J.C. Oevaang Oeray berkampanye untuk Golkar. Kemudian, Oeray diberikan jabatan anggota DPR RI di Jakarta. Pada pemilu 1977, Oeray dan Aloysius Aloi ditunjuk sebagai anggota DPR; G.P Djaoeng dan Moses Nyawath duduk di DPRD I; Rahmad Sahudin di Kabupaten Pontianak. dan Willem Amat duduk di DPRD II Sangga.
Kemenangan Golkar di kelompok pemilih Dayak memunculkan keinginan kuat untuk melembagakan orang-orang Dayak untuk bergabung di Golkar, sebagaimana kebiasaan Golkar yang membentuk organisasi-organisasi sayap partai. Di dorong keberhasilan mobilisasi Dayak dengan menggunakan “adat” sebagai bumper pemersatu pada peristiwa demonstrasi Cina tahun 1967 diseluruh wilayah Kabupaten Pontianak, adat dibidik Golkar sebagai prioritas. Lembaga-lembaga adat yang tersebar di level kewilayahan local berusaha di strukturisasi.
Keinginan ini ditangkap dengan cerdas oleh seorang Temenggung di Pahauman, Kabupaten Pontianak. Harapannya, para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas, khususnya di Kabupaten Pontianak kala itu.
Tangan dingin F. Bahaudin Kay, Temenggung Binua Temila Ilir I Pahauman mewujudkan ambisi itu. Kay dengan cekatan melaksanakan musyawarah adat se-Kecamatan Sengah Temila pada tanggal 23-24 Mei 1978 di Gedung Serba Guna Pahauman. Meski sebagian biaya musyawarah ini didukung Golkar, menurut Kay, biaya musyawarah tersebut juga ditanggung oleh masyarakat adat yang dimobilisasi oleh pengurus adat disetiap tingkatan, mulai dari Timanggong, Pasirah dan Paraga. Oleh Kay, seluruh kepala keluarga diwajibkan mengumpulkan sumbangan satu kaleng beras dan satu kaleng beras ketan serta uang Rp.100,-.
Awalnya, musyawarah dibungkus dengan upaya menyeragamkan hukum adat (unifikasi) dan mencatat / membukukan (kondefikasi) hukum adat di Kecamatan Sengah Temila, namun sesi akhir dari musyawarah itu memutuskan untuk membentuk wadah adat ditingkat kecamatan yang diberi nama Badan Koordinator Adat (BKA) Kecamatan Sengah Temila. Sebagai organisasi adat, simbol/ lambang adat juga ditetapkan. Simbol tersebut terdiri dari gantang dan pamipis dalam lingkaran segi lima dan dasarnya terdiri dari sebuah balok yang bertulisan motto adat “ADIL KA ‘ TALINO BACURAMIN KA’ SARUGA BASENGAT KA’ JUBATA ”. Musyawarah juga menetapkan F. Bahaudin Kay sebagai koordinator BKA yang baru saja terbentuk untuk masa bhakti 1979-1983.
Sukses pelaksanaan MUSDAT se-Kecamatan Sengah Temila di Pahauman, beberapa tahun kemudian, Kay dan teman-temannya menginisiasi pelaksanaan MUSDAT di level kabupaten. Ini bersamaan dengan pindahnya Kay di Mempawah sebagai salah sebagai Kepala Unit Produksi (KUP) Asuransi Jiwasraya Mempawah. Di Mempawah, dengan tekad dan kemauan yang kuat, Kay yang terpilih sebagai salah satu pengurus GOLKAR di Kabupaten Pontianak menginisiasi pembentukan panitia MUSDAT level kabupaten. Melalui rapat, Kay terpilih sebagai ketua dengan sekretaris Thomas Mekan. SH. Rapat-rapat kegiatan panitia di kantor lurah Anjungan.
MUSDAT I ini berhasil terlaksana pada tanggal 23-25 Maret 1985, bertempat digedung SMP Negeri I Anjungan. MUSDAT dibuka oleh Bupati Kabupaten Pontianak, Drs. H. Muchali Taufik, dihadiri oleh para tokoh dan pemuka masyarakat adat, serta utusan /peserta dari 10 kecamatan dalam Kabupaten Pontianak. Musyawarah ini di rekam oleh Drs.Tarsisius Uryang selaku notulis.
Selama MUSDAT I, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya sebagai Dayak yang satu tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI.
Sebagaimana tradisinya, hasil pada sesi akhir dapat kita tebak. Secara aklamasi peserta mengesahkan hasil MUSDAT, antara lain; mengesahkan pembentukan wadah adat ditingkat kabupaten yang diberi nama “DEWAN ADAT DAYAK KANAYATN KABUPATEN PONTIANAK”, menetapkan pengurus Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak masa Bhakti 1985-1990 dengan ketua umum F. Bahaudin Kay dan sekretaris umum adalah Thomas Mekan SH, sedangkan R.A. Racmad Sahudin Bsc dan Drs. M. Ikot Rinding masing – masing sebagai ketua dan sekretaris penasehat.
Dari informan saya, DAD dilengkapi pula dengan seksi – seksi. Menurutnya, yang sangat strategi adalah bahwa DAD ini berkedudukan di Mempawah ibu kota Kabupaten Pontianak. Yang unik, hampir seluruh keputusan MUSDAT level kabupaten ini, mengadopsi hasil MUSDAT se-Kecamatan Sengah Temila pada tahun 1983 lalu. Menurut penulis, ini bagian tak terpisahkan dari strategi politik Kay yang sangat ahli dalam berorganisasi. Sebagai Ketua Umum DADK Kabupaten, Kay juga mampu melakukan strategi ini dengan baik. Buktinya, hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah selesai MUSDAT ini, ia berhasil membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn di 10 kecamatan dalam Kabupaten Pontianak.
Ketika seluruh kecamatan sudah memiliki DAD Kecamatan, pengurus DAD Kabupaten Pontianak segera melakukan konsolidasi. Kepada saya, Kay menceritakan, pada rapat yang diadakan di rumah Y. Jampari Lacon di Anjungan pada tanggal 12 Juni 1985, pengurus DADK menuangkan bahwa program pertama yang diselenggarakan adalah mengadopsi upacara adat naik dango yang sebelumnya hanya diadakan ditingkat kampong setelah panen padi usai, menjadi naik dango level kabupaten. Selanjutnya Kay menulis;

”untuk menjaga agar organisasi itu tetap eksis, biasanya harus ada kegiatan – kegiatan dan pertemuan – pertemuan periodik yang dilaksanakan oleh pengurus organisasi, ibarat bunga yang sering disiram supaya tidak layu dan tetap segar” (Kay;2005;7)

Kay tidak ingin organisasi besar yang dipimpinnya tanpa kegiatan. Ia berkeinginan agar masyarakat Dayak tahu, bahwa mereka ini Kanayatn. Bahwa mereka ini telah punya wadah persatuan, yakni DAD. Gaung ini secara jelas ditulis Kay;

“Naik Dango ini merupakan kegiatan rutinitas agar wadah ini tetap eksis tidak statis dan mandek senantiasa mempunyai kegiatan dan dapat memberikan gaung bagi dewan adat agar dikenal baik diluar maupun diluar masyarakat kanayatn” (Kay;2005;11).

Inilah organisasi Dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periode 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periode 1992-1997 dari GOLKAR.
(foto; logo DADK)
Setelah pembentukan DAD Kanayatn dilevel kabupaten, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio pada tahun-tahun sesudahnya. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan yang ditulis oleh Martinus Ekok (Albert;2008;36).
Sejak tanggal 1 April 1992, beberapa orang Dayak di Pontianak juga mengadakan siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa baa he, ba nana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya.
Beberapa akademisi Universitas Tanjungpura juga segera melakukan penelitian dan mempublikasikannya dengan dukungan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia. Mereka diantaranya; Donatus Lansau, Yoseph Thomas Lay dan Yohanes Yan Pius, dkk dengan menerbitkan buku Struktur Bahasa Kendayan (1981), morfologi dan Sintaksis Bahasa Kendayan (1984), dan Morfologi Kata Kerja bahasa Kendayan (1985). Ironisnya, sebagai peneliti, mereka tidak pernah menyatakan kembali nama Kanayatn sebagai suku Dayak yang berbahasa ba ahe/ba nana’/ba dameo/ba jare.
Selain Dewan Adat Dayak Kanayatn yang prestisius itu, saya juga mempelajari sebuah organisasi social kemasyarakatan, dikenal sebagai LSM. Pada tahun 1981, sekelompok intelektual Dayak yang dipimpin oleh A.R. Mecer di Kota Pontianak mendirikan sebuah LSM, namanya Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih. Selain mengelola persekolahan, LSM ini juga mendirikan lembaga penelitian yang dikenal dengan Institute Dayakologi Research and Development (IDRD). Melalui penelitiannya dan kemudian di publikasikan, IDRD semakin mengentalkan identitas baru ini, melalui Majalah Kalimantan Review (KR) serta buku-buku terbitannya. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya, hingga hari ini.
Kritik atas siapa yang berhak mengunakan identitas ‘Kanayatn’ ini semakin meluas dikalangan intelektual Dayak sendiri pada akhir tahun 2002. Beberapa intelektual Dayak mulai sadar bahwa ada kekeliruan dalam penamaan istilah Dayak Kanayatn yang terlanjur sangat popular di Kalbar ini. Salah satunya, Simon Takdir, alumnus Ateneo de Manila University, Philippnes, Departement of Sociology & Anthropology, major: Cultural Anthropology.
Melalui penelitiannya, Simon mengkritik dari awal penamaan istilah “Kanayatn/Kendayan” yang ditulis Pastor Donatus Dunselman diatas. Lebih lanjut Simon menjelaskan;

“Ketika saya mengecek dilapangan, para informan (emik) memberikan keterangan yang berbeda dengan apa yang didapat dan ditulis oleh Dunselman (etik)” (Simon; 2003;15).

Menurut Simon, mungkin kesalahan Dunselman karena ia bukan berprofesi sebagai antropolog. Selanjutnya ia menulis;

“Sebagai seorang social scientist saya menyangsikan artikel Dunselman di atas. Tentu berbeda dengan hasil karya yang bukan antropolog. Bagaimanapun juga, dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataanny memang dipersoalkan” (Simon; 2003;15)

Kritik Simon sebagai antropolog mungkin saja cukup beralasan, sebab ia melakukan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, ilmu social yang berbeda dengan sekedar tulisan harian. Selanjutnya ia menulis,

“Penelitian Dunselman banyak dilakukan di kampung Tiakng Tanyukng (hal.21) Mempawah Hulu. Saya tahu bahwa Daerah Tiang Tanyukng dekat dengan desa-desa orang bakati’ (Jirak, Sebangki, Ti,purukng) dan desa-desa orang banyadu’ (pentek, semade, perigi). Kontak antar komunitas dalam hal bahasa, pertukaran barang, perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang Tanjung. Barangkali Dunselman bertanya seperti ini,” Urakng ahe ba kita’ nian?” Informan itu menjawab, “Aku nian urakng Kanayatn.”

Dugaan Simon, mungkin saja Dunselman menyimpulkan informasi yang didapatnya tanpa mengorek dari informan yang lain lagi. Simon menduga bahwa informan yang diwawancarai pastor ini mungkin dulunya orang Kanayatn yang berbahasa Ba Nyadu dan Ba Kati’, tapi ketika itu sudah menikah dan menetap di Tiang Tanjung sehingga ia mengidentifikasikan dirinya sebagai warga Tiang Tanjung yang berbahasa baa he/ba nana’.
Menurut Simon, disinilah letak kekeliruan itu sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah bagi sebuah suku dimasa lalu. Dalam teorinya, Simon memaparkan kepada saya bahwa sebenarnya yang paling berhak menggunakan istilah Dayak Kanayatn itu adalah mereka-mereka yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.

“dasarnya adalah ada Binua Kanayatn. Binua kanayatn ini meliputi Kinande, Papan Gersik, Papan Tembawang, Papan Uduk, Sejaruk Param, Sejaruk Tembawang, Bekuan, Bombai dan Pacong di Kecamatan Samalantan Kabupaten Sambas (sekarang Kecamatan Lembah Bawang Kabupaten Bengkayang). Kepala binua mereka yang masih diingat antara lain Daeng (almarhum), Kuyu (almarhum) dan Loge” (Takdir;2003;17)
Argumentasi Simon ini juga didukung oleh sebuah penelitian ilmiah oleh intelektual Dayak tahun 1997. Vincent Julivin dan Nico Andas, misalnya. Mereka menulis;
“….. menurut beberapa sumber, pada tahun 1984 orang-orang yang berdialek ba kati’ dan ba nyadu’ yang sekolah di Nyarungkop masih disebut orang kanayatn oleh orang-orang dari Samalantan dan Pahauman. Menurut orang Dayak Bukit Talaga orang Kanayatn itu adalah orang-orang yang tidak pasih berbicara dialek ahe/ba nana’. Mereka misalnya tidak mampu mengucapkan kata-kata yang berakhiran dengan: -utn, -ant, -ikng, - ukng, -ekng, secara baik dan benar. Dan yang tidak pasih berbahasa ahe/ba nana’ itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek mpape, banyadu’, dan balangin” (V. Julivin dan Nico Andas (1997)

Sebagai peneliti social, Simon menyimpulkan bahwa mereka yang tidak pasih berbahasa ba ahe/ba nana’ adalah mereka yang non-ba ahe/non-ba nana’, yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli) dalam ucapan (lapal) ba ahe/ba nana’-nya. Jadi mereka yang non-ba ahe/non-ba nana’ adalah Kanayatn. Dengan demikian, menurut Simon, yang fasih berarti bukan Kanayatn (kandayan). Lalu Dayak apa mereka yang ba ahe/ba nana’ ini? (Takdir;2003;17).
Kritik-kritik atas identitas Dayak Kanayatn ini mulai masuk dikalangan masyarakat Dayak sendiri diperkampungan. Pada tahun 2001, misalnya, sekelompok pemuka Adat Dayak di wilayah Binua Temila yang dipimpin oleh Timanggong Maniamas Miden Sood melakukan musyawarah adat. Seluruh peserta musyawarah, sepakat untuk mengembalikan identitas aslinya, Dayak Bukit.
Namun, menurut Simon, istilah Dayak Bukit pun tidak tepat untuk nama Dayak dikawasan Temila itu. Simon menulis;

“Pada umumnya, suku Dayak Salako dulunya lebih senang tinggal di bukit, termasuk juga suku lain termasuk suku Kanayatn sendiri. Jadi tidak tepat kalau ada penggolongan Dayak Bukit atau Dayak bukan Bukit. Orang Bukit juga terdapat di pegunungan Meratus, di Thailand, di Taiwan (suku Alisan), di Panatubo (Pilipina) dan sebagainya” (Simon;2003;17).

Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar (lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ). Beberapa buku, salah satunya berjudul; Dayak Kanayatn Menggugat (Atok;2003) juga merupakan bagian dari kritisme atas pengentalan identitas tersebut diatas. (Bersambung)





PASANG SURUT IDENTITAS DAYAK

Oleh Yohanes Supriyadi

Artikel ini adalah bagian pertama dari buku saya yang berjudul: "GALAU KANAYATN; SEBUAH KAJIAN FILSAFAT TENTANG BAGAIMANA DAYAK KANAYATN MEMANDANG HIDUP, KEHIDUPAN DIRINYA DAN ORANG LAIN.

Pengantar
Dayak, tetap menjadi sebuah misteri masa lampau, tidak ada dokumentasi yang betul-betul lengkap mengenai tata hidup bangsa ini. Terlepas dari itu, bangsa Dayak sesungguhnya bangsa yang unik, selain sub-sub suku hamper 450-an, bangsa ini juga terdapat pada 3 negara di Asia Tenggara yakni Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia. Dunia melihat bahwa bangsa Dayak adalah bangsa yang besar. Bangsa yang dipenuhi misteri. Ini terlihat dari kepercayaan mereka dalam dunia gaib, yang bagi manusia modern dianggap irrasional. Dalam segi agamapun bangsa ini unik. Disaat agama-agama besar dunia masuk dalam kehidupan mereka, dengan “kelihaiannya” mereka mampu beradaptasi. Meskipun diluar mereka dikenal sebagai Kristen atau Islam, toh kenyataannya mereka tetap memakai agama asli yang dianut secara turun-temurun. Banyak kasus menunjukan hal ini. Tidaklah heran bagi sebagaian orang, bangsa Dayak dikenal sebagai “adaptor” yang sangat baik.
Bangsa dayak sungguh bangsa yang toleran. Ada falsafah hidup yang mengharuskan mereka untuk menerima saja siapapun yang masuk dikehidupan mereka, walaupun orang baru ini kenyataannya merusak diri mereka. ”asu’ maan dimare’ makatn, ahe agi’ talino” (anjing saja diberi makan apalagi manusia). Bila ada orang bertamu kerumahnya, dengan senang hati mereka (tuan rumah) menerima dan melayaninya dengan sangat baik. Mereka menyiapkan daging, telur, dll makanan yang enak-enak yang walapun mereka (dikeluarga itu) hanya setahun sekali menikmati makanan sejenis yang disuguhkan kepada tamu.
Selama hamper sepuluh tahun, saya melakukan penelitian lapangan dan menyusun buku ini. Banyak pihak sudah membantu, karena itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih, khususnya kepada staf dan pimpinan Yayasan Pangingu Binua, Dosen Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura, dan rekan-rekan saya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Buku ini merupakan hasil dari studi lapangan singkat masyarakat Dayak yang menghuni Propinsi Kalimantan Barat. Lebih utama saya memfokuskan pada kehidupan Dayak Kanayatan dan khususnya kekayaan kosmologi dan pengendapan identitasnya.
Menurut ahli antropologi kelompok suku Kanayatn di klasifikasikan sebagai salah satu sub kelompok Dayak Klemantan, kini sebagian besar mereka mendiami daerah Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Menjalin. Namun, klasifikasi mengenai siapa orang Kanayatn dan bagaimana budaya orang Kanayatn sebenarnya sulit dijelaskan karena masyarakat Kanayatn meminjam banyak aspek budaya dari tetangganya yaitu dari kelompok Melayu dan aspek budaya dari perantau seperti Tionghoa, India, Arab, Barat dan pulau-pulau nusantara lainnya yang datang sejak lama. Perantau tersebut didesak melsayakan perjalanan laut dari tempat asalnya untuk mencari bahan perniagaan, mencari hubungan dengan masyarakat luar dan memuaskan keingintahuan mereka serta mencari tempat yang diharapkan lebih subur dan nyaman.
Buku ini akan membahas aspek cultural, social, kepercayaan dan ritual, ekonomi maupun politik.Perspektif Dayak Kanayatn mengenai aspek-aspek tersebut kelihatannya diabaikan atau dilihat sebagai hal yang dinilai kurang signifikan oleh orang-orang luar. Disampingi aspek tersebut makalah ini juga menyajikan sejarah lisan, mitos-mitos orang Kanayatn yang diperoleh dari observasi dan wawancara dengan informan dan tokoh masyarakat di lokasi Dusun Nangka, Desa Rees serta di Desa Raba yang secara signifikan mengalami “goncangan budaya” dari banyak desa lainnya.
Dalam buku ini yang akan dikemukakan adalah perihal evolusi peradaban orang Dayak dan evolusi peradaban sayalturasi. Dewasa ini perubahan juga disebabkan oleh perilsaya politik maupun bisnis yang kebijaksanaan-kebijaksanaannya berasal dari pusat propinsi, ibu kota negara dan bahkan dari luar negeri yang mengakibatkan perubahan serta dampak pada pola hidup dan lingkungan masyarakat Dayak dilokasi studi.
Secara detil, buku ini lebih menggambarkan pola hidup masyarakat Kanayatn di 3 desa sebagai sebuah tulisan etnografi klasik dari pada memfokuskan pada gaya hidup “kota satelit” di pedalaman, gaya hidup yang sering disajikan oleh media masa Kalimantan Barat maupun nasional. Kebanyakan generalisasi dari orang di luar kelompok Dayak mensteriotipkan suku Dayak sebagai masyarakat yang belum paham memeluk era konsumerisme. Masyarakat Dayak juga dipandang memiliki perabadan yang kurang berkembang seperti yang digambarkan oleh media populer pada waktu kerusuhan etnis beberapa tahun yang lalu. Seandainya aspek kekayaan peradaban masyarakat Dayak termasuk keanekaragaman kosmologi yang menyertainya ditonjolkan maka gambaran yang lebih menarik akan muncul.

Di Kalimantan, tidak seorangpun masyarakat yang menyangsikan bahwa orang Dayak adalah penduduk asli (indigenous people). Uniknya, penggunaan istilah “Dayak” pernah mengalami pasang surut. Meskipun dalam prakteknya, kadang-kadang mereka sendiri belum memahami secara utuh tentang Dayak itu sendiri karena keterbatasan pengetahuan. Hal ini terjadi karena hingga awal tahun 1990-an, sangat jarang buku-buku yang mengupas tentang Dayak di Kalimantan yang ditulis oleh orang Dayak sendiri ataupun oleh orang Indonesia.
Selama hamper dua tahun, saya harus bekerja keras untuk mengumpulkan puluhan buku-buku tentang Dayak, yang kenyataannya lebih banyak ditulis oleh pelancong, pedagang Cina, aparat birokrasi colonial Belanda hingga misionaris katolik, yang tentu saja berbahasa Belanda, Inggris dan bahkan Cina/Mandarin. Buku-buku dimaksud telah ditulis pada abad 17, 18 hingga awal abad ke 19 yang lalu.
Mengenai hal ini, seorang antropolog Dayak menulis:

“saya sudah lebih dua puluh tahun meneliti tentang Dayak, namun di sini (Kalbar,red) sangat sulit mendapatkan referensi. Ada teman di kampus menerangkan pada saya, bila anda ingin mengetahui tentang Kalimantan dan Dayak dimasa lalu, anda harus ke Eropa, khususnya Belanda atau ke Tiongkok, RRC. Tentu saja saya menjadi maklum…” (Atok;2008).

Bila kita baca diliteratur-literatur tersebut, umumnya menulis secara harafiah, kata “Daya” berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Dikatakan juga orang Dayak disebut-sebut sebagai orang pegunungan atau orang pedalaman yang menurut asal- usulnya merupakan hasil perkawinan antara ras Negrid dan Weddid yang sebelumnya telah ada di Pulau Kalimantan dengan ras Mongoloid, sebuah ras yang merupakan imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan.
Karena ditulis oleh orang dari beragam profesi, istilah-istilah atau pengelompokan Dayak mengikuti apa yang mereka lihat dan alami sendiri, bukan karena ilmu pengetahuan tertentu. Kita mengenal misalnya ada istilah; Dyak, Daya, dajaker, dayak, dan lain-lain. Dari istilah-istilah ini, yang amat popular dan bertahan hingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia adalah “Daya”.
Popularitas kata “Daya” karena ada asumsi, pengalaman buruk masa lalu dari suku ini bahwa orang lain sering mengungkapkan “dasar kau Dayak !” dan sebagainya bilamana sedang kesal, kecewa, marah, atau sedang bersenda gurau. Perkataan-perkataan ini kemudian membuat semacam rasa rendah diri, bagi kelompok Daya dalam berhubungan dengan orang lain.
Secara sengaja, saya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa Identitas Dayak dalam kenyataannya pernah mengalami pasang surut di Kalbar. Pada waktu tertentu orang Dayak berbondong-bondong menjadi Islam dan mengaku diri sebagai Melayu, pada suatu waktu, orang Dayak berbondong-bondong menjadi Kristen dan mengaku diri sebagai Dayak asli dan suatu waktu dalam periode tertentu, Orang Dayak yang sebelumnya beragama Islam kembali berbondong-bondong mengaku diri sebagai Dayak, dengan identitas baru; Dayak Islam.
Fenomena ini tentu saja menjadi menarik, bilamana kita menelusuri lima periode pasang surut identitas Dayak dengan beragam isoleknya; islamisasi, kristenisasi, kesadaran etnisitas, kontemplasi dan konsolidasi dan periode bangga sebagai Dayak.

1. Periode Islamisasi
Pada periode ini, Dayak belumlah dikenal seperti sekarang ini. Dayak masih dikenal sebagai penduduk yang tinggal di perhuluan sungai, lereng gunung, menganut agama tradisional, hidup di rumah panjang, berburu dan bercocok tanam padi dengan membuka hutan. Karena terisolasi dari “dunia luar”, penduduk Dayak hanya mengenal kelompoknya sendiri. Seorang informan saya bercerita”
“nenek moyang kami dulu hidup terpisah dari orang lain, mereka hanya hidup sekeluarga. Tinggal disebuah rumah panjang, terdiri dari 40 pintu, yang dihuni 40 kepala keluarga saja”

Bila kita rekonstruksi, sejarah orang Dayak ketika berhubungan dengan orang luar hanya terjadi ketika perdagangan berlangsung. Beberapa penduduk pesisir yang Islam menjajakan barang dagangannya melalui perahu di pinggir-pinggir sungai. Istilah lokalnya pangkalan. Terjadi barter barang di sana. Informan saya melanjutkan;
“nenek moyang kami memberi madu, kulit beruang, tanduk rusa, dan lain-lain. Sedangkan mereka memberi kami garam, pakaian, manic-manik. Kami rasa, kami sama-sama diuntungkan dengan system ini”

Menurut informan saya, tidak setiap minggu para pedagang ini datang ke kampung. Mungkin karena akses transportasi dan geografis yang sangat sulit. Mereka hanya datang setiap enam bulan atau ada yang hanya setahun sekali.
Cerita diatas, tentu saja dilihat ketika orang Dayak berhubungan dengan orang diluar mereka. Rendahnya kadar komunikasi dengan orang luar, menjadikan orang Dayak terlepas dari relasi yang harmonis dengan orang luar. Dalam konteks hubungan Dayak dengan sesame Dayak, pada awal abad 18, banyak literature yang ditulis orang Eropa mencatat, peperangan sesama Dayak seringkali terjadi. Ini dikenal dengan perburuan kepala (head hunter) atau Kayau, istilah local. Patut dicatat bahwa pengayauan bukan dilakukan pada semua orang, hanya orang-orang tertentu saja yang boleh di kayau, misalnya kepala kampong, kepala adat, panglima perang, atau orang yang berhasil secara ekonomi (orang kaya). Peperangan-peperangan yang terus terjadi, membuat populasi suku ini menurun drastic, termasuk habisnya generasi yang berkualitas.
Sebagaimana cerita diatas, masyarakat Islam umumnya tinggal di pantai dan muara-muara sungai, yang strategis untuk menguasai jalur perdagangan. Mereka mendirikan pusat pemerintahan yang berbentuk kesultanan. Rajanya bergelar Sultan atau Panembahan. Dari catatan sejarah, awalnya para Sultan atau Raja ini menganut agama Hindu, mungkin pengaruh Kerajaan Majapahit yang pernah berjaya di Nusantara pada abad 14. Seiring dengan hancurnya kekuasaan Majapahit, islam muncul dan berkuasa. Agama ini dibawa oleh pedagang dari Persia, Gujarat, Cina Selatan, dan Arab. Karena tinggal di kawasan pesisir dan hubungan dagang, para Sultan dan Raja musah menyerap pengetahuan dan ideology baru. Segera saja, mereka berkonversi menjadi Islam, untuk alas an perdagangan dan kekuasaan.
Sejak masuk islam, para Sultan atau Panembahan ini menerapkan hokum islam dan pajak ekonomi melalui aparat-aparatnya. Pada beberapa perkampungan Dayak, Sultan atau Panembahan mengangkat wakil pemerintah kerajaan untuk memungut pajak. Namun, dalam prakteknya perlakuan pajak ini berbeda antara penduduk Islam dan non Islam yang umumnya orang Dayak diperhuluan.
Perdagangan yang luar biasa dengan dunia internasional, pengaruh kerajaan Islam kian hari kian kuat dan masuk diwilayah orang Dayak. Takut meninggalkan tradisi nenek moyang, Orang Dayak yang tidak mau memeluk Islam memisahkan diri dengan meninggalkan daerah pesisir menuju bagian pedalaman, yang ketika itu masih hutan belantara. Mereka bergabung dengan Orang Dayak lainnya yang telah lama tinggal disana dan membentuk pemukiman disekitar tepi sungai bagian hulu yang dapat ditempuh dengan perahu dari muara sungai.
Selain takut melanggar adat dan kepercayaan karena pengaruh Islam, situasi ekonomi, politik dan keamanan, juga menyumbang pada banyaknya Dayak kemudian beralih menjadi Islam. Dengan menjadi Islam, mereka bebas pajak,dan berhak untuk menjadi pegawai kesultanan di komunitasnya. Orang Dayak yang beralih menjadi Islam ini umumnya tidak mau mengakui lagi dirinya sebagai Orang Dayak, tetapi sudah menjadi Melayu. Melayu berarti Islam, atau sebaliknya dengan menjadi Islam berarti menjadi Melayu.
“…Dengan menjadi orang Melayu, pada umumnya mereka menganggap dirinya sudah melakukan mobilitas sosial vertikal dari status rendah sebagai orang Dayak meningkat menjadi orang Melayu.” (Bambang;2003)

Hal diatas jelas, alasan-alasan perpindahan ini dalam kerangka mengangkat harkat keluarga. Beberapa literatur klasik mencatat, di kawasan perhuluan Kapuas, Orang Dayak yang ingin naik kelas sosial harus menganut agama Islam. Mungkin, dengan cara inilah akses peradaban menjadi terbuka lebar, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan.
Seiring dengan itu, mereka tidak lagi mengakui dan memang tidak diakui lagi sebagai Orang Darat, tetapi menjadi senganan, atau orang laut atau menjadi Melayu. Perilaku perpindahan Dayak ke Melayu ini, mungkin mengembangkan prasangka dan stereotif tertentu tentang kelompok lainnya, termasuk dengan Dayak yang mengkonversikan dirinya menjadi Islam. Dengan menjadi Melayu dan Islam, Dayak menjadi semakin beradap, sedangkan tetap menjadi Dayak berarti primitive. Stereotif ini terus berkembang dan menggejala disetiap komunitas masing-masing. Dari pasangan simetris yang bertolak belakang ini kemudian lahir relasi sebab akibat dengan logika tertentu, sebuah relasi yang tidak harmonis.

2. Periode Kristenisasi
Islamisasi yang terjadi dengan Orang Dayak pada periode awal terus berlanjut ketika colonial Belanda datang di Kalimantan Barat dengan bendera VOC pada awal abad 17. Sungguhpun demikian, kedatangan Kolonial ini cukup mampu menahan laju gerakan pan-islam. Sebagai penguasa baru, pemerintah Belanda belum mengetahui persis keadaan penduduk di Kalbar. Walaupun secara politik, pemerintah Belanda cendrung lebih dekat dengan kesultanan Melayu yang Islam. Namun pada saat yang sama, secara ideology, sosio-kultural, pemerintah juga merasa khawatir dengan keislaman Melayu yang memungkinkannya bergabung dalam gerakan Pan-Islamisme yang saat itu sedang mengelora dibeberapa kawasan dan memberontak terhadap kekuasaannya. Sejak mengalami perang Aceh, Belanda memang mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu yang berbau Islam.
Ada dua strategi pemerintah colonial membendung gerakan pan-islamisme di Kalimantan yang sedang massif ketika itu, yakni dengan mengkonsolidasikan kelompok Dayak untuk tidak berperang dengan sesame Dayak dan melakukan kristensisasi melalui perizinan misionaris Katolik asing, utamanya dari Belanda sendiri.
Implementasi strategi pertama misalnya, pemerintah Belanda segera memfasilitasi berkumpulnya pemuka adat Dayak dari seluruh Kalimantan di Tumbang Anoi, pada tanggal 22 Mei - 5 Juli 1894. Dari catatan majalah Kalimantan Review edisi No.41/VIII/Januari 1999, wakil dari Kalbar ada dua orang, yakni Singa Jarum dan Temenggung Habiring dari Ambaloh, Kapuas Hulu. Isi perjanjian Tumbang Anoi ini sebagai berikut:
1. Menghentikan permusuhan dengan pemerintah Belanda
2. Menghentikan kebiasaan perang antar suku
3. Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga
4. Menghentikan kebiasaan adat mengayau
5. Menghentikan kebiasaan adat perbudakan
6. Mematuhi ketentuan batas berlakunya hokum adat, disamping hokum pidana, perdata dari pemerintah
7. Melakukan penyeragaman hokum adat antar suku
8. Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap disuatu pemukiman tertentu dan
9. Melakukan penyelesaian sengketa antar pribumi maupun antar kelompok oleh rapat adat besar yang khusus diselenggarakan selama pertemuan adat ini berlaku

Dalam tempo sepuluh tahun, seluruh isi perjanjian ini tersebar luas di seluruh pelosok Kalimantan. Praktek-praktek pengayauan, hokum adat, permusuhan, dan kebiasaan hidup yang berpindah-pindah dikalangan Orang Dayak berhasil dikurangi, walaupun masih dalam kualitas yang meragukan. Akan tetapi, setidaknya, pemerintah Belanda mulai mengenal dengan cukup baik Orang Dayak yang ganas itu.
Sukses “menjinakan” kelompok Dayak dengan strategi pertama, pemerintah colonial menggunakan strategi kedua, yakni dengan mengkristenkan orang Dayak. Dengan cara ini, pemerintah mungkin berharap Dayak dapat berperan sebagai pengimbang alamiah gerakan pan islamis yang dikembangkan Melayu.
Misionaris asing, terutama dari Belanda di dorong untuk menyebarkan agama Kristen dan mendirikan gereja-gereja dipusat pemukiman Dayak. Namun, terlepas dari kesamaan maksud antara pemerintah dengan misionaris dan gereja, keduanya tidak selalu berjalan seiring dalam merealisasikan maksud tersebut. Salah satu bentuk pertikaian diantara misionaris dnegan pemerintah misalnya dapat dilihat, secara tidak langsung, pada keluhan para misionaris yang mengatakan bahwa kendala yang menghambat Dayak menjadi Kristen justru datang dari pemerintah yang membutuhkan dan merekrut mereka sebagai prajurit untuk berperang dan memenggal kepala (Saunder;1992;115).
Gerakan kristenisasi ini dimulai pada tahun 1890, dimana sebuah misionaris Katolik telah membuka pangkalan tetap di Semitau yang diikuti dengan membuka sekolah dan gereja di Sejiram.
Dan setelah mendapatkan bantuan besar dari Gereja Katolik di Rma, misioanris kemudian membuka sekolah lima tahun di Nyarumkop, wilayah Kesultanan Sambas. Dalam perkembangannya, misionaris di sini juga membuka sekolah guru (Cursus Normaal) yang kemudian berubah menjadi sekolah pendidikan guru (Cursus Volksschool Onderwijner). Lulusan sekolah guru ini dapat melanjutkan pendidikannya ke sekolah seminari tingkat pertama di Pontianak atau sekolah guru katolik (Normaal School) di Tomohon, Sulawesi Utara.
Di sekolah, misionaris adalah guru, mengajarkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan dasar pada murid-muridnya. Di gereja dan dalam kehidupan sehari-hari, misionaris adalah penyebar agama, pemimpin spiritual dan teladan bagi umatnya. Dengan cara inilah, orang-orang Dayak secara berangsur-angsur menganut agama Katolik dan meyakini nilai-nilai yang secara inheren ada pada metode sosialisasinya. Selain itu, dengan masuk Kristen atau Katolik, orang Dayak tetap merasa diriya Orang Dayak. Beberapa doktrin tergambarkan bahwa adat atau tradisi Dayak, masih boleh dipraktekan walaupun mereka sudah menganut Kristen. Kran yang terbuka inilah, yang kemudian menyebabkan agama Kristen lebih mudah diterima dikalangan Dayak daripada agama Islam, yang berkembang sebelumnya. Pada umumnya, nilai-nilai itu merujuk pada idealism Barat; humanism, demokrasi, egalitarian dan emansipasi. Namun, dalam praktek, langsung atau tidak, semuanya mengarah pada formasi kesadaran etnik (Iqbal:2003).
Upaya-upaya kristenisasi dikalangan Dayak ini dalam kenyataannya semakin mengkontraskan perbedaan kelompok yang sebelumnya telah mengental pada dua kutub; Dayak dan Melayu, Kristen dan Islam. Praktikum politik pemerintah kolonial Belanda misalnya ini, tentu saja sesuai dengan kepentingan mereka sebelumnya. Dalam hal ini, Mohamad Iqbal mencatat:

”dalam prakteknya, kolonial melakukan pengelompokan etnis berdasarkan paham religius. Oleh kolonial, suku-suku yang beragama islam disebutnya Melayu sedangkan yang non Islam disebutnya Dayak” (Iqbal:2003)

Walaupun praktikum politik identitas melalui kristenisasi ini terus terjadi, pemerintah Belanda tetap menerapkan sebuah sistem pajak yang secara langsung memberikan para pemuka Melayu-Islam untuk memperoleh keuntungan dan menjalankan penegakan hukum yang di buat.

”selanjutnya, aturan ini berlanjut dengan menjadikan masyarakat Non Melayu sebagai subyek dari pajak yang berganda dan kerja paksa. Kondisi ini memaksa non Melayu pindah Islam agar disebut Melayu sehingga terhindar dari pajak berganda dan tanam paksa” (Jamie;2004).

Dalam bidang birokrasi, Belanda tetap saja menerapkan konsep pemerintahan swapraja, Melayu menjadi pegawai birokrat kerajaan dan sejak 1912, mereka sebagian besar menjadi pegawai birokrasi pemerintahan Belanda dengan puncak jabatan sebagai demang, setara dengan wedana di Jawa atau Camat sekarang ini.
Sungguhpun demikian, sebagian besar Melayu tentu saja menjadi rakyat jelata biasa namun memiliki hak istimewa, seperti hak memperoleh pendidikan dan kekebasan untuk tidak membayar pajak (balasteng). Mungkin karena adanya keharusan untuk membayar pajak, dan juga kesediaan untuk ikut berpeang dipihak kerajaan membuat adanya kesan bahwa Dayak seakan merupakan rakyat jelata yang tidak memiliki hak, kecuali menghambakan diri kepada Melayu.
Di tengah upaya-upaya mengkristenkan Dayak, dua Sultan Melayu mendatangkan Cina dalam jumlah besar abad 18 untuk bekerja dipertambangan emas milik mereka, tepatnya di Monterado (Kesultanan Sambas) dan Mandor (Kesultanan Mempawah). Awalnya didatangkan hanya berjumlah sepuluh orang, namun keberhasilan pertambangan membuat mereka harus menarik keluarganya untuk datang dilokasi pertambangan.
Sebagaimana Dayak dan Melayu, kelompok Cina di pertambangan ini juga beraneka ragam anak suku. Umumnya mereka berasal dari suku Hakka yang tinggal di Singkawang, sebagian kecil Tio Chiu (Hoklo) dan lebih kecil lagi, Hokien. Tio Chiu dan Hokien. Awalnya, para pekerja Cina ini menundukan diri sepenuhnya kepada para sultan. Mereka membayar pajak, retribusi dan mematuhi berbagai peraturan yang ditetapkan baik kesultanan maupun pemerintah Belanda.
Populasi yang kian besar dan kuat serta keuntungan hasil tambang yang semakin besar, kelompok Cina di pertambangan ini menggabungkan diri dalam kongsi (perusahaan dagang). Dengan pembentukan kongsi, mereka memiliki posisi tawar yang kuat dengan Sultan dan pemerintah Belanda. Dikemudian hari, mereka hanya membayar retribusi tahunan kepada sultan. Cadangan deposit tambang emas sangat menggiurkan untuk berbagi, karena itulah, kongsi Fatjoen di Monterado dan kongsi Lan Fang di Mandor, mengangkat senjata secara frontal melawan kesultanan dan dalam batas tertentu melawan Belanda dan sekelompok Dayak. Peperangan demi peperangan terjadi, hampir selama 100 tahun. Hasilnya, kematian, penaklukan, penundukan dan perdamaian dipihak-pihak yang bertikai dan menjadi spiral kekerasan di Kalimantan Barat dimasa-masa mendatang.

3. Periode Kesadaran Etnisitas
Kesadaran etnisitas pada Orang Dayak tidak terlepas dari hasil pendidikan yang dikembangkan misionaris Katolik. Diatas sudah saya jelaskan bahwa setelah mendirikan pusat misionaris Katolik di Semitau dan Sejiram, pada tahun 1905, misionaris katolik mendirikan pusat pendidikan bagi kaum Dayak di Nyarumkop, Kesultanan Sambas. Alumni dari persekolahan inilah yang kemudian meningkatkan kesadaran etnis bagi pemuda-pemuda Dayak, yang secara cerdas memanfaatkan dan mengembangkan kesadaran etnis ini pada seluruh kaum Dayak melalui pendidikan, termasuk politik. Para guru yang berhasil lulus dari persekolahan ini kemudian kembali ke kampong masing-masing dan mengajarkan baca tulis bagi anak-anak Dayak, dan bahkan para orang tua.
Dengan jaringan misionaris di seluruh Indonesia, di Kalimantan Barat, berbagai organisasi politik nasional maupun kedaerahan lahir, dan segera merekrut banyak intelektual Dayak untuk bergabung, melanjutkan perjuangan politik pendahulunya diberbagai daerah di Kalimantan, antara lain Serikat Dayak (1919), Pakat Dayak (1923) serta Dayak In Action (1945).
Tiga organisasi politik ini secara signifikan sudah sanggup mengemban keinginan mereka dalam programnya dan mencoba mewujudkannya bersama. Pada tahun 1932, Serikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak, dengan konsentrasi pada kegiatan sosial, ekonomi dan pendidikan. Tujuannya adalah untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak melalui kegiatan social dan pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah dan usaha semacam koperasi.
Pergolakan politik nasional di Jawa, memaksa Pakat Dayak untuk beralih strategi. Pada tahun 1938, Pakat Dayak memperluas konsepnya tidak hanya meliputi kegiatan social, ekonomi dan pendidikan, tetapi juga politik.
Menurut AD/ART Pakat Dayak, perhimpunan yang berkedudukan di Banjarmasin ini dibentuk berdasarkan asas persatuan bangsa Dayak dengan mengindahkan persamaan hak dan kewajiban. Sebagai wadah bergabungnya seluruh warga Dayak menjadi satu golongan yang besar dan teratur, organisasi ini bertujuan untuk mengejar ketinggian derajat bangsa, baik dalam soal politik, social, ekonomi dan persatuan seluruh suku Dayak; mengejar segala hak-hak yang diakui oleh hukum Negara; dan mempertinggi adat leluhur serta kebudayaan bangsa.
Oleh karena itu, usaha untuk mencapai tujuan tersebut antara lain: memperkuat rasa semangat persatuan orang Dayak, mendirikan badan perguruan yang berhubungan langsung dengan sekolah-sekolah yang ada di Indonesia, mendirikan badan penerangan khususnya persoalan ekonomi dan pendidikan, mendirikan badan yang mengumpulkan segala tulisan yang menyangkut tanah Dayak dan kalau dapat menghimpun segala riwayat tanah Dayak dari adat sampai kebudayaannya, mendirikan Dajaksche Studiefonds, menerbitkan majalah atau brosur sebagai media penerangan bagi masyarakat umum supaya dunia luar dapat mengetahui keadaan bangsa dan dengan jalan itu perhubungan dengan dunia luar akan bertambah sempurna .
Pergerakan politik bangsa Dayak di Kalimantan juga terjadi di Kalimantan Barat. Empat tahun berikutnya, pada sebuah retret guru di Sanggau, dideklarasikan perubahan perjuangan orang Dayak, dari pendidikan ke perjuangan politik. Organisasi politik ini didirikan di Putusibau, Kapuas Hulu pada tahun 1941. Organisasi ini di ketuai oleh FC Palaoensoeka, seorang guru alumni persekolahan Nyarumkop dengan di dukung oleh seorang Pastor Jawa, Adikarjana, SJ. Organisasi ini dikenal dengan nama Dayak In Action (DIA).
Perubahan politik nasional, dengan di proklamasikannya Republik Indonesia, memaksa elit local di daerah untuk terlibat. Beberapa daerah segera bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun beberapa daerah yang masih di kooptasi oleh Belanda terus berupaya mendirikan Republik Indonesia Serikat. Karena perkembangan situasi politik saat itu, pada tanggal 1 Nopember 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD) dengan ketua umum pertamanya FC Palaoensoeka. Disetiap kampung dibentuk Komisariat yang sejajar dengan Dewan Pimpinan Cabang.
Masifnya berbagai gerakan politik Dayak, diawal tahun 1948 Belanda kemudian meningkatkan misi-misinya untuk memajukan penduduk Dayak dengan cara mengkooptasi elit-elit baru Dayak.
Seiring dengan berlakunya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berdampak pada diubahnya karesidenan Kalbar menjadi Daerah Istimewa Kalbar (DIKB) pada tanggal 12 Mei 1947, para pengurus PD; J.C. Oevaang Oeray, AF Korak, Lim Bak Meng, Tio Kiang Sun, dan H.M Sauk diangkat menjadi anggota Badan Pemerintah Harian (Dagelijhk Bertuur) DIKB.
Masuknya para pejabat PD di BPH juga menjadi pintu baru bagi sejumlah orang Dayak untuk ditempatkan di pos-pos dinas sipil, ketentaraan dan kepolisian dan Kantor Urusan Dayak, yang dikepalai oleh Oeray . Pemimpin-pemimpin Partai Persatuan Daya (PD) kemudian diangkat menjadi Dewan Kalimantan Barat. Sebanyak delapan orang dari empat puluh anggota Dewan adalah orang Dayak. Terlebih lagi, pada tahun 1948 dua orang Dayak, A.F. Korak dan Oeray, diangkat menjadi anggota Badan Pelaksana Daerah (BPD)-nya DIKB yang berjumlah enam orang.
Walaupun PD menempatkan dirinya dalam kubu federal, PD juga memanfaatkan situasi dirinya sebagai korban Belanda. Serangan partai terhadap kolonialisme Belanda juga semakin keras. PD berpendirian bahwa Belanda bertanggungjawab atas penderitaan Dayak di bawah tekanan kerajaan-kerajaan kecil Melayu yang menindas.
Belanda dan Melayu dituduh bekerja bersama-sama seperti “suami-istri” untuk menekan hak-hak dan martabat Dayak. Berikut ini adalah ungkapan bombastis yang ditulis Oeray pada tahun 1947 yang ditujukan kepada Residen Belanda di Kalimantan Barat sebagai gaung sentiment tersebut:
“Daya adalah penduduk asli Kalimantan tetapi dalam kehidupan sehari-harinya diperlakukan sebagai orang asing, pendatang baru..[.] Daya telah menjadi kerbau yang harus bekerja dan berkurban bagi Raja dan Pemerintah ((Belanda))..[.] Selama beratus-ratus tahun Daya memenuhi kewajibannya kepada Raja dan Pemerintah dengan membayar pajak atas hasil bumi dan perjalanan, melaksanakan kerja rodi, tetapi apa yang didapatnya?..[.] Jelas keburukan dan kemunduran Daya bukan hanya akibat dari kebodohannya, tetapi juga akibat dari politik Feodalisme yang kejam, yang didukung oleh pemerintah Belanda demi kepentingan mereka. [garis bawah sesuai aslinya]

Makna kata “penjajahan berlapis-lapis” ini merasuki komunikasi aktivis PD . Namun disisi lain PD juga tahu bahwa tidak akan ada banyak hal yang dapat dicapai tanpa dukungan NICA, dan karena itu mesti meyakinkan bahwa kerjasama dengan NICA harus jelas terlebih dahulu.
Harga diri dan kemajuan Dayak mensyaratkan sedikitnya penghentian otoritas swapraja. Dalam upayanya untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kolonial, PD mencanangkan program pemberdayaan diri: “nasibmu terletak pada usahamu” (di usahamu letak nasibmu).
Namun demikian, pada akhirnya, kalkulasi politik dan kecilnya sumber-sumber untuk mendukung pesan pemberdayaan diri memaksa ketergantungan PD kepada NICA dan Gereja.
Pendidikan sebagai kunci kemajuan Dayak terbukti memberikan contoh yang efektif bagi masa depan Dayak sendiri. Hingga akhir tahun 1950, PD membuka banyak sekolah-sekolah dasar tiga tahun sejumlah 40 sekolah dengan sekitar 2.400 murid. PD juga mendirikan program enam tahun. Namun, masalah kekurangan guru yang berkualitas muncul. PD khawatir, guru-guru Indonesia akan tetap mendatangkan pandangan rendah terhadap Dayak, oleh karena itu, PD kemudian merekrut guru-guru misionaris, yang lebih mengerti Dayak.
Pemilu 1955, dimasa Orde Lama mengangkat PD kepermukaan. Segera saja, PD mendaftarkan diri dan bersiap untuk bertarung secara politik dengan berbagai partai local dan nasional di Kalimantan Barat. Masalah keuangan partai, mendesak PD untuk mengandalkan jaringan akar rumput para guru, figure tritunggal PD; Oeray-Palaunsoeka-Djelani dan nama “Daya” yang dikenal baik. Hasilnya, PD menempatkan enam perwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRD peralihan) Kalbar. Hanya partai modern Islam, Masyumi, memenangkan lebih dari sepuluh kursi..
Kemudian, dalam pemilihan dewan daerah lanjutan pada 1958, PD mengungguli Masyumi dengan dua belas kursi berbanding enam. PD menguasai empat pejabat eksekutif daerah dan kemudian beraliansi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), PD berhasil mengantarkan Oeray terpilih sebagai gubernur pada tahun 1960.
Dimenanginya pemilu 1955 dan pemilu 1958 oleh PD, orang Dayak mulai ada di pemerintahan, yakni anggota konstituante JC Oevang, A Djelani, dan Wilibrodus Hitam yang meninggal dan digantikan Daniel, wedana Bengkayang. Serta angota DPR-RI dijabat oleh F.C. Palaunsoeka. Gubernur dan empat Bupati juga dimenangkan oleh PD dalam pemilihan. Gubernur Kalbar J.C. Oevang Oeray, dan Bupati (MTH Djaman/Sanggau, GP Djaoeng/Sintang, Amastasius Syahdan/Kapuas Hulu dan Agustinus Djelani/Pontianak).




4. Periode Kontemplasi dan Konsolidasi

Kesadaran etnisitas Dayak yang meningkat hampir duapuluh tahun, nyaris terhenti ketika peralihan kekuasaan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Di Kalbar, peralihan kekuasaan ini menjadi menyedihkan bagi kelompok Dayak. Pada tahun 1966, Gubernur J.C. Oevaang Oeray di ganti dan ditempatkan di Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Setahun sesudahnya, empat Bupati Dayak juga di ganti. Militer berkuasa penuh, dengan dukungan Golkar.
Perpecahan elit Dayak menyulut kemunduran politik. Berkuasanya Orde Baru, menjadi sesuatu yang paling menyakitkan bagi Dayak. Di awal pemerintahan Orde Baru, beberapa elit Dayak memang berusaha melakukan kooptasi, namun gagal. Namun, secara sistematis, kesadaran etnisitas semakin mengental.
Dalam masa panjang ini, Dayak berusaha semakin menguatkan identitas etniknya dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Dayak mengidentifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Tekanan militer yang kuat, mengeliminir kontraksi perbedaan etnisitas ini. Beberapa kejadian tragis terjadi, Dayak mau tidak mau harus terlibat. Ethnic cleansing dengan terpaksa dilakukan untuk mempertahankan identitas sebagai kelompok yang terpinggirkan. Tentu saja, gerakan ini telah memakan korban jiwa, dan lain-lain yang tidak sedikit.
Identifikasi yang mengental dan menguntungkan Melayu dan Islam, para elit Dayak melakukan strategi adaptif dengan menjadi pengurus Golkar, partai politik pendukung pemerintah. Beberapa elit Dayak di Golkar diberikan tempat dalam berbagai upacara-upacara kenegaraan, dan daerah. Beberapa diantaranya menduduki posisi dalam bidang pemerintahan, namun tidak ada lebih dari pada pemerintah kecamatan.
Bagi pemerintah Orde Baru yang memerintah, elit-elit Dayak di Golkar ini berfungsi untuk mengamankan suara Golkar dalam pemilu yang telah diatur. Penghapusan system pemerintahan local menjadi pemerintahan Desa terjadi di akhir tahun 1970-an, yang memaksa elit local Dayak kehilangan wibawa dan jabatan. Pengkapling-kaplingan tanah adat juga terus terjadi, seiring masuknya perusahaan kayu; HPH, HTI, PIR Trans. Ekspansi perkebunan kelapa sawit mulai terjadi di tahun 1980-an, yang memaksa orang Dayak dikampung-kampung melepaskan tanahnya dengan harga yang sangat murah.
Kematian J.C. Oevaang Oeray tahun 1986, menyebabkan Golkar harus merekrut kembali kader-kadernya dari kelompok Dayak. Beberapa dosen Dayak dipilih. Beberapa kelompok elit Dayak juga “menyeberang ke PDI, hasil fusi beberapa partai Kristen yang dimotori oleh FC. Palaoensoeka sebelumnya. Perubahan strategi ini membuat para elit Dayak menjadi terpecah-pecah.
Kegamangan orang Dayak diberbagai bidang pada masa Orde Baru, memaksa elit Dayak mencari alternatif. Beberapa pertemuan reguler dilakukan, dihadiri berbagai kalangan Dayak di Kota Pontianak. Hasilnya, beberapa LSM dibentuk, dan bekerjasama dengan Gereja. Dari berbagai refleksi, perjuangan Dayak dimulai pada titik nol, yakni melalui pendidikan. Dengan dukungan penuh Gereja, beberapa LSM mendirikan sekolah-sekolah, baik di Kota Pontianak, maupun di desa-desa yang umumnya berpenduduk Dayak. Program beasiswa bagi orang muda Dayak yang prestasi di lakukan.
Seiring dengan gencarnya pemerintah Orde Baru melakukan praktek Jawanisasi melalui proyek transmigrasi, perkebunan dan HPH, dogma-dogma tentang Dayak juga ditonjolkan. Dayak dikatakan sebagai primitive, suku terasing dan kurang berbudaya.
Gerakan Orde Baru berupaya dibendung elit Dayak dengan melakukan penyadaran kritis kepada masyarakat Dayak diberbagai pelosok Kalbar, melalui LSM dan organisasi social kemasyarakatan. Terlepas dari tujuannya semula, pada tahun 1985, di Kabupaten Pontianak, berdiri sebuah organisasi; Dewan Adat Dayak Kanayatn (DAD). Hanya dalam tempo enam tahun, organisasi ini berhasil melebarkan sayap hingga diseluruh propinsi. Bersamaan dengan gerakan DAD, beberapa elit intelektual Dayak juga mendirikan LSM.
Gerakan DAD dan LSM ini kemudian menjadi alternative perjuangan orang Dayak untuk merebut kemandirian dan kedaulatannya dimasa depan.
Tanpa di prediksi oleh pemimpin-pemimpin LSM dan elit DAD, gerakan yang mereka kelola menjadi tempat pembibitan sebuah pergerakan pemberdayaan Dayak yang akan tumbuh yang melebihi harapan yang menjadi tempat bagi aspirasi masyarakat Dayak ‘yang terbelakang’.
Salah satu karya yang penulis anggap fenomenal dari karya LSM Dayak tersebut adalah berhasilnya menyeragamkan penulisan kata ”Dayak”. Jika sebelumnya di berbagai literatur penulisannya berbeda-beda (Dyak, Dajak, Daya, Daya’ dll) maka setelah Kongres Nasional Kebudayaan Dayak tahun 1992, di Pontianak, literatur-literatur telah seragam menggunakan kata Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan.
Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Dengan berbagai ancaman kekerasan, mereka melakukan demo menentang HPH dan perkebunan, dan puncaknya terjadi ketika mereka berhasil memaksakan pemerintah untuk mengangkat seorang Dayak sebagai bupati sebelum masa Orde Baru berakhir. Secara tidak langsung, berkembangnya pendekatan Dayak yang cenderung pada kekerasan adalah disebabkan oleh sikap perusahaan dan pemerintah sendiri yang hanya memperhatikan satu tuntutan bila satu kelompok bersikap mengancam.
Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan ”politik” ini. Namun akhir tahun 1994, Dayak semakin asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, Bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat Dayak.
Melayu kemudian bereaksi. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Idiom mengenai tuntutan hampir ’sekejap’ bagi identitas Melayu pada tahun 1999 dipinjam dari orang Dayak, bukan perlahan-lahan diciptakan di dalam masyarakat Melayu. Motivasi untuk meminjam tidak sulit dicari. Kegigihan orang Dayak pada tahun 1999 sudah menghasilkan sukses bagi orang Dayak dalam melawan perusahan-perusahan kayu. Lebih penting lagi, protes orang Dayak menghasilkan pengangkatan orang Dayak ke tiga buah jabatan bupati yang paling diperebutkan Layang di Kapuas Hulu, 1997; Andjioe di Sanggau, 1998; dan Cornelius Kimha di Pontianak,1999.
’Bagi elite Melayu’, tulis Davidson (hlm.320), ’kebangkitan ”Melayu” sendiri akan merupakan jawaban bagi kemajuan-kamajuan yang dicapai orang Dayak. Menggunakan kekerasan melawan musuh yang lemah adalah metode yang efektif untuk mengendalikan mobilisasi energi dan untuk memperkokoh identitas Melayu’.
Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu. Akhir tahun 1998, mereka mendirikan Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), sebagai wadah persatuan kaum Melayu.
Dua bukti menunjukan bahwa serangan-serangan orang Melayu atas orang Madura di Sambas pada tahun 1999 adalah bagian dari repertoire politik identitas ’terpisah’. Pertama, para perantara yang dimiliki hak istimewa tampak jelas sekali. Kontrol atas kabupaten yang baru saja dibentuk Sambas sisa wilayah dari kabupaten Sambas yang asli setelah Bengkayang di pecah pada tahun 1999 adalah piala yang diinginkan elit Melayu. Ini tidak hanya berarti kebutuhan akan bupati Melayu tetapi juga kontrol atas kejahatan jalanan yang merebak.

5. Periode mulai bangga menjadi orang Dayak

Berakhirnya kekuasaan pemerintah Orde Baru pada tahun 1997, memaksa perubahan politik di berbagai daerah di Indonesia. Di Kalbar, momen ini menjadi kristalisasi dari kontemplasi dan konsolidasinya di sepanjang Orde Baru. Pemberlakuan otonomi daerah yang ditandai dengan meluasnya gerakan pemekaran daerah di Kalbar, sedikit banyak mempengaruhi konstelasi politik identitas di Kalbar.
Pada tahun 1998, misalnya, orang Dayak Islam, yang dikenal sebagai senganan oleh Dayak Kristen, mendeklarasikan berdirinya organisasi Ikatan Keluarga Dayak Islam Kalimantan Barat (IKDI). Tentu saja, gerakan kembali ke Dayak ini bagian dari pengaruh banyak aktor yang telah memainkan perannya bagi Orang Dayak, baik positif maupun negatif di penghujung Orde Baru.
Sejak tumbangnya Orde Baru, puluhan daerah bekas swapraja dimasa pemerintahan Belanda menyuarakan pemekaran daerah. Ada 2 kabupaten yang dimekarkan pertama, yaitu Sambas dan Kabupaten Pontianak. Kabupaten Sambas dimekarkan menjadi dua bagian, Sambas dan Bengkayang sedangkan Kabupaten Pontianak dimekarkan menjadi Kabupaten Landak yang beribukota di Ngabang, bekas pusat pemerintahan Kerajaan Landak.
Pada pemekaran Sambas, dimasa lalu Bengkayang sebenarnya merupakan teritori Kesultanan Sambas sedangkan Singkawang pada dasarnya relatif otonom, kendati harus tetap mengakui kesultanan Sambas. Kecendrungan eksistensi teritori swapraja masa lalu jelas terlihat dengan upaya pemerintah pada tahun 2003 dengan memekarkan Kabupaten Sanggau menjadi Sekadau dan Sanggau dan Kabupaten Sintang menjadi Sintang dan Melawi yang beribukota Nanga Pinoh.
Dalam pemekaran ini, secara umum terlihat kesan bahwa pemerintah secara implisit melegitimasi adanya semacam teritori menurut etnik. Sejak pemekaran, Kabupaten Pontianak yang beribukota di Mempawah seakan berubah menjadi teritori Melayu dan Kabupaten Landak yang berbukota di Ngabang berubah menjadi teritori Dayak, artinya baik Melayu maupun Dayak menjadi etnik mayoritas.
Dalam perkembangannya, tahun 2000, Singkawang juga dimekarkan dari Bengkayang dan seakan menjadi teritori Cina. Berbeda dengan kawasan utara, pemekaran dipedalaman (Sintang dan Sanggau), tidak akan membawa efek yang sama, karena baik sebelum dan sesudah pemekaran, Dayak tetap akan menjadi mayorits disemua wilayah ini.
Perubahan signifikan terjadi di era ini. Kepala daerah juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Sejak tahun 2005, enam kepala daerah sudah terpilih langsung oleh rakyat, hasilnya; kombinasi antar etnik; Dayak-Jawa, Dayak-Melayu, Dayak-Dayak, Dayak-Cina, dan Melayu-Dayak. Pemilihan berlanjut tahun 2006 yang menghasilkan pemimpin: Dayak-Dayak dan Melayu-Melayu. Demikian juga ditahun 2007, pemimpin yang dihasilkan pemilihan ini adalah kombinasi antara Dayak-Cina dan Cina-Melayu.
Praktek-praktek politik identitas yang berlangsung sejak tahun 2005 diatas jelas menggambarkan bahwa, kesadaran identitas banyak etnik di Kalbar berada para taraf maksimal.
Ditengah berlangsungnya drama politik lokal melalui pemilhan kepada daerah secara langsung ini, beberapa aktivis LSM Dayak yang bergelut dengan pendidikan kritis pada masyarakat Dayak sepanjang Orde Baru muncul kepermukaan. Mereka mencalonkan diri sebagai calon Bupati, bahkan menjadi Calon Wakil Gubernur Kalbar.
Namun, sejarah mencatat, budaya kritis yang dikembangkan banyak LSM sepanjang Orde Baru ini tenggelam ditengah kerinduan Dayak pada tokoh-tokoh formal di pemerintahan pada drama politik di Pilkada langsung. Pada era inilah, gerakan LSM semakin mengecil.
Pergumulan-pergumulan kehidupan ditengah-tengah Orang Dayak sepanjang era otonomi daerah terus terjadi, terakhir, mereka berupaya untuk terus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Orang Dayak difasilitasi oleh LSM dan beberapa pemerintah daerah yang pemimpinnya orang Dayak untuk bisa sekolah tinggi. Banyak pemerintah daerah, misalnya menyelenggarakan program beasiswa.
Perubahan yang mencolok pada era ini adalah sejak tahun 2000, banyak juga LSM yang didirikan Dayak mulai tidak ekslusif Dayak. LSM mulai melihat Dayak dalam konteks etnosentrisme tetapi Dayak dalam konteks pluralisme dan multikulturalisme.
Dengan berkembangluasnya kesempatan belajar diperguruan tinggi, sekarang mulai tampak bahwa di berbagai sektor telah ada orang Dayak yang ahli. Tetapi mereka tidak terakomodir dalam bidang pemerintahan. Saat ini misalnya ada orang Dayak dari Landak yang menjadi Rektor di Universitas Katolik di Nairobi Kenya, ada juga yang bekerja di Toronto Kanada, di Roma Italia (semua mereka tak terekspos) ada pula yang menjadi dokter di Amerika Serikat.
Keberhasilan mereka telah menjadi pendorong orang Muda Dayak untuk terus meningkatkan kapasitas SDM. Walaupun jumlah orang Dayak yang terdidik masih sangat sedikit (kira-kira baru 1% dari total populasi Dayak), tetapi hal ini telah melahirkan sikap “mulai bangga menjadi orang Dayak”. (bersambung...)


IDENTITAS KELOMPOK CINA, PERUBAHAN POLITIK DAN DINAMIKANYA DI KALIMANTAN BARAT

Oleh Yohanes Supriyadi

LATAR BELAKANG
Ada 5 kelompok etnik utama di Kalbar: Dayak, Melayu, Cina, Madura dan Jawa. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk asli-mayoritas, sedangkan tiga kelompok etnik berikutnya merupakan pendatang-minoritas. Sejak masa kolonialisme hingga sekarang ini, seluruh kelompok etnik telah terlibat dalam persaingan tajam untuk merebut dominasi ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Dengan kata lain, hubungan mereka sejak awal memang cenderung konfliktual. Kehadiran negara moderen –mulai dari Belanda, Jepang, hingga Indonesia— secara langsung atau tidak, cenderung membiarkan bahkan memanfaatkan hubungan inter-etnik yang konfliktual tersebut. Di masa kolonial, dari waktu ke waktu, semua kelompok etnik pernah berperang satu sama lain. Dan di era reformasi sekarang ini, mereka kembali terlibat dalam peperangan simbolik dalam bidang kultural, institusional, dan struktural.


Sebelum Islam masuk, Dayak dapat dikatakan merupakan penduduk asli dan merupakan mayoritas di daerah ini. Penduduknya menyebar mulai dari pesisir hingga bagian pedalaman. Mereka yang tinggal di pesisir mengembangkan beberapa kerajaan dan menganut Hindu, bekerja sebagai pedagang, nelayan, dan petani. Sedangkan sebagian lainnya yang tinggal di pedalaman menganut animisme, bekerja sebagai peladang berpindah dan pengumpul makanan. Islam masuk kedaerah ini melalui jalur perdagangan, dibawa pedagang Arab, Cina Selatan dan Makasar. Kontak dengan pedagang asing dan kedatangan migran, mendorong penduduk yang tinggal di pesisir untuk beralih agama menjadi Islam sedemikian sehingga mengembangkan kebudayaannya sendiri yang lebih berkembang dengan mendirikan kesultanan. Awalnya jumlah penduduk kelompok ini sangat sedikit, namun seiring dengan semakin banyaknya Dayak yang berkonversi menjadi Islam disamping migrasi orang Islam dari daerah lain yang melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai ”Melayu”. Sultan-sultan yang ahli berdagang ini kemudian mendatangkan kelompok Cina dari Brunei untuk bekerja sebagai penambang emas di wilayahnya. Migran Cina dari Brunei ini kemudian bertambah karena adapula migran Cina yang langsung datang dari negeri Cina. Mereka ini umumnya penganut Kong Hucu dan Budha. Mereka juga cenderung hidup dalam suatu pemukiman yang ekslusif di area pedalaman tertentu di sekitar pertambangan emas, utamanya di Monterado dan Mandor.

Madura dan Jawa datang paling akhir ke Kalbar, setelah konfigurasi sosial yang terdiri dari ketiga kelompok etnik tersebut relatif telah terbentuk. Sebagai Islam, mereka cenderung tinggal bersama Melayu, Bugis, dan Jawa. Migrasi yang terus terjadi, membuat jumlah penduduk Kalbar meningkat drastik. Dan pada akhir abad 21 ini, Cina menempati kedudukan ketiga terbesar setelah Dayak dan Melayu, sedangkan Madura kelima terbesar setelah Jawa.

Sejarah Singkat Otonomi Daerah di Kalbar
Bersamaan dengan proses migrasi etnik-bangsa dari luar yang begitu masif di Kalbar, proses demokratisasi di Indonesia juga mengalami peningkatan yang serius. Sejak awal abad 20, Pemerintah Belanda & misionaris Katolik memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak, Cina dan Melayu. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris dalam perkembangannya membuka kesempatan pendidikan yang paling besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor pada tahun 1944, membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama.

Sebagaimana catatan sejarah, di Kalbar, tidak pernah ada imperium kerajaan seperti Mataram, Majapahit atau Sriwijaya. Wilayah ini memiliki banyak kerajaan, masing-masing memiliki raja yang bergelar sultan dan wilayah sendiri. Kolonial Belanda ketika masuk di Kalbar, tidak berusaha mengambil alih kerajaan-kerajaan ini seperti yang dilakukannya di Jawa, sehingga setiap daerah relatif dapat mempertahankan otonominya sejak dulu. Mungkin, dengan semangat inilah kita dapat memahami bahwa sejak masa kemerdekaan, ada sebagian elit politik Kalbar mengharapkan daerah mereka memiliki otonomi khusus. Sebagaimana sejarah Indonesia, hanya ada 3 daerah yang memiliki status daerah istimewa; Aceh, Yogyakarta dan Kalbar. Dalam perkembangannya, pemerintah hanya mengakui Aceh dan Yogyakarta. Karena berbagai alasan, pemerintah menghapus status kesultanan-kesultanan di Kalbar dan menganggap wilayah itu tetap hanya sebagai keresidenan hingga tahun 1956 sebelum statusnya ditingkatkan sebagai propinsi tersendiri. Uniknya, pemerintah menetapkan pembagian wilayah kabupaten hampir mirip mengikuti teritori kesultanan yang sudah dihapuskannya. Dari 15 pemerintah swapraja ini, beberapa diantaranya disederhanakan dengan mengelompokannya menjadi satu seperti Kabupaten Sanggau (wilayahnya meliputi Meliau, Sekadau dan Tayan), Kabupaten Sintang (meliputi Tanah Pinoh), Kabupaten Pontianak (meliputi Mempawah, Landak dan Kubu) dan Kabupaten Ketapang (meliputi Matan, Sukadana dan Simpang). Sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu dilepaskan dari Sintang dan lainnya tetap seperti sedia kala; Kabupaten Sambas dan Kota Pontianak.

Pada masa Orde Lama, sejumlah elit Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.

Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik. Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal.

Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Tiga kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu, Jawa dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Jawa dan Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu.

Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak dan dalam batas tertentu, Cina. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak, Cina dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Sejak tahun 1980-an, mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Secara khusus, ada 2 kelompok yang paling berpengaruh; Pancur Kasih (1981), dan Dewan Adat Dayak Kanayatn (1985). Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik. Pada tahun 1994, Dayak terus mengembangkan organisasi sosial kemasyarakatan (Majelis Adat Dayak) yang secara masif, asertif dan konfiden dalam memperjuangkan kepentingannya, bukan hanya dalam politik, melainkan juga sosio-kultural. Mereka memaksa kelompok etnik lainnya untuk menundukan diri kepada hukum adat.

Melayu awalnya tidak mempedulikan gerakan politik ini. Namun, setelah peristiwa kekerasan Sanggau Ledo tahun 1997, yang menyebabkan Dayak masih asertif dan diatas angin, Melayu kemudian bereaksi. Pada tahun 1998, Melayu mendirikan sebuah organisasi sosial kemasyarakatan, Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM). Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak dan Melayu adalah saudara, dan bahwa menjadi Islam tidak berarti Dayak kehilangan identitasnya. Lebih jauh Melayu juga mengembangkan berbagai organisasi etnik Kemelayuan dan hukum adat Melayu. Setelah kalah dalam pemilihan bupati di beberapa kabupaten, mereka akhirnya berhasil menambah jumlah orang Melayu sebagai bupati sedemikian sehingga jumlah mereka relatif seimbang. Dalam era kebijakan Otda, puncaknya mereka berhasil menguasai jabatan gubernur pada akhir 2002.

Pembagian wilayah Kalbar kedalam 6 kabupaten bertahan hingga akhir tahun 1990-an, walaupun gejala tuntutan untuk mendirikan kabupaten tersendiri telah ada sejak akhir tahun 1950-an dan semakin menguat pada tahun 1980-an. Gejolak sosial politik karena ekpresi kekecewaan para elit politik ini muncul tidaklah menyolok, akan tetapi ditampilkan dalam bentuk perlawanan-perlawanan dengan kekerasan antar kelompok etnik utama diatas; Dayak, Melayu, Cina dan Madura. Anehnya, area kekerasan juga hanya terjadi di Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sambas, dua kabupaten yang dulunya merupakan kerajaan besar dan berpengaruh, Kerajaan Sambas dan Kerajaan Mempawah. Di teritori dua kerajaan ini, juga ada 4 federasi Cina yang amat berpengaruh, Federasi Fatsjoen di Monterado (wilayah Kerajaan Sambas) dan Federasi Lan Fang di Mandor (wilayah Kerajaan Mempawah).Untuk sementara waktu, tidak ditemukan kekerasan antar kelompok etnik yang melibatkan kelompok Jawa.

Pemerintah baru memenuhi tuntutan itu pada akhir tahun 1990-an, dan tahun 1999 baru direalisasikan. Ada dua kabupaten yang dimekarkan saat itu; Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak. Kabupaten Sambas dimekarkan menjadi dua, yakni Kabupaten Bengkayang selain Sambas itu sendiri. Kabupaten Pontianak dimekarkan menjadi dua, yakni Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak itu sendiri. Sehingga sejak saat itu, Kalbar memiliki 9 kabupaten dan 1 kotamadya; Pontianak, Kabupaten Pontianak, Sambas, Bengkayang, Landak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dan Ketapang. Hingga awal tahun 2003, jumlah kabupaten terus bertambah menjadi 10 karena Singkawang ditingkatkan statuisnya menjadi satu kota tersendiri. Pemekaran daerah ini menarik, disatu pihak pemerintah seakan semakin mengaku eksistensi teritori swapraja masa lalu.

Perkembangan politik nasional mengubah keadaan ditingkat lokal. Di Kalbar, era reformasi berhasil membukakan pintu yang lebar bagi Cina untuk lebih leluasa untuk menyatakan identitas etniknya. Kelompok yang lebih suka disebut Tiong Hoa ini menyelenggarakan Imlek dan berbagai perayaan lain dalam skala besar yang secara menyolok memperagakan barongsay dan liong. Mereka mendirikan Forum Komunikasi Etnis Tionghoa (FOKET). Lebih dari itu, ia juga membuka pintu yang lebar bagi Cina untuk terjun ke bidang politik. Bersama Dayak, mereka beraliansi mendirikan suatu partai politik, dan hasilnya adalah terpilihnya beberapa politisi Cina sebagai anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Selain itu, melalui bargaining tingkat tinggi, mereka juga berhasil menempatkan wakilnya di MPR. Dan dengan memanfaatkan konflik politik di antara Dayak dan Melayu di satu pihak, dan konflik politik internal dalam Dayak itu sendiri, pada akhir 2003 ini, Cina juga berhasil menjadi bupati di Sanggau. Tahun-tahun berikutnya, gerakan sosio-politik Cina semakin masif. Tahun 2006, mereka mendirikan Majelis Adat dan Budaya Tionghoa (MABT) sebuah organisasi dilevel propinsi. Meski mendapat tekanan dan tantangan dari sekelompok Melayu, organisasi ini tetap saja berkibar untuk menyatakan identitas etniknya. Mereka yang berasal dari kelompok etnik terakhir ini memberikan tanggapan dengan menegaskan bahwa mereka juga merupakan penduduk asli, mayoritas ketiga dan juga mengembangkan konsepsi bahwa Dayak, Cina dan Melayu adalah saudara.

Proses demokratisasi di Kalbar terus terjadi, sejak tumbangnya Megawati Soekarnoputri dalam Pemilihan Presiden tahun 2004, pada tahun itu juga berhasil disahkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dimulailah babak baru dalam sistem politik Indonesia, melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Tahun 2005, di Kalimantan Barat ada 6 kabupaten yang menyelenggarakan PILKADA secara langsung; Bengkayang, Melawi, Sintang, Sekadau, Kapuas Hulu dan Ketapang. Secara geopolitik, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berhasil terpilih adalah, sbb:

Pilkada Tahun 2005
Kabupaten Nama Pasangan Calon terpilih Etnik Partai Pengusung
Bengkayang Yacobus Luna dan Suryadman Gidot Dayak-Dayak PDI Perjuangan
Melawi Suman Kurik dan Firman Muntaco Dayak-Melayu Partai Demokrat
Sekadau Simon Petrus dan Abun Ediyanto Dayak-Cina PKPI, PPDK, PDS, PPDI, PPD
Sintang Milton Crosby dan Jarot Winarno Dayak-Jawa PDS, Partai Pelopor
Kapuas Hulu Tambul Husin dan Yosef Alexander Melayu-Dayak Partai Golkar
Ketapang Morkes Efendy dan Henrikus Melayu-Dayak Partai Golkar

Pilkada Tahun 2006
Kabupaten Nama Pasangan Terpilih Etnik Partai Pengusung
Landak Cornelis dan Adrianus Asia Sidot Dayak-Dayak PDI Perjuangan
Sambas Burhanudin A Rasyid dan Juliarty Djuhardy Melayu-Melayu PAN, PBR, PPP, PBB, Partai Demokrat

Pilkada Tahun 2007
Kabupaten Nama Pasangan Terpilih Etnik Partai Pengusung
Kota Singkawang Hasan Karman-Edy R Yakoub Cina-Melayu PPP, PPIB
Propinsi Kalbar Cornelis-Christiandy Sanjaya Dayak-Cina PDI Perjuangan

Pilkada Tahun 2008
Kabupaten Nama Pasangan Terpilih Etnik Partai Pengusung
Kayong Utara Hildy Hamid-Said Tihi Melayu-Melayu PPD,PDK,PKS,PKB, PPNUI, PNI Marhaenisme
Kubu Raya Muda Mahendrawan-Andreas Melayu-Jawa Perseorangan
Sujiwo-Raja Sapta Jawa-Melayu PDI Perjuangan
Kota Pontianak Sutarmidji-Paryadi Melayu-Madura PPP,Pelopor,PKPI,PPD
Pontianak Ria Norsan-Rubiyanto Melayu-Melayu Partai Golkar
Sanggau Yansen Akun dan Abdullah Cina-Melayu PKPB, Demokrat, PDS
Setiman H.S dan Paolus Hadi Melayu-Dayak PNBK, PSI, PKS, PPP, PBB, PBR, Patriot, PPNUI


PEMUDA INDONESIA

Oleh Yohanes Supriyadi

Indonesia diambang kehancuran !!! demikian Tan Malaka menjawab ketika ditanya mengapa para pemuda prograsiv revolusioner lebih suka mementingkan dirinya, kelompoknya sendiri. Dalam menghadapi imperialism, pemuda Indonesia seharusnya menjadi ujung tombak perjuangan, lanjut Tan Malaka.

Di Kalbar, pemuda Indonesia memang masih payah. antara satu dan lainnya masih juga saling "terajang" (bhs Pontianak). Ini adalah buah dari kemunafikan, ungkap Sindhunata (2003. Dalam rangka 80 tahun kebangkitan Pemuda dan 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia, saya menjadi reflektif dengan kondisi pemuda hari ini. Pemuda yang hanya mampu bergerak bila di "kasi" (bhs.Pontianak) bensin oleh "aktor" politik atau ekonomi yang sedang berkuasa, setelah itu, diam dan tiarap menunggu "mangsa" lagi. Pemuda yang kehilangan idealisme, jati diri sebagai pewaris peradaban. memang, fakta juga ada sebagian kecil pemuda yang betul-betul "berjuang" untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan platform, ideologi dan harga diri yang tinggi melalui perjuangan bermartabat, namun jumlahnya hanya sekitar 9% (Andi,2007).


 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | JCpenney Printable Coupons